TENGKU Mustafa berusia 20-an. Tubuh kecil. Kurus. Kulit hitam. Wajahnya bersih dari jenggot dan kumis. Kopiah hitam bertengger di kepala. Jaket dari bahan plastik membungkus tubuhnya. Pagi itu dia tak banyak bicara. Berkali-kali dia tertidur. Ketika terjaga, tatapannya lurus ke depan. Tegang. Dia duduk di sebelah saya, di jok belakang.
Mustafa santri lulusan Darul Istiqomah, Bireuen. Sekarang dia dipanggil “ustadz” dan sering berceramah di berbagai tempat.
Dia tahu jalan menuju Darul Mujahiddin. Dia mengenal pemimpin dayah itu, menyebutnya “beliau”.
Teuku Zulfahmi atau biasa disapa Fahmi duduk di jok depan, di sebelahnya Tu Nazir yang mengemudi Kijang Avanza ini.
Tak berapa lama, Mustafa menghubungi seseorang dengan telepon selulernya. Setelah itu dia berpaling pada saya dan berkata, “Harus pakai jilbab. Tidak boleh pakai celana. Harus pakai rok atau sarung.” Dia menyampaikan apa yang dikatakan orang di telepon tadi.
Saya mengenakan setelan kemeja katun dan celana panjang, dengan selendang melilit leher.
“Kalau pakai selendang?” tanya saya, menunjuk selendang saya.
“Tidak boleh. Harus pakai jilbab,” jawab Mustafa, terdengar seperti perintah.
“Berarti saya tidak dibolehkan masuk dayah itu?” tanya saya.
Tu Nazir menukas, “Kalau mau pakai selendang juga boleh. Tak pakai juga boleh. Mana yang nyaman saja. Bisa. Nanti kita bisa masuk. Siapa saja boleh bertamu ke dayah. Mana ada tamu ditolak.”
“Mana ada yang tak bisa di dunia ini. Yang nggak bisa cuma bikin Mamak dan Bapak, atau bikin Alquran,” sambungnya, sambil terus mengemudi.
Fahmi tergelak, “Kalau ada Tu tak ada yang tak bisa, Kak.”
Mustafa diam. Dia tak sanggup berdebat tampaknya. Dia benar-benar letih dan mengantuk. Semalaman dia, Tu Nazir dan sejumlah santri di satu dayah di Darussalam, Banda Aceh, begadang untuk memanjatkan doa pengangkat harta karun. Bantuan para jin pun sudah mereka kerahkan dengan sogokan madat Turki yang terbuat dari getah kayu gaharu. Tapi wujud barang-barang antik yang diharapkan belum muncul dari dalam tanah. Yang tampak baru pecahan porselen, sedikit emas dan beberapa koin mata uang bergambar kakek bongkok bertongkat. Yang terbanyak ya… kulit-kulit kerang.
Mustafa kemudian benar-benar tak bersuara. Ternyata dia tidur lagi.
“Berapa lama kita mau sampai di sana? Dua jam? Tiga jam? Tinggal bilang,” kata Tu, menanyakan lama waktu tempuh yang saya inginkan ke Darul Mujahiddin. Tu pengemudi andal. Jarak Banda Aceh-Lhokseumawe biasa ditempuh orang dalam enam jam. Tu sanggup mencapai tujuan lebih cepat atau jauh lebih cepat dari itu.
Tu Nazir bertubuh sedang, berkulit sawo matang. Tepat di tengah keningnya yang kehitaman akibat kelewat banyak sujud di lantai itu ada kerut dalam melintang. Di seputar mata Tu tampak lingkaran hitam, menandakan orang yang jarang tidur cukup. Kumisnya lumayan lebat, tapi dia tidak memelihara jenggot.
Pagi itu dia mengenakan kemeja batik coklat kemerahan. Tu adalah panggilan penghormatan orang terhadapnya. Nama lahirnya, Naziruddin. Usia 52 tahun. Beristri empat, beranak empat. Ketika saya bertanya kenapa dia sampai beristri empat, Tu menjawab, “Mereka yang mengejar-ngejar saya, melamar pula. Itu karena kebodohan mereka sendiri. Mana ada buaya menolak mangsa kan?”
“Kakek moyang saya dulu dipanggil Tu juga. Sampai turun-temurun, kami dipanggil Tu. Kakek moyang kami dulu orang yang paham hakam hukum. Begitu kata nenek saya,” kisah Tu.
Hidup Tu penuh warna dan petualangan. Di masa konflik pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka atau GAM, dia pernah memadamkan listrik satu kabupaten.
“PLN (Perusahaan Listrik Negara) itu rupanya punya rumus sendiri dalam menghitung tagihan. Karena dianggapnya saya menunggak listrik, rumah saya pun dipadamkan listriknya. Nah, kalau rumah saya gelap, satu kecamatan akan saya bikin gelap. Eh, tahunya satu kabupaten gelap.” Tu tertawa.
Akibatnya, 36 trafo sentral terbakar.
“Saya pakai TNT,” katanya. TNT adalah jenis bahan peledak.
“Berita itu masuk koran Serambi. Di situ militer menyebut pelakunya, GAM,” tutur Tu.
Serambi Indonesia atau populer disingkat Serambi merupakan harian terbesar di Aceh.
Padahal Tu bertindak atas kehendak pribadi. Selain memadamkan listrik satu kabupaten, Tu pernah membakar kantor kecamatan. Komando Pasukan Khusus atau Kopassus lagi-lagi menuduh GAM pelakunya. Orang-orang kampung dan kenalan Tu panik , lalu menyuruhnya cepat-cepat lari. Tu tidak mau lari. Orang-orang makin panik. Mereka pun bergotong-royong mengumpulkan uang untuk ongkos larinya. Setelah situasi makin genting, Tu memutuskan pergi ke Jakarta.
Dalam pelarian itu, Tu hidup tak menentu. Uang sumbangan orang makin menipis dan lama-kelamaan habis. Di tengah kesusahan ini, Tu berkenalan dengan lelaki bernama Habib Sultan, pemilik sebuah toko di Bekasi. Habib Sultan anggota Jamaah Tabliq. Tu minta pekerjaan padanya. Tak berapa lama Tu sudah ikut rombongan Jamaah itu ke Thailand dan India selama 40 hari.
Orang-orang Jamaah Tabliq mengelana dari kota ke kota, dari negeri ke negeri untuk berdakwah dengan bekal seadanya. Setelah ikut Jamaah Tabliq, Tu pun mulai berhubungan dengan kelompok Islam radikal. Kelak dia diberi tugas khusus oleh militer yang tidak ingin dijelaskannya pada saya secara rinci.
“Saya diberi alamat seseorang bernama Amrozi. Saya sebenarnya salah orang. Tapi ya sudah. Dari sanalah saya jadi kenal Imam Samudra. Orang-orang itu banyak uangnya. Saya jumpa di Nagoya, nama satu diskotik di Batam,” katanya. Namun, Tu tidak ingat lagi tahun dia bertemu mereka.
Nama Imam Samudra mulai dikenal saat dia dituduh terlibat pengeboman gereja di Batam pada 2000.
Dua tahun kemudian, pada 12 Oktober 2002 bom meledak di dua tempat hiburan di Kuta, Bali. Sekitar 300 orang tewas. Imam Samudra dan Amrozi dinyatakan terlibat dalam pengeboman tersebut. Mereka berdua dieksekusi regu tembak pada 9 November 2008. Keduanya disebut sebagai anggota Jamaah Islamiyah, organisasi yang sering dijuluki “Al Qaida Asia Tenggara”.
Tu keponakan Humam Hamid dan Farhan Hamid. Ibunya adalah kakak kandung kedua Hamid itu. Humam politisi Partai Persatuan Pembangunan yang mencalonkan diri sebagai gubernur Aceh pada 2006, tapi dia dikalahkan Irwandi Yusuf, mantan GAM. Sementara Farhan wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Ayah Tu seorang ulama yang disegani, Tengku Muhammad Amin Arbi alias Abun Tanjungan Samalanga. Karena itu pula Tu mudah berhubungan dengan orang-orang dayah dan mereka pun menghormatinya.
“Ayah Tu adalah guru Abati. Abati adalah guru Tengku Muslim At-Tahiry,” kata Fahmi pada saya. Tengku Muslim adalah pemimpin Darul Mujahiddin, dayah yang akan kami kunjungi.
Kali ini Fahmi menyertai perjalanan saya lagi. Dua tahun lalu dia menemani saya mencari dan mewawancarai para gerilyawan tua yang dulu mendeklarasikan Aceh Merdeka bersama Hasan Tiro, mulai dari Pidie sampai Aceh Barat. Fahmi sekarang bekerja di salah satu lembaga pemerintahan Aceh. Penampilannya pagi ini cocok untuk musim dingin, bukan untuk orang-orang di negeri tropis: mantel biru laut dari kulit domba tiruan lengkap dengan kerah bulu domba tiruan pula. Karena mobil ini ber-AC, mantel Fahmi berfungsi sempurna menahan dingin. Fahmi tak suka dingin AC, sementara saya semaput tanpa dingin AC. Fahmi memang kurang sehat. Dia mengeluh mual dan pening kepala.
MOBIL akhirnya menikung ke Jalan Line Pipa, kampung Blang Weu Panjoe. Hutan belukar di kanan kiri. Bukan hutan lebat dan rapat seperti di jalan menuju Pidie atau Geumpang, Aceh Barat. Mobil terus melaju sampai saya melihat plank nama dayah tegak di kanan jalan. Zawiyah Darul Mujahiddin. Di muka kompleks dayah ada warung yang menjual makanan ringan dan minuman. Seorang perempuan berjilbab duduk di muka warung itu.
Pos jaga tak jauh dari warung. Kain merah bertulis huruf-huruf Arab dengan gambar sebilah rencong di bawahnya menghias pos itu. Seekor sapi langsing diikat di depan pos. Di belakang sapi yang tampak pendiam ini tegak gedung baru yang belum rampung dibangun dan tiap sisinya ditopang tiang-tiang bambu sebagai penyangga. Dua orang kuli berjalan-jalan di atas gedung tersebut.
Wujud bangunan-bangunan di kompleks dayah Darul Mujahiddin begitu sederhana. Beratap seng atau nipah. Berdinding papan atau setengah papan.
Saya berjalan ke salah satu bangunan, lalu memotret pengumuman yang terpasang di dindingnya: tata tertib dayah. Tiba-tiba seorang lelaki menghampiri saya dan bertanya apa maksud kedatangan saya. Dia memberi perintah, “Turunkan lagi kerudungnya. Rambutnya masih kelihatan.” Wajahnya kelihatan tegang. Fahmi langsung menengahi dan berkata bahwa kami ingin bertemu pemimpin dayah. Santri ini menjawab, “Tengku Muslim sedang tidak di tempat. Beliau berada di Langsa untuk berceramah.”
Dayah ini sempat jadi berita besar di media. Pertama, karena para santrinya melakukan razia busana yang meresahkan warga. Kedua, sekretaris dayah, Tengku Mukhtar Ibrahim, dinyatakan aparat terlibat dalam pelatihan teroris di Pegunungan Jalin, Jantho, Aceh Besar. Tapi sebelum ditangkap, Mukhtar menyerahkan diri pada polisi. Dia juga menyerahkan sepucuk senapan M 16, tiga pistol jenis Colt dan ratusan peluru. Tengku Muslim yang menyarankan Mukhtar melakukan hal ini, karena dia mendengar Mukhtar menjadi target polisi.
Setahun lalu, pada Februari 2010, polisi sibuk mengejar sekitar 120 orang yang ikut pelatihan militer di Jantho. Mereka dilatih untuk melakukan serangan ke sejumlah hotel dan kedutaan besar. Mereka juga diduga menyiapkan aksi pembunuhan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tepat pada peringatan hari kemerdekaan Indonesia di bulan Agustus tahun itu. Aksi pemanasan sudah mereka laksanakan di Aceh tahun sebelumnya, dengan menembak sejumlah orang asing atau rumah mereka. Erhard Bauer, kepala Palang Merah Jerman untuk Aceh, ditembak pada awal November 2009 di muka Hotel Pade, Banda Aceh. Tapi dia selamat. Rumah John Penny, wakil Uni Eropa di Aceh, ditembak orang pada pertengahan November 2009. Selang seminggu kemudian, rumah dua guru Amerika di kawasan Darussalam, Banda Aceh, ditembak orang tak dikenal. Polisi tidak berhasil menangkap semua pelaku penembakan.
Sebelum rangkaian aksi teror berlanjut, pelatihan ini tercium aparat. Polisi mengejar para pelaku dan menggelar operasi penangkapan terhadap kelompok tersebut di Medan dan Jakarta. Dulmatin, salah seorang pemimpin mereka, tewas dalam satu penyergapan di Pamulang, Jakarta. Abu Bakar Ba’asyir terancam hukuman mati. Dia didakwa merancang dan mendanai pelatihan militer di Aceh. Ba’asyir terjerat pasal-pasal tindak pidana terorisme.
Abu Bakar Ba’asyir dikenal sebagai pendiri Jamaah Islamiyah atau JI bersama Abdullah Sungkar. Mereka berdua membangun JI setelah Negara Islam Indonesia atau NII pecah atas beberapa faksi. JI kelak dinyatakan aparat berada di balik rangkaian teror bom di Indonesia, termasuk pengeboman gereja di berbagai kota, tempat hiburan di Bali, kedutaan besar dan hotel-hotel di Jakarta.
Dayah Mujahiddin sempat disebut-sebut sebagai salah satu tempat pelatihan militer orang-orang yang menamai diri mereka “mujahiddin” ini, selain Jantho.
Kami pun saling memberitahu nama masing-masing.
“Hairul Riza,” katanya. Dia sudah tiga tahun belajar di Darul Mujahidin.
Dia menamatkan sekolah menengah atasnya di Paya Bakong, Aceh Utara. Di masa konflik, desa itu dikenal sebagai zona merah. Kontak senjata militer Indonesia dan GAM sering terjadi di Paya Bakong, kawasan kilang gas Exxon Mobil yang juga dikenal dengan nama PT. Arun. Perusahaan yang berbasis di Amerika itu mendukung dan memberi fasiitas pada militer Indonesia melakukan kejahatan kemanusiaan di wilayah tersebut, termasuk penyiksaan, pembunuhan dan pemerkosaan. Pada Maret 2006, setelah memeriksa bukti-bukti dan pengaduan 11 warga, ketua majelis hakim wilayah Amerika Serikat Louis Oberdorfer menyilakan warga Paya Bakong menggugat Exxon Mobil.
Hairul berambut pendek. Usianya 20 tahun. Dia mengenakan baju koko warna kuning dan sarung motif kotak-kotak putih-merah muda. Kulitnya sawo matang. Tatapan matanya tajam dan penuh selidik.
“Dik, tolong tunjukkan kakak tempat latihan yang disebut-sebut dalam koran itu,” kata saya.
Fahmi kemudian berbicara dalam bahasa Aceh pada Hairul.
“Tapi sudah jadi hutan,” kata Hairul pada kami. “Tidak ada lagi.”
“Tidak apa-apa, kakak hanya ingin melihatnya saja,” kata saya.
Dia pun mengantar kami mendaki tebing itu. Mustafa ikut serta, sedang Tu memilih menunggu di warung.
Lapangan rumput yang tak seberapa luas terhampar di hadapan saya. Semak-belukar hijau mengelilingnya. Di kejauhan terlihat pepohonan dan hutan. Tapi di dekat sini tak ada hutan lebat. Langit putih bersepuh abu-abu.
Dari tebing ini saya dapat melihat sebuah pondok kayu di bawah sana. Tiang-tiangnya tak lagi tegak. Setengah dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan sisanya dibiarkan terbuka. Lantainya terdiri dari susunan bilah bambu dan papan. Tidak rapat, tapi bercelah-celah.
“Itu tempat santri perempuan mengaji,” kata Hairul.
“Bentuknya pun sudah mau sujud ke tanah,” kata Mustafa, dengan suara pelan pada saya.
Rumah tinggal Tengku Muslim tak jauh dari pondok ini. Temboknya bercat putih. Sedan hitam tua terparkir di halaman muka rumah tersebut.
Setelah saya memotret, kami bertiga menuju warung dan duduk di sana. Saya mulai mewawancarai Hairul.
“Dik, kenapa tertarik masuk pesantren?” tanya saya.
Hairul anak sulung dalam keluarga. Adiknya enam orang.
“Mengingat kewajiban yang diperintahkan Allah,” katanya.
Tentu saja, itu jawaban resmi. Tengku Muslim nanti bercerita pada saya bahwa orangtua Hairul tak sanggup lagi mengatasi kenakalan anak mereka dan mengirim Hairul ke dayahnya untuk dididik.
Ada sekitar 100 orang santri laki-laki dan perempuan menghuni dayah ini.
“Apa yang adik tahu tentang pelatihan itu?”
“Tidak ada pelatihan teroris di sini, seperti kata koran. Kalau pelatihan mujahiddin (pejuang) memang ada. Untuk membela Palestina. Para pelatihnya dari FPI (Front Pembela Islam). Mereka sudah minta izin pada pimpinan. Aktivitas mereka juga tidak sembunyi-sembunyi dan dipublikasikan di media,” tutur Hairul.
Fahmi membenarkan penjelasan Hairul.
“Jauh sebelum pelatihan ini ketua FPI daerah pernah membuka posko pendaftaran. Nama ketuanya, Yusuf Al Qardhawi,” katanya.
“Mereka melatih bela diri, semacam karate. Selain itu belajar Alquran, tes mental berdiri di depan kelas dan ceramah. Peserta pelatihan ini ada sekitar 100 orang. Dari seluruh Aceh. Aceh Timur, Aceh Barat, seluruh Aceh. Saya sempat ikut-ikut juga,” lanjutnya.
Tapi Hairul tidak berangkat ke Palestina. Alasannya? “Sedang menyiapkan diri untuk mempelajari ilmu kitab dan Alquran.”
Hairul juga anggota FPI.
“Kadang-kadang ada seminar, saya ikut. Yang baru lewat kemarin temanya “Jihad Yes, Teroris No”. Di Banda Aceh. Saya jadi panitianya juga,” katanya, bangga.
“Mengapa tertarik ikut FPI?” tanya saya.
“Karena ini organisasi ahlul sunnah wal jamaah. Kewajiban orang Muslim untuk melakukan amar makruh nahi mungkar. Selain itu, saya belum kenal organisasi lain.”
“Tapi FPI sering melakukan kekerasan dan mengancam pemeluk agama lain. Apakah itu salah satu program FPI?” tanya saya.
“Kalau orang Kristen sudah mengganggu agama Islam harus dibalas. Itu sudah menghina agama,” jawabnya.
“Apa bentuk penghinaan itu?”
“Sekarang sudah berlaku hukum HAM (hak asasi manusia). Kalau mendidik anak secara kekerasan, itu katanya melanggar HAM. Padahal kalau menurut Islam, mengajar anak itu bisa…. Seandainya negeri Islam, lalu orang Kristen masuk, tidak menghargai, dalam Islam disuruh perangi.”
“Tapi Indonesia bukan negara Islam. Jadi semua agama boleh hidup di sini,” kata saya.
Dia terdiam.
“Kenapa FPI tidak ikut membela orang-orang Aceh yang jadi korban di masa konflik, malah membela Palestina yang jauh di sana?” tanya saya, lagi.
“FPI memang tidak membahas tentang Indonesia. Mereka membantu Palestina saja.”
Saya juga menanyakan apa sebabnya saya harus menutup kepala saya. Sebab tadi dia meminta saya menurunkan kerudung untuk menyembunyikan rambut saya. Dia tersenyum, tidak langsung menjawab.
“Kenapa rambut perempuan tidak boleh terlihat?” desak saya.
“Karena aurat. Mungkin perhiasan. Dan menarik bagi laki-laki.”
“Bagaimana dengan rambut uban kakak ini? Apakah menarik laki-laki juga?” kata saya, seraya tertawa.
Hairul tersipu, lalu berkata, “Nafsu laki-laki itu yang membuatnya jadi tertarik. Mungkin ada juga godaan syaitan.”
“Kalau begitu kenapa yang disalahkan perempuan, kalau sumber masalah ada pada laki-laki, Dik?”
Dia tertawa, kemudian menyahut, “Ilmu saya belum cukup. Belum sampai situ untuk menjawab.”
Telepon seluler Hairul berdering. Dia menjawab panggilan itu. Ternyata dari Tengku Muslim. Setelah itu Hairul menyerahkan telepon selulernya kepada Tu Nazir. Tengku Muslim rupanya ingin bicara dengan Tu. Saya mendengar Tu berbicara bahasa Aceh. Hanya beberapa kalimat yang saya pahami. Tu mengatakan bahwa dia datang bersama Fahmi, sekretaris Abi Lampisang, pendiri Partai Gapthat.
Begitu Tu mengembalikan telepon pada Hairul, kami pun kembali bercakap-cakap. Menurut Hairul, dana untuk dayah ini diperoleh para santri dari warga. Mereka turun ke sawah dan pasar untuk mengumpulkan dana. Tidak ada bantuan pemerintah.
Tiba-tiba telepon seluler Hairul berdering lagi. Sesudah selesai bicara, Hairul berkata bahwa kami dipersilakan mampir ke rumah Tengku Muslim karena istrinya sudah menyiapkan minuman.
“Tengku, amanah Tengku (Muslim) geyu meulangkah u dalam (dipersilakan melangkah ke dalam),” kata Hairul pada tiga lelaki yang bersama saya ini. Dia tidak mengatakan apa pun pada saya.
Ketika saya sudah mendaki jalan menuju rumah itu, Fahmi, Tu dan Mustafa masih berada di warung.
Dari arah posko Palestina di samping gedung baru terdengar seruan, “Hai, ka jok ija krong(hai, kau berikan kain sarung)!” Perintah ini tertuju pada Hairul.
Menurut Hairul, di situ para dewan guru sedang duduk-duduk. Mereka tidak terima saya mengenakan celana panjang dan tidak berjilbab masuk ke rumah sang pemimpin.
“Ayo, Kak, kita pulang!” seru Fahmi pada saya. “Lain kali saja kita ke sini. Apa maksudnya kakak disuruh-suruh pakai sarung!” ujarnya, marah.
Saya langsung berbalik arah, menuruni jalan terjal itu.
Kami pun bergegas ke mobil. Hairul terhenyak.
Sebelum masuk mobil, saya memotret plank dayah. Tiba-tiba terlihat sepeda motor yang dikendarai lelaki berjubah putih, sedang di boncengannya seorang lelaki berpakaian serupa. Mereka menuju tempat saya berdiri. Lelaki yang dibonceng berteriak, “Hei Peu ka poto-poto nyan? (Apa yang kau foto-foto itu?)” Motor berhenti dan diparkir.
Saya tidak mempedulikan mereka, lalu berjalan ke mobil dan membuka pintu. Di jok belakang sudah ada Tengku Mustafa.
Salah seorang dari duet jubah putih itu menghampiri mobil kami dan bertanya-tanya dengan suara keras pada Tu Nazir yang sudah memegang kemudi. Pipinya agak tembam. Brewokan. Matanya nyalang.
Tu menjawab tenang, “Ini wartawan mendengar dayah kalian dituduh sebagai sarang teroris. Dia ini ingin tahu apa benar atau tidak.”
Sementara Fahmi masih berdiri di sisi pintu depan dan sibuk berbicara dengan seseorang lewat telepon selulernya. Dia sama sekali acuh terhadap lelaki berjubah yang sibuk berceloteh di sampingnya.
Orang berjubah ini membalas ucapan Tu, “Wartawan? Dulu ada wartawan BBC datang ke sini. Untuk wawancara, dia memberi 50 sak semen. Kalau ke sini wajib menyumbang.”
Hairul menghampiri lelaki berjubah putih yang tadi bicara pada Tu. Entah apa yang dikatakannya. Saat keduanya terlibat percakapan, mobil bergerak menuju jalan raya.
Tak berapa lama terdengar teriakan lantang orang-orang berjubah, “Jangan tulis kami teroris! Jangan tulis kami teroris!
Kelak Tu menghubungi Tengku Muslim dan menceritakan ulah para santri di dayahnya. Tengku Muslim minta maaf dan berkata bahwa mereka itu memang preman dan sebagian lagi mantan narapidana, bahkan ada yang dia jemput langsung dari penjara.
Mustafa kelihatan syok. Barangkali dia tidak menyangka orang-orang dayah berperilaku macam tadi.
Mustafa lantas berkata, “Orang Aceh dulu tidak ada pakai-pakai jubah begitu. Ya, begini saja seperti saya ini. Berkopiah, bersarung atau celana. “
“Bukan begini yang namanya pesantren. Orang itu belum jadi ulama, masih calon, sudah begitu perilaku,” komentar Tu.
“Percuma jubah panjang, kalau isi jubah tak ada apa-apa.” Mustafa menimpali Tu.
Fahmi lantas bercerita tentang latar belakang politik Tengku Muslim. Dulu dia ikut Partai Bintang Reformasi atau PBR, partai Zainuddin MZ. Dia juga pendiri Partai Gapthat di Lhokseumawe. Fahmi sendiri pernah menjabat sekretaris jenderal partai tersebut.
“Saya heran kenapa dia ikut FPI. Dulu waktu Partai Gapthat pasang bendera di Masjid Raya, Yusuf Al Qardhawi, ketua FPI Aceh itu, mencabut bendera-bendera kami dan memasukkannya dalam karung dan mengantarnya ke kantor. Alasannya itu masjid. Tak boleh pasang bendera partai,” kenangnya.
“Dia ingin populer, dia ingin melawan pemerintah, tapi diberi Irwandi mobil dia terima. Dia sempat mengirim surat edaran ke kantor Gapthat, mengajak berjuang ke Palestina. Dipandangnya kami ini lahan empuk, karena dianggapnya kami tidak terwadahi memperjuangkan Islam di Aceh dan tekad kami dianggap satu untuk Islam, sehingga bisa dialihkannya di Palestina,” lanjut Fahmi.
Partai Gaphat tidak lolos verifikasi, sehingga gagal ikut pemilihan umum di Aceh tiga tahun lalu.
Namun, Fahmi tidak mengerti alasan aparat mengaitkan Darul Mujahiddin dan FPI dengan terorisme.
“Ajakan berjihad ke Palestina itu tidak sembunyi-sembunyi. Iklannya dimuat suratkabarSerambi tiga hari setelah SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) menyatakan mendukung negara Palestina yang berdaulat. Artinya, FPI menyambut pernyataan pemerintah lewat tindakan. Tapi setelah itu ada isu mereka teroris. Ini mungkin kontraintelijen. Tapi ini juga menunjukkan skenario mereka yang kurang matang dan mudah terbaca.”
Dia teringat masa Soeharto dulu.
“Pemerintah Soeharto tahu betul tentang cara-cara semacam ini. Apalagi Soeharto dulu dekat dengan Amerika. Soeharto mendekati dayah-dayah. Di Aceh misalnya berkembang isu Abu Usman Kuta Krueng diberi pom bensin oleh pemerintah. Itu isu. Perlu diselidiki kebenarannya. Kemudian Jenderal Try Sutrisno pernah menginap dua bulan di rumahnya waktu DOM (Daerah Operasi Militer). Artinya, apa? Militer dekat dengan dayah.”
FPI berdiri pada 17 Agustus 1998 di Jakarta. Tujuan organisasi ini untuk menegakkan hukum Islam. Pada 2002 FPI mendesak pemerintah menambahkan kalimat “kewajiban menjalankan syariat-syariat Islam bagi pemeluknya” dalam sila pertama Pancasila “Ketuhanan yang Maha Esa”. Struktur FPI ketika itu terdiri dari empat dewan: dewan pimpinan pusat, daerah, wilayah dan cabang. Habib Rizieq merupakan salah satu pengutus di Dewan Pimpinan Pusat, sedangkan Abu Bakar Ba’asyir masuk dalam Dewan Pimpinan Daerah sebagai ketua FPI Surakarta.
FPI memobilisasi aksi-aksi penutupan tempat hiburan malam atau apa yang mereka kategorikan tempat maksiat. Mereka tidak segan-segan melancarkan serangan terhadap pemeluk agama lain. Mereka terkenal dengan sikap anti asing.
Menurut situs Detikcom, pada Juni 1999 FPI membuat rancangan penyelesaian masalah Aceh, termasuk mencantumkan penerapan syariat Islam. Sebulan kemudian, pada 14 Juli 1999, rancangan ini dibahas di markas Tentara Nasional Indonesia di Cilangkap dan disetujui militer, lalu diserahkan kepada pemerintah untuk dilaksanakan. Ketika itu presiden Indonesia masih dijabat BJ. Habibie. Tiga bulan sesudahnya pemerintahan Indonesia mengalami perubahan. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menggantikan Habibie pada 20 Oktober 1999.
Dalam perjalanan pulang ke Banda Aceh, kami mampir ke Dayah Istiqomah, Bireuen. Mustafa ingin menunjukkan bahwa wajah Islam di Aceh tidak hanya seperti yang ditampilkan santri-santri Darul Mujahiddin.
Dia berkata bahwa Darul Istiqomah adalah dayah salafiyah. “Tapi kalau orang-orang pesantren tadi melihat kami ini, mereka akan menganggap kami sudah keduniawian. Memangnya kita ini tinggal di akhirat? Kita justru menyiapkan untuk di akhirat.”
Salafi berarti “kuno” dalam bahasa Arab. Orang-orang Salafi menjalankan ajaran Islam dengan mencontoh kehidupan di masa Nabi Muhammad. Para ulama salafi hanya mengakui empat mazhab fiqih Sunni (Hanafi, Hambali, Syafii dan Maliki) dan satu mazhab Syiah (Assyariah atau mazhab Imam 12). Orang-orang Salafi juga menolak eksistensi tasawuf. Menurut ulama Ibnu Taimiyah, panutan para Salafi, tasawuf tak lebih dari candu dalam agama. Salafi, misalnya anti terhadap Wahhabi, yang dianggapnya telah menyelewengkan ajaran Muhammad. Di Arab Saudi, sebuah negara Wahhabi, pemimpin dipilih berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan kemampuan dan dipilih rakyat. Hal ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi Islam ala Nabi Muhammad.
Mobil memasuki halaman dayah dan saya melihat bangunan-bangunan permanen ada dalam kompleks Darul Istiqomah. Keadaan dayah ini secara fisik jauh lebih baik dibanding Darul Mujahiddin. Semua santri di sini laki-laki. Mustafa dengan suara pelan meminta saya menutup kepala saya dengan selendang sampai rambut tak kelihatan. Tak ada bedanya dia dengan Hairul di Dayah Mujahiddin ternyata, tapi dengan cara yang lebih sopan.
Mustafa mengenalkan saya dengan beberapa pengurus dayah. Tapi saya akhirnya berbicara dengan Tengku Jamaluddin. Tu dan Fahmi tampak akrab dengan orang-orang dayah ini. Tengku Jamaluddin ternyata salah satu anggota tim pengangkat harta karun, sekutu mereka.
Dia baru saja sembuh dari sakit lambung. Tubuhnya masih lemas. Wajahnya pucat. Dia mengenakan jaket, berkain sarung. Kopiah putih melekat di kepala.
Di dinding ruang tamu terpampang papan berisi struktur kepengurusan dayah dan nama-nama pengurus. Di situ ada namanya.
Jamaluddin tidak mendukung jalan kekerasan untuk menghadapi berbagai tantangan di dunia Islam hari ini. Dia juga tidak mendukung tindakan memerangi pemeluk agama lain dalam pengertian fisik.
“Di masa Nabi Muhammad, memang disuruh pilih orang-orang itu; diperangi atau masuk Islam. Cuma di zaman sekarang sudah beda sistemnya. Kini kita pun ada presiden dan pemerintahan, berbeda dengan masa Nabi. Kecuali orang Kristen merongrong kita, itu lain. Ini kan mereka tidak merongrong kita. Yang ada perang urat syaraf saja. Perang ideologi. Maraknya Kristenisasi sekarang harus dilawan dengan pendalaman ideologi, bukan dengan memerangi orang Kristen,” katanya.
Menurut Jamaluddin, Islam harus berkembang tanpa membunuh.
“Karena itu akan menimbulkan konflik yang baru. Orang Kristen masuk ke Aceh statusnya harus dilindungi. Islam itu artinya, selamat dan sejahtera,” katanya.
SUARA lelaki di telepon membuat saya teringat penyanyi dangdut Rhoma Irama. Tengku Muslim At Tahiry berbicara dalam Bahasa Indonesia berlogat Arab. Tapi mendadak berubah jadi Bahasa Indonesia berlogat Aceh, setelah mendengar saya sudah mengunjungi dayahnya bersama Tu dan Fahmi.
“Oh, ya, ya, dengan Tu Nazir ya waktu itu,” katanya, ramah.
Pada 2004 dia mengajar di satu dayah di Aceh Utara. Nama dayah tersebut Madaiyatul Islam. Namun, dayah tadi berdiri di atas tanah orang lain. Dia merasa tidak nyaman, lantas memutuskan mencari lokasi untuk mendirikan dayah baru dan menemukannya di Jalan Line Pipa.
Muslim sering memimpin para santri untuk menutup tempat-tempat hiburan malam. Akibatnya mereka jadi berhadapan dengan aparat keamanan. Aksi mereka dianggap melanggar hukum.
“Akhirnya kami berkumpul untuk mendirikan organisasi. Namanya, Ikatan Masyarakat Anti Maksiat. Akhirnya ada saran jangan mendirikan organisasi lain, lebih baik bergabung dengan organisasi tingkat nasional,” ujarnya.
Dalam proses ini, dia kemudian menelaah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga FPI, yang sama-sama beraliran ahlul sunnah wal jamaah.
“Karena Wahabbi itu susah di Aceh,” katanya.
“Apa beda ahlul sunnah wal jamaah dan Wahabbi?” tanya saya.
“Sebenarnya Wahabbi mengakunya ahlul sunnah wal jamaah juga. Cuma di Aceh susah diterima, karena orang fanatik. Tiap Maulid, orang Aceh buat kenduri, memperingati hari lahir Rasul. Di tempat orang meninggal, orang bikin tahlilan dan mendoakan yang meninggal. Nah, bagi Wahabbi peringatan Maulid dan tahlilan itu bid’ah atau menyekutukan Allah. Guru-guru kita di Aceh ini bermazhab Syafii dan sukar bagi mereka untuk menerima Wahabbi. Perbedaannya karena itulah. Lain dari itu, kita tak tahu, tidak mendalami.”
Setelah melihat kecocokan cita-citanya dengan FPI, Muslim mengundang Yusuf Al Qardhawi, ketua FPI Aceh, untuk memaparkan seluk-beluk FPI. Muslim jatuh hati pada organisasi itu dan memutuskan masuk FPI. Dia kini sekretaris FPI Lhokseumawe.
“Tapi kita tidak pernah melibatkan santri dalam berorganisasi. Karena mereka dititipkan orangtuanya untuk belajar bukan untuk berorganisasi. Kalau ada yang tertarik, ya mereka silakan ikut FPI,” katanya.
“Kenapa ustadz atau santri yang harus menertibkan tempat hiburan, bukankah itu tugas polisi atau aparat negara yang lebih berwenang?”
“Sebenarnya kalau pemerintah sudah baik, untuk apa lagi ulama terjun mengurus yang begini. Tugas ulama ini berdakwah. Nyatanya pemerintah ini tidak mengerjakannya.”
“Aksi-aksi FPI brutal,” kata saya.
“Itu tindakan di luar garis komando. Di Aceh tidak ada tindak kekerasan macam di Jakarta. Tapi jangankan ormas seperti FPI, negara saja melakukan apa yang di luar prosedur. Yang ikut FPI itu kan tidak semuanya paham agama. FPI sebenarnya tidak boleh merusak, tidak boleh menyimpan senjata.“
“Ada yang menganggap pemberdayaan ekonomi hal prioritas di Aceh pascakonflik? Mengapa FPI tidak menjalankan program itu?”
“Kalau syariat berjalan, maka semua benar, ekonomi juga berjalan. Sebab Allah memberi rezeki yang tak disangka-sangka, dengan takwanya masyarakat Aceh. Sawah dan kebun akan menghasilkan yang baik dengan takwa. Karena itu, ekonomi bukan prioritas.”
“Kenapa FPI juga mengurus pakaian perempuan?”
“Kalau wanita baik, maka masyarakat baik. Kalau laki-laki hidung belang berbuat, itu karena perempuan ada yang membuka aurat.”
“Apa tanggapan Anda tentang isu Kristenisasi?”
“Itu bukan isu baru. Karena misi-misi untuk mengembangkan agama ini ada sejak dulu. Di Aceh ini masih banyak yang harus dikerjakan selain mengurus Kristenisasi. Kalau masyarakat sejahtera, tidak akan tertipu. Kalau masyarakat miskin, siapa yang kasih makan itu yang diikuti. Pemberdayaan ekonomi masyarakat lemah itu perlu,” katanya. Kalimat terakhirnya justru mementahkan penyataannya sendiri tentang pemberdayaan ekonomi bukan prioritas.
“FPI berafiliasi dengan partai-partai Islam?” tanya saya.
“Kalau di tingkat pusat, FPI berafiliasi dengan P3 (Partai Persatuan Pembangunan). FPI ini bukan ormas politik. FPI juga tidak menutup demokrasi. Kalau teroris anti terhadap Indonesia. Kalau FPI tidak anti Indonesia, asal diwarnai Islam,” jawab Muslim.
“Kenapa FPI tidak membela korban konflik Aceh, tapi lebih suka mengurus soal Palestina misalnya?”
“Begini ya, FPI itu anti perpecahan. Salah satu untuk menghancurkan kita adalah orang-orang asing itu, yang berupaya memisahkan Aceh dari Indonesia. FPI mencintai persatuan dan anti perpisahan. Makanya kita dalam tiap pertemuan, kita mengatakan dendam masa lalu harus ditanam atau dibuang jauh-jauh. Kita juga desak pemberdayaan ekonomi masyarakat. Karena kalau kenyang mereka tak mau konflik lagi.” Kalimat terakhirnya tentang pentingnya pemberdayaan ekonomi lagi-lagi mementahkan pendapatnya sendiri yang menyatakan ekonomi bukan prioritas.
“Apa pendapat Anda tentang pemaksaan beribadah di Aceh melalui pelembagaan syariat Islam?”
“Di masa Nabi tak ada polisi syariah dan tak ada pemaksaan ibadah, juga tak ada pelembagaan syariat Islam. Sebab di masa Nabi, semua orang tunduk.”
“Makna jihad?”
“Jihad itu lebih fokus pada diri sendiri. Untuk melawan hawa nafsu, itu jihad yang terbesar. Kenapa manusia korupsi. Itu hawa nafsu. Selain itu ada jihad melawan kebodohan. Artinya, orang-orang Barat hebat itu karena mereka punya ilmu. Makanya saya tidak setuju dengan jihad yang brutal, kecuali mereka menjajah daerah Islam. Seperti di Palestina,” tuturnya
“Tapi di Palestina bukan perang agama. Itu masalah politik, bukan agama,” kata saya.
“Ada kaitannya juga dengan agama. Karena di dalam Islam itu diperintahkan untuk menjaga masjid. Itulah yang diperintahkan, untuk menjaga Masjidil Aqsa yang mau dikuasai Israel dan akan tergusur oleh pemukiman Yahudi. Itu katanya. Saya sendiri belum pernah ke sana, jadi nggak tahu. Hehehe….”
“Di masa Abdul Muthalib, kakek Nabi, tersebutlah kisah tentang penyerangan pasukan gajah Raja Abrahah ke kota Mekah. Abdul Muthalib mengatakan pada penduduk kota bahwa Allah akan menjaga sendiri ka’bah. Kenapa orang harus menjaga masjid, bukankah Allah bisa menjaganya?”
Dia menjawab, “Itu karena di masa Abdul Muthalib umat Islam sangat sedikit. Kalau kita terjepit, ya lebih baik lari. Sekarang ini kita mayoritas, kenapa harus takut.”
Setahu saya di masa Abdul Muthalib, agama Islam belum lahir.
“Dari mana sumber dana untuk dayah Anda?”
“Dari bantuan orang tua santri dan warga. Kalau saya berdakwah ada VCD-nya dan santri-santri menjual VCD dakwah saya itu ke kampung-kampung. “
“Waktu saya datang ke dayah dan Anda tidak ada, ada dua santri berjubah putih berteriak-teriak menghardik saya. Kenapa mereka begitu?”
“Di dayah ini banyak anak putus sekolah yang kami terima. Ada mantan narapidana. Lebih sukar menjaga satu manusia ketimbang seribu lembu. Yang kami tampung di sini, anak-anak yang sudah tidak terpakai lagi. Pesantren ini dianggap tong sampah. Hehe…. Mendidik mereka tidak mudah. Yang penting nanti mereka bisa dihargai.”
Linda Christanty