KONON, menurut tradisi yang turun-temurun di kalangan pemikir Marxis, titik tolak filsafat Marx adalah ‘pembalikkan’ atas filsafat Hegel. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan ‘membalik filsafat Hegel?’ Apakah yang sebetulnya terjadi dalam proses pembalikkan itu?
Ada yang mengatakan, Marx mengubah dialektika pada tataran ide menjadi dialektika pada tataran realitas. Ada pula yang mengatakan, sementara Hegel membuat pikiran menjadi motor penggerak materi, Marx membuat materi menjadi motor penggerak pikiran. Pernyataan-pernyataan ini tidak keliru. Persoalannya hanyalah bahwa itu kurang lengkap. Apa yang sebetulnya dipertaruhkan dalam pembalikkan tersebut belum terkemukakan secara memadai. Dalam artikel ini, kita akan menunjukkan bahwa dalam kritik Marx atas Hegel, terkandung pokok perdebatan yang sungguh mendasar dan memiliki asal-muasal yang purba dalam sejarah filsafat.
Marilah kita lihat teks yang dituliskan Marx pada waktu ia berusia 25 tahun, Kritik atas Doktrin Hegel tentang Negara:
‘Hegel membuat predikat, objek-objek, menjadi otonom, tetapi ia melakukannya dengan memisahkan predikat itu dari otonominya yang sesungguhnya, yakni subjeknya. Subjek yang sesungguhnya kemudian nampak sebagai hasil, padahal pendekatan yang tepat mesti berangkat dari subjek yang sesungguhnya dan kemudian mempertimbangkan objektifikasinya. [Dalam Hegel] substansi mistik lalu menjadi subjek yang nyata, sementara subjek aktual nampak sebagai sesuatu yang lain, yakni sebagai momen dari substansi mistik. […] Hegel tidak berangkat dari keberadaan aktual (hupokeimenon) tetapi dari predikat determinasi universal.’ (Marx 1992: 80)
Apabila kita abstraksikan seluruh dekorasi retoris dan ringkaskan inti argumen dari pemaparan Marx di muka, kita memperoleh dua proposisi yang berturut-turut merepresentasikan posisi Hegel (menurut Marx) dan posisi Marx:
Posisi Hegel: predikat dapat ada terpisah dari subjek dan subjek tak lain ketimbang manifestasi tertentu dari predikat
Posisi Marx: predikat tidak dapat ada terpisah dari subjek dan adanya predikat dikondisikan oleh adanya subjek
Pertama-tama, kita mesti klarifikasi apa yang dimaksud dengan ‘subjek’ dan ‘predikat’ di sini. Kedua istilah tersebut dimengerti di sini dalam pengertian logisnya. Dalam proposisi ‘S adalah P’ (misalnya, ‘Joko itu baik,’ ‘meja ini berwarna merah,’ ‘tembok ini tebalnya 30 cm’), ‘S’ adalah subjek dan ‘P’ ialah predikatnya. Secara umum, subjek adalah hal (atau disebut juga ‘substansi’) yang dikenai sifat, sementara predikat adalah sifat atau relasi yang dikenakan pada suatu hal. Setelah kita menangkap pengertian logis subjek dan predikat, kita dapat memahami perbedaan posisi Marx dan Hegel melalui parafrase:
Posisi Hegel: ada sifat atau relasi tanpa hal (atau substansi) yang disifatkan dan substansi tak lain daripada kumpulan sifat-sifat atau relasi.
Posisi Marx: tidak ada sifat atau relasi tanpa hal (atau substansi) yang disifatkan atau dihubungkan dan adanya sifat atau relasi tersebut dikondisikan oleh substansi.
Kini kita akan menempatkan kembali pemahaman kita ke dalam konteks perdebatan dalam teks di muka. Dalam bagian yang kita kutip tadi, Marx tengah mempersoalkan cara Hegel memahami kedaulatan (sovereignty). Hegel membuat kedaulatan menjadi esensi yang sudah ada sebelum adanya negara atau warga negara yang berdaulat sedemikian, sehingga negara dan warga negara itu tak lain ketimbang inkarnasi dari ‘roh’ kedaulatan. Marx menunjukkan, sebaliknya, bahwa tak ada kedaulatan tanpa hal yang berdaulat (entah negara atau warga negara). Sifat, misalnya, ‘berdaulat’, hanya ada dalam hal yang menjadi landasan tempat dikenainya sifat tersebut, sehingga karakteristik dari sifat seperti ‘berdaulat’ dikondisikan oleh landasan tersebut, yakni rakyat yang tertentu.
Kawan-kawan pembaca yang pernah mempelajari tulisan Marx, tentu segera menyadari bahwa apa yang dibahas di sini akan menjadi titik berangkat Marx di berbagai tulisannya kemudian. Tak ada keadilan yang keberadaannya sama sekali terpisah dari masyarakat dimana keadilan itu membadan; tak ada kebaikan tanpa orang/tindakan yang baik; tak ada hubungan tanpa hal yang dihubungkan. Argumen semacam ini juga dapat kita saksikan dalam karya ekonomi-politik Marx. Penolakan Marx atas pendekatan ‘sirkulasionis’ (yang antara lain mengemuka dalam pemikiran Samuel Bailey), juga dilandasi oleh argumen yang sebangun: tak ada sirkulasi tanpa sesuatu yang disirkulasikan, sehingga adanya sesuatu itu (dan karenanya produksi) mengondisikan bagaimana sirkulasi atasnya dimungkinkan. Puncak dari model argumen ini mengemuka ke dalam apa yang kini kita kenal sebagai tesis materialisme historis: basis ekonomis mengondisikan superstruktur politiko-legal-kultural. Argumen dasarnya tetaplah serupa: tak ada kebudayaan tanpa masyarakat, tak ada hukum tanpa masyarakat, dan karena adanya masyarakat mengandaikan pemenuhan kebutuhan biologis sebagai syarat kemungkinan bagi keberadaannya (dan karenanya ekonomi), maka basis ekonomis mengondisikan superstruktur politiko-legal-kultural.
Darimanakah asal-muasal argumen yang demikian kuat ini, yang sebagai implikasinya tesis materialisme historis dimungkinkan? Apakah Marx menciptakannya dari ketiadaan? Tidak. Argumen semacam ini telah beredar lama, ribuan tahun sebelum Marx lahir. Kita dapat mengasalkannya pada Aristoteles. Perbantahan Marx dengan Hegel, dalam arti ini, dapat dilihat sebagai kelanjutan dari perdebatan purba Aristoteles lawan Plato. Bagi Plato, adanya sifat-sifat dapat terseparasi atau terpisah dari substansi partikular. Apabila ada lima buah benda dan kelimanya dapat kita sebut sebagai ‘kursi,’ tentu terdapat ‘kekursian’ yang menjadi alasan mengapa kelimanya dapat kita sebut sebagai ‘kursi.’ Kelima benda itu dapat dinyatakan sebagai ‘kursi’ karena kelimanya terhubung pada satu esensi ‘kekursian’ yang sama. Adanya ‘kekursian’ ini, menurut Plato, tidak mensyaratkan adanya ‘kursi’ material sebab justru ‘kekursian’ itulah yang disyaratkan oleh fakta bahwa kelima ‘kursi’ adalah ‘kursi’ dan bukan hal lain. Kendati bersepakat dengan Plato bahwa ada esensi ‘kekursian’ dalam setiap ‘kursi,’ Aristoteles menyanggah gurunya dengan menunjukkan bahwa adanya ‘kekursian’ tersebut tidak terpisah dari adanya ‘kursi’ material. ‘Kekursian,’ bagi Aristoteles, tak ada dimanapun selain di dalam ‘kursi’ material.
Pandangan Plato dan Aristoteles ini kemudian terus diperdebatkan dalam Abad Pertengahan. Berdasarkan tradisi ini, pandangan Plato kemudian kita kenal sebagai realisme ekstrem: ada sifat-sifat objektif yang keberadaannya dapat terlepas dari keberadaan hal-hal yang menjadi pembawanya. Ini juga dikenal sebagai realisme ante rem (harafiahnya: ‘mendahului benda’) atau realisme transenden, karena sifat-sifat tersebut dikatakan ada sebelum dan melampaui adanya hal-hal yang memiliki sifat tersebut. Sifat-sifat inilah yang dalam Abad Pertengahan disebut sebagai universalia (universals), sementara substansi atau hal yang dikenai sifat-sifat tersebut disebut sebagai partikularia (particulars).
Pada ujung yang berlawanan dengan realisme Platonis, berkembanglah pandangan anti-esensialis dalam Abad Pertengahan yang dikenal sebagai nominalisme, yakni pandangan bahwa tak ada sifat-sifat selain sebagai nama (nomina)belaka dan yang ada hanyalah substansi partikularia. Di tengah-tengah kedua posisi yang berlawanan itu, berdirilah posisi Aristotelian yang dikenal sebagai realisme moderat: ada sifat-sifat atau universalia (membantah kaum nominalis), tetapi keberadaan sifat-sifat itu imanen dalam benda atau partikularia (membantah kaum realis ekstrem). Ini juga dikenal sebagai realisme in re (harafiahnya: ‘dalam benda’) atau realisme imanen, karena sifat-sifat itu tak pernah ada selain di dalam hal-hal yang menubuhkannya. Thomas Aquinas adalah salah satu pemikir yang berada pada garis tradisi ini. Demikian pula, seperti telah kita lihat, Marx ratusan tahun kemudian. (Tak kelirulah pendapat R.H. Tawney, seorang sosialis-Katolik dari Irlandia awal abad ke-20, yang menyatakan bahwa Marx adalah ‘seorang Skolastik terakhir’).
Dengan begitu, kita dapat mengerti sekarang apa yang sebenarnya dipertaruhkan dalam kritik Marx atas Hegel. Pada jantung pemikiran Marx tidak hanya terdapat kritik atas idealisme objektif (Hegel); di balik itu, terdapat upaya mengartikulasikan kembali posisi realisme moderat Aristotelian melawan realisme ekstrem Platonis (dan tentunya juga melawan nominalisme, di sisi lain). Dengan demikian, pada jantung materialisme historis (dan outlook ekonomi-politik Marx secara umum), termuat konsepsi universalia in rebus. Dengan cara ini, kita tahu bahwa tradisi materialisme historis bukanlah fenomena abad ke-19 semata, melainkan tradisi dengan akar yang amatlah tua. Apabila kita bongkar ‘pohon Marxisme,’ kita akan menemukan bahwa ujung akar pohon itu akan mengantarkan kita—via Vatikan dan Persia serta Andalusia tempat pemikiran Aristoteles diselamatkan oleh para filsuf Islam seperti Ibn Sina dan Ibn Rushd—sampai ke Athena pada abad ke-3 SM.
Kendati ini merupakan proyek ekskavasi sejarah pemikiran yang menarik, kita tidak berkesempatan untuk mengolahnya secara lebih detail dalam artikel-artikel kita nanti. Apa yang dapat kita jalankan, sesuai dengan semangat rubrik ini, adalah ‘ekskavasi logis’ atas implikasi dari sentralitas doktrin universalia in rebus dalam kritik Marx atas Hegel dan pengaruhnya pada konsepsi dialektika yang khas Marxian. Inilah yang kiranya akan kita jalankan di artikel selanjutnya.***
1 Januari 2013