RIBUAN buruh kembali turun ke jalan. Aksi massa buruh ini tampaknya akan terus menjadi pemandangan rutin. Masih lekat dalam ingatan, ketika Januari 2012, para buruh dari kawasan-kawasan industri Kabupaten Bekasi, menyeruak memasuki jalan tol Cikampek di kawasan Cikarang. Mereka memblokir jalan tol, dan sanggup melumpuhkan aktivitas ekonomi di Jabodetabek. Aksi ini merupakan wujud luapan kemarahan para buruh ketika Penetapan Upah Minimum Kabupaten Bekasi, digugat ke meja hijau oleh pihak pengusaha. Para kapitalis itu enggan melaksanakan kenaikan upah yang telah ditentukan.
Cerita serupa kembali berulang awal 2013. Kali lokasi sedikit bergeser ke wilayah Jakarta Raya. Saat disepakati kenaikan upah minimum hingga 40 persen, kelompok pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), menolak menaikan upah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan Gubernur DKI Jakarta. Padahal keputusan gubernur itu sudah melalui proses Dewan Pengupahan, dimana Apindo juga terlibat di dalamnya. Akibatnya, ribuan buruh turun kembali turun ke jalan melawan kebijakan upah murah.
Tetapi aksi buruh tak hanya berlangung di pusat-pusat kekuasaan di ibukota negara. Rangkaian aksi itu terus menjalar ke pusat-pusat pemerintahan daerah kota dan kabupaten yang memberlakukan kebijakan upah murah. Ini berarti masalah perburuhan masih terus jauh dari selesai. Celakanya, pemerintah sepertinya belum melihat persoalan buruh sebagai prioritas. Baru setelah buruh marah-marah, lalu pemerintah membuka mata dan kupingnya. Belakangan, memang Presiden menegur para menterinya segera menyelesaikan persoalan buruh. Namun, teguran tanpa realisasi kebijakan yang berpihak pada kepentingan buruh itu tak lebih dari pencitraan semata. Persis kebiasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama ini.
Yang juga lucu dari respon pemerintah selama ini, persoalan upah selalu dijawab dengan mengakomodir kepentingan pengusaha. Misalnya, ketika buruh menuntut kenaikan upah, jawaban pemerintah justru menunda kenaikan upah minimum. Awal april 2013, Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, mengeluarkan usul mengejutkan. Ketua Partai Amanat Nasional (PAN), yang akan mencalonkan diri menjadi Presiden tahun depan ini, menyarankan upah buruh ditentukan Perusahaan. Hatta menilai itu lebih adil bagi pengusaha sesuai skala usahanya. Jika usulan gila Hatta Rajasa ini dijadikan kebijakan negara, itu artinya negara lepas tanggung jawab atas persoalan kesejahteraan buruh. Amanat konstitusi agar negara melindungi warga negara, dicabut melalui usulan ini. Nasib buruh diserahkan kepada mekanisme pasar yang impersonal, yang tujuan utamanya adalah meraih keuntungan setinggi-tingginya tanpa batas.
Secara empirik, bahkan ketika negara secara konstitusi berhak campur tangan dalam pasar, nyatanya nilai upah selalu mengalami penurunan nilai riil tiap tahunnya. Nilai upah riil menggambarkan daya beli dari upah yang diterima pekerja. Semakin tinggi upah riil, semakin tinggi daya beli upah buruh dan sebaliknya. Badan Pusat Statistik (BPS), Maret 2013, melaporkan penurunan nilai riil upah buruh industri sebesar 3,72 persen. Ini terjadi karena meningkatnya harga-harga secara umum akibat kenaikan harga bahan pangan. Inflasi harga pangan merupakan dampak ketergantungan pangan nasional terhadap produk pangan impor.
Perdagangan bebas
Dari waktu ke waktu persoalan yang diteriakkan buruh tak banyak berubah, berkisar antara upah murah, sistem kontrak dan outsourching, kebebasan berserikat, dan soal hak-hak normatif lainnya. Namun pemerintah menanggapinya bagai menjawab sebuah teka-teki besar yang tak terpecahkan sampai kapanpun. Fakta ini hanya menunjukkan bahwa prioritas pemerintah bukan untuk mensejahterakan buruh. Prioritas pemerintah adalah melayani kepentingan pengusaha dan memfasilitasi perdagangan bebas.
Apa hubungan perdagangan bebas dengan kesejahteraan buruh? Ada beragam teori yang menjelaskan hubungan itu, tapi dalam artikel singkat ini saya coba menunjukkan dampak praktisnya. Agenda utama dari perdagangan bebas antar negara adalah dihilangkannya hambatan-hambatan dalam perdagangan barang-barang dan jasa-jasa, termasuk jasa buruh. Kapitalis ingin agar mereka bisa membeli tenaga kerja buruh di pasar tenaga kerja semurah mungkin. Mereka juga menghendaki agar pasar tenaga kerja buruh lebih fleksibel sehingga mereka bisa berproduksi dengan biaya rendah, efisien, dan efektif. Realisasi dari pasar kerja fleksibel itu, salah satunya dengan mengurangi peran negara dalam melindungi dan mensejahterakan kehidupan buruh. Jika negara tak ikut mengatur upah buruh – seperti yang disarankan Hatta Radjasa, maka pengusaha bisa menggaji buruh semurah-murahnya atau memecat buruh kapan saja dengan dalih apa saja.
Mari lihat contoh penyediaan buruh murah di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). KEK dibentuk guna memfasilitasi perdagangan bebas sebagaimana komitmennya dalam integrasi kawasan ekonomi ASEAN. Tujuannya untuk menciptakan arus perdagangan yang efisien dan murah, termasuk tenaga kerja. Upah buruh di KEK Batam saat ini sebesar Rp.2.040 ribu, lebih rendah dari upah buruh non-KEK, seperti Jakarta, yang mencapai Rp.2.200 ribu. Seharusnya, upah buruh di KEK bisa lebih tinggi karena telah diberikan banyak insentif yang menguntungkan investor, seperti penghapusan berbagai macam pajak, penghapusan bea masuk, dan sewa lahan yang murah dibandingkan di kawasan non-KEK.
Hambatan lain yang dihilangkan perdagangan bebas adalah bea masuk produk impor. Bagi industri lokal ini bencana, sebab mereka bisa kalah bersaing dengan produk impor yang harganya jauh lebih murah. Akibatnya, banyak industri lokal yang bangkrut, seperti tekstil dan baja, dan buruhnya kehilangan pekerjaan. Apalagi, sejak berlakunya Perjanjian Perdagangan Bebas China-ASEAN, sejumlah 71 industri paku kawat Indonesia kalah bersaing dengan produk paku kawat impor dari China pada 2009. Hasilnya bagi buruh adalah PHK massal 1700 buruh di Indonesia.
Dengan pemaparan ini, maka persoalan buruh hari ini terkait erat dengan agenda perdagangan bebas. Apalagi Indonesia telah mengikatkan dirinya dengan perjanjian perdagangan bebas di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 1995, lantas menjadi bagian Integrasi Kawasan Ekonomi ASEAN pada 2003. Belum lagi perjanjian-perjanjian perdagangan bebas antara dua Negara (bilateral). Ini berarti, ke depan masalah perburuhan akan semakin kompleks, dan aksi-aksi buruh akan terus meningkat.
Bagi gerakan buruh, menyelesaikan persoalan buruh kemudian harus diletakan pada akar soal yang tepat. Buruh tak lagi hanya berhadapan dengan majikan sebagai individu, ataupun keberpihakan minus pemerintah. Buruh kini harus berhadapan dengan kapitalisme yang lebih luas, sistem perdagangan bebas. Oleh karena itu, tuntutan gerakan buruh hari ini tidak bisa lagi hanya sekedar menuntut pemenuhan hak-hak normatif. Tuntutan gerakan buruh sudah harus ditambah dengan tuntutan untuk menolak agenda perdagangan bebas dan segera mendesak pemerintah untuk membatalkan seluruh komitmen perdagangan bebas yang mereka setujui.***
Rachmi Hertanti, Manager Riset & Monitoring Indonesia for Global Justice; Peneliti di ‘Tim Garuda Gugat WTO’