DALAM beberapa waktu terakhir ini, media Indonesia memberitakan kasus tentang kemarahan warga Bantaran Waduk Pluit, Jakarta Utara, terhadap Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Thahaja Purnama alias Ahok, karena menuduh warga tersebut sebagai komunis.
Di zaman Orde Baru, tuduhan komunis jelas bukan perkara main-main, karena itu bisa berarti kematian hak-hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial dan budaya bagi si tertuduh. Karena itu, setelah kejatuhan rezim orba, seluruh elemen pro-demokrasi berusaha sekuat mungkin untuk tidak menggunakan kata komunis sebagai alat untuk memojokkan lawan-lawan politiknya. Pertama, karena faktor kesejarahannya yang berdarah dan brutal tersebut; dan kedua, karena memang telah terjadi pemutarbalikkan dan penjungkirbalikkan yang luar biasa terhadap sejarah gerakan dan pemikiran komunis itu sendiri.
Tentu saja tetap ada yang getol menggunakan kata komunis untuk menyerang atau menyingkirkan lawan politiknya. Siapa mereka? Tidak lain adalah tentara dan kalangan Islam Politik. Tapi, sejauh ini tuduhan-tuduhan komunis itu sudah dianggap sebagai lelucon belaka, sebuah cara berpolitik yang tak beradab. Mereka yang menuduh lawan politiknya sebagai komunis, pasti si penuduh dianggap sebagai politisi yang goblok dan tukang konspirasi.
Karena itu, saya heran mengapa Ahok berani sekali mengumbar kata-kata komunis dalam pertemuan-pertemuan resminya. Apalagi, pemahaman Ahok akan komunisme itu sepenuhnya salah. Ia mendefinisikan komunis bukan berdasarkan pada sebuah telaah teoritik yang mendalam, melainkan hasil dari logika utak atik gathuk-nya. Logika ngawur Ahok itu begini:
A: Tanah milik negara (legal).
B: Warga menduduki tanah negara (legal) tersebut secara illegal.
A+B: Karena warga yang digusur menuntut ganti rugi atas tanah negara yang didudukinya secara illegal tersebut, maka warga (oknum, dalam bahasa Ahok) tersebut adalah komunis.
Kalau pinjam bahasa gaulnya Ahok, saya mau bilang, ‘komunis nenekmu yang definisinya seperti itu.’
Darimana Ahok belajar atau membaca buku bahwa komunis itu adalah seperti yang disebutkannya itu? Kalau melihat usianya, yang kira-kira sekitar 40an tahun, maka bisa dipastikan pemahaman Ahok akan komunisme itu hasil didikan rezim orba. Ia mungkin masih hapal betul buku-buku Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) produk sejarawan ABRI atau sejarawan yang bersekutu dengan rezim orba. Dan karena Ahok sudah tak punya waktu lagi membaca secara serius (sesuai pengakuannya), maka pemahaman yang salah itu tetap melekat di kepalanya. Omongan Ahok yang keliru ini menjadi masalah karena ia adalah pejabat publik yang kini lagi digandrungi oleh banyak orang, sehingga walaupun omongan itu salah secara akademik maupun politik, bisa dianggap benar oleh publik.
Lalu apa makna komunis menurut Karl Marx dan Friedrich Engels? Saya menggunakan definisi kedua orang ini, karena mereka adalah pendiri sekaligus teoritikus utama gerakan komunisme. Engels mengatakan, komunisme adalah sebuah doktrin mengenai kondisi-kondisi pembebasan proletarian (kelas pekerja). Artinya, ini doktrin yang secara sengaja diperuntukkan buat kelas pekerja, bukan buat seluruh kelas. Dengan kata lain, tidak mungkin kelas kapitalis akan menggunakan doktrin komunis ini dalam upayanya melindungi dan memenangkan kepentingannya sebagai sebuah kelas. Kenapa demikian?
Di sini, kita mesti lihat bagaimana Marx dan Engels menganalisa corak produksi kapitalisme. Menurut keduanya, esensi kapitalisme itu adalah adanya dua kelas yang sangat dominan dalam masyarakat, yakni kelas yang memiliki (mengontrol dan menguasai) alat-alat produksi yang disebut sebagai kelas kapitalis; serta kelas yang hanya bisa hidup jika ia menjual tenaga kerja (alat produksi satu-satunya) kepada kelas kapitalis. Intinya, masyarakat kapitalis itu adalah masyarakat yang dicirikan oleh sistem kerja upahan. Tentu saja masyarakat kapitalis tidak hanya terdiri dari dua kelas ini. Yang dikatakan Marx dan Engels bahwa dua kelas inilah yang paling dominan untuk mengatakan bahwa inilah ciri dari corak produksi kapitalisme.
Dengan demikian, selama kedua kelas ini eksis maka kapitalisme tetap eksis. Tetapi, walaupun keduanya berhubungan satu sama lain, tetapi hubungannya yang paling mendasar bersifat konfliktual. Si kapitalis ingin terus menindas buruh, sementara si buruh ingin bebas dari penindasan tersebut. Nah, dalam konteks itulah maka komunisme memberikan panduan teoritik kepada kelas buruh untuk membebaskan dirinya dari penindasan kelas kapitalis. Tujuan dari perjuangan kelas buruh itu adalah terwujudnya masyarakat komunis, yakni masyarakat tanpa kelas, dimana tidak ada lagi kelas buruh dan kelas kapitalis. Karena ciri masyarakat berkelas adalah adanya kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi, maka dalam komunisme kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi harus dihapuskan. Mengapa harus dihapuskan? Karena kepemilikan pribadi itulah sumber dari tegaknya masyarakat berkelas.
Ketika dalam perjuangan itu kelas pekerja berhasil menang, maka mereka harus membangun sebuah sistem kekuasaan yang bisa menjawab permasalahan sosial, politik, ekonomi, dan budaya pada zamannya masing-masing. Marx dan Engels tidak berpretensi membangun sebuah sistem pemikiran yang telah lengkap dan sempurna dari A – Z, yang tidak boleh diubah oleh para pengikutnya. Yang dikemukakan keduanya bahwa dalam masyarakat pasca-kapitalis ini, hal pertama yang harus dilakukan oleh negara adalah menyediakan hak-hak paling mendasar bagi seluruh warga negaranya, seperti pendidikan, kesehatan dan perumahan gratis; dan tidak boleh ada lagi orang atau kelompok orang menjadi kaya karena menindas orang atau kelompok lainnya. Namun, karena masyarakat baru ini lahir dari reruntuhan masyarakat kapitalis, maka pada tahap ini insentif berbasis pasar tetap berlangsung, dimana ‘setiap orang dihargai sesuai dengan hasil kerjanya/to each according their work.’
Sebagai contoh jika ada dua perempuan buruh, yang satu memiliki lima orang anak dan yang lain hanya dua orang anak, jika keduanya sama-sama bekerja delapan jam sehari, maka pada setiap akhir bulan keduanya akan mendapatkan gaji yang sama. Jika perempuan buruh dua anak itu bekerja 9 jam, maka ia digaji satu jam lebih banyak dari perempuan buruh dengan 5 anak tadi. Tetapi, ketika kerja bukan hanya sekadar alat untuk hidup, tapi telah menjadi medium realisasi potensi kemanusiaannya secara bebas, sehingga konsekuensinya level produksi menjadi meningkat, maka adalah mungkin masyarakat diorganisir melampaui mekanisme penghargaan pasar, dimana penghargaan/reward tidak lagi berbasis pada kerjanya (berapa lama dan apa jenis kerjanya), tetapi sesuai dengan kebutuhannya (from each according their needs).
Kembali menggunakan contoh kedua perempuan buruh tersebut, maka pada tahap lanjut masyarakat komunis perempuan yang memiliki lima anak harus memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dari perempuan buruh yang hanya memiliki dua orang anak, walaupun jam kerja keduanya sama. Bukankah ini diskriminasi? Benar, ini diskriminasi dalam pengertian yang positif, bahwa penghargaan harus diberikan kepada mereka yang kebutuhannya lebih besar. Bagaimana jika seorang perempuan dokter dengan satu anak, apakah penghargaannya harus lebih kecil dari perempuan sopir bis dengan lima orang anak? Jawabannya adalah ya.
Dari prinsip inilah kemudian muncul kesalahpahaman yang luar biasa, bahwa komunisme itu bersifat totaliter karena tidak menghargai pencapaian individual; berprinsip sama rata sama rasa, karena semua orang, tanpa peduli kemampuan personalnya diperlakukan sama, yang artinya juga adalah totaliter. Saya mau menjawab kesalahpahaman ini: pertama tudingan itu keliru karena setiap orang kebutuhan mendasarnya telah disediakan oleh negara secara gratis pada masa-masa awal pengorganisiran masyarakat pasca-kapitalis; kedua, tidak ada lagi orang menjadi kaya karena menindas orang lain, yang berarti orang bekerja sesuai dengan keputusan personal yang bebas, karena kebutuhan dasarnya sudah sepenuhnya tersedia. Ia mau jadi dokter bukan karena adanya iming-iming uang segudang yang bakal diperolehnya, tapi karena ia memang senang menjadi dokter. Ini berbeda dengan masyarakat kapitalis, dimana keputusan untuk bekerja itu bersifat terpaksa karena suplai tenaga kerja jauh melampui kebutuhan pasar tenaga kerja, atau karena mimpi akan uang sekoper, sehingga orang bersedia kerja apa saja yang penting bisa punya uang untuk makan, bayar kuliah, bayar kontrakan, dsb.
Ketiga, masyarakat komunis ini bukan sesuatu yang bisa dipaksakan keberadaannya sejak awal masyarakat pasca-kapitalis terbentuk. Tidak ada satu kalimat pun dari Marx-Engels bicara soal ini. Bagi keduanya, masyarakat komunis itu adalah sebuah proses historis, yang akan berkembang sesuai dengan kondisi-kondisi historis pada masanya, seperti tingkat perkembangan teknologi, tingkat perkembangan ekonomi, sosial dan budaya, perjuangan kelasnya, serta kebijakan pemerintah yang berkuasa. Tidak ada sim salabim, abracadabra di sini.***
Coen Husain Pontoh, mahasiswa ilmu politik di City University of New York (CUNY)