Tanggapan terhadap M. Fajar
ARTIKEL M. Fajar sangat menarik untuk didiskusikan, terutama provokasinya untuk mempertajam debat kita ini. Dengan meminjam analisis sosiolog Olin Erik Wright, Fajar mengusulkan sebaiknya debat ini mulai memperhatikan tiga hal: pertama, analisis terhadap kondisi objektif, kedua penjabaran terhadap opsi-opsi perubahan menuju utopia yang mungkin ditempuh dan ketiga, analisis mengenai dampak dan dilema dari opsi-opsi tersebut.
Selanjutnya Fajar mengatakan, ketika kita menyodorkan opsi-opsi perubahan maka tiga hal berikut perlu dipertimbangkan: pertama desirability, kedua viability dan ketiga achievability. “Desirability mengacu pada apakah suatu opsi perubahan diinginkan dan mendapat dukungan luas dari publik. Aspek viability mempertanyakan apakah suatu opsi perubahan memang dapat dilaksanakan sesuai konteks sosial yang berlaku. Sementara itu, aspek achievability mempertanyakan kapasitas agen perubahan dengan pertimbangan terhadap kondisi struktural dan agen-agen lain yang menentang ide perubahan tersebut.”
Saya ingin menyambut ajakan Fajar ini, dengan mengajak anda untuk mendiskusikan sejenak apa itu sistem kapitalisme. Ajakan ini juga terinspirasi dari pernyataan pemikir progresif Muhammad Al-Fayyadl, dalam diskusi di Pembaca IndoPROGRESS yang mengatakan, kelemahan utama gerakan progresif karena masih bergerak pada tataran mikropolitik, penguatan kesadaran politis pada wilayah-wilayah yang sektoral. Masih menurut Fayyadl, dengan beragamnya isu yang bermunculan dan harus direspons, dari soal korupsi hingga naiknya harga cabe, kita nyaris tidak punya kerangka bersama yg memungkinkan isu-isu tersebut diletakkan dalam satu isu besar. Akibatnya, sangat sulit untuk menyatukan berbagai elemen pergerakan progresif yang menekuni dan mengadvokasi isu-isu sektoral tersebut. Untuk itu, Fayyadl mengusulkan kita mesti melampaui yang mikropolitik untuk mencapai titik minimal dari makropolitik.
Dalam semangat yang diusulkan Fayaddl ini, saya berpendapat tanpa memahami kapitalisme secara utuh, maka proposal yang ditawarkan Fajar bisa menjebak diskusi ini pada persoalan teknis dan parsial atau mikropolitik dalam rangka sebuah proyek politik pembebasan. Akibatnya, kita sibuk membuat daftar program apa yang mesti kita lakukan, apakah proyek yang kita gagas itu bisa diterima publik atau tidak, bagaimana parameter capaian-capaiannya, dan apa dampak-dampaknya.
Dengan memahami kapitalisme secara utuh, maka kita tahu dari mana kita bergerak dan ke mana tujuan kita. Sebaliknya, jika tujuan itu tidak kita ketahui, maka mustahil kita tahu jalan apa yang mesti dilalui. Konkretnya, dalam terang pemahaman akan kapitalisme, maka kerja-kerja mikropolitik selama ini memperoleh perspektif yang jelas dan utuh, sehingga memudahkan gerakan progresif untuk membangun aliansi bersama.
Kapitalisme sebagai sistem organik
Ekonom Isaac I. Rubin, dalam bukunya Essays on Marx’s Theory of Labor (1990), menulis karakteristik pemikiran Karl Marx dalam karya-karyanya selalu berusaha melampaui apa yang tampak dari luar (outward appearance), atau yang sekadar menunjukkan hubungan eksternal (external connection), atau bahkan yang hanya berupa fenomena permukaan (surface of phenomena), untuk kemudian menuju pada sesuatu yang berkaitan dengan hubungan internal (internal connection), hubungan yang bersifat imanen (immanent connection), atau menelisik pada esensi benda-benda (the essence of things).
Untuk memperjelas maksudnya, Rubin membandingkannya dengan karakteristik pemikiran ekonom vulgar, yang hanya mengkaji apa yang ‘terasing’ dari hubungan ekonomi, yakni yang obyektif, bentuk dari benda-benda yang siap pakai, bukan yang diambil dari karakter sosialnya. Mereka (para ekonom vulgar) melihat proses “personifikasi” benda-benda yang berada dalam penampakkan kehidupan ekonomi, tetapi mereka tidak memiliki gagasan tentang proses reifikasi (bendanisasi) hubungan produksi di antara orang-orang. Mereka mempertimbangkan kategori-kategori material, kondisi-kondisi dari proses produksi yang siap dikerjakan, yang berdampak pada motivasi produser dan yang terekspresi dalam kesadaran mereka, namun mereka tidak menguji karakter kategori-kategori material tersebut sebagai hasil dari proses sosial. Mengabaikan proses sosial internal ini, mereka membatasi dirinya sendiri pada hubungan eksternal di antara benda-benda sebagaimana hubungan ini muncul dalam persaingan.”
Konkretnya, bagi Marx esensi kapitalisme pertama-tama dan terutama adalah hubungan antar manusia, bukan hubungan antara manusia dengan benda, apalagi hubungan di antara benda-benda. Di sini hubungan antara manusia yang dimaksud adalah hubungan antara pemilik alat-alat produksi yang tujuan utamanya adalah meraih keuntungan tanpa batas, dan mereka yang terasing dari alat-alat produksi yang untuk hidup mereka harus menjual tenaganya kepada pemilik alat-alat produksi. Dalam Manifesto Komunis, Marx dan Engels menyebut yang pertama sebagai kelas borjuasi dan yang kedua sebagai kelas proletariat.
Hubungan kelas ini dimulai dari proses dimana borjuasi datang ke pasar untuk membeli tenaga kerja buruh pada harga tertentu. Di sisi lain, sejak buruh terlepas dari alat-alat produksi, maka untuk bisa hidup dan meningkatkan taraf hidupnya, mereka pergi ke pasar kerja untuk menjual tenaganya kepada borjuasi. Proses ini berakhir ketika terjadi kesepakatan. Dengan memiliki tenaga kerja, borjuasi berhak menggunakan, mengatur, dan mengontrol tenaga kerja tersebut untuk menghasilkan komoditi yang akan dipertukarkan di pasar. Dan seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, tujuan utama borjuasi di sini adalah akumulasi keuntungan tanpa batas. Artinya, bukan keuntungan itu sendiri yang penting, tapi keuntungan yang terus berulang dan membesar. Hari ini untung Rp. 100., besok keuntungannya menjadi Rp. 200., dst.
Tetapi, agar keuntungan lebih yang berulang semakin besar itu berlangsung, maka borjuasi tidak hanya memikirkan soal produksi (yang menghasilkan keuntungan) tapi juga reproduksi (yang membuat keuntungan menjadi kian berlebih). Pada titik inilah peran kelas pekerja bukan hanya menjadi produser barang tapi sekaligus menjadi konsumen. Melalui upah yang diterimanya dari borjuasi, mereka pergi ke pasar untuk membeli barang-barang yang diproduksinya. Pada sisi borjuasi, dengan terus berlangsungnya siklus produksi dan reproduksi kapital ini maka keuntungan semakin membesar, yang berarti sistem ini semakin kuat.
Menurut ekonom Michael A. Lebowitz dalam bukunya The Socialist Alternative Real Human Development (2010), hubungan produksi, distribusi, dan konsumsi ini merupakan karakteristik utama kapitalisme, dimana ketiganya saling mendukung dan memperkuat satu sama lain. Marx dalam Grundrisse (1993), menulis proses produksi dan reproduksi sosial itu ditandai oleh hubungan antara produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi. “Produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi bentuknya seperti silogisme reguler: produksi adalah keumuman (generality), distribusi dan pertukaran adalah kekhususan (particularity) dan konsumsi adalah keistimewaan (singularity), dimana kesemuanya ini saling menyatu. Karena karakteristik yang demikian, maka filsuf Istvan Meszaros dalam bukunya Beyond Capital (1995), menyebut kapitalisme sebagai sebuah sistem yang organik. Lebowitz sendiri menyebutnya sebagai sebagai linngkaran setan kapitalisme.
Lebih lanjut Meszaros mengatakan, sebagai sistem yang organik, kapitalisme dicirikan oleh: Pertama, CAPITAL, selain sebagai perwakilan dari kondisi-kondisi produksi material yang teralienasi, tapi juga – sebagai personifikasi kekuasaan material; kedua, BURUH, yang secara struktural tidak memiliki kontrol terhadap alat-alat produksi dan kondisi-kondisi produksi, reproduksi dan perluasan skala ekspansi kapital, dan pada saat yang sama – sebagai subyek rill dalam produksi dan personifikasi buruh- yang secara defensif menentang kapital; dan ketiga, NEGARA, yakni struktur yang secara politik mengelola sistem kapital yang antagonistik, yang merupakan benteng terakhir dalam menjamin keberlangsungan antagonisme yang tak terdamaikan ini, dan untuk menundukkan buruh, karena kekuatan buruh sangat berpotensi untuk meledakkan sistem ekonomi yang eksploitatif ini.
Dengan melihat kapitalisme sebagai sistem yang organik (sebagai linngkaran setan kapitalisme), maka Lebowitz menyimpulkan, “kita tidak bisa mengubah satu hal tanpa mengubah semuanya.” Artinya, tidaklah cukup melawan kapital dan kapitalisme dengan hanya merebut kekuasaan negara, atau sekadar berkutat pada pengambilalihan sektor produksi tanpa memperhatikan pentingnya sektor distribusi dan konsumsi, atau fokus pada sistem ekonominya namun mengabaikan pentingnya kekuasaan negara.
Perlawanan yang bersifat spontan dan partikular, pada saat tertentu bisa mengguncang bangunan struktur kapitalisme, tapi pada akhirnya kapitalisme berhasil merestorasi dirinya dan menjadi lebih kuat. Usaha-usaha pertanian organik, yang sebelumnya ditujukan untuk melawan produk pertanian anorganik yang merusak lingkungan, pada awalnya sanggup memaksa borjuasi untuk meredam penggunaan pestisida dan ramuan kimiawi lainnya secara besar-besaran. Tetapi, pada akhirnya pertanian organik ini menjadi komoditi baru di samping komoditi anorganik yang dipertukarkan di pasar. Perlawanan petani organik pada akhirnya diserap oleh sistem kapitalisme itu sendiri.
Penutup
Semua percakapan kita akan proyek politik pembebasan manusia ini, dihimpit oleh dua hal berikut: pertama, pengalaman kegagalan beberapa proyek politik yang menentang kapitalisme sebelumnya. Misalnya, eksperimen Sovyet Rusia, Cina, rejim sosial-demokrasi di Eropa Barat, dan proyek-proyek pembebasan nasional negara-negara Dunia Ketiga; dan kedua, ketika kapitalisme menjadi satu-satunya sistem yang hegemon saat ini, kondisi kehidupan manusia dan lingkungan hidup justru semakin memburuk.
Dengan demikian, tantangan kita adalah tidak mengulang kesalahan-kesalahan yang terjadi di masa lalu, sekaligus berusaha semaksimal mungkin untuk mengerti dan mengetahui mengapa kapitalisme tetap eksis agar bisa melawannya secara efektif.***
Coen Husain Pontoh
Mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York (CUNY)