Kredit foto: Kumparan.com
Tulisan berikut ini penulisan kembali pernyataan sikap bersama Aliansi Masyarakat untuk Keadilan (AMUK), BEM Seluruh Indonesia (BEM SI), Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak), dan Koalisi Masyarakat Sipil (KMS). Pernyataan sikap ini dikeluarkan untuk merespon tindakan kekerasan aparat negara secara sistematis dan diduga melanggar HAM terhadap massa aksi 30 September 2019
***
SETIAP masa transisi politik merupakan masa paling yang krusial dalam menentukan terlindungi atau terancamnya hak-hak rakyat. Pengalaman sebelumnya, masa injury time (detik-detik akhir) telah melahirkan UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan kemudian diubah menjadi UU No. 39 Tahun 2014.
Sudah menjadi pola yang dilakukan Pemerintah dan DPR RI untuk berlaku licik pada masa transisi sejak Reformasi 1998. Sederet undang-undang ini kemudian yang telah terbukti menjadi pintu dari serangkaian perampasan tanah rakyat, penghancuran lingkungan hingga ketimpangan ekonomi yang melahirkan Oligarki.
Terbukti berbagai UU di masa transisi itu telah memberi hadiah 13,9 juta hektar kepada korporasi dan elite oligarki. Jumlah hadiah itu nyaris setengah dari total jumlah izin yang diterbitkan sejak 1998 (30 juta hektar).
Masa transisi yang kita hadapi hari ini terkait dengan berakhirnya DPR dan Pemerintahan periode 2014-2019. Tanpa malu, DPR dan Pemerintah Jokowi-JK dengan bejatnya memunculkan sederet rancangan Undang-undang sektoral yang merugikan rakyat.
Akibatnya, tahun 2019 merupakan tahun paling parah dalam melaksanakan proses legislasi, di mana 6 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berpeluang merugikan rakyat diproses sekaligus, antara lain RUU KPK, RUU Sumber Daya Air (SDA), RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (SBPB), RUU Pertanahan, RUU Mineral dan Batu Bara (Minerba) dan RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Selain itu, UU SDA dan UU SBPB, secara substansi merupakan reinkarnasi dari UU No. 7 Tahun 2004 Sumber Daya Air dan UU No.12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman. Ironisnya, UU tersebut yang telah diuji dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi oleh akibat gugatan Petani dan Organisasi Masyarakat Sipil melalui Judicial Review, setelah terbukti bertentangan dengan UUD 1945.
Dengan disahkannya kembali substansi undang-undang ini tentu kembali mengakomodir kepentingan korporasi untuk memaksa petani dan rakyat Indonesia menjadi konsumen tetap perusahaan penyedia kebutuhan pertanian dan perusahaan air minum.
Tetapi, kali ini rencana jahat DPR RI dan Pemerintah mendapatkan gelombang protes besar-besaran dari kalangan mahasiswa, pelajar, petani, nelayan, buruh, masyarakat adat dan berbagai elemen masyarakat sipil. Metode aksi-aksi ekstra parlementer telah mendapatkan kemenangan kecil dengan dengan batal disahkannya, setidaknya, berbagai RUU yang tidak pro rakyat hingga 30 September 2019.
Sayangnya, oleh DPR RI berbagai RUU tersebut dioper/ dilanjutkan (carry over) ke DPR RI periode berikutnya. Lebih menyedihkan lagi, UU KPK, UU Sumber Daya Air dan UU Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan yang menyulitkan petani telah disahkan. Di sisi lain, DPR RI dan Pemerintah periode 2014-2019 hingga akhir masa jabatannya justru gagal mewujudkan hak rakyat bagi perlindungan dari kekerasan seksual.
Terus ditelantarkannya janji menuntaskan RUU Masyarakat Adat dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS merupakan sikap dari tidak seriusnya DPR RI dan Pemerintah dalam menjalankan mandat konstitusi. Selain itu, penegakan hukum dan pencabutan izin korporasi penyebab malapetaka asap selama ini tidak ditangani secara serius, tetapi justru mengorbankan petani di desa-desa.
Wajar bila rakyat menyatakan bahwa akibat tindakan jahat di masa transisi adalah bukti #ReformasiDikorupsi! Berbagai RUU yang dipaksakan DPR RI dan ditolak gerakan rakyat serta ditargetkan untuk disahkan pada periode ini, selain melemahkan KPK secara substansial juga mengarah kepada 3 hal mendasar :
- Melegalisasi kejahatan korporasi di sektor Sumber Daya Alam dan Lingkungan selama 21 Tahun terakhir.
- Memberi kesempatan perluasan penguasaaan Oligarki atas Sumber Daya Alam di Indonesia yang mengakibatkan perampasan sumber kehidupan dan ruang hidup rakyat di darat dan bahari.
- Memarginalisasi dan mengisolasi serta melucuti hak Veto Petani, pejuang HAM dan demokrasi, Nelayan, Buruh, kedaulatan Masyarakat Adat dan seluruh rakyat agar tidak melawan dominasi Oligarki yang menggunakan pendekatan militeristik hingga melakukan kriminalisasi.
Atas situasi Reformasi yang semakin bergejolak seperti uraian di atas, maka kami yang berhimpun dalam Aliansi Rakyat yang terdiri dari Koalisi Masyarakat Sipil (KMS), Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak), serta berbagai gerakan Mahasiswa dan Pelajar Menyatakan Sikap:
Pemerintah dan DPR RI telah terbukti gagal mengawal mandat Reformasi.
Sebaliknya reformasi dikorupsi oleh Pemerintah dan DPR dengan membawa politik, regulasi dan kebijakan Negara di bawah kendali korporasi. Partai Politik dan DPR RI telah gagal menyerap dan mengawal kehendak serta kebutuhan rakyat. Kami menyatakan “MOSI TIDAK PERCAYA” Kepada Pemerintah dan DPR RI.
Pemerintah dan DPR terbukti melakukan serangan sistematis dan meluas kepada rakyat dari berbagai latar belakang yang melakukan aksi-aksi “Reformasi Dikorupsi”
Hingga malam hari 30 September 2019, kami masih menerima berbagi laporan korban fisik dari peserta aksi massa. Selain itu juga masih banyak kepanikan karena tidak sedikit peserta aksi yang tidak bisa pulang karena terus diserang aparat dan intel (lihat tabel 1).
Tabel 1. Rekapitulasi Sementara Korban Kekerasan Aparat
Kami mengutuk dan meminta Negara segera menghentikan cara-cara penanganan dan respon aspirasi rakyat yang represif, dengan intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi, serta pelibatan buzzer yang mendistorsi informasi. Cara-cara ini semakin menjauhkan politik Indonesia dari mandat reformasi, membahayakan rakyat serta berpotensi melahirkan konflik horizontal (lihat tabel 2).
Tabel 2. Rekapitulasi Sementara Tindakan Kekerasan Aparat
Memberi waktu SEGERA kepada Pemerintah Jokowi sebelum pelantikan pemenang Pemilu 2019 untuk menanggapi dan menjawab “Mosi Tidak Percaya” dari kami Blok Politik Kerakyatan ini serta menjelaskan secara langsung dan terbuka kepada rakyat dalam bentuk musyawarah rakyat. Kami mengingatkan, bahwa cara-cara mengundang segelintir orang atau tokoh yang disangka bisa mengalihkan keresahan rakyat yang dialami selama ini tidaklah efektif.
Berdasarkan sikap politik di atas, kami menilai bahwa seluruh rakyat Indonesia perlu untuk memeriksa, mengawal dan menuntut mandat/Amanat tuntaskan Reformasi 1998, dengan cara terus bergerak (mobilisasi) dan mengonsolidasikan seluruh elemen rakyat dalam “Blok Politik Kerakyatan”.
Kita sudah sampai pada kebutuhan membangun partai politik alternatif sebagai jawaban terhadap kebobrokan partai-partai politik di DPR dan Pemerintah selama ini. Untuk itu revisi UU Pemilu menjadi tugas mendesak gerakan rakyat untuk memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi selama 21 tahun ini.***
Anwar “Sastro” Ma’ruf adalah Juru Bicara Koalisi Masyarakat Sipil Aksi 30 September, Sekjen Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI)