DUABELAS ruas jalur terlihat sesak. Mereka berlomba saling menghimpit. Pada barisan yang menuju utara sesekali bendera-bendera berkibaran di atas jendela mobil-mobil. Kebanggaan para imigran beterbangan. Kebanggaan nasional yang serupa tampak pada perhelatan piala dunia yang menyihir itu. Jalanan semakin bertambah sesak menuju jantung kota. Pertemuan pemimpin negara-negara G-20 di Toronto, Kanada yang berlangsung dari 25-27 Juni lalu, telah berhasil mengusir sebagian warga, yang kemudian memilih menyingkir meninggalkan Toronto.
Penutupan dan pengalihan jalan-jalan terasa mengubah ruang dan mobilisasi. Sudut kota kini berpagar. Tembok-tembok pengaman kokoh berdiri. Ia memagari lokasi tempat para pemimpin G-20 bertemu. Ribuan polisi bersenjata berat patuh kaku menjaga di sekelilingnya. Pagar-pagar itu berharga miliaran dollar. Mega-proyek yang berbuah untung bagi korporasi jasa konstruksi, jasa keamanan, dan penyedia peralatan militer.
Wajah Toronto berubah pekan ini. Kemewahan dan kesenangan di sana-sini kini lenyap, berganti hamparan zona militer. Aroma fasisme begitu terasa.
DI DEPAN pintu yang berwarna merah mereka berdiri mengantri. Satu persatu orang memenuhi Massey Hall, sebuah gedung kesenian yang terletak di downtown Toronto. Sejak siang ribuan orang telah turun ke jalan. Target aksi massa hari itu, Jumat 25 Juni, adalah mendirikan tenda di tengah-tengah kota.
Namun, apa daya. Koalisi organisasi dan ribuan massa akar rumput, serikat-serikat buruh, kaum komunis dan anarkis, mendapat perlawanan dari puluhan ribu polisi. Target aksi gagal. Tenda-tenda akhirnya berdiri di taman Allen, yang terletak di sisi Selatan jalan Carlton antara jalan Jarvis and Sherbourne.
Acara Gema Keadilan Global tidak hanya dihadiri oleh para peserta aksi. Publik Toronto ikut pula mengantri membeli tiket. Sore ini Massey Hall yang telah berusia 115 tahun itu menarik perhatian banyak orang.
Selain sebagai upaya menantang dan menjadi oposisi pertemuan G-20; acara ini bak ajang ‘provokasi’ para tokoh-tokoh alternatif Internasional. Dengan tegas mereka menentang segala bentuk kebijakan G8/G20. G-20 tak ubahnya pertunjukan sirkus. Berisi badut-badut yang terlihat kebingungan.
“Bukan saja mereka sangat membosankan, mereka tak tahu harus berbuat apalagi.”
“Sementara Uni Eropa bergerak ke arah lain. Amerika Serikat bergerak ke arah yang berlainan.”
Vandana Shiva, seorang aktivis-cum intelektual terkemuka dari India, dengan lugas menelanjangi ketidakberdayaan G-20. Sari yang ia kenakan malam itu berwarna ungu. Menurutnya persoalan dunia teramat besar untuk diputuskan oleh duapuluh orang saja. Dengan enam milyar penduduk di bumi, keduapuluh pemimpin tersebut, tidaklah benar-benar mewakili apa yang seharusnya menjadi masa depan umat manusia.
Korporasi raksasa yang semakin dominan dalam memengaruhi banyak kebijakan pemerintah, terbukti telah merusak alam dan habitat lingkungan hidup di berbagai belahan dunia. Tak ada jalan lain, kecuali menghentikan segala bentuk ekspolitasi itu. Yang merusak dan membunuh umat manusia perlahan-lahan.
Seruan menyelamatkan lingkungan juga datang dari Clayton Thomas-Muller, aktivis aboriginal dan tar sands campaigner yang bergerak dalam wadah Indigenous Environmental Network. Ia berapi-api mengingatkan bahwa tanah yang kita pijak malam ini adalah buah dari kolonialisme yang masih berjalan. Kolonialisme yang telah menindas nasib jutaan bangsa Indian-Amerika selama beratus-ratus tahun lamanya.
Amy Goodman dari jaringan radio independen terkemuka Amerika Serikat, Democracy Now! juga mengingatkan pentingnya melahirkan dan melibatkan publik untuk membuat media independen. Media-media besar dan media industri telah terkontaminasi kuasa dan modal. Bahkan mereka rela menjual demokrasi palsu kepada publik. Pada era keterbukaan informasi, media yang memiliki independensi dan menjunjung kejujuran, sangatlah diperlukan untuk membangun dunia baru.
USAI JEDA lima belas menit ruangan kembali gelap. Kini hanya panggung bercahaya termaram. Pertunjukkan perkusi oleh perempuan-perempuan Raging Asian Women (RAW) membuai suasana.
Dari empat pembicara yang tersisa salah satunya ialah, Pablo Solon, sang duta besar Bolivia untuk PBB. “Topik utama diskusi untuk permasalahan dunia kapitalis dan korporasi yang menguasai banyak negara adalah soal model. Pemerintah Bolivia kini menguasai 85 persen keuntungan dari usahanya menasionalisasi perusahaan tambang dan minyak asing. Untuk itu, kami, mampu menciptakan taraf hidup yang lebih baik bagi warga Bolivia. Pelan-pelan bersama rakyat Bolivia keadilan sosial itu lahir,” ujar Solon bangga.
Naomi Klein yang mengenakan pakaian serba hitam malam itu, mengulas kembali artikelnya yang terbit sepekan sebelumnya di surat kabar Globe and Mail, berjudul How Canada Made G20 Happen.
“Saya kira, penting untuk mengetahui sejarah lahirnya G20. Malam ini, saya ulas kembali di sini, apa yang telah dimuat oleh Globe and Mail pekan lalu. G20 lahir dari sebuah amplop yang berisi daftar negara-negara. Paul Martin dan Larry Summer pada akhirnya mengeyampingkan alasan regional power-geopolitical power. Atas dasar subyekfitas keduanyalah akhirnya lahirlah G20 (sebuah club) yang terkuat secara ekonomi,” ujar Klein.
“Saya bacakan kembali kutipan yang cukup menarik itu di sini: “Thailand was the nexus of the Asian banking crisis, but Indonesia was more influential in the region. Indonesia in; Thailand out. Chile was tempting, because it was democratic and well-run, but Argentina was a bigger player. Argentina got the seat. Saudi Arabia was strategically important and a good friend of the United States. The Saudis would get an invite,” lanjutnya bergelora.
Gema keadilan global malam itu ditutup dengan pidato Maude Barlow dari Councils of Canadians. Bersama-sama Klein, ia menyerukan kepada mereka yang hadir untuk bersedia rally menuju taman Allen, tempat dimana puluhan tenda-tenda para demonstran yang datang dari berbagai provinsi dan dunia terpancang.
Di bawah siraman sinar rembulan, ribuan orang pun bergerak menuju taman Allen. Sambil berteriak solidaritas dan mengecam pertemuan G-20 yang begitu mahal dan tak lagi ada gunanya.
Penangkapan dan penghadangan sempat terjadi hingga memicu ketegangan. Namun solidaritas dan semangat perlawanan yang tumpah ruah di taman Allen dirayakan dengan suka-ria.
HELIKOPTER berterbangan di langit Toronto. Satu persatu membawa pemimpin G8 dari tepi danau Huntsville. Sepanjang jalan, jalanan tampak basah. Udara pun terasa lembab.
Di kejauhan orang-orang keluar dari subway. Membuka payung dan merapihkan jas hujan. Mereka kemudian melebur ke dalam barisan sambil mendengarkan pidato Olivia Chow, anggota parlemen dari Partai Demokrat Kanda. Polisi bersepeda juga mulai berdatangan. Massa bertambah banyak memenuhi pelataran konsulat Amerika Serikat.
Hujan turun sedari pagi. Gedung-gedung pencakar langit menghilang dibalut pekat kabut. Pada hari itu, Sabtu, diperkirakan 10 sampai 15 ribu orang turun ke jalan menentang perhelatan para pemimpin G-20.
Kongres buruh Kanada, aktivis pecinta lingkungan, LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan trangender), Anarkis, Komunis, Komunitas Imigran, Aliansi Damai, Koalisi Anti Perang, dan Akivis untuk keadilan iklim, bersepakat untuk konfrontasi dan berlawan. Para pemimpin alternatif semalam juga telah berikrar. Inilah saatnya untuk menghentikan kerusakan oleh kapitalisme. Semangat berpendaran pada wajah-wajah meski di bawah gerimis hujan.
Aksi dan demostrasi aliansi sipil hari itu mendapat pengawalan yang teramat ketat. Sekira 10 ribu ribu anggota polisi mengepung barisan peserta aksi. Tak cukup mengintimidasi, sesekali pihak kepolisian memprovokasi dengan menangkap beberapa peserta aksi secara asal-asalan. Menghalau barisan massa dengan mengacungkan laras senapan.
Setelah memenuhi jalan-jalan utama kota Toronto, dirinai hujan, penduduk Kanada seperti disadarkan. Kota Toronto, telah disandera dalam bayangan militerisme yang kental. Pemerintah dan kelas berkuasa pada hari itu tak ubahnya segerombolan mafia yang didukung pasukan bayaran, lengkap dengan senjata dan penjara.
Pada jalan yang menuju Selatan, area tempat berkumpulnya para pemimpin G-20, sekelompok massa memutuskan untuk menerobos tembok keamanan. Mereka berkonvoi dengan satu komitmen, yakni konfrontasi. Setelah sehari sebelumnya mengancam akan menyerang para pemimpin G-20.
Dengan pakaian dan bandana serba hitam, mereka, membakar setidaknya enam-mobil polisi. Puluhan toko yang merepresentasikan perbudakan modern (sweat shop dan ketidakadilan) hancur berantakan. Kaca-kaca jendela dihujani lemparan batu serta hujaman palu. Beberapa bank dan anjungan tunai mandiri (atm) juga tak luput mengalami pengrusakan. Grafiti pun bertebaran pada tembok-tembok di pusat finasial Toronto.
“Perang Kelas!”
“Bom bank-bank itu sekarang”
“Kapital pembunuh!”
Cepat dan seakan terlatih, sekelompok massa memperagakan taktik black bloc. Mereka membelah Jalan Queen hingga tepi jalan Young yang penuh dengan toko-toko bermerek. Berlarian ke dalam barisan massa. Mencair begitu cepatnya menghindari kejaran polisi. Jejak mereka telah menghilang. Yang tersisa hanya potongan kain-kain berwarna hitam berserakan di jalan.
KEDATANGAN pemimpin G-20 harus dibayar mahal. Warga Toronto telah kehilangan kebebasan sipilnya setidaknya selama tiga pekan. Intimidasi, diskriminasi rasial, dan kekerasan pun dialami banyak orang. Pihak kepolisian dinilai terlalu berlebihan. Tak hanya peserta aksi, beberapa jurnalis juga mengalami intimidasi dan kekerasan oleh aparat. Dua miliar dollar, dua puluh ribu anggota polisi dikerahkan, merusak kesehatan demokrasi di Ontario.
Pihak kepolisian tak cukup berdalih semua demi pengamanan. Terlebih mereka begitu brutal dalam menghadapi para oposan. Semisal, sebuah rumah didatangi pada jam empat pagi buta. Satu keluarga harus mengalami acungan senjata dan ketakutan oleh serangan polisi yang membaibuta mencari-cari para pemimpin aksi yang menentang pertemuan G-20.
Penangkapan telah berlangsung selama dua pekan. Pihak kepolisian Toronto melempar dalih lainnya ‘penangkapan adalah bagian dari taktik pengamanan untuk mencegah demostrasi yang menggunakan kekerasan.’ Setidaknya 850 orang ditangkap. Dari mulai peserta aksi, Jurnalis, mereka yang tidak terlibat aksi, hingga penderita cacat mental. Mereka semua digiring dan dipaksa mendekam dalam bui.
Laporan-laporan dan keberatan kini beredar di media-media independen-lokal. Banyak cerita berbagai perlakukan diskriminatif hingga ancaman deportasi dikenakan kepada aktivis imigran dan organizer aksi lawan G-20. Pihak kepolisian tanpa malu lagi malah membangun wacana dan berkoar-koar mencari kambing hitam beserta berbagai pembenaran melalui media-media pendukungnya.
Minggu (27/6) para pemimpin G-20 mencapai kesepakatan final communiqué. Pada 2013 kedupuluh negara tersebut, bersepakat, memotong defisit hingga 50 persen. Angka ini, dalam konteks Indonesia, dengan defisit sekitar 2.1 persen atau sebesar Rp. 129.8 Triliun harus dipangkas hingga menjadi Rp. 64.9 Trilliun dalam waktu tiga tahun (2013). Caranya dengan memotong anggaran-anggaran belanja pada berbagai sektor publik.
Target ini kemudian direalisasikan melalui serangkaian kebijakan pemerintah antara lain, memotong subsidi BBM, memotong subsidi listrik (yang berkonsekuensi naiknya harga TDL), pemotongan anggaran kesehatan, memotong dana Jamkesmas, dan menunda berbagai proyek-proyek publik lainnya.
Hal inilah yang sejak dua tahun lamanya ditentang banyak orang di dunia. Ribuan orang yang turun ke jalan di Toronto dan jutaan orang pada peringatan hari buruh sedunia (1 Mei 2010), marah dan menolak untuk membayar krisis kapitalis. Mengapa mesti jutaan rakyat miskin dan rakyat pekerja yang akhirnya harus membayar semua kehancuran ini? Padalah krisis finansial yang melanda dunia sejak tahun 2008 silam adalah ulah para mafia perbankan dan tindak kejahatan korupsi yang menggejala pada korporasi-korporasi finansial raksasa Amerika Serikat. Subprime Morgate Crisis di Wall Street adalah biang kerok dari krisis-ekonomi-politik yang kini menghantam Yunani, memporakporandakan Thailand dan menghancurkan beberapa negara-negara miskin di Eropa lainnya.
Dengan kebijakan talangan (bailout) yang telah dilakukan oleh pemerintah AS dan RI; yang sukarela menolong beberapa bank, salah satunya bank century, maka secara ekonomi makro negara-negara anggota G-20 ini mengalami defisit anggaran sejak kebijakan talangan digelontorkan.
Kesepakatan mengurangi defisit sebesar 50 persen yang telah dicapai dalam pertemuan hari minggu itu, hanya menegaskan bahwa kitalah yang akhirnya dipaksa membayar dan menanggung krisis akibat ulah para mafia kapitalis global itu.***
Andri Cahyadi