ANALISA EKONOMI POLITIK
SETELAH membahas tentang model aliansi kelas dalam rejim neo-fasis dan rejim kapitalisme-neoliberal (di sini), kini saya mengajak anda untuk mendiskusikan tentang basis sosial dari rejim kapitalisme-neoliberal ini.
Namun, untuk dapat memahami basis sosial dari rejim kapitalisme-neoliberal ini, kita mesti kembali menengok ke rejim neo-fasis. Sebabnya, karena kedua rejim ini menerapkan sistem ekonomi-politik yang berkesinambungan.
Seperti telah saya kemukakan, penanda utama dari rejim neo-fasis adalah penggunaan secara maksimal dan massif aparatus represif negara untuk melayani produksi dan reproduksi kapital secara berkelanjutan. Dengan karakteristik seperti itu, maka basis sosial dari rejim neo-fasis ini adalah militer, polisi, dan birokrasi. Pada masa-masa akhir kekuasaan rejim neo-fasis orde baru, basis sosialnya berasal dari kalangan borjuasi lokal yang berwatak komprador dan reaksioner, serta kelas menengah yang penakut dan oportunis.
Sementara itu, bagian terbesar dari massa rakyat seperti buruh, petani, dan kaum miskin kota, tetap tersisih secara ekonomi dan tidak memiliki perwakilan politik.
Setelah rejim orde baru tumbang dan diganti rejim kapitalisme-neoliberal, basis utama penopang rejim ini tidak berubah: militer, polisi, birokrasi, kapitalis lokal dan kelas menengah. Perbedaan yang terjadi lebih pada aksentuasi atau pergeseran sekutu utama di dalam konfigurasi kelas. Misalnya, jika pada masa orde baru sekutu utama dari rejim dan korporasi imperial adalah birokrasi negara, seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Sekretariat Negara, dan BUMN maka di masa kini sekutu utamanya kapitalis lokal yang berfungsi sebagai yunior partner dalam rantai produksi dan reproduksi kapital itu.
Itu sebabnya, saat ini kita lihat dominasi borjuasi lokal dalam politik baik di tingkat nasional maupun lokal, sangat dominan. Bersama-sama dengan kelas menengah yang tersebar di kampus, partai politik, perusahaan-perusahaan, lembaga-lembaga riset, LSM-LSM, dan media massa, dominasi politik borjuasi lokal ini terasa sempurna.
Basis Massa
Bagaimana dengan kondisi massa rakyat? Seperti di masa orde baru, kondisi massa rakyat tidak berubah secara signifikan: terpinggirkan secara ekonomi dan minus representasi politik. Rejim ini hanya menghitung rakyat sebatas angka di bilik suara.
Yang menarik dari basis massa ini adalah fragmentasi politiknya yang sangat besar. Sehingga, walaupun secara ekonomi mereka sama-sama marjinal, dan secara politik tidak punya perwakilan politik yang konsisten menyuarakan kepentingannya, solidaritas di antara sesama mereka juga sangat rendah.
Misalnya, ketika buruh melakukan aksi demonstrasi menentang revisi UU Ketenagakerjaan, sangat sedikit dukungan berupa solidaritas dari petani atau kaum miskin kota. Demikian juga, ketika petani di serobot tanahnya, solidaritas dari kaum buruh dan kaum miskin kota hampir tidak ada. Bahkan, dalam beberapa kasus, massa kaum miskin kota dimobilisir untuk menyerang kelompok rakyat lainnya. Atau dalam kasus kekerasan yang dilakukan oleh FPI, sebagian besar massanya dimobilisir dari kalangan miskin kota, atau yang secara sarkastis disebut preman.
Bagaimana menjelaskan fenomena ini? Saya ingin mengutip Mike Davis, dalam bukunya yang sangat populer, “Planet of Slums” (2006). Dalam buku ini, Davis menunjukkan bahwa akibat penerapan kebijakan neoliberal di negara-negara berkembang, telah terjadi migrasi besar-besaran dari daerah-daerah pinggiran ke pusat kota. Hal ini menyebabkan jumlah penduduk perkotaan bertumbuh berpuluhkali lipat dari periode sebelumnya. Ia, misalnya, mencatat jika pada 1950 hanya ada sekitar 56 kota di dunia dengan populai lebih dari satu juta orang, kini jumlah penduduknya telah mencapai 400 juta, dan diperkirakan pada 2015 mencapai 550 juta. Untuk Jakarta sendiri, pada tahun 1998, jumlah penduduknya mencapai 24.9 juta.
Max Lane, dalam artikelnya “Indonesia and the Fall of Soeharto: Proletarian Politics in the “Planet of Slums” Era,” yang dimuat di jurnal WorkingUSA (2010), mencatat bahwa pada tahun 2000 lebih dari dua per tiga angkatan kerja perkotaan – antara 80 sampai 90 juta – bekerja di usaha menengah (antara 20-99 orang tenaga kerja), usaha kecil (5-9 orang tenaga kerja) dan industri rumah tangga (1-4 orang). Lainnya, 4-5 persen bekerja di sektor manufaktur yang mendatangkan nilai tambah. Mengutip data dari United Nations Industrial Development Organisation (UNIDO), Lane mengatakan buruh yang bekerja di sektor manufaktur hanya berjumlah sekitar 4 juta orang atau hanya 4 persen dari total angkatan kerja perkotaan yang mencapai 90 juta orang.
Ini berarti, bagian terbesar dari pekerja perkotaan adalah “Kaum miskin kota” atau oleh Davis, dengan meminjam terminologi dari Alejandro Portes dan Kelly Hofman, sebut sebagai “informal proletariat.” Max Lane sendiri menyebutnya sebagai “nonindustrial proletariat” dan James Petras menyebutnya “nonindustrial urban proletariat,” dimana bagian terbesar darinya disebut “subproletariat.” Menurut Lane, kelompok ini membagi gambaran yang sama dengan proletariat secara keseluruhan. Mengutip studi Bank Dunia, Lane menyebut ciri-ciri dari kelompok ini: 44 persen tidak memiliki akses kepada air bersih; 73 persen tidak memiliki akses kepada sanitasi yang memadai; 55 persen tidak lulus pendidikan dasar; 16 persen buta huruf; dan 21 persen hidup berkekurangan gizi.
Adapun secara politik, menurut Davis kelompok ini dicirikan oleh patronase atau keanggotaannya pada jaringan yang lebih dekat dengannya, seringkali dalam bentuk jaringan etnis preman jalanan; sangat tersubordinasi atas dasar hubungan klientalisme dan terfragmentasi berdasarkan hubungan etnisitas.
Adapun menurut Petras, dalam bukunya “Politics and Social Structure in Latin America” (1971), berdasarkan pada kedudukannya secara ekonomis, maka kelompok ini memiliki ciri-ciri politik sebagai berikut: ketergantungan personal dan paternalisme; sangat mengutamakan nilai-nilai ekonomistik dan individualistik. Jika kepentingan mendesak kelas pekerja industrial adalah peningkatan taraf hidup (kenaikan upah, asuransi, keamanan kerja, promosi, dsb), maka kaum miskin kota ini kepentingan mendesaknya adalah mencari pekerjaan di sektor industri atau sembarang tempat yang bisa memberikan pekerjaan yang tetap; atau mengamankan layanan kebersihan yang minimal. Inilah yang menjelaskan mengapa tidak muncul solidaritas di kedua kalangan ini.
Lebih lanjut Petras mengatakan, dalam lanskap politik nasional representasi politik kaum miskin kota ini tampak dalam ekspresi populisme, korporatis, atau kombinasi antara keduanya, ketimbang politik yang berbasis pada kelas.
Dengan ciri-ciri politik seperti itu, maka menurut Davis banyak anggota dari kaum miskin kota ini dimobilisasi untuk kepentingan kekerasan, baik yang berbasis etnis maupun religius. Tetapi, tidak berarti kita menyimpulkan bahwa kaum miskin kota merupakan basis sosial dari rejim kapitalisme-neoliberal. Sebaliknya, seperti rakyat ada umumnya, mereka adalah korban dari rejim ini.***
Coen Husain Pontoh
Mahasiswa Ilmu Politik di City Universiy of New York (CUNY)