SAYA lahir tahun 1987. Jadi, kira-kira hanya 11 tahun lamanya saya ‘menikmati’ narasi Orde Baru tentang Tragedi 1965, yang digelar tahunan lewat film Pembantaian G30S/PKI. Saya memilih kata ‘menikmati’ dan bukan ‘dicekoki’ karena saya sadar kalau saya tak mafhum dengan relasi kuasa dan pengetahuan pada masa itu. Selama beberapa saat, saya bahkan menganggap cerita-cerita tentang Tragedi 1965 yang dinarasikan penguasa pada masa itu sebagai suatu kebenaran yang heroik.
Bulan Oktober 2012, pagi hari: saya akhirnya menonton film the Act of Killing besutan Joshua Oppenheimer, yang akhir-akhir ini menjadi pusat perhatian di tanah air. Banyak ulasan berpendapat betapa kontroversialnya film ini dan betapa pentingnya bagi anak bangsa untuk mengintip masa lalunya melalui pengakuan-pengakuan para jagal 1965, setelah bertahun-tahun kita hidup dalam bayang-bayang diam dan penolakan. Setuju. Namun demikian, saya lebih tertarik membahas proses bagaimana saya terekspos dengan versi kebenaran lain, yaitu kebenaran Anwar Congo dan kawan-kawan, yang mungkin masih tergolong dalam narasi dominan tetapi sudah kehilangan sisi heroiknya.
Ketika masyarakat di negara-negara pasca-rejim otoriter seperti di Afrika Selatan, Argentina, Chile, dan Peru atau di negara-negara pasca-konflik seperti Guatemala, Kamboja, Rwanda, dan Timor Leste mengetahui sebagian besar kebenaran tentang masa lalu mereka dari penuturan-penuturan para korban, saya mengetahui sebagian kebenaran tentang masa lalu bangsa saya dari mulut sang penjagal. Apa artinya? Apa konsekuensinya? Kalau para penjagal saja sudah mengakui kejahatannya, lalu kebenaran macam apalagi yang harus kita cari? Masih dapatkah kita berbicara mengenai keadilan dan Hak Asasi Manusia (HAM), apabila kita berhadapan dengan para penjagal yang tak merasa bersalah, negara yang cuek, masyarakat yang cukup apatis, dan korban yang sebagian besar nyaris tidak berdaya?
Mengetahui vs. Mengakui
Salah satu perdebatan menarik dalam studi-studi mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) terjadi seputar proses ‘penemuan’ hak itu sendiri. Kapan diskusi mengenai HAM dimulai? Pada titik apa seseorang mulai sadar bahwa sebagai manusia, ia memiliki hak-hak yang sifatnya asasi? Lynn Hunt dalam bukunya Inventing Human Rights: A History (2007) percaya bahwa wacana mengenai HAM mulai menarik perhatian publik pada jaman Revolusi Perancis dan akhirnya terkodifikasi dalam Konstitusi Perancis dengan istilah rights of man. Meskipun demikian, hasil telusuran Hunt menunjukkan bahwa istilah rights of man sudah dipakai jauh sebelum 1789. Istilah ini muncul pertama kali dalam buku Social Contract karya Jean-Jacques Rousseau.
Apa yang membuat masyarakat Perancis dapat menerima wacana mengenai HAM pada masa-masa itu? Kemarahan yang semakin memuncak di kalangan kelas bawah terhadap kelas atas dan para pemuka Gereja yang senantiasa menikmati ‘hak istimewa-nya’ sendiri, tentu memiliki andil dalam penciptaan wacana bahwa hak yang melekat pada manusia semestinya bersifat universal dan setara antara satu manusia dengan manusia yang lain. Akan tetapi, Hunt berargumen bahwa wacana mengenai HAM diterima publik Perancis bukan semata-mata karena kemuakan mereka terhadap kaum aristokrat. Di tataran psikologis, masyarakat Perancis menerima ide mengenai HAM karena mereka mulai bisa berempati dengan penderitaan orang lain. Menariknya, rasa empati ini dipupuk melalui novel-novel romansa seperti Julie atau Heloise yang ditulis Rousseau setahun sebelum ia merampungkan Social Contract.
Novel-novel semacam Julie dan Heloise (1761) atau Pamela (1740) dan Clarissa (1747), karya penulis berkebangsaan Inggris Samuel Richardson, memiliki cara bertutur yang sama, yaitu dalam bentuk surat yang ditulis oleh karakter-karakternya (epistolary). Dengan mengisahkan sesuatu melalui sudut pandang orang pertama, Rousseau dan Richardson mengijinkan pembaca untuk mengikuti perkembangan kepribadian setiap karakter dalam karya mereka. Pembaca tidak hanya diajak membaca tetapi juga seolah-olah mendengar curahan hati si tokoh utama secara langsung, baik ketika ia gembira, sedih, maupun tersiksa. Pembaca pun ‘dipaksa’ memahami ‘a long history of struggle behind those normal individuals‘ dan bahwa setiap orang memiliki otonomi untuk berpikir dan bertindak demi dirinya sendiri, meski terkadang pikiran-pikiran itu hanya tertuang dalam surat (Hunt 2007, 28).
Argumen bahwa empati menjadi titik awal pengakuan HAM memang menarik. Meskipun demikian, thesis Hunt tersebut tak serta-merta luput dari kelemahan. Rasa empati bisa jadi hanya mendorong manusia untuk sekedar mengetahui dan memahami penderitaan orang lain. Berempati tidak serta merta berujung pada pengakuan bahwa seorang korban kekerasan sejatinya adalah seseorang yang haknya terlanggar. Dengan demikian, apapun yang dilakukan untuk mengembalikan hak si korban merupakan hasil dari kedermawanan, bukan sebagai bentuk pemenuhan rasa keadilan. Karena itulah, komentar Pramoedya Ananta Toer terhadap permintaan maaf dari Gus Dur bisa diterima. Apa artinya kata maaf kalau tidak disertai dengan keadilan? Apa artinya mengetahui dan mengakui kesalahan di masa lalu, kalau tidak disertai dengan pengakuan bahwa ada orang-orang yang haknya terlanggar dan dengan demikian harus diperbaiki dengan mekanisme yang mungkin lebih kompleks dari sekedar kata maaf?
Mendengar cerita tentang Tragedi 1965 dari sudut pandang jagal, juga menyimpan resiko yang tak kalah besarnya. Betul, cerita-cerita mereka membawa bangsa Indonesia selangkah menjauhi diam dan penolakan. Akan tetapi, sejauh apa cerita-cerita ini membuat kita mengakui bahwa ada korban yang haknya terlanggar? Jangan-jangan, cerita para penjagal hanya mampu mengajak kita sebatas mengetahui seberkas kebenaran. Jangan-jangan, cerita para penjagal hanya membuat hati kita tersayat-sayat tanpa serta merta mendorong kita untuk memperjuangkan hak-hak para korban yang terlanggar.
Tantangannya kemudian adalah bagaimana membuat semakin banyak orang sadar bahwa proses pengungkapan kebenaran mengenai Tragedi 1965, sama sekali bukan soal tuduh menuduh siapa yang mengangkat senjata terlebih dahulu, tetapi soal pengakuan bahwa ada jutaan orang yang terlanggar haknya. Ini memang bukan pekerjaan mudah. Mendengar satu narasi kebenaran saja tidaklah cukup. Maaf pun takkan pernah bisa menggantikan keadilan. Terlebih lagi, tidak semua orang memiliki akses sama terhadap sumber daya yang diperlukan untuk mengklaim haknya. Pengakuan HAM butuh lebih dari sekedar keinginan untuk mengetahui kebenaran, pengakuan HAM butuh keadilan, dan keadilan perlu diperjuangkan!***
Ayu Diasti Rahmawati, mahasiswa pasca sarjana di The New School, New York