DALAM buku Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920, ada catatan yang nyempil. Sepertinya remeh. Kalau tak jeli membacanya akan terlewati; sering kali kita lebih terangsang oleh kata semacam ‘berontak’ atau mungkin ‘mogok.’ Gie menandainya dengan kepala: Wabah Penyakit Pes.
Apa kelindan antara pes dan Sarikat Islam [SI] Semarang? Pes, kita tahu penyakit yang dibawa tikus. Lantas? Rupanya Gie ingin mengajak berpikir sederhana: radikalisasi gerakan [kiri] tak melulu hadir lewat isu ‘besar’; semacam anti kapitalisme, misalnya, atau nasionalisasi perusahaan asing, atau penggulingan kekuasaan. Memang, isu-isu besar itu terdengar wah; terasa radikal, kiri banget, atau bisa membuat diri menjadi gembung karena merasa sebagai pengikut setia Marx dan Lenin. Tapi, terus terang, semua itu tak selalu dimengerti oleh jembel, orang miskin, buruh rendahan, tukang becak, sopir angkot, pembantu rumah tangga atau pelacur pinggir rel Jatinegara—yang konon katanya, kepada merekalah perjuangan dipersembahkan.
Sepertinya, hanya film kartun yang membuat tikus tampak lucu. Mickey Mouse atau Tom and Jerry, misalnya—membuat kita terpingkal walaupun sering terselip ironi. Di luar itu, tikus dijauhi. Tapi, tak berlaku bagi SI Semarang. Organisasi ini malah menyambut kedatangan tikus. Kejadiannya begini:
Tahun 1917. Bencana mengurung Kotapraja Semarang. Wabah, di tahun-tahun itu persis gerombolan pencoleng; datang begitu saja. Pun, dengan pes. Gedoran serba mendadak menimbulkan kehebohan, panik. Tak ada yang siap. Warga sempoyongan. Pemerintah kelabakan. Tikus-tikus seperti bulir-bulir padi yang ditumpahkan dari tampah. Berkeliaran sesuka hati. Sanitasi di kawasan itu memang jelek. Jorok. Rumah berjejal. Lorong-lorong becek. Sinar matahari terhalang masuk ke dalam rumah. Udara pengap. Tempat itu persis Taman Eden bagi bangsa tikus.
Sayang, ketika wabah pes semakin mengganas, tak ada dokter Rieux—dokter dalam novel Albert Camus: La Paste (Sampar)—yang dengan gigih berusaha mencegah penyebaran penyakit itu, melawan, bertahan dan mengusir. Darsono punya catatan—ia mengutip sumber kotapraja—selama tiga bulan pertama dan kedua, sekitar 1.103 orang tewas. Korban paling banyak terjadi di daerah Maranggen dan Karungan.
Tentu ini tentang kepintaran. Maksudnya, kecerdasan dalam menangkap momentum. Kata “momentum” sering disamakan dengan ‘kesempatan baik.’ Mungkin bisa juga berarti ‘peluang.’ Artinya, ia hadir tak sembarang waktu dan tempat, tak terulang, dan lekas lewat. Hanya yang bergegas dan sigaplah yang dapat. Dan, SI Semarang yang dapat meringkusnya.
Semaoen, ketua SI Semarang memang propagandis ulung. Organisasi ia arahkan memborbardir pemerintah yang tak becus menangani wabah pes. Tikus menjadi alat politik. Tikus digunakan untuk menguliti kebobrokan pemerintah kolonial. Arah peluru tepat pada sasaran. Yang tertindas bergabung. Bagi organisasi revolusioner, keberhasilan agitasi-propaganda—sering disebut hasutan bagi yang anti kiri— jelas ukurannya. Pun, SI Semarang: setelah ‘aksi tikus’ itu keanggotaannya berlipat dari seribu tujuh ratus pada tahun 1916 menjadi duapuluh ribu pada tahun 1917.
Semaoen dan SI Semarang mungkin semacam pusara, kini; tempat orang-orang kiri berziarah ke masa lampau. Waktu telah berubah. Aktivis kiri yang suka nongkrong di Kalibata [semacam Jalan Cisadane 6, Jakarta; sarang PSI zaman dulu], misalnya, lebih suka bicara tentang pencalonan Ini atau Itu. Tikus telah hilang bersama gelak tawa, asap rokok, dan elusan di kepala yang rambutnya terkena pembalakan liar. Tak enak juga dalam keayeman bicara tentang tikus. Bahkan seorang pelukis kerakyatan yang menuntut ilmu di Taman Impian Makelar—yang kadang ikut berkumpul di tempat itu—ikut-ikutan berubah arah kiblatnya. Sekarang ia tak mau lagi melukis tikus; ia memilih melukis wajah gagah mantan Ketua Partai. Memang ada plang dengan cat tebal menggandul di pintu masuk: tikus dilarang masuk.
Partai Sosialis Indonesia (PSI) sepertinya perlu disebut. Partai besutan Sutan Sjahrir ini sering diledek oleh PKI sebagai partai kaum sosialis yang suka dansa-dansi sambil memperbincangkan kemiskinan rakyat. PKI mengolok-oloknya Soska (sosialis kanan). Mungkin PKI keterlaluan, tapi tak seluruhnya luput.
Ada kepercayaan di kalangan PSI—semacam iman: perubahan bisa dilakukan dari atas. Artinya, seperti orang mengecat tembok: lakukan dari atas baru bertahap ke bawah. Elit politik yang menentukan hitam-putih sebuah bangsa. Rakyat hanya anak wayang; cukup digerakkan kala perlu, sesuai lakon.
Frasa mengubah dari atas telah menjadi semacam mata angin baru bagi [sebagian] aktivis kiri. Sulit mencari jawab. Mereka dulu begitu geting terhadap PSI, mencemooh dan menghardiknya, tapi sekarang mengikuti jejaknya. Menebak kenapa mereka sekarang tak sungkan lagi memakai topeng ‘kaum sosialis salon,’ memang tak semudah menerka isi buah manggis. Kalau begitu, biar Gusti Allah yang memberikan jawaban.
Sekarang, bagi mereka itu, jalan kaum kiri cuma dua: masuk partai politik yang ada atau bertempur lewat jalur independen—istilah ‘independen’ itu menyiratkan gerakan politik seperti Si Buta dari Gua Hantu yang hanya bergantung pada monyet di pundaknya.
Ada sedikit kisah lucu. Alkisah ada orang kiri yang berhasil masuk ke lingkaran istana. Tapi perilakunya ganjil. Setelah masuk istana, ia seharusnya bisa ‘mengubah dari atas’—sesuai mimpi awalnya—tapi malah melakukan stand up comedy; ia sibuk mengorek-ngorek tanah mencari Piramida. Mungkin, ia ingin mencari petunjuk praktis di dalam lorong Piramida itu: cara gampang mewujudkan sosialisme setelah berhasil berada di sisi Raja Kerbau Bule.
Kini [oleh sebagian orang-orang kiri] politik kiri berubah sekadar kasak-kusuk tentang kursi. Sebab itu: ‘Mari kita dukung si Anu dan si Itu. Dia bersih lho. Anti korupsi. Masih muda dan cakep lagi. Bla bla bla. Biar dapat kursi di… Biar menjadi …Mari kita bikin tim sukses. Siapa yang mau jadi sukarelawan [artinya, rela tak dibayar] mari gabung. Ini demi perubahan lho’—itulah cericit yang terdengar. Biasanya, dalam tradisi kiri ada perbincangan tentang geopolitik, terbitan yang perlu ditebarkan, atau pustaka seperti apa yang tepat untuk saat ini, atau karya apa yang cocok diterjemahkan sebagai bahan bacaan untuk rakyat. Ada pula debat tentang basis merah dan teori-teori kiri. Sekarang, semua itu tak akan dijumpai. Mungkin hal tersebut sudah dianggap uzur, kuno, dan bertele-tele. Toh, semuanya bisa terselesaikan lewat sosial media, atau memoles lewat survey.
Ada sebuah kejadian yang bisa dijadikan benang merah. Garis memang bisa ditarik. Masih tentang tikus, tentunya.
Seorang anggota Barisan Tani Indonesia [BTI] di Blitar Selatan pernah bercerita. Katanya, pada tahun 1960-an tikus-tikus menyerang persawahan di daerah itu. Hasil panen turun. Petani puyeng. BTI—keluarga PKI—bergegas mengatasi wabah tersebut. Sederhana program mereka: Berburu Tikus. Kerja ini ternyata membuat gayung bersambut. Tak muluk memang—mirip-mirip kerja bakti memperbaiki gorong-gorong.
Sebut saja itu Strategi-taktik [stratak] Tikus. Stratak itu berhasil dilakukan oleh SI Semarang dan BTI. Kuncinya: bisa menghancurkan pagar-pagar sektoral. Di sawah ada tikus, di kontrakan buruh ada tikus, di rumah-rumah kumuh ada tikus, di got-got ada tikus. Di mana tempat yang tak ada tikus? Di setiap teritorial pasti ada tikus. Karena itu, ia jadi musuh bersama—epidemi. Sebagai lawan bersama, tikus akan dikejar-kejar dari segala penjuru. Tak peduli berbaju tani, buruh, mahasiswa, sampai jembel akan bersatu mengepung tikus.
Kalaupun semuanya telah bergeser, tak perlu muram. Ada generasi kiri—yang lahir kemudian—masih peduli dengan Stratak Tikus. Kata-kata dokter Rieux dalam La Paste [mungkin mereka jadikan pegangan]: ‘Bila kita melihat penderitaan yang diakibatkannya, hanya orang gila, buta atau pengecut yang menyerahkan diri pada sampar.’
Generasi itu mengumpulkan yang lain, membentuk organisasi, memerangi ‘tikus’: memperjuangkan akte kelahiran warga miskin, membangun daerah bebas sampah, mendampingi orang tak punya masuk rumah sakit sampai mengusahakan beasiswa bagi yang tak bisa sekolah; maaf kalau klise, tentu saja semua itu bermuara pada perluasan struktur, agitasi-propaganda, pembangunan front dan aksi menuntut. Sepertinya apa yang dilakukan itu banal, tanpa heroisme, tapi mereka inilah yang akan meletakkan ‘kaum sosialis salon’ ke ujung lorong gelap.
Sebagi penutup, tak ada salahnya kita sedikit nge-rap—sekadar mengendorkan otot-otot yang sempat kaku:
‘… jalani jalan yang becek
mereka terus berjalan
terus berjalan mencari apa-apa
saja yang dapat dimakan
tikus tikus got saling melotot
menyerobot’ [Tikus Got, by: Iwa K]***
Lereng Merapi, 15 Nopember 2012