SEKITAR awal bulan Juni lalu, di halaman Facebook kawan saya, yang juga anggota redaksi Jurnal IndoPROGRESS, mendadak muncul gambar, poster, dan pesan tentang sosok Jokowi-Basuki. Spontan saya tanya kepada kawan saya tersebut, ‘apakah kamu aktif mendukung pasangan ini?’ Ia menjawabnya ‘ya. Kembali belajar bagaimana mengorganisir.’
Setelah percakapan singkat itu, saya tidak pernah lagi berkomunikasi dengannya soal aktivitas politiknya yang baru ini. Saya tidak mempertanyakan alasan dia mendukung pasangan nomor urut tiga (3) itu, dan kontorversi yang mengikutinya. Sama seperti saya juga tidak mempertanyakan alasan kenapa beberapa kawan saya yang lain mendukung calon independen Faisal-Biem. Sampai kemudian, hasil pemilu kepala daerah pada 11 Juli, memperlihatkan pasangan Jokowi-Basuki unggul telak atas pasangan lainnya.
Tak pelak, kemenangan mengejutkan Jokowi-Basuki di putaran pertama pemilu gubernur DKI Jakarta ini, telah menimbulkan debat yang cukup ramai, terutama seputar melesetnya perhitungan banyak lembaga survey dalam pesta demokrasi ini. Ketika saya mengucapkan selamat pada kawan saya tersebut, ia menjawab ‘ini memang di luar perkiraan.’
Namun demikian, dalam artikel ini saya akan melihat sisi lain yang luput dibincangkan berkaitan dengan kemenangan pasangan nomor urut tiga (3) itu. Dalam hal ini, saya akan membahas pasang surut politik pencitraan (image politics) yang mendominasi kehidupan politik pasca runtuhnya rezim kediktatoran orde baru. Menurut saya, politik citra inilah yang sesungguhnya lebih penting didiskusikan ketimbang terlalu fokus pada peran lembaga survey yang kontroversial itu. Alasan saya, lembaga survey menjadi begitu penting posisinya dalam lanskap politik pasca kediktatoran orde baru, karena ia memperkuat dominasi politik pencitraan tersebut.
Dominasi politik citra
Setelah bebas dari kediktatoran orde baru, kehidupan politik Indonesia berlangsung hingar-bingar. Dari keramaian politik itu, satu hal yang sangat menonjol adalah munculnya tradisi politik baru yang sama sekali berbeda dengan tradisi politik sebelumnya, yakni politik citra (image politics). Politik citra ini, terutama menonjol dan selanjutnya menjadi dominan dan menentukan kehidupan politik Indonesia, pada pemilu presiden 2004 yang memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai presiden.
Filosofi mendasar di balik dominasi politik citra ini adalah ide atau gagasan menentukan realitas. Kenyataan adalah hasil dari persepsi yang diproduksi oleh otak, dan karenanya persepsi itulah yang mesti dibentuk pertama kalinya. Dengan dukungan media massa (televisi, koran, radio), iklan, dan kini sosial media, politik pencitraan ini menjadi tujuan yang ingin dicapai oleh setiap partisipan politik. Misalnya, sangat sering kita mendengar bahwa SBY memenangi kontestasi pemilu karena ia sukses menjual citra dirinya lebih baik ketimbang kontestan lainnya. Sebaliknya, beragam sumpah serapah ditujukan kepada SBY ketika ia lebih mementingkan citra dirinya tinimbang mengurusi soal-soal yang sangat penting dan mendesak bagi kebutuhan rakyat,
Namun demikian, kontradiksi ini tak melunturkan keyakinan para politisi, pengamat politik, pelaku survey, maupun pekerja media bahwa kini merupakan eranya politik pencitraan. Tak heran, di hampir semua kegiatan pemilihan (provinsi, kabupaten, dan kotamadya), citra diri kandidat menjadi perhatian utama. Milyaran dana dikeluarkan untuk memoles sang kandidat agar tampil meyakinkan di hadapan calon pemilih. Bagaimana cara ia berpakaian, cara berbicara, tata panggung, iklan yang pas, acara-acara yang mesti dikunjungi, semuanya direncanakan, diatur, dan diukur secara kuantitatif. Kalau memang tampil lucu lebih menguntungkan, maka si kandidat diharuskan bisa melucu. Kita tentu ingat, bagaimana SBY mendadak jadi biduan agar ia bisa meraih suara pemilih pemula.
Dampak politik citra
Lalu, apa masalahnya dengan politik citra ini? Bukankah wajar jika seorang kandidat presiden, gubernur, walikota, atau bupati tampil sempurna di hadapan konstituennya?
Sayang pertanyaannya bukan soal-soal demikian, karena kita tahu tidak ada yang salah dengan pertanyaan itu. Yang jadi soal dari politik citra, sebagai sebuah keyakinan (gairah dan tujuan) berpolitik adalah: Pertama, kecenderungannya untuk menampilkan hal-hal yang bersifat fenomenal dan permukaan sebagai hal yang utama ketimbang hal-hal yang bersifat substansial dan struktural. Sebagai contoh, dengan menampilkan citra sebagai seorang biduan, konstituen akhirnya melupakan aspek yang lebih penting dari kandidat, yakni rekam jejak (track-record) dalam berpolitik. Konstituen akhirnya lebih mengetahui SBY sebagai seorang penyanyi yang bersuara emas, pandai mengambil hati penonton, mudah tersenyum, yang intinya SBY adalah pemimpin yang peramah dan rendah hati. Bahwa ia adalah seorang jenderal abdi setia Soeharto, tak lagi penting. Bahwa ia adalah orang yang mendukung penuh kebijakan neoliberal, tersapu oleh suara emasnya di atas panggung;
Kedua, politik citra menempatkan poltik sebagai urusannya para elit. Di sini, maju mundurnya kehidupan politik ditentukan oleh kontestasi di antara para elit, sehingga rakyat kemudian mau tak mau harus memilih salah satu dari sekian kontestan yang datang atau ditentukan oleh para elit itu. Rakyat tidak lebih sebagai obyek elit, pelaku penggembira dalam sebuah pesta demokrasi lima tahunan, dan berkuasa penuh atas keputusannya hanya selama ini berada di bilik suara;
Ketiga, politik citra ini telah menjadikan partai politik semata-mata sebagai mesin pemenangan pemilu, kereta kencana para elit untuk menuju singasana kekuasaan. Fungsi-fungsi kepartaian, seperti fungsi kaderisasi, pendidikan, dan pemersatu konflik sama sekali tidak berjalan efektif. Akibatnya, kita melihat secara kasat-mata fenomena kutu loncat di kalangan politisi, kaderisasi yang macet, dan asal bapak/ibu senang. Di era politik citra ini, apa yang dianggap penting dan satu-satunya tujuan bagi partai politik adalah bagaimana memenangkan suara di setiap ajang pemilu. Dan karena itu, misalnya, rekrutmen politik lebih mendahulukan siapa figur yang berpotensi bisa mendulang suara. Sepintar dan seloyal apapun anggota parpol, tidak menjadi jaminan bahwa dirinya bisa dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dan yang tak kalah penting, parpol sebagai sekolah politik, sebagai wadah latihan berpolitik bagi rakyat tak berfungsi sama sekali;
Keempat, konsekuensi dari parpol yang hanya menjadi mesin pemenangan pemilu, maka masalah ideologi hanya menjadi merek dagang, untuk menarik suara konstituen. Parpol boleh saja mengklaim dirinya berideologi nasionalis, Islam, Nasionalis-Relijius, atau Kerakyatan, tapi semuanya setuju dengan penerapan kebijakan neoliberal dalam berbagai gradasinya. Tidak heran kita temukan bagaimana partai A pada hari ini berkoalisi dengan partai B untuk memenangkan kandidatnya melawan koalisi partai C dan partai D, lalu besoknya partai A dan B ini saling bersaing untuk memenangkan kandidat masing-masing yang diusungnya dengan partai C dan partai D tadi. Dengan kata lain, sebenarnya kita memiliki banyak partai dengan satu ideologi, yakni ideologi kapitalisme-neoliberal. Atau dalam bahasa yang berbeda, selama lebih dari 12 tahun pasca kediktatoran ini yang kita saksikan adalah dominasi satu partai dengan banyak cabang: cabang Golkar, cabang PDI-P, cabang PKS, cabang Demokrat, dst;
Terakhir, karena sistem kepartaian tidak berjalan, karena partai hanya menjadi mesin pemenangan pemilu, dan karena tidak ada kontestasi ideologi, maka tak heran jika partai dan kandidat kemudian menjadi sangat tergantung pada aktor-aktor non-partai, terutama lembaga survey dan konsultan politik. Peran lembaga survey, yang seringkali juga bertindak sebagai konsultan politik ini, lebih menentukan ketimbang proses demokrasi internal parpol. Lembaga survey dibutuhkan untuk mengecek tingkat elektabilitas dan tinggi rendahnya tingkat kepercayaan publik (ingat bukan anggota parpol) pada partai atau kandidat. Sementara konsultan politik dibutuhkan untuk memenangkan proses pemilu secara langsung.
Penutup
Hal lain yang menarik dari proses Pilkada DKI ini adalah munculnya calon independen dengan perolehan suara yang bisa mengalahkan calon dari partai mapan, seperti partai Golkar. Kalau saya tidak keliru, kemunculan kandidat Faisal-Biem ini, secara sengaja dimaksudkan untuk mengoreksi dan menantang hegemoni oligarki kepartaian yang begitu memuakkan. Sebuah maksud politik yang direspon secara positif oleh konstituennya.
Namun, sayangnya, sentimen anti-partai yang diusung atau disuarakan oleh para pendukung calon independen ini tidak menyentuh akar persoalan mengapa partai-partai ini begitu korup, menjadi mainannya elit partai, atau menjadi kuda tunggangannya para oligarkh. Kalau hanya sekadar anti partai, menurut saya, itu justru akan makin membunuh proses demokrasi yang berlangsung selama ini. Tanpa partai, rakyat tak punya wadah politik untuk mengorganisir diri, mendidik diri, dan melatih dirinya untuk memegang kekuasaan, sehingga pada akhirnya rakyat kembali hanya menjadi obyek, yang hanya boleh memikirkan bagaimana mencari makan untuk hari ini dan besok. Politik kembali menjadi urusan elit, dan bukankah itu esensi dari sistem politik otoritarian, yang saat ini tampil dalam wujud ‘Politik Pencitraan?’
Menurut saya, untuk melawan politik pencitraan ini bukan dengan cara mengampanyekan sikap anti partai. Justru sebaliknya, adalah dengan membangun partai dan kembali memaksimalkan fungsi-fungsi kepartaian: rekrutmen, kaderisasi, pendidikan, dan pengambilalihan kekuasaan, yang kalau disingkat menjadi tiga kata kunci: Aksi, Pendidikan, dan Bacaan.***
Coen Husain Pontoh, mahasiswa ilmu politik di City University of New York (CUNY)