Tak perlu risau. Ini versi PKI.
Bagi sebagian orang, Tan Malaka ujud dari legenda kiri. Tokoh revolusioner militan dan misterius. Tapi, bagi Partai Komunis Indonesia (PKI) tak seperti itu. Tan Malaka tak lebih dari seorang pengkhianat.
Apa pangkalnya?
Tanggal 25 Desember 1925, PKI melakukan konferensi di Candi Prambanan. Ini unik, rapat partai komunis dilakukan di lingkungan candi sisa feodal. Mungkin tempat ini yang paling aman. PKI kala itu memang sedang main umpet-umpetan dengan kekuasaan penjajah. Dalam pertemuan, semua anggota Hoofd Bestuur (Komite Sentral) yang ada di Indonesia hadir. Ditambah anggota dari daerah. Hasilnya mengejutkan: PKI akan melakukan pemberontakan bersenjata terhadap kekuasaan Belanda.
Situasi sebelum pemberontakan memang mendidih. Pemogokan buruh terjadi di berbagai lokasi. Di Semarang, Surabaya, Jakarta dan Medan, buruh melumpuhkan pabrik. Sampai Mei 1925, tercatat 65 kali pemogokan dengan melibatkan tiga ribu anggota komunis. Surat kabar revolusiner seperti Api, Merdeka, Proletar, Halilintar, dan Guntur, semakin gencar menyerang pemerintahan. Pun, kaum tani tak ketinggalan.
Setahun bersiap, 12 Nopember 1926 pemberontakan pecah. Ini tercatatat sebagai pemberontakan pertama yang dipimpin oleh sebuah organisasi.
Jalannya pemberontakan cukup mencekam.
Paling awal terjadi di Batavia. Dari Kampung Karet, 200 orang menuju Jakarta Kota. Mereka begitu percaya diri. Massa yang lain muncul dari Mangga Dua. Sementara, serombongan orang dari Tanah Abang berpapasan dengan dua orang reserse Belanda. Terjadi duel. Dua reserse itu mengalami nasib sial: tewas. Rata-rata pemberontak membawa senjata berupa golok, pedang, tombak dan senjata api rampasan. Kantor telepon mereka duduki. Pos polisi diserbu. Sasaran bukan hanya milik pemerintah, tapi juga penguasa feodal. Di Meester-Conerlis, rumah Asisten Wedana diobrak-obrak. Setelah berlangsung dua hari, pemberontakan baru bisa dipadamkan.
Tak hanya di Batavia. Tangerang, Banten, Priangan, Solo, Banyumas, Pekalongan, Kediri dan Sumatra Barat juga terjadi hal serupa. Mereka seolah muncul begitu saja. Massa berbondong-bondong membawa senjata. Tak takut bermuka-muka dengan aparat kolonial.
Memang semuanya bisa dipatahkan. Tapi menghasilkan satu hal: keberanian. Pemberontakan tak pernah sia-sia. Selalu ada pelajaran yang bisa ditimba. Sajak di nisan Aliarcham—tokoh pemberontakan yang gugur di Digul— tepat memberikan lukisan:
Bagi kami kau tak hilang tanpa bekas, tidak
Hari ini tumbuh dari masamu
Tangan kami jang meneruskan
Kerdja agung djuang hidupmu
Kami tantjapkan kata mulia hidup penuh harapan
Suluh dinjalakan dalam malammu
Kami jang meneruskan kepada pelandjut angkatan
Benar: pemberontakan itu akan menjadi bahan bagi para pelanjut angkatan. Takkan hilang tanpa bekas.
Ada beberapa alasan sebagai penyebab kegagalan pemberontakan itu. Di sini satu saja yang disebut: pengkhiatan Tan Malaka. Buku Pemberontakan November 1926 yang ditulis Lembaga Sedjarah PKI, menuliskan: ‘Pengchianatan trotskis Tan Malaka, baik sebelum pemberontakan, selama pemberontakan dan sesudah pemberontakan merupakan faktor jang perlu diungkapkan….’ Ada dua kata kunci di situ: ‘pengchianatan’ dan ‘trotskis.’ Trotskis adalah para pengikut Leon Trotsky, salah satu tokoh revolusioner Rusia.
Tan Malaka memang dikenal sebagai Bapak Trotskis di Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Komite Esekutif Komunis Internasional Biro Timur Jauh, sebagai wakil PKI. Dalam posisi ini, menurut buku yang disusun PKI, ia berhubungan dengan orang-orang Trotskis. Dengan nada mengejek dituliskan karakter Tan Malaka yang terpengaruh ajaran Trotskis sebagai berikut: ‘…tidak lepas burdjuis ketjil intelektual jang kekiri-kirian, keburu nafsu….’ Mengapa orang kiri bisa menjadi kekiri-kirian dan keburu nafsu? Njoto menjawab dalam tulisannya, Lenin dan Pembasmian Penjakit2 Burdjuis Ketjil. Cukup gamblang jawabannya: ‘karena keliru menilai keadaan dan kekuatan. Akibatnya, meninggalkan massa dan memaksakan keadaan.‘
PKI memang berseteru dengan pengkitut Trotskis. Mereka lebih condong pada Stalin. Tak heran Tan Malaka dilibas. Ini hujaman lain. Dalam sidang Komite Esekutif Komunis Internasional bulan April 1925, Tan Malaka membuat pernyataan bersangkutan tentang revolusi Indonesia. Katanya: ‘…kita hanya menunggu keuntungan dari revolusi dunia.’ Tak pelak, PKI mencemoohnya: ‘…kalau kita ikuti pandangan Tan Malaka maka Rakjat Indonesia tidak perlu melalukan melakukan revolusi…’ Mengikuti Tan Malaka berarti cukup menunggu saat baik, yaitu datangnya revolusi dunia. Pandangan ini dicerca oleh PKI sebagai paham revolusi permanen Trotskis yang bangkrut. PKI menilai, setiap negeri mempunyai syarat-syarat sejarah dan musuh-musuh revolusi sendiri, dan tak sama pula perkembangan gerakan revolusionernya. Jadi, tak bisa dibuat berwarna seragam.
Benarkah pandangan Trotskis bangkrut? Pastinya, pandangan itu memang tak pernah besar di Indonesia. Kelompok Trotskis lebih berkembang sebagai ordo Jubah Merah, bukan sebagai gerakan politik yang menjangkar ke bumi. Mungkin mereka menunggu saat yang tepat untuk muncul: mengikuti anjuran Tan Malaka.
Kunci kedua: pengchianat. Tentu saja tuduhan ini serius.
PKI memberontak. Tan Malaka justru mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI). Partai ini digunakan untuk mensabot keputusan Prambanan. Tentu PKI punya bukti. Tan Malaka mengundang Suprojo dan Sugono ke Singapura, untuk diberi perintah guna menggagalkan pemberontakan. Utusan lain juga dikirim ke Sumatra Barat dengan tujuan sama. Organisasi tak satu lagi. Kesimpulan menjadi jelas: sebagai salah satu pimpinan PKI, Tan Malaka tidak tunduk pada keputusan partai dan justru mendirikan organisasi baru untuk pecah belah. Tak heran PKI melabelinya pengkhianat.
Jarak pengkhianat dan pahlawan sepertinya lebih tipis dari silir bawang. Pembongkaran yang dilakukan PKI tentu punya tujuan. Mungkin analisa PKI tak tepat. Tapi telah mengembalikan Tan Malaka ke bumi.
Bagi PKI, Tan Malaka tak ubahnya Brutus: menusuk dari belakang. Entah bagi yang lain. Bisa jadi ia seorang santo.
Lereng Merapi. 06.06.2012.