SEKALI lagi kita menyaksikan kekuatan gerakan massa. Kali ini, gerakan massa mampu membongkar skandal hukum terbesar di Republik ini sejak reformasi dijalankan hampir 11 tahun lalu. Publik yang terus-menerus berteriak, yang lalu disalurkan dan diperkuat media massa, mampu membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sebelumnya terlihat salah membaca situasi akhirnya mengambil tindakan. Rekaman yang membeberkan kebobrokan sistem peradilan kita diperdengarkan ke publik, dan polisi yang semula bersikeras ada alasan untuk menahan pimpinan KPK nonaktif akhirnya membebaskan mereka dengan alasan “demi kepentingan lebih besar.”
Satu hal yang unik dalam protes publik kali ini adalah untuk pertama kalinya di Indonesia, terbentuk hubungan ketergantungan antara teknologi dalam bentuk new media, media massa, dan gerakan sosial. Grup di facebook yang menyuarakan dukungan untuk KPK, yang dibuat aktivis dan dosen asal Bengkulu, Usman Yasmin, masih terus membesar dengan anggota hampir 800 ribu hingga Rabu (4/11) malam. Aktivisme di Internet ini telah berhasil menyuarakan pesan rakyat secara gamblang.
Dalam tulisan ini saya ingin menguraikan beberapa hal tentang aktivisme di Internet, yang mungkin berguna untuk mengerti fenomena aktivisme di Internet dan bagaimana prospek ke depannya.
****
Pertama mari kita lihat asal-usulnya. Di satu sisi, kita tidak heran grup facebook yang mendukung KPK tersebut menjadi besar karena KPK sudah lama menjadi primadona publik dibanding lembaga hukum lain dan masalah korupsi juga sudah menjadi perhatian umum. Tetapi, melihat status update Pak Usman pada saat-saat awal, tampak ada perasaan terkejut ketika grup tumbuh sangat pesat dalam waktu singkat. Jadi, berbeda dengan aksi protes di dunia non-Internet yang perlu pengorganisasian intensif sebelumnya, aksi di Internet dapat terjadi secara organik.
Tentunya ini bukan berarti aksi terjadi secara spontan; banyak grup di facebook yang terbentuk spontan tapi tidak menjadi besar karena mungkin tidak cukup banyak orang yang merasa isu tersebut penting. Masalah korupsi memang populer. Selain itu, latar belakang Pak Usman yang aktivis dan dosen, memang tak dapat dikesampingkan begitu saja; mungkin ia sudah terbiasa mengungkapkan opini dan perasaan ke publik sehingga tidak merasa canggung untuk memulai sebuah aksi. Poin utamanya adalah mudah bagi banyak orang untuk memulai aktivisme di Internet, tetapi besar-tidaknya gerakan yang dihasilkan bergantung pada isu yang diusung dan dinamika proses penyebaran informasi selanjutnya.
****
Selanjutnya, mari kita lihat bagaimana grup ini menjadi besar. Sepintas kita berpikir tak sulit membuat gerakan sosial di Internet karena orang dapat melakukannya hanya dengan mengklik sambil tiduran sekalipun. Ini memang benar, tapi justru karena begitu mudahnya memulai gerakan di Internet, orang akan dibombardir oleh ajakan untuk bergabung dengan aneka macam gerakan. Akibatnya orang akan memilah-milah grup mana yang paling cocok. Karena orang memilih secara sadar, kita bisa menganggap grup aktivisme yang besar menjadi besar bukan hanya karena mudah bagi orang untuk ikut serta, tapi juga karena memang isu yang diangkat mendapat dukungan luar biasa.
Selain itu, ada fitur facebook yang tepat untuk menjadi alat rekrutmen sebuah gerakan, yaitu wall, yang membuat kita bisa melihat saat teman kita menjadi anggota sebuah grup. Manusia adalah mahluk sosial yang selalu memperhatikan apa yang dilakukan orang lain di sekitarnya. Melihat banyak orang dalam jejaring kita sendiri bergabung dengan sebuah grup akan memberikan tekanan sosial untuk bergabung.
Mendapat invite dari teman untuk bergabung membuat kita pikir-pikir. Melihat sebuah grup beranggota besar (atau kerumunan massa besar) tidak otomatis membuat kita tertarik bergabung karena kita dapat menganggap kelompok itu berbeda. Tapi melihat teman kita sendiri berbondong-bondong bergabung, memberikan dorongan luar biasa untuk ikut. Wall di facebook memungkinkan kita melihat apa yang dilakukan teman-teman. Dan, jika banyak teman kita melakukan hal serupa, besar kemungkinan kita akan melakukan hal itu juga.
Dinamika ini konsisten dengan penelitian mengenai gerakan sosial yang menemukan bahwa, dalam banyak kasus, seseorang menjadi aktivis bukan karena kesamaan ideologi atau pandangan lalu bergabung dengan kelompok. Ia diajak temannya untuk bergabung ke kelompok dan baru menjadi aktivis ketika sudah menjadi bagian kelompok itu dan belajar mengenai isu yang diperjuangkan.
****
Jangan kita lupakan peran media massa. Dalam kasus ini, media massa terus-menerus melaporkan perkembangan gerakan di facebook. Bagi mereka yang tidak terkoneksi ke Internet, efeknya seperti mendengar ada demonstrasi besar di kota lain; mereka tidak melihat atau merasakan secara langsun,g tapi menjadi tahu akan keberadaan sebuah kelompok besar yang kesal akan suatu hal. Gerakan facebook adalah sinyal adanya sebuah masalah penting yang membuat banyak orang geram, yang selanjutnya diberitakan media massa.
Liputan media massa ini juga dapat menjadi umpan-balik positif untuk gerakan: orang yang sebelumnya menganggap remeh gerakan facebook berubah menjadi menganggapnya penting karena gerakan tersebut diliput oleh media massa. Reputasi gerakan menjadi naik karena mendapat liputan media massa yang tidak mudah diperoleh; reputasi naik karena ada sinyal bahwa gerakan telah berhasil melakukan sesuatu yang sulit, yaitu menarik perhatian media massa.
Khusus untuk gerakan mendukung KPK ini, sejak awal peran media di Internet relatif besar. Situs berita detik.com memberitakan grup facebook ini sejak anggotanya masih 164 orang. Jadi sangat mungkin grup tersebut menjadi besar dengan cepat karena orang membaca beritanya di detik.com dan lalu menyebar melalui jejaring pertemanan di facebook. Jadi, dalam hal ini, proses membesarnya terjadi akibat kombinasi dari pengaruh media Internet dan proses difusi di jejaring sosial.
****
Paparan di atas menggambarkan bagaimana aktivisme di Internet dapat menghasilkan sebuah kelompok pendukung dan penekan yang, dengan bantuan media massa, mampu menghasilkan perubahan nyata. Pertanyaan selanjutnya, apakah bisa lebih dari itu? Terutama bagaimana jika media massa tidak meneruskan sinyal protes dari Internet ke khalayak ramai? Jawabnya bisa.
Selain untuk membentuk kelompok penekan maya, kita juga dapat menggunakan Internet sebagai alat untuk mengorganisasi gerakan sosial nyata di lapangan. Inilah yang dilakukan Barack Obama, baik ketika kampanye maupun sekarang setelah menjadi presiden AS, saat ia melakukan mobilisasi massa untuk mendukung kebijakan-kebijakannya.
Grup di facebook, misalnya, dapat menarik orang-orang yang memiliki kesamaan pandangan dari berbagai kota di seluruh Indonesia. Setelah grup menjadi besar dan anggotanya aktif berbagi pendapat, kita dapat mengkategorisasi anggota berdasarkan lokasi tempat tinggal. Selanjutnya kita membantu mereka membentuk kelompok-kelompok lokal sendiri yang bergerak dan membuat aksi di lokalitas masing-masing sehingga memobilisasi mereka yang tak terkoneksi ke Internet.
Aktivis yang melakukan aksi di berbagai tempat ini dapat menggunakan Internet untuk saling bertukar informasi sehingga mereka dapat belajar satu sama lain dan juga saling bertukar cerita melalui tulisan dan video yang membuat semangat tetap tinggi.
Tentunya menggunakan internet sebagai alat pengorganisasian perlu strategi dan tim yang lebih lengkap dibandingkan menggunakan internet sebagai ajang curah pendapat dan emosi kolektif.
Yang pasti Internet telah menjadi salah satu alat aktivisme; Internet dapat mempermudah seseorang menjadi aktivis; Internet dapat dipakai untuk mengelola dukungan untuk sebuah aktivisme. Ini semua dapat berujung pada partisipasi publik yang semakin besar dan memperkuat demokrasi di Indonesia dengan memberikan kekuatan tambahan bagi rakyat, terutama saat penguasa tidak mau mendengar rakyat. Power to the people!***
Roby Muhamad sedang menulis disertasi tentang jejaring sosial di Columbia University, New York.
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di http://www.liputan6.com, dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.