MAAF, ini pembelaan terhadap Stalin. Boleh juga disebut pemujaan.
Satu kata: hebat. Itu untuk buku karya Simon Sebag Montefiore, Stalin: Kisah-kisah Tak Terungkap. Sepanjang batang tubuh buku dengan tebal lebih dari 700 halaman ini, Simon mengelupas lapis demi lapis keburukan Stalin. Hebatnya, Simon berhasil meletakkan semua sifat Iblis pada diri Stalin: culas, bengis, kejam, peselingkuh, bejat, tak bermoral, pembunuh, diktator.
Tak peduli kiri dan kanan, cerita seperti dalam buku Simon yang selama ini selalu dimamah biak: Stalin seorang demagog dan diktator. Kisah ini semakin manis ketika Trosky—lawan politik Stalin—menulis cerita serupa. Ada pembenaran lebih kokoh lagi, setelah diungkapkan, konon Lenin menulis surat wasiat: jangan sampai partai jatuh ke tangan Stalin.
Stalin memang telah menjadi cap. Mirip dengan PKI pada masa orde baru. Siapa saja dalam gerakan kiri yang dilabel dengan Stalinis: ia pasti jahat, dajjal dan kafir laknatulloh. Stalin pula yang dijadikan palu godam pemuja kapitalisme untuk memukul sosialisme: lihatlah Stalin, itulah wajah sosialisme; Gulag, penyingkiran kader partai yang tak seiring, kerja paksa, pemiskinan petani, tak demokratis, dsb.
Memang ada banyak alasan untuk membenci Stalin.
Tapi sejarah menolak esa. Ia punya banyak wajah.
Ada rupa Stalin yang lain. Ditulis oleh Larissa M. Efimova dalam buku berkepala: Dari Moskow ke Madiun? Buku ini tak setebal karya Simon. Hanya 171 halaman dalam edisi bahasa Indonesia. Berdasarkan dokumen-dokumen yang sebelumnya tertutup, Larissa banyak membuka sisi yang selama ini gelap. Bantahan keterlibatan Soviet dalam Peristiwa Madiun 1948. Pengungkapan siapa sebenarnya yang memberikan masukan kepada Musso dalam penulisan Jalan Baru. Dan, Stalin dalam hubungannya dengan kebangkitan PKI setelah kehancuran tahun 1948.
Kali ini fokus saja pada Stalin.
Tanggal 12 Oktober 1950, Nikolai Roshchin—Dubes Uni Soviet untuk Cina—mengirimkan telegram rahasia kepada Filippov—nama samaran Stalin. Isi telegram tentang proposal yang dikerjakan Kando alias Muriono dan anggota-anggota lain Central Committe (CC) PKI sementara. Dokumen tertanggal 6 Oktober 1950, dimulai dengan kalimat: ‘Setelah mempelajari pengalaman revolusi Cina yang berhasil, kami mengajukan usulan berikut ini untuk CC PKI.’
Sesampainya di tangan Stalin, ia membaca dokumen itu dengan teliti. Ia memberikan catatan-catatan. Ketika dokumen menyebut tugas pokok PKI menelanjangi kepalsuan kemerdekaan Indonesia, Stalin memberikan komentar: ‘Dan bagaimana dengan persoalan agraria?’ Stalin menandai kata-kata revolusi bersenjata melawan kontrarevolusi bersenjata, penciptaan tentara pembebasan-nasional yang kuat dan setia, dengan berkomentar: ‘Dari tujuan yang salah.’ Di samping bagian mengusir semua kekuatan imperialis Belanda, Amerika dan Inggris, Stalin menambahkan: ‘Nasionalisasi perusahaan-perusahaan mereka.’
Stalin tak hanya berkomentar, tapi juga memberikan koreksi. Perihal proposal penggulingan dominasi kaum rekasioner dalam negeri yang menjadi antek imperialis dan digantikannya mereka oleh pemerintahan koalisi demokratis, Stalin berseru: ‘Salah!’ Komentar sama terkait ajakan bergabung dengan Uni Soviet, Cina dan negara-negara demokrasi rakyat.
Stalin yang dicap sebagai anti teori, entah mengapa dalam dokumen tersebut menggarisbawahi kata-kata kerja edukatif secara sistematis di dalam partai. Mungkin ia lagi khilaf sehingga menekankan agar partai tak abai dengan pendidikan kadernya. Banyak lagi corat-coret Stalin di dokumen itu. Ada kata begitulah harusnya, tepat, maksudnya apa. Ketika proposal mengajukan melakukan aktivitas parlementer di semua bidang, Stalin berkomentar: ‘Benar!’
Stalin tak bersedia memberikan komentar lengkap seketika. Ia merasa tak mengetahui situasi ekonomi-politik Indonesia secara mendalam. Baginya, sulit memberikan penilaian dan masukan yang benar tentang draft itu tanpa bahan yang lengkap. Ia pun meminta bahan-bahan kepada Liu Shaogi tentang kondisi Indonesia.
Stalin meminta data tentang tiga poin: Cabang-cabang industri, termasuk perhubungan yang dikembangkan. Sejauh mana cabang-cabang itu dikembangkan? Berapa jumlah pekerjanya? Berapa persen jumlah pekerja bila dibandingkan penduduk secara keseluruhan?; Seberapa luas tanah yang digarap dan tak digarap yang dimiliki tuan tanah, negara, pihak asing dan kaum tani. Berapa jumlah petani bila dibandingkan penduduk secara keseluruhan?; Berapa banyak petani berlahan sempit? Siapa yang mempekerjakan mereka?
Sekarang, pertanyaan perlu diajukan: Adakah gerakan di Indonesia saat ini mempunyai data semacam itu? Benarkah masih ada yang peduli dengan data? Siapa yang peduli geopolitik seperti Stalin? Bukankah gerakan saat ini lebih sibuk dengan FPI dan rok mini?
Puji Tuhan. Stalin yang selalu dihubungkan dengan birokratisme dan biang kerok kehancuran partai komunis, ternyata ketat dengan data.
Silahkan membaca buku Larissa M. Efimova untuk menengok masukan Stalin secara utuh. Tak ada ruginya hal ini dilakukan di tengah situasi gerakan di Indonesia yang terangnya lebih redup dari kelip kunang-kunang.
Di sini, satu saja yang disebutkan:
Stalin memberikan masukan dengan terlebih dahulu mengritik pimpinan PKI yang terperangkap dalam slogan kekiri-kirian. Tanpa analisa cermat dan mendalam, mereka mencoba memecahkan masalah dengan sekali pukul: menghapus feodalisme, menghantam semua imperialisme, mengikis kaum tani kaya. Dengan satu hantaman kekiri-kirian ini, menurut Stalin, PKI justru menyatukan musuh, dan mengisolasi organisasi.
Entah kenapa tiran seperti Stalin peduli pada analisa mendalam. Menekankan pentingnya pembacaan yang cermat atas kondisi yang ada. Mengapa justru tidak meng-harus-kan saja membantai musuh-musuh rakyat dengan sekali pukul? Kenapa peduli pada kondisi partai yang terisolasi, jauh dari potensi-potensi kawan yang bisa diajak berlawan? Mungkin benar tuduhan yang selama ini ada: Stalin gila!
Baiklah.
Agar PKI tak kekiri-kirian, Stalin menganjurkan para pimpinan dan kader PKI terjun dalam kerja kotor agar tak mengambang dari persoalan sehari-hari kaum buruh, tani dan intelegensia pekerja. Kerja seperti ini menurut Stalin, memang jauh dari gemerlapan dan mendatangkan kemashyuran, tanpa deklamasi yang memikat.
Ya, Larissa telah menempatkan Stalin pada perannya: tak melebihkan dan mengurangi. Ternyata Stalin memiliki wajah baik.
Perlu diakhiri di sini: Akan baik bila karya Larissa yang lain, Stalin and Indonesia: Soviet Policy towards Indonesia, 1945-1953, diterjemahkan dalam edisi Indonesia. Agar para aktivis kiri di Indonesia tak menguyah sampah yang sama sepanjang hidupnya.
Sekarang, silakan mencaci Stalin sambil deklamasi segarang-garangnya. Tapi jangan lupa menyiapkan saputangan warna merah jambu. Siapa tahu ada air mata yang menetes.***
Lereng Merapi. 14.03.2012