Daftar Isi Edisi Ini:
- Puisi-puisi oleh Gema Laksmi Mawardi
- Puisi-puisi oleh Gita Romadhona
- Puisi oleh Zely Ariane
- Seni, Jalanan, dan Sketsa Awal Wajah Sosial
- Rangkaian Kritik terhadap Tiga Pendekatan ‘Kritis’ Kajian Budaya (Bag. 2)
- Soal Kaoem Boeroeh Perempoean Indonesia
“M. Nuh: Kadang-kadang Sama-sama Senang, Ngakunya Diperkosa” (Republika, Kamis, 11 Oktober 2012)
“Orang Luar Lhokseumawe Jangan Urus Aturan Larangan Ngangkang” (VOA-Islam.com, Sabtu, 5 Januari 2013)
“Wanda Hamidah ‘Jembatan’ Raffi Ahmad menuju PAN?” (Kompas, Selasa, 29 Januari 2013)
“Maharani Disewa Rp10 Juta oleh Tersangka PKS?” (Tempo, Kamis, 31 Januari 2013)
Beginilah kira-kira wajah pemberitaan yang kita konsumsi sehari-hari. Perempuan dipolitisasi tubuhnya, diatur gerak-geriknya, dan dianggap wajar untuk diperkosa. Bahkan, anggapan ‘perempuan sebagai barang’ pun masih kentara di zaman ini. Terakhir, kasus korupsi seolah tidak menarik jika tidak dibumbui perempuan cantik. Duh, sungguh formula film laga kelas B Hollywood.
Maka, wajar jika kita harus terus mengulang kisah ini di setiap bulan Maret. Seabad silam, dalam sebuah Konferensi Internasional Pekerja Perempuan tahun 1910, Clara Zetkin, salah seorang pemimpin Partai Sosial Demokrat Jerman, mengusulkan ide Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day). Sejak tahun 1913, hari tersebut dirayakan setiap tanggal 8 Maret. Saat ini, di hampir 27 negara, termasuk Afganistan, Kamboja, China, Kuba, Laos, Madagaskar, Rusia, dan Vietnam, tanggal 8 Maret merupakan hari libur nasional. Namun, apa gunanya jika terus mengulang perayaan dan kenangan, sementara di saat yang sama, penindasan pada perempuan terus juga direproduksi; penindasan-penindasan yang sama namun dengan kemasan yang berbeda—bak Sisiphus yang selalu mendorong batu yang lantas menggelinding lagi ke bawah. Apakah kita sadar, kita adalah Sisiphus dalam kasus ini?
Hari Perempuan Internasional terus dirayakan setiap tahun untuk ‘memperingati’ atau ‘mengingatkan’ bahwa kendati gerakan perempuan sudah melahirkan berbagai program untuk pemenuhan kesetaraan dan hak-hak asasi perempuan, kenyataan global berbicara lain. Kekerasan masih saja terjadi pada perempuan, dan dalam hal pendidikan dan kesehatan, posisi perempuan masih lebih buruk dari laki-laki. Seringkali acara tahunan ini juga menjadi ritual ‘perayaan’, yaitu merayakan kesuksesan banyaknya perubahan yang dialami perempuan saat ini, yang berbeda dari puluhan tahun lalu. Perempuan dapat sekolah ke perguruan tinggi, memiliki keluarga sambil bekerja, dan banyak perempuan yang menjadi pemimpin negara, astronot, dokter, dan seterusnya. Namun, betulkah kedua ritual tersebut, ‘memperingati’ dan ‘merayakan’, sudah cukup? Ini pertanyaan besar.Butuh waktu dan pengamatan yang tidak sebentar untuk menjawabnya.
Pergerakan perempuan di Indonesia sudah ada dan terjadi jauh sebelum kemerdekaan. Mungkin ia muncul bersamaan dengan kebangkitan nasional itu sendiri, atau mungkin beberapa saat kemudian. Tentu saja tantangan dan masalah-masalah yang dihadapi aktivis perempuan zaman itu berbeda dengan apa yang dialami sekarang. Berfungsi sebagai suplemen pemahaman historis tentang masalah seperti apa yang dihadapi kaum perempuan kala itu, dalam rubrik kliping, LKIP menghadirkan ulang sebuah naskah pidato yang dibacakan Nj. Soewarni Pringgodigo: “Soal Kaoem Boeroeh Perempoean Indonesia”, pada acara Konggres Perempoean Indonesia II di Djakarta, 20-24 Djuli 1933.
LKIP pun mengajak pembaca untuk beranjak ke rubrik Tori yang kali ini melanjutkan artikel bersambung “Rangkaian Kritik terhadap Tiga Pendekatan ‘Kritis’ Kajian Budaya (Bag. 2)”. Dalam tulisan bagian kedua ini, Rianne Subijanto membahas sejarah perkembangan pendekatan ekonomi-politik dalam kajian budaya. Tulisan Rianne ditutup dengan diskusi awal tentang posisi analisis ekonomi-politik dalam pendekatan kajian perempuan saat ini.
Bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional, LKIP menghadirkan puisi-puisi dari Zely Ariane, Gema Laksmi Mawardi, dan Gita Romadhona. Dalam hemat kami, puisi-puisi dari ketiga penulis itu baik untuk menjadi bahan renungan. Terakhir, dalam rubrik Kritik, Rio Heykhal Belvage mengajak pembaca turun ke jalan. Rio menuntun pembaca untuk mengamati seni pertunjukan di perempatan-perempatan jalanan. Mulai dari aspek ekonomi, sosial, artistik, hingga ke pertanyaan: “apa itu seni?”.
Selamat membaca dan selamat Hari Perempuan Internasional!