PADA acara pelantikan Barack Obama sebagai presiden Amerika Serikat ke-44, banyak orang menunggu pernyataan Obama soal konflik Timur Tengah. Banyak yang kecewa. Pidatonya dianggap terlalu umum, tidak spesifik dan tidak mengandung satu unsur tindakan penyelesiaan konflik yang bisa diterima kedua pihak yang bertikai.
Mari kita maklumi, karena namanya juga pidato pelantikan. Benar saja, sehari setelah pelantikan, Obama diberitakan menelepon perdana menteri Israel Ehud Olmert dan presiden Palestina Mahmoud Abbas. Kepada kedua pemimpin itu, Obama meminta agar gencatan senjata yang telah berjalan beberapa hari itu makin di konsolidasikan. Agak aneh, mengapa Obama tidak menelepon perdana menteri Palestina, Salam Fayyad, dari kubu HAMAS. Padahal, HAMAS dituduh Israel sebagai biang kerok agresi militernya beberapa waktu lalu.
Tapi, membicarakan konflik Israel-Palestina dan hubungannya dengan Washington, seperti mengurai benang kusut. Saya juga bukan pengamat masalah Timur Tengah. Karenanya, saya ingin berpindah haluan, namun masih berkaitan dengan kebijakan luar negeri pemerintah Amerika Serikat. Saya mau mengajak anda untuk berpaling ke Kuba.
Tahun ini, adalah peringatan setengah abad Republik Kuba. Umur sepanjang itu, tentu saja bikin gemes Washington. Sebabnya, hampir tidak ada negara lain di dunia ini, dimana Washington begitu terobsesi untuk menundukkannya, selain Kuba. Negara kecil yang berpenduduk 11,177,743 (Sensus 2002), sejak terbebas dari kolonialisme Spanyol, memang telah menjadi target Washington, untuk dimasukkannya ke dalam wilayah kekuasaannya.
Berbagai macam dalih dilemparkan ke publik, sebagai pembenar dari aksi-aksi politik militer Washington terhadap Kuba. Ketika Kuba merdeka, pada 1901, Washington meluncurkan sebuah undang-undang yang disebut Platt Amendment (disponsori oleh senator Orville Platt). Amendment ini antara lain mengatakan, AS memiliki hak untuk mendirikan basis militer permanen dan yang terpenting, dijinkannya AS untuk melakukan intervensi militer terhadap Kuba. Dan kendatipun Amendemen Platt ini dicabut pada 1934, bagi mayoritas rakyat Kuba, kebijakan Washington pada mereka tidak banyak berubah.
Ketika gerakan anti AS makin kuat di Kuba, Washington kemudian mendukung penuh kudeta militer yang dilakukan oleh sersan Fulgencio Batista Zaldivar (karena itu disebut juga kudeta Sersan/Sergeant’s Coup), terhadap pemerintahan sipil yang terpilih melalui pemilu. Segera setelah itu, Batista berkuasa dengan tangan besi dan Washington tetap sepenuhnya berada di belakangnya, hingga kemudian terusir akibat revolusi pada 1959.
Menariknya, bagi sebagian besar pelarian politik Kuba di Miami, AS, periode 1902-1958, dipandang sebagai era demokrasi Kuba. Tandanya adalah pemilu reguler walaupun diselang-seling serangkaian kudeta. Tetapi, bagi mayoritas rakyat Kuba, masa kekuasaan Batista adalah yang terburuk sejak kemerdekaan. Revolusi 1959 yang dipimpin Castro, karena itu mendapat dukungan luas. Castro lantas menjadi sangat populer.
Menghadapi realitas politik ini, Washington justru bereaksi negatif. Dalam aroma perang dingin antara kubu komunis dan kapitalis, revolusi Kuba dipandang sebagai tamparan dan ancaman serius bagi kepentingan Amerika di kawasan Amerika Latin. Berbagai upaya kemudian dilakukan untuk mendestruksi pemerintahan baru tersebut. Dan semuanya, dilakukan atas nama demokrasi, kemakmuran ekonomi, kebebasan sipil, dan hak asasi manusia.
Upaya-upaya untuk menjatuhkan Castro dan rejim sosialis yang dipimpinnya, dilakukan tidak hanya melalui aksi politik-militer tapi, juga melalui embargo ekonomi, kultural, hingga larangan bagi rakyat Amerika untuk berkunjung ke Kuba. Sebuah buku baru yang ditulis oleh wartawan senior Reese Erlich “Dateline Havana The Real Story of U.S. Policy and the Future of Cuba” (2009), menulis, baik presiden Dwight Eisenhower maupun John F. Kennedy, sama-sama berencana untuk membunuh Fidel Castro dan kemudian membentuk pemerintahan yang pro-Washington.
Tapi, usaha kedua presiden ini selalu gagal, termasuk kegagalan operasi militernya yang dikenal dengan Bay of Piqs Invasion. Inilah kekalahan pertama militer AS di luar negeri, sebelum kekalahannya di Vietnam dan mungkin juga di Irak dan Afghanistan kelak.
Gagal dengan operasi militernya, Kennedy pada 1962 kemudian meluncurkan perang ekonomi, dengan mendeklarasikan kebijakan embargo ekonomi terhadap Kuba. Embargo ini berisi larangan untuk mengekspor dan mengimpor barang ke dan dari Kuba. Sangat menarik, sebelum kebijakan ini ditandatangani, sekretaris pers Pierre Salinger memborong 1.200 Petite Hupmann, yakni kretek Kuba untuk kepentingan pribadi Kennedy. Beberapa tahun setelahnya, Kennedy kemudian melarang orang berkunjung ke Kuba, dan mereka yang melanggarnya diganjar hukuman fisik.
Presiden AS setelah Kennedy, masih tetap berpandangan bahwa Kuba adalah ancaman serius bagi AS. Selain Jimmy Carter, presiden AS selalu berlomba untuk membuat kebijakan yang menyudutkan Kuba. Sebagai contoh, pada 1994, pemerintahan Ronald Reagen memasukkan Kuba ke dalam daftar kelompok negara teroris. Pada pemerintahan Bill Clinton, presiden yang dipuji Obama ini menandatangani sebuah kebijakan untuk memperketat embargo ekonomi terhadap Kuba, yang disebut Cuban Liberty and Democratic Solidarity Act, atau lebih terkenal dengan nama Helms-Burton Act pada 1996.
Melalui undang-undang ini, pemerintah AS tidak saja berhak untuk menghukum perusahaan domestik yang melakukan transaksi ekonomi dengan Kuba tapi, juga terhadap perusahaan asing yang berhubungan dengan Kuba. Ini betul-betul kebijakan gila, karena melanggar undang-undang internasional. Karena itu, undang-undang ini menuai protes tidak hanya dari perusahaan asing tapi juga dari perusahaan domestik dan sebagian warga Kuba-Amerika.
Urusan embargo ekonomi ini, tidak sepenuhnya efektif. Terbukti, sejak 2000, AS adalah eksportir makanan terbesar ke negara kepulauan itu. Tapi, jangan harap, ada produk Kuba yang bisa masuk secara legal ke pasaran AS.
Kebijakan lain Washington yang aneh terhadap Kuba, adalah larangan bepergian bagi rakyat AS. Aneh, karena warga AS bebas untuk berkunjung ke Iran, Cina, atau Vietnam, tapi tidak boleh ke Kuba. Washington juga mengembargo sektor kultural. Para seniman Kuba, misalnya, dilarang untuk mentas di Amerika. Belakangan pemerintah AS memperlonggar kunjungan rakyat AS ke Kuba tapi, melarang mereka untuk membelanjakan uang di sana.
Di lain sisi, Washington mengiming-imingi rakyat Kuba untuk meninggalkan negara yang disebutnya teroris dan dipimipin oleh seorang diktator itu. Iming-iming itu, terutama ditujukan kepada pekerja medis Kuba, yang saat ini menjadi tenaga sukarelawan di berbagai belahan dunia.
Ada satu cerita lucu soal ini. Seperti saya sebutkan di atas, di masa Jimmy Carter, kebijakan Washington terhadap Kuba sedikit melunak. Pada 12 April 1980, 12 orang Kuba melompat dari mobil Van mereka dan masuk ke kedutaan besar Peru di Havana, Kuba. Tujuan mereka adalah meminta suaka politik. Tak pelak, kasus ini segera menjadi isu besar secara internasional. Pada 19 April, Castro memimpin long march jutaan rakyat Kuba, di depan kantor kedubes Peru.
Menghadapi reaksi Castro, Carter kemudian mengeluarkan himbauan bahwa “ia dengan hati dan tangan terbuka siap menerima para pengungsi Kuba, yang mencari kebebasan politik dari pemerintahan komunis, serta keluar dari kemiskinan ekonomi.” Castro kemudian merespon seruan Carter itu dengan memberikan kesempatan kepada siapa saja yang ingin meninggalkan Kuba. Bahkan secara proaktif, ia menyiapkan perahu kecil kepada para pencari suaka di pelabuhan kecil Mariel. Carter tak mau kalah, ia pun mengirimkan ratusan perahu untuk menjemput pada pencari suaka itu.
Jumlah pengungsi ternyata sangat banyak, mencapai 125 ribu orang. Selama perjalanan laut, tak tampak adanya masalah. Carter sepertinya tertawa lebar. Masalah baru terjadi di tempat penampungan imigrasi, karena para imigran ini sulit sekali di atur. Selidik punya selidik, ternyata mereka yang diberangkatkan Castro itu adalah para tahanan kriminal dan penderita gangguan jiwa, alias orang gila.
Sejak saat itu, Washington tidak pernah lagi memberikan tawaran terbuka kepada rakyat Kuba untuk beremigrasi.***
Coen Husain Pontoh
Artikel ini sebelumnya pernah dimuat di http://jakartabeat.net/, Friday, 23 January 2009, dengan judul “Kisah Balada antara Washington dan Kuba.”