POLITIK tampil pada kita—kelas menengah kota Indonesia—sebagai timbunan kebusukan moral yang menggunung: sebagai korupsi, sebagai permainan kekuasaan, sebagai jual-beli suara. Kita mencita-citakan suatu pemerintahan yang bersih, yang baik, yang tak durjana. Kita punya hak untuk itu sebagai anggota dari masyarakat warga yang sejatinya merupakan alasan keberadaan negara. Kita adalah kumpulan individu-individu dewasa yang sadar akan hak-haknya, yang masing-masing bersifat unik dan karenanya kita menolak untuk dibekukan ke dalam birokrasi partai, dalam representasi yang lebih banyak menipu ketimbang menyuarakan opini kami. Kita menuntut, di sini dan sekarang juga, agar diciptakan pemerintahan yang punya integritas dan demokrasi yang partisipatoris. Kita sudah muak dengan kepalsuan. Setiap kedurjanaan adalah musuh kemanusiaan di manapun.
Kita juga berhadapan dengan bahaya totalitarianisme. Kita bermusuhan dengan segala bentuk pemikiran yang berdalih telah memegang kebenaran absolut. Bagi individu-individu kritis seperti kita, kebenaran absolut tak pernah ada di tangan manusia sebab manusia senantiasa bergerak dalam ketidakpastian, dalam kegamangan yang puitis, dan justru karenanya kita tetap manusiawi. Manusia yang menampik ketakpastian, yang melihat kebenaran sudah ada dalam genggaman dan dengan itu mau mengatur semua yang lain, adalah manusia yang tidak sadar bahwa dirinya adalah manusia dan bukan Tuhan. Oleh karena itu, untuk menghadapi ancaman totalitarianisme satu-satunya cara adalah dengan memperkuat demokrasi kita. Demokrasi adalah obat bagi totalitarianisme sebab demokrasi adalah kegamangan itu sendiri. Demokrasi membuat segala posisi menjadi relatif dan bisa diulur lewat diskusi yang sehat di antara orang-orang yang beradab. Kendati demokrasi barangkali tak mampu mewujudkan masyarakat yang ideal setidaknya ia mampu membendung kemungkinan yang paling tidak ideal.
Untuk itu, untuk mengatasi kebusukan moral dan ancaman totalitarianisme, kita mesti menyuntikkan pada demokrasi sebuah anti-virus yang penting bagi keberlanjutannya. Anti-virus itu adalah etika politik. Reformasi kita baru berhenti sebatas reformasi birokrasi dan belum menyentuh jantung persoalan yang mau direformasi, yakni moral bangsa ini. Dengan menaburkan etika di atas ladang kering yang nir-etika kita akan menumbuhkan demokrasi yang sehat, beradab dan toleran. Tetapi moral yang kita bangun bukanlah etika absolut kaum totaliter, melainkan etika yang menekankan keterbatasan, relativitas dan keterbukaan manusia. Jadi etika politik yang akan kita upayakan tidak boleh menjadi suatu body of doctrine dengan substansi ajaran yang mencakup aturan tentang segala tindak-tanduk manusia. Etika yang mesti kita bangun adalah forma yang memungkinkan adanya percapakan kebudayaan yang sehat dalam koridor demokrasi. Bersama dengan para begawan kebudayaan dan industri media yang punya keprihatinan yang sama, kita akan mendesakkan agenda etika politik agar menjadi cakrawala keprihatinan bersama seluruh bangsa yang kemudian akan membawa bangsa ini pada jalur reformasi moral yang semestinya: pemerintahan yang bersih, pemimpin yang punya integritas, dan rakyat yang kelaparan. Lho!?
Ketiga paragraf di muka dapat disarikan ke dalam tiga proposisi kunci yang dirumuskan sebagai berikut:
Proposisi I: Problem politik Indonesia masa kini adalah kebusukan moral dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses politik
Proposisi II: Politik Indonesia juga terancam oleh tendensi totalitarian yang mengusung moralitas tertentu secara absolut
Proposisi III: Politik Indonesia memerlukan reformasi moral dalam koridor demokrasi, yakni suatu etika yang bersifat relatif dan terbuka
Dalam paparan selanjutnya kita akan menginterogasi ketiga proposisi tersebut sampai kita memperoleh pengertian tentang duduk perkara yang sebenarnya.
Etika adalah… Etika
Kita akan memberikan definisi teknis pada pandangan yang melihat bahwa esensi dari politik adalah persoalan etika dengan istilah politik etika. Etika dipandang sebagai esensi politik sejauh etika dimaknai sebagai ‘etika hidup bersama’. Kita, karenanya, masuk ke dalam problem-problem ‘ada-bersama’ (Mit-Sein).
Di balik segala argumen politik etika terdapat sebuah posisi filsafat yang tua, yaitu idealisme. Esensi mendasar politik, dalam pandangan ini, terletak pada ide yang diusungnya tentang masyarakat. Jadi begitu ide ini diubah, entah melalui reformasi atau melalui revolusi, maka politik telah mengalami perubahan yang radikal. Jadi, misalnya, ketika semua orang dalam masyarakat mengakui sentralitas ide kemanusiaan, maka politik telah jadi manusiawi, ketika semua orang mengakui bahwa meja ini adalah sejatinya sebuah kacamata dan bukan meja, maka meja telah menjadi kacamata. Bukan realitas yang penting melainkan pandangan kita, tafsiran kita, nilai-nilai moral kita, yang menentukan ‘ada’-nya dan ‘apa’-nya realitas. Konsekuensinya, dengan mengubah ide kita tentang realitas, maka realitas itu sendiri berubah. Konkritnya, dengan etika politik maka politik menjadi etis dan persoalannya telah terselesaikan.
Akan tetapi apa persoalannya? Apa persoalan yang mau diselesaikan dengan adanya politik? Mengapa orang butuh etika hidup bersama? Apa realitasnya? Kita perlu berhenti di sini dan memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu. Mengapa orang perlu berpolitik? Tentunya secara historis orang mulai melakukan aktivitas politik bukan karena hobi atau sederet persoalan aktualisasi diri lainnya. Kemunculan pengaturan masyarakat sudah tentu bukan akibat masyarakat itu ingin menjalankan permainan role-play atau sekedar mengisi waktu senggang seperti bermain petak umpet untuk merealisasikan hakikat dirinya sebagai homo ludens, misalnya. Kemunculan pengaturan masyarakat disyaratkan oleh keberadaan masyarakat itu sendiri. Agar masyarakat ada, masyarakat mesti diatur. Maka satu kelompok mesti berburu musang, sementara kelompok lain mesti mencari ramuan obat. Politik, karenanya, adalah soal pembagian kerja dalam masyarakat. Tanpa pembagian kerja ini tentu tidak akan ada masyarakat. Dengan adanya pembagian kerja, kebutuhan dasar masyarakat untuk dapat hidup dan tetap ada bisa terpenuhi. Artinya, orang berpolitik bukan untuk hobi atau aktualisasi hakikat diri melainkan untuk hidup.
Politik, dalam artinya yang mendasar, adalah politik ekonomi. Pengaturan masyarakat dalam fungsi-fungsi yang terdiferensiasi merupakan refleksi dari kebutuhan manusia untuk mencukupi syarat kehidupan materialnya. Tanpa etika masyarakat tidak mati tetapi tanpa ekonomi masyarakat pasti mati. Esensi dari sesuatu adalah syarat minimum dari adanya sesuatu, differentia specifica yang jika dilanggar maka sesuatu tak lagi ada. Syarat minimum dari adanya masyarakat adalah adanya kecukupan makan dan minum. Makanan dan minuman inilah yang disediakan melalui politik pembagian kerja. Oleh karena itu, produksi syarat kehidupan material yang paling minimum itulah yang menjadi alasan bagi adanya politik, definisinya yang paling mendasar, esensinya yang paling fundamental. Apa yang disebut ‘baik’ dan ‘buruk’ diderivasikan dari proses produksi kehidupan material ini. Politik, karenanya, tidak pernah mensyaratkan etika melainkan justru sebaliknya: etika mensyaratkan adanya politik dan politik itu sendiri mensyaratkan adanya proses pemenuhan kebutuhan hidup material—dengan kata lain, politik ekonomi.
Politik etika—yang memahami etika sebagai esensi politik—telah keliru pada aspek yang paling elementer tentang politik. Namun kekeliruan ini juga bersifat historis. Dengan semakin membumbung tingginya kebudayaan yang sejatinya bertumpu pada kerja material dalam aras produksi sarana kehidupan, kebudayaan cenderung lupa pada tanah tempatnya berpijak. Ia mengira bahwa ia adalah ruh yang melayang-layang dan mengamati kerja material dari udara dan pulang ke interioritas diri yang paling sunyi untuk merenungkan segala sesuatunya. Ia menjadi seperti sosok begawan yang manggut-manggut memaklumi silang-sengkarut pembagian kerja dan keluar dari pertapaannya dengan sebaris mantra mandraguna: etika politik. Ia lupa bahwa ketika ia mengubah idenya tentang realitas, realitas tidak ikut berubah bersamanya. Ia lupa bahwa dengan menekankan pemberantasan korupsi dan pembangunan integritas moral dalam berpolitik, emansipasi tidak lantas muncul. Etika memang menyelesaikan problem ide tentang hidup bersama tetap tidak menjawab duduk perkara hidup bersama itu sendiri. Etika menghadirkan potret berbeda tentang hidup bersama tetapi tidak mengubah hidup bersama itu sendiri sebab adanya hidup bersama ditentukan, secara mendasar, oleh proses produksi material yang menopangnya dan ini tidak bisa diselesaikan lewat etika.
Politik etika versus politik ekonomi, pada aras filsafatnya, adalah idealisme versus realisme. Distingsi tipikal yang dibangun oleh politik etika adalah distingsi antara ‘politisi-busuk’ dan ‘politisi-bersih’, antara ‘politik-uang’ dan ‘politik-etis’. Distingsi ini sejatinya adalah distingsi semu karena itu tidak menunjukkan struktur dasar realitas melainkan sekedar memandangi fenomena yang menampak di permukaan dan secara beramai-ramai memberondongnya dengan serentetan putusan moral.
Distingsi inilah yang mengemuka dalam Proposisi I di muka. Tak ada yang lebih menggelikan dan naif ketimbang menyimpulkan—seolah melalui riset atau permenungan filosofis yang mendalam—bahwa persoalan mendasar politik Indonesia adalah persoalan etika. Ini menggelikan karena mereka yang menyimpulkan ini tidak bisa membedakan antara fenomena dan kesimpulan tentang esensi fenomena. Bahwa politisi Indonesia banyak yang tenggelam dalam politik-uang inilah yang tampil sebagai fenomena di berbagai berita. Menyimpulkan bahwa fenomena adalah esensi dari fenomena berarti terjatuh ke dalam tautologi: politik yang busuk adalah politik yang tidak bermoral. Proposisi ini tidak menjelaskan apapun tentang syarat bagi adanya sesuatu yang disebut sebagai politik-uang itu. Tak ada penjelasan tentang struktur ekonomi yang membuat politik masa kini tidak bisa tidak berwujud dalam politik-uang. Tak ada penjelasan tentang basis material bagi adanya fenomena tersebut. Yang ada hanya nubuat-nubuat moral yang menyatakan sesuatu yang jelas dengan sendirinya.
Etika—Jauh/Dekat Rp. 2000
Dalam Proposisi II seolah diketengahkan bahwa kita sedang menghadapi ancaman fasisme dengan etika tertutup yang hanya bisa dijawab dalam Proposisi III, yakni dengan suatu etika terbuka. Apa sebenarnya beda antara etika tertutup dan terbuka? Yang satu melihat esensi politik dalam etika, yang lain juga melihat esensi politik dalam etika. Yang satu melihat politik sebagai sarana perwujudan ideal etis tertentu, yang lain juga begitu. Perbedaannya cuma terletak pada isi etika yang mau ditekankan: yang satu melihat etika sebagai aturan total, yang lain melihatnya sebagai sesuatu yang bisa ditawar. Tapi keduanya sama-sama memahami politik sebatas pada ide tentang politik dan tidak pernah bertanya tentang syarat bagi adanya politik. Perbedaan dari keduanya seperti perbedaan di antara dua penumpang angkutan: melihat sticker dalam angkutan yang bertuliskan ‘jauh/dekat Rp. 2000’ kedua penumpang yang sama-sama tidak membawa uang ini mendekat ke sopir dan keduanya sama-sama berkata ‘Pak, saya ga usah bayar ya’—bedanya cuma yang pertama mengatakan itu dengan nada setengah malak, yang lain mengatakannya dengan penuh sopan santun. Hasilnya jelas kita semua tahu: yang beretika preman maupun yang beretika priyayi sama-sama ditendang keluar angkutan. Segalanya setara di hadapan uang.
Segala bentuk pendekatan etis terhadap politik gagal menyadari bahwa isu terdasar dari politik adalah ekonomi. Mau diabstraksikan setinggi apapun, disodori puisi sesublim-subtil apapun, perut yang lapar tetaplah perut yang lapar. Asam lambung tak bisa diatasi dengan maksim moral. Maka dalam kondisi ini satu-satunya maksim moral yang bermakna dalam politik ekonomi adalah maksim sang sopir angkutan tadi: ‘Etika—jauh/dekat Rp. 2000.’
Hakikat Moneter Demokrasi Borjuis
Memusuhi politik yang busuk karena uang adalah berarti tidak memahami mengapa politik-uang itu niscaya dalam demokrasi kita. Pertanyaan yang semestinya muncul di benak ilmiah kita menghadapi fakta politik-uang bukanlah ‘Apakah politik-uang itu bermoral atau tidak?’ melainkan ‘Mengapa politik-uang itu menjadi niscaya dalam sistem politik yang ada?’ Politik-uang itu niscaya sejauh demokrasi yang ada sebagai bentuk pengorganisasian politik adalah ekspresi dari modus produksi kehidupan material yang melandasinya. Sejauh modus produksi Indonesia ditandai oleh ekuivalensi segala sesuatu melalui medium uang, maka politiknya niscaya berciri sama. Kendati sebuah komoditas memiliki nilai objektif yang ditentukan berdasarkan jumlah jam kerja yang dicurahkan untuk memproduksinya, akan tetapi nilai-tukarnya hanya bisa diekspresikan melalui ekuivalensi dengan seluruh komoditas lain di dalam pasar. Tak ada nilai-tukar tanpa ekuivalensi itu. Kalau sepotong baju dapat diekspresikan dalam nilai-pakai 10 bungkus rokok, maka sepotong baju itu memiliki nilai-tukar 10 bungkus rokok. Uang tak lain adalah medium ekspresi dari nilai-tukar itu. Uang mengekspresikan nilai-tukar dalam sebuah besaran yang homogen, tidak seperti ekuivalensi langsung dengan komoditas lain yang beragam. Melalui uang, semua komoditas dapat diekspresikan nilai-tukarnya secara universal dan pada taraf yang paling abstrak.
Dalam Pemilu 2009 lalu, nilai-tukar Sugeng, ‘harga adil’-nya, adalah Rp. 50.000. Artinya, nilai-tukar Sugeng setara dengan 5 bungkus rokok. Pada titik ini, ‘sepupu ethik’ kita akan berseru: “Betapa tidak manusiawi!” Ketimbang memberikan putusan moral yang selalu tautologis seperti itu, kita akan mempelajari struktur dasarnya dengan menangguhkan segala dorongan untuk memoralisasi. Apa arti persamaan ‘Sugeng = Rp. 50.000?’ Bagaimana nominal Rp. 50.000 ditentukan? Itu ditentukan, setidaknya, dari nilai komoditas rata-rata yang diperlukannya selama beraktivitas di TPS, mulai dari rokok, kopi, makan dan—kalau sudah menjelang malam—mungkin juga sedikit anggur. Jadi Sugeng berangkat ke TPS dengan mengantongi upahnya yang dibayar di muka sebesar Rp. 50.000 untuk memilih calon tertentu lalu pulang malamnya dengan sedikit teler dan uang receh. Sekarang coba kita tinggalkan si ‘pekerja suara’ ini dan menganalisis majikannya. Majikan langsung Sugeng adalah para ‘operator suara’ di lapangan. Kerja mereka adalah mengorganisasikan orang-orang seperti Sugeng dan menerima upah yang secara nominal lebih besar dari Sugeng namun tetap proporsional terhadap biaya yang mesti ia keluarkan untuk mengorganisasikan orang-orang. Puncak tertinggi dari rantai ‘produksi suara’ ini, tentu saja, adalah pasangan capres-cawapres dan kelompok donaturnya. Pada eselon tertinggi itu, kita saksikan bagaimana modal yang diinvestasikan untuk produksi suaranya tidak pernah proporsional terhadap output yang mungkin dihasilkannya. Biaya proses produksi suara tentu lebih kecil daripada kemungkinan pendapatan yang akan diperoleh—apabila menang—dari lima tahun memerintah Indonesia. Kalau tidak demikian, tak akan ada capres dan cawapres yang mau mencalonkan dirinya dan tak akan ada donatur yang mau berinvestasi pada keduanya. Fakta bahwa ada yang mau, secara politik ekonomi, tidak menunjukkan bahwa ada yang memiliki hati baik dan kepedulian sosial melainkan bahwa ada laba di sana.
Artinya, dalam proses produksi suara ini laba sudah diperoleh tidak dengan cara membayar pekerja suara dan operator suara di bawah nilainya (di bawah nilai komoditas-komoditas yang diperlukan untuk menopang proses kerja itu), melainkan sesuai dengan nilainya. Dengan kata lain, laba ratusan kali lipat dari proses produksi itu tidak diperoleh melalui pemotongan upah atau mengintimidasi dan mengancam pekerja suara. Konsekuensinya, segala putusan moral atasnya jelas mentah dengan sendirinya. Semua dibayar sesuai nilainya dan tak ada intimidasi yang esensial dalam proses ini. Tak ada ‘Pelanggaran HAM’, atau ‘Ancaman Kekerasaan’, atau ‘Represi atas Kedaulatan dan Keunikan Individu’. Semuanya berjalan seperti proses transaksi bisnis pada umumnya.
Apa arti dari semua ini? Tak lain adalah ini: kita tak bisa lagi berangkat dari asumsi bahwa politik yang berlaku saat ini tidak bermoral karena ini hanya akan membawa kita ke labirin tautologi. Itu artinya: kita harus bisa membuktikan kebobrokan politik yang ada dengan menaruh moralitas dalam posisi caeteris paribus (dengan kata lain, ditangguhkan dalam analisis) dan menunjukkan bahwa kobobrokan politik yang ada adalah cerminan yang niscaya dari kebobrokan kondisi riil dalam hubungan produksi material yang melandasinya. Singkat kata: kita harus bisa membuktikan kontradiksi politik borjuis yang bersumber dari modus produksi kapitalis tanpa mengasumsikan adanya satu tetes darahpun yang menitik akibat kapitalisme. Konsekuensinya: begitu kita dapat membuktikan kontradiksi politik borjuis secara ekstra-moral maka kita dapat membuktikannya dalam kondisi moral apapun—begitu kita dapat membuktikan kontradiksi kapitalisme tanpa menghipotesiskan adanya setetes darah dan air matapun yang tertumpah akibat kapitalisme, maka kita akan dapat membuktikan kontradiksi kapitalisme dalam kondisi di mana lautan darah dan air mata mengalir deras dari lubuk modus produksi kapitalis. Ini soal pembuktian ilmiah—tanpa etika, tanpa nubuat, tanpa melankoli. Begitu kita dapat membuktikan secara ilmiah, maka niscaya kita dapat membuktikannya juga secara melankolis. Tapi kalau kita berangkat dari pembuktian melankolis, maka kita tidak mungkin menghasilkan pembuktian ilmiah. Ilmiah berarti imanen, sesuai dengan logika internal dari objek permasalahan, sesuai dengan esensinya, tanpa memasukkan variabel-variabel yang asing terhadapnya sebagai titik pijak untuk mengevaluasinya. Mudahnya: pertama kita mesti bicara kontradiksi kapitalisme, barulah sesudahnya kita mesti bicara tentang kekacrutan kapitalisme, tentang ketidakmanusiawiannya, tentang ketotaliterannya dan seterusnya.
Percuma menyumpah-serapahi politik sebagai busuk, korup dan tak bermoral selama esensinya—yakni sebagai politik ekonomi—tidak dipahami dan kontradiksi pada modus produksinya tak dijamah samasekali. Ini adalah kekeliruan umum politik Kanan (baik dalam bentuknya yang ekstrem maupun moderat). Akan tetapi, kekeliruan ini juga mengemuka dalam politik Kiri. Kita akan melihat bagaimana moralisme Kiri gagal melihat duduk perkara politik dalam hubungannya dengan negara berikut ini.
Pelampauan Imanen atas Politik Borjuis
Kita dapat merangkumkan secara umum pokok Marxian tentang negara. Sebagai ekspresi dari perjuangan kelas, negara adalah hasil kontradiksi pada modus produksi yang mengemuka dalam perjuangan kelas. Artinya, negara tak pernah otonom: ia tak memiliki substansi pada dirinya sendiri sebagai tempat untuk berpijak. Negara bergantung pada dinamika perjuangan kelas. Citra tentang negara-berdaulat yang self-sufficient adalah ilusi yang menutupi realitas perjuangan kelas. Sebagai situs perjuangan kelas, negara adalah salah satu elemen dalam perjuangan kelas. Artinya, negara juga memegang peran determinan dalam gerak perjuangan kelas. Dinamika perjuangan kelas dipengaruhi oleh negara. Melalui struktur perwakilan dan separasi kekuasaan negara borjuis membentuk secara paksa wilayah tempat terjadinya perjuangan kelas. Dalam dua arti itu, negara tetaplah instrumen dari kelas dominan kendati bertabirkan ‘otonomi relatif’ dalam rupa institusi yang netral dan keterwakilan yang imparsial.
Pertanyaannya kemudian: dapatkah kaum Marxis mengartikulasikan dialektika di antara dua aspek negara itu sedemikian sehingga membukakan jalan bagi pelampauan atas negara? Mestikah kaum Marxis mengamini apa yang dinyatakan oleh Holloway, Negri dan Hardt bahwa menghancurkan negara dengan cara mengambil-alihnya adalah terjatuh ke dalam lubang yang sama? Haruskah kaum Marxis mengikuti apa yang dicontohkan mereka dengan menjaga jarak dari negara dengan cara langsung membangun komune-komune yang otonom terhadap negara tanpa melakukan kontestasi kekuasaan samasekali? Haruskan kaum Marxis menjauhkan diri sebisa mungkin dari apa yang mereka sebut sebagai Kuasa?
Kita hanya perlu menunjukkan dua teks pendek dari Marx dan Engels untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu: Indiferentisme Politik dan Tentang Otoritas. Kedua teks itu ditulis dalam konteks yang sama, yakni untuk melawan tendensi ‘ultra-kiri’ di Italia yang menolak perjuangan politik proletariat dalam partai karena menganggap bahwa partai itu niscaya birokratis (dan karenanya buruk), penuh otoritas (dan karenanya otoritarian), yang menolak perjuangan ekonomi karena menganggap bahwa perjuangan untuk kenaikan upah berarti mengakui relasi kerja-upahan, dan yang menolak segala bentuk negosiasi politik karena menganggapnya jatuh pada kompromi (dan karenanya tidak otentik).[1] Mereka menyebut dirinya kaum Otonomis dengan slogan: kebebasan, otonomi, anarkhi. Mereka membuat ideologi perjuangan kelas proletariat menjadi semacam etika revolusi. Engels menunjukkan letak soalnya:
Adalah absurd untuk berbicara tentang prinsip otoritas sebagai sesuatu yang jahat secara absolut dan tentang prinsip otonomi sebagai yang baik secara absolut. Otoritas dan otonomi adalah hal yang relatif, yang cakupannya berbeda-beda tergantung pada tahapan yang berbeda dalam perkembangan masyarakat. Jika kaum otonomis membatasi diri mereka dengan menyatakan bahwa organisasi sosial masa depan akan membatasi otoritas sampai di dalam batas di mana kondisi-kondisi produksi membuatnya tak terelakkan, maka kita dapat memahami satu sama lain; tetapi mereka buta pada semua fakta yang membuat halnya niscaya dan mereka secara berkobar-kobar justru memerangi katanya.[2]
Inilah juga hal yang secara prinsipil ditekankan Lenin dalam karyanya, Komunisme ‘Sayap Kiri,’ Sebuah Penyakit Kekanak-kanakan. Ia tuliskan di sana:
Kaum revolusioner yang belum berpengalaman biasanya berpikir bahwa metode perjuangan yang legal itu oportunis sebab, di lapangan ini, kaum borjuis telah kerapkali menipu para pekerja (terutama di masa ‘damai’ dan non-revolusioner), sementara metode perjuangan ilegal bersifat revolusioner. Ini, bagaimanapun juga, keliru. […] Bukanlah hal yang sulit untuk menjadi seorang revolusioner ketika revolusi telah meledak, ketika setiap orang bergabung dengan revolusi hanya karena mereka terbawa suasana, sebab itu hampa, dan terkadang berdasarkan motif-motif kariris. […] Adalah hal yang jauh lebih sulit—dan jauh lebih berharga—untuk menjadi seorang revolusioner tatkala kondisi bagi perjuangan massa revolusioner yang langsung dan terbuka belum ada, untuk mampu memimpin kepentingan revolusi (melalui propaganda, agitasi dan organisasi) dalam badan non-revolusioner, dan kerapkali dalam badan yang terang-terangan reaksioner, dalam situasi non-revolusioner, di antara massa yang belum mampu mengapresiasi langsung keperluan bagi metode aksi yang revolusioner.[3]
Di sini Lenin mengritik tendensi keilegal-ilegalan atau ekstra-parlementarisme murni gerakan Kiri di Rusia. Akan tetapi pada prinsipnya yang ia persoalkan sebangun dengan yang dipersoalkan Marx dan Engels terhadap kaum Otonomis Italia, yakni keterjebakan pada ‘moral revolusi’ dan pengabaian atas konjungtur ekonomi-politik konkrit yang menjadi landasan bagi setiap tatanan dan perlawanan atas tatanan.
Kembalilah kita pada pertanyaan awal: mestikah kaum Marxis menghindari pengambil-alihan negara dengan alasan bahwa mereka akan terkontaminasi oleh ‘logika Negara’? Jawabnya sederhana: sejauh negara adalah ekspresi dari perjuangan kelas, maka ‘logika Negara’ juga diderivasikan dari ‘logika’ perjuangan kelas. Artinya, problem kontaminasi ‘logika Negara’ adalah pseudo-problem sejauh tak ada pengertian yang konkrit tentang situasi ekonomi-politik yang menjadi syarat adanya negara dan perlawanan atas negara (maupun perlawanan atas ‘logika’-nya). Ketimbang terjebak dalam perlawanan fiktif terhadap logika, akan lebih produktif jika kita menempatkan problem pelampauan atas negara dalam kerangka dialektika antara ekspresi dan situs perjuangan kelas.
Karena negara adalah ekspresi dari perjuangan kelas, maka negara dapat dibatalkan melalui perjuangan kelas. Dengan kata lain, karena negara tak memiliki substansi tersendiri (substratum: landasan pejal tempat bertumpu), karena substansi negara adalah dinamika perjuangan kelas, maka tidak ada cara lain untuk mengatasi negara selain dengan mengubah dinamika perjuangan kelas itu sendiri, turut mengintervensinya. Secara bersamaan, karena negara adalah situs perjuangan kelas, konsekuensinya pelampauan atas negara hanya dapat dilancarkan dengan mengeksplisitkan kontradiksi ekonomi-politik yang menjadi situs bagi adanya negara itu sendiri. Sebab tak ada revolusi politik yang berarti tanpa revolusi ekonomi-politik, sebagaimana kritik atas Kuasa adalah hampa tanpa kritik atas konfigurasi ekonomi-politik yang menjelaskannya.[4] 4
Berlawanan dengan posisi libertarian-sosialis, kaum Marxis tak hendak mendestruksi negara dengan jalan menjauhinya, dengan masuk ke rimba purba yang jauh dari pusat Kuasa untuk membangun komune seraya merealisasikan sosialisme sekarang juga. Kaum Marxis hendak melampaui negara secara imanen—artinya, dengan masuk ke dalam struktur kekuasaan, mengambil-alihnya dan mendestruksinya dari dalam. Destruksi imanen ini tak akan terjadi selama kondisi-kondisi yang menjelaskan adanya negara belum dibereskan—kepemilikan privat, relasi kerja-upahan, kontradiksi kapital dan kerja. Berhasil atau tidaknya destruksi imanen atas negara—dalam arti, keberhasilan kediktatoran proletariat—tidak pernah ditentukan oleh perkara ada/tidaknya birokratisme dan sejenisnya, melainkan ditentukan dari berhasil/tidaknya melenyapkan syarat-syarat bagi adanya negara itu sendiri.***
Martin Suryajaya, mahasiswa STF Drijarkara, jakarta, aktif di Forum Komunitas Marx
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Jurnal Problem Filsafat, edisi Januari, 2012. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.
[1] Marx membahasakan-ulang tuntutan-tuntutan mereka ini dengan gaya reductio ad absurdum: ‘The working class must not constitute itself a political party; it must not, under any pretext, engage in political action, for to combat the state is to recognize the state: and this is contrary to eternal principles. Workers must not go on strike; for to struggle to increase one’s wages or to prevent their decrease is like recognizing wages: and this is contrary to the eternal principles of the emancipation of the working class! If in the political struggle against the bourgeois state the workers suceed only in extracting concessions, then they are guilty of compromise […]. They must not even exert themselves in order legally to prohibit the employmentin factories of childern under the age of ten, because by such means they do not bring to an end the exploitation of children over ten: they thus commit a new compromise, which stains the purity of the eternal principles.’ Karl Marx, Political Indifferentism dalam Karl Marx, Political Writings Volume 3: The First International and After diedit oleh David Fernbach (London: Penguin), 1981, hlm. 327.
[2] Frederick Engels, ‘On Authority’ dalam Karl Marx dan Frederick Engels, Selected Works Volume I (Moscow: Foreign Languages Publishing House), 1962, hlm. 638.
[3] V.I. Lenin, ‘Left-Wing’ Communism, An Infantile Disorder’ dalam Paul Le Blanc (ed.), Lenin: Revolution, Democracy, Socialism (London: Pluto Press), 2008, hlm. 314-315.
[4] Dalam kritiknya atas Bakunin, Marx menulis: ‘A radical social revolution depends on certain definite historical conditions of economic development as its pre-condition. […] Bakunin […] understands absolutely nothing about the social revolution, only its political phrases. Its economic conditions do not exist for him. As hitherto existing economic forms, developed or undeveloped, involve the enslavement of the worker (whether in the form of wage-labourers, peasant etc.), he believes that a radical revolution is possible in all such forms alike. Still more! He wants the European social revolution, premised on the economic basis of capitalist production, to take place at the level of the Russian or Slavic agricultural and pastoral peoples […] The will, and not the economic conditions, is the foundation of his social revolution.’ Karl Marx, ‘Conspectus of Bakunin’s Statism and Anarchy’ dalam Karl Marx, Political Writings Volume 3, hlm. 335.