Memanfaatkan Momentum May Day Untuk Membangun Opini Publik
Hari itu, May Day 1993, suara alto yang keras memenuhi Union Square di New York,
“Bangkitlah, hai para pekerja di dunia. Bangkitlah, hai kaum yang malang di bumi.” Sesaat kemudian 50.000 orang serentak menyanyikan himne lagu perjuangan buruh.
Hari itu juga menandai, hari pertama penerbitan koran tabloid delapan halaman, The Catholic Worker. Dorothy Day, 35 tahun, salah satu pendiri koran tersebut, tampak membagi-bagikan The Catholic Worker di tengah-tengah aksi. Ketika itu, Dorothy, melihat lebih banyak kebingungan daripada antusiasme pada pembaca tabloid. “Bagaimana mungkin sebuah koran radikal diterbitkan oleh orang-orang katolik? Bukankah gereja katolik anti komunis, lalu kenapa mereka mendukung gerakan pekerja?”
Pada May Day tahun yang lalu, saya menyaksikan long march puluhan ribu buruh dari bundaran HI sampai ke Istana Negara. Ketika itu saya melihat air mata berkilauan dari pelupuk mata orang-orang yang seringkali dituduh sebagai biang macet, kadang-kadang bahkan dijelaskan sebagai kaum yang seringkali menghambat usaha pembangunan ekonomi, atau dikatakan sebagai kaum radikal tak berotak. Bahkan, kata “Buruh,” maknanya disusun negatif oleh Orde Baru sebagai kaum kiri yang katanya komunis dan karena itu juga ia atheis.
Dorothy, memilih koran tabloid sebagai senjatanya perjuangannya. Melalui The Catholic Worker, ia menyerukan perjuangan untuk tidak sekedar membantu para budak, tapi lebih mendasar lagi, yaitu, menghapus perbudakan upah. Ia bertanya dimana para Santo dan Santa yang mencoba mengubah tatanan sosial? Dimana agama berdiri dalam tatanan sosial yang selalu saja menghasilkan orang miskin? Dorothy Day sering menegaskan bahwa ia sendiri dan para rekannya di The Catholic Worker sedang melayani Kristus, bila mereka melayani orang-orang miskin dan terlantar. Dorothy Day, radikal sekaligus saleh.
Dorothy disebut dalam otobiografinya yang ditulis oleh Jim Forest sebagai “Sahabat kaum merah.” Melalui “berita-berita revolusionernya” di The Catholic Worker, Dorothy merekam dan mengabarkan jejak-jejak protes kaum buruh terhadap perlakuan tidak adil kaum modal, hukum dan kebijakan Negara yang tidak memihak kaum buruh, tekanan atas biaya hidup yang semakin tinggi seiring upah riil yang semakin merosot. Dalam The Catholic Worker, Dorothy juga menyerukan penolakannya atas perang, menyerukan agar orang-orang mangkir dari wajib militer, menyerukan perdamaian. Kantor The Catholic Worker yang sederhana juga sering dijadikan tempat pertemuan-pertemuan untuk merencanakan pemogokan, mengakhiri pemogokan, bahkan membentuk serikat buruh dan melawan serikat buruh yang hanya menjadi kepanjangan tangan penguasa.
Dorothy, meliput aksi massa buruh sambil ikut menyanyikan lagu “Internationale.” Lewat laporannya, ia sesungguhnya sedang memotret kemiskinan yang dialami para buruh ketika itu, agar publik pembaca tahu, agar publik pembaca sadar, agar publik pembaca bersikap dan mendukung perjuangan kaum buruh dalam suatu upaya “penghapusan perbudakan.”
Dan inilah May Day, ketika kaum pekerja dari berbagai latarbelakang merayakan harinya, ketika mata berbinar sambil menatap hari depan yang lebih baik, ketika mata terpejam sambil membayangkan sejarah perlawanan yang sangat panjang, semuanya demi dunia yang lebih baik.
Namun saya seringkali mendengar komentar, bahwa aksi massa buruh dalam May Day, atau dalam demonstrasi-demonstrasinya hanyalah sumber kemacetan, dan justru membuat buruh lainnya jadi telat datang ke kantornya. “May Day adalah hari macet!” kata seorang teman yang bekerja di sekitar Bundaran HI. Dan mungkin inilah wajah opini publik kita.
Maka, melalui semangat Dorothy Day salah satunya, mari kita rayakan May Day sebagai momentum untuk membangun opini publik, agar perjuangan kaum buruh dimengerti dengan benar. Mari kita buktikan, kaum radikal juga bisa saleh, dan aksi buruh bukan sumber kemacetan!***
Depok, 23 April 2009
Tubagus Abu Mufakhiradalah Mahasiswa di Jurusan Komunikasi Massa, Universitas Indonesia. Pernah aktif di LSM perburuhan.