CERITA YANG SALAH
pada malam-malam larut, angin tak pernah surut
tak pula memberi isyarat tentang cerita yang sudah salah dari mula
dan, ia terjaga, meratapi karma yang pernah ia semai sendiri di rahimnya
“aku kunti, aku kunti.”
rapalnya berulang-ulang
ia pernah mencintai arah
mengikuti bayang senja, merasa tak pernah salah
ia pernah berdiri dengan tegak, menantang cahaya yang memperkosa
hanya karena hari itu, ia salah merapal mantra
“aku kunti,” bisiknya pada luka
pada cinta yang membusuk menjadi kesumat
pada anak-anak waktu yang tidak ia minta, tapi ditakdirkan langit untuknya
pada malam dan bau busuk dari liang-liang hitam mimpi buruk
“aku kunti.”
kali ini, ia mendesak
“dan, aku tak pernah ingin menjadi kunti.”
akhirnya, ia mengisak
kereta kuda itu pergi
karna tak pernah berpaling lagi
PADA DENTANG JAM KEBERAPA, KAU PULANG KE TAKDIRMU?
secangkir mimpi dari langit yang koyak separuh
frame-frame masa lalu yang semakin terlihat rapuh
mengantung tanpa ada yang peduli
di tiang-tiang listrik kota, di persimpangan mimpi-mimpi alpa
kaukah yang menjelma perempuan itu?
menaruh nasib terlalu dekat dengan persimpangan
meski di sana, lampu memerah begitu cepat
dan, kau tak pernah tahu, jika sebentar saja berjalan lambat
doa-doa baik akan dicegat
diambil mereka yang lebih dulu mampu mengingat
dentang terdengar dari stasiun kereta
mengabarkan harapan yang baru saja turun
atau sekadar membawa rindu yang tertukar dari stasiun ke stasiun
kau semakin menjelma perempuan itu
meratapi kota dan orang-orang tergesa, yang tak lagi menjanjikan akhir bahagia
mereka yang lupa akan dongeng-dongeng hampir sempurna
lalu, kau tak lagi bertanya
memilih menyerah pada orang-orang yang menudingmu
pada nasib dan kabar buruk yang mereka jejalkan dalam kantung hidupmu
kau semakin menjelma perempuan itu
lalu, pada dentang jam keberapa kau akan pulang ke takdirmu?
SEMANGKUK NEGERI SEGURIH ABU BANGKU SEKOLAH
aku sedang memasak semangkuk negeri
di atas kompor dengan air setengah mendidih
bunyi yang amat kau kenal. rengek anak dengan mata
bau muntah. sumpah serapah dan derik rel kereta kelebihan hidup.
kusiapkan semangkuk negeri dengan aroma air mata
dalam air setengah mendidih
api kecil yang terus bertahan untuk menyala, membakar dan membakar
wajan paling besar yang pernah kau bayangkan
rempah paling pedas yang kudapat didekat puing dan abu bangku sekolah
masih belum gurih
api kecil. terus membakar
kemudian, kuberi sedikit asin dari perempuan yang tidur di langit.
kehabisan tanah
semangkuk negeri segurih abu bangku sekolah, siapa ingin menambahkan rasa?
*Gita Romadhona: seorang editor di sebuah penerbitan di Jakarta. Sajak-sajaknya terkumpul dalam berbagai antologi, antara lain Musim Bermula (Antologi Sajak Perempuan Penyair Indonesia, Riau, 2001), Tadarus Puisi (Jambi, 2002), Kemilau Musim (Antologi Sajak Perempuan Penyair Indonesia, Riau, 2002), Nominasi Krakatau Awards 2002 (Lampung, 2002) Bisikan Kata, Teriakan Kota (Dewan Kesenian Jakarta, 2003) Les Cyberletters (Jakarta, 2004), Jurnal Puisi, (2003) TANAH PILIH, (Bunga Rampai Puisi Temu Sastrawan Indonesia I, 2008), dan Empat Amanat Hujan (Dewan Kesenian Jakarta, 2011). Email: gitaromadhona@gmail.com, FB: gita romadhona, Twitter: @gitaromadhona, Blog: www.secangkircokelat.blogspot.com.