1 MEI tahun ini, kita kembali merayakan ulang tahunnya kelas pekerja sedunia. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kita juga menyaksikan betapa hidup kelas pekerja masih berkutat pada soal-soal ekonomi: gaji rendah dan ancaman PHK yang selalu mengintai. Bahkan, ada kecenderungan gerak menurun: kian hari kekuatan kelas pekerja kian melemah, jatuh dalam perjuangan sektoral dan lokal, dan berwatak sektarian. Bertolak belakang dari watak sejati kelas pekerja, yang dinisbahkan sebagai kelas paling terorganisir dan bersifat internasional.
Dalam kondisi macam itu, layak diajukan pertanyaan: bagaimana kita menempatkan May Day tahun ini di tengah-tengah cengkeraman imperialisme yang terkuat sepanjang sejarahnya? Bagaimana agar perayaan May Day tidak jatuh pada ritual semata: sekadar berpesta sehingga kehilangan esensinya: pembebasan kelas pekerja? Bagaimana kita menjadikan May Day, sebagai ajang bersatunya seluruh elemen kelas pekerja? Tulisan ini mencoba membaca kembali May Day dari sudut pandang gerakan kelas pekerja.
Tuntutan 8 Jam Kerja
Pada mulanya, May Day adalah hari rayanya kaum Pagan (penganut agama-agama kuno) di Eropa. Setiap 1 Mei, kaum Pagan merayakannya sebagai hari pertama berkecambahnya tanaman di musim semi. Masyarakat Celts dan Saxons kuno, merayakan May Day sebagai hari raya Beltane atau hari raya Api. Bel adalah Tuhan Matahari bagi kaum Celtic. Tetapi, tidak ada yang menyimpulkan bahwa peringatan May Day di era modern ini, sebagai kelanjutan tradisi suku bangsa Celtic di Kepulauan Inggris itu. Sejarah May Day modern, adalah sejarah gerakan perlawanan kelas pekerja terhadap penindasan kelas borjuasi.
Ceritanya, setelah terjadi revolusi industri di Inggris dan revolusi politik di Perancis pada abad ke-18, muncul sebuah masyarakat baru yang disebut Karl Marx, sebagai masyarakat kapitalis. Dalam Manifesto Partai Komunis, Karl Marx dan Frederick Engels menjelaskan ciri-ciri masyarakat baru ini:
“Masyarakat borjuis modern yang tumbuh dari reruntuhan masyarakat feodal tidak menghilangkan pertentangan-pertentangan kelas. Ia hanya menciptakan kelas-kelas baru, syarat-syarat penindasan baru, dan bentuk-bentuk perjuangan baru sebagai ganti yang lampau.
“Tetapi zaman kita, zaman borjuasi, mempunyai sifat istimewa: ia telah menyederhanakan pertentangan-pertentangan kelas. Masyarakat seluruhnya semakin lama semakin terpecah menjadi dua golongan besar yang langsung berhadapan satu sama lain – borjuasi dan proletariat.”
Bersandar pada analisa Manifesto, tampak bahwa kelangsungan hidup masyarakat borjuis modern didasarkan pada penghisapannya atas kaum proletariat. Penghisapan itu sedemikian kejamnya, sehingga kelas buruh hanya bisa bekerja untuk makan hari ini demi mempertahankan hidupnya agar bisa bekerja pada esok harinya. Karena itu Manifesto mengatakan, proletariat adalah sebuah kelas yang hanya hidup selama mereka mendapat pekerjaan, dan hanya mendapat pekerjaan selama kerja mereka memperbesar kapital.
Akibat penindasan yang terus berlarut itu, mulai muncul perlawanan kaum buruh di tingkat pabrik. Tuntutannya berkisar pada pengurangan jam kerja per minggu. Di Philadelphia, Amerika Serikat (AS), pada 1791 tukang kayu melakukan pemogokan menuntut 10 jam kerja sehari. Pada 1835, kaum buruh Philadelphia kembali mengorganisir sebuah pemogokan umum, yang dipimpin oleh buruh tambang batubara Irlandia. Dalam pemogokan itu, mereka memasang spanduk dengan tuntutan “From 6 to 6, ten hours work and two hours for meals.” Empat tahun kemudian, pada 1839, di tempat yang sama tuntutan 10 jam kerja sehari itu telah menjadi tuntutan umum.
Gerakan menuntut 10 jam kerja sehari tersebut, kemudian mulai berdampak nyata pada kehidupan kaum buruh. Dari tahun 1830 sampai 1860, rata-rata kerja sehari berkurang dari 12 jam menjadi 11 jam. Pada tahun 1866, berlangsung Kongres Umum Pekerja di Baltimore, AS. Seperti dicatat Marx, Kongres itu dalam deklarasinya mengatakan, “Tugas pertama dan mendesak saat ini, adalah membebaskan negeri ini dari perbudakan kapitalis, dengan jalan menjadikan tuntutan 8 jam kerja sehari sebagai hari kerja normal di seluruh pabrik di AS.”
Setelah keluarnya deklarasi tersebut, dimulailah pengorganisiran-pengorganisiran untuk menuntut 8 jam kerja sehari. Dengan di organisir oleh Federation of Organized Trades and Labor Unions of the United States and Canada (FOTLU), sekitar 350 ribu orang dari seluruh AS melakukan demonstrasi massal menuntut pengurangan jam kerja, dari 10 jam sehari menjadi 8 jam kerja sehari. Di tempat lainnya, tepatnya di Chicago, pada 1 Mei, sekitar 90 ribu orang berdemonstrasi di jalanan, dimana sekitar 40 ribu dari mereka melakukan pemogokan. Dua hari kemudian, polisi membubarkan demonstrasi ini dengan kekerasan, sehingga menyebabkan enam orang terbunuh. Di kota New York, sekitar 10 ribu orang melakukan long march menuju Union Square. Ketika, aksi massa di Chicago dibubarkan paksa oleh polisi pada 3 Mei, keesokan harinya tanpa mengenal rasak takut, kaum buruh kembali melakukan rally menuju Haymarket Square di Chicago. Dalam aksi damai tersebut, polisi tiba-tiba melemparkan bom ke tengah-tengah barisan demonstran, sehingga mengakibatkan delapan orang terbunuh, 200 lainnya mengalami luka-luka. Tragedi ini kemudian dikenal dengan nama “Chicago Eight.”
Pemogokan umum menuntut 8 jam kerja itu, sungguh menggentarkan jantung kelas borjuasi. Dengan memanfaatkan koran-koran terkemuka, mereka menuduh gerakan kaum buruh telah disusupi orang-orang Komunis. Tetapi, para buruh tak peduli. Samuel Gompers, pemimpin Knight of Labor, yang berorasi di Union Square mengatakan, “1 Mei selamanya akan dikenang sebagai Deklarasi Kemerdekaan yang Kedua.”
Perkembangan gerakan buruh yang terjadi di AS, segera menyebar ke daratan Eropa. Pada 1989, lebih dari 400 delegasi bertemu di Paris, Perancis, bertepatan dengan peringatan 100 tahun Revolusi Perancis. Mereka berkumpul untuk menghadiri Kongres Sosialis Internasional yang pertama. Samuel Gompers yang ikut dalam pertemuan itu lantas mengusulkan agar dilaksanakan aksi pada 1 Mei 1890. Kongres juga menyatakan, 1 Mei sebagai hari buruh internasional yang kemudian populer dengan istilah May Day.
Tak lama berselang, pada 1 Mei 1890, demonstrasi massal memperingati Mayday berlangsung di AS dan dibanyak negara Eropa. Frederick Engels, yang saat itu melakukan aksi bersama dengan setengah juta pekerja di Hyde Park, London, pada 3 Mei, menulis,
“Ketika saya menuliskan ini, proletariat Eropa dan Amerika sedang menimbang kekuatannya; mereka memobilisasi untuk pertama kalinya dalam satu balatentara, di bawah satu bendera, dan berjuang untuk satu tuntutan mendesak: 8 jam kerja sehari.”
Demonstrasi juga terjadi di Chile dan Peru. Di Havana, Kuba, kaum buruh melakukan aksi turun ke jalan yang pertama kali dalam memperingati May Day dengan tuntutan: “8 jam kerja sehari, hak yang sama bagi warga kulit hitam dan putih, dan persatuan kelas pekerja.” Di Rusia, Brasil, dan Irlandia, Mayday pertama kalinya dirayakan pada 1891. Pada 1904, Internasional Kedua, menyerukan kepada seluruh kaum sosialis dan serikat buruh di seluruh negeri untuk “Berdemonstrasi sepenuh tenaga” pada tiap 1 Mei. Tujuannya, “tuntutan 8 jam kerja sehari diakui secara legal, sebagai tuntutan kelas proletariat, dan untuk perdamaian universal.”
May Day Saat Ini
Kini, May Day telah menjadi salah satu hari raya yang diakui secara internasional. Setiap 1 Mei, seluruh rakyat pekerja di berbagai negeri melakukan pesta nasional dengan cara turun ke jalan-jalan. Tapi, kalau kita lihat makna peringatan 1 Mei, akan kita temukan kenyataan bahwa hingga kini rakyat pekerja masih ada dalam posisi yang digambarkan Marx, “sebuah kelas yang hanya hidup selama mereka mendapat pekerjaan, dan hanya mendapat pekerjaan selama kerja mereka memperbesar kapital.”
Bahkan lebih dari masa-masa sebelumnya, perjuangan kelas pekerja (buruh tani, buruh industri, buruh kontrak, pengangguran kota, suku anak dalam, gerakan perempuan, kelompok masyarakat, dan pegawai negeri tingkat rendahan), semakin sulit. Kemenangan Revolusi 17 Oktober 1917 di Rusia, yang merupakan negara kelas pekerja yang pertama, pada satu masa telah memberikan inspirasi kepada kelas pekerja di seluruh benua untuk bangkit meraih kemenangannya atas kelas borjuas. Tetapi, kebangkrutan Stalinisme di Uni Sovyet, juga telah memupus harapan, impian, semangat, dan kerja keras kelas pekerja di seluruh dunia. Terjadi krisis ideologi, krisis keyakinan di kalangan kelas pekerja, bahwa mereka bisa membebaskan dirinya dari penindasan dan penghisapan kelas borjuasi.
Pada satu ketika, melalui selembar kertas bernama saham, kelas pekerja terjatuh dalam pelukan kapitalisme untuk menjadi kaya, untuk ikut “memiliki” alat-alat produksi. Pada masa yang lain, ketika kapitalisme bertumbuh pesat dan upah buruh sedikit meningkat, kaum buruh enggan turun ke jalan, takut gaji besar yang diterimanya hilang.
Namun saat ini kita menemukan kenyataan, kemenangan kapitalisme berarti kekalahan bagi kelas pekerja. Mimpi yang ditawarkan pada kelas pekerja itu ternyata bohong belaka. Justru melalui selembar saham itu, modal kelas pekerja kembali dirampas dengan liciknya. Hasil penelitian perhimpunan bantuan hukum Indonesia (PBHI) menunjukkan, sepanjang tahun 2001 terjadi 182 kasus perburuhan seperti, kasus pemogokan, pemutusan hubungan kerja (PHK), upah dan tunjangan termasuk pesangon, serta kondisi kerja yang buruk. Angka tingkat pengangguran tak kunjung turun, bahkan semakin bertambah dengan hengkangnya beberapa perusahaan multinasional ke luar negeri. Berdasarkan publikasi terbaru BPS, angka pengangguran meningkat hingga 45 juta orang.
Tetapi, inilah kehebatan kelas pekerja yang sulit ditaklukkan oleh legiun-legiun kapitalis. Justru di saat kondisi hidup kian memburuk, kelas pekerja selalu kembali bangkit bergerak dan berlawan. Perlawanan itu mulai dari yang kecil-kecil hingga yang berskala massal; dari tingkat desa di belahan dunia Selatan, hingga ke jantung kota metropolitan di belahan bumi Utara; dari tingkat pabrik, hutan-hutan lebat di Amazon, hingga ke kampus-kampus mentereng; dari tuntutan pemenuhan hak-hak normatif hingga ke tuntutan yang sifatnya politik-ideologis. Seluruh kelas pekerja di dunia, kini sedang bergerak bersama dengan penuh semangat, lebih dari masa-masa sebelumnya. Memang tidak dalam satu barisan yang seragam, tidak pula dipandu oleh ideologi yang dogmatik ataupun ujar-ujar moral dan religi yang kaku.
Bagi kalangan progresif, keadaan ini adalah tantangan sekaligus harapan. Pengalaman buruk di bawah Stalinisme, telah membuat kelas pekerja tak begitu mudah memenuhi ujaran siapapun. Dan memang, kita harus menyadari bahwa kemenangan kelas pekerja tak bisa dibangun dari atas, dari praktek yang paternalistik, elitis, dan dogmatik. Seperti dikatakan Ernest Mandel, seorang aktivis revolusioner Belgia, “Kita harus merenungkan dan menyampaikan sumbangan Karl Marx yang utama pada dunia politik: kebangkitan dan kemandirian kelas pekerja akan menjadi karya dari kaum pekerja itu sendiri.”
Menyambut peringatan May Day tahun ini, tahun yang digenangi darah dan air mata, tahun dimana krisis makin parah, saya mengingatkan kita semua untuk mengikatkan diri pada Deklarasi Umum Kongres Pekerja AS, di Baltimore: “Tugas pertama dan mendesak saat ini, adalah membebaskan negeri ini dari perbudakan kapitalis.”***