Logika Valorisasi di Rantai Pasok Perikanan Taiwan–Indonesia

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: SPA


DALAM kapitalisme global kontemporer, dinamika produksi dan sirkulasi nilai tidak dapat dipahami hanya melalui deskripsi empiris atau pengalaman individual. Proses tersebut harus dibaca pada struktur material terdalam, tempat relasi antara kapital dan kerja bekerja dalam bentuk yang paling esensial. Ekonomi dunia kini tidak lagi dapat dilihat sebagai kumpulan ekonomi nasional, tetapi sebagai satu kesatuan yang diatur oleh logika akumulasi kapital transnasional.

Dalam konteks inilah, figur pekerja migran di sektor perikanan laut jauh Taiwan–Indonesia menjadi titik observasi penting untuk memahami bentuk historis kapitalisme pada fase logistiknya. Analisis tidak cukup berhenti pada gambaran kondisi kerja atau kecaman moral, sebab itu hanya menyentuh lapisan permukaan. Yang perlu diurai adalah struktur sosial yang memungkinkan rezim eksploitasi ekstrem berlangsung terus-menerus dan menjadi normal.

Mengikuti Marx (1867/1990), kapitalisme tidak dapat berjalan tanpa cadangan tenaga kerja yang berlebih. Kelebihan pekerja bukan kecelakaan, tetapi syarat bagi akumulasi. Dalam konteks perikanan laut jauh, hal ini tampak melalui memburuknya kondisi ekonomi dan ekologi pesisir Indonesia, melemahnya perikanan tradisional, privatisasi ruang laut, serta ekspansi ekstraktivisme yang mendorong warga kehilangan alat-alat reproduksi sosial. Situasi tersebut menjadi bentuk mutakhir dari akumulasi melalui perampasan (Harvey, 2003), yang memaksa masyarakat berubah menjadi tenaga kerja mobile yang mudah didisiplinkan.

Migrasi kemudian muncul sebagai proses dialektis. Ia dipromosikan sebagai peluang individual, padahal secara material merupakan konsekuensi dari runtuhnya kondisi reproduksi sosial. Utang perekrutan yang besar bukan sekadar maladministrasi, tetapi mekanisme kontrol yang menundukkan pekerja bahkan sebelum mereka naik ke kapal. Dalam kerangka ini, kontrak kerja bukanlah simbol kebebasan, melainkan institusionalisasi penyerahan diri kepada kapital.


Laut sebagai Pabrik tanpa Dinding

Dalam arsitektur rantai pasok global, laut bukan ruang kosong tanpa yurisdiksi, tetapi arena politik yang sangat produktif bagi kapital. Di dalamnya terdapat fragmentasi hukum yang menciptakan zona penangguhan regulasi. Kondisi ini memungkinkan penghilangan perlindungan legal dan menghasilkan kategori pekerja yang dapat dikorbankan.

Di Taiwan, pemisahan kewenangan antara Ministry of Labour untuk pekerja darat dan Fisheries Agency untuk pekerja perikanan laut jauh bukan sekadar kelemahan tata kelola. Pemisahan tersebut membentuk teknologi pemerintahan diferensial yang menciptakan hierarki hak. Pekerja migran ditempatkan sebagai subjek hukum yang tidak penuh sehingga dapat diperas maksimal tanpa risiko politik berarti.

Kapal perikanan laut jauh berfungsi sebagai pabrik tanpa dinding. Di ruang ini, batas antara produksi dan reproduksi hilang sepenuhnya. Waktu hidup pekerja terserap oleh waktu kerja. Melalui penghapusan batas tersebut, kapital dapat mengekstraksi nilai lebih absolut melalui pemanjangan jam kerja dan nilai lebih relatif melalui peningkatan produktivitas. Biaya reproduksi tenaga kerja dialihkan sepenuhnya kepada keluarga di Indonesia, sementara kapital menyerap seluruh nilai yang dihasilkan.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Infrastruktur logistik global, mulai dari teknologi pendingin, jaringan kapal, pelelangan internasional hingga finansialisasi komoditas, adalah akumulasi kerja mati yang tampak bernilai secara otonom. Padahal nilai hanya muncul dari kerja hidup. Fetišisme komoditas bekerja dengan menyembunyikan tubuh pekerja sehingga ikan yang dilelang di pasar internasional tidak dipersepsi sebagai koagulasi waktu hidup manusia, melainkan objek netral tanpa sejarah.

Jika dibaca melalui teori sistem-dunia, rantai pasok perikanan memperlihatkan bagaimana hierarki global direproduksi. Taiwan berada pada posisi semi-periferi dan ditekan oleh kompetisi internasional untuk menurunkan biaya produksi. Indonesia berada pada posisi periferi, berfungsi sebagai penyedia tenaga kerja murah yang dapat diganti. Relasi ini bukan pertukaran seimbang, tetapi mekanisme transfer nilai yang konsisten mengalir dari tubuh pekerja ke pusat kapital global.

Dalam konfigurasi ini, negara tidak pernah netral. Negara Taiwan memproduksi segmentasi yuridis yang memisahkan warga yang dilindungi dan pekerja yang dapat dikorbankan. Negara Indonesia mendorong remitan sebagai substitusi kebijakan sosial, mengubah kemiskinan struktural menjadi sumber pemasukan negara. Kolaborasi kedua negara bukan penyimpangan dari logika kapital, melainkan bagian dari mekanisme reproduksinya.


Ideologi, Invisibilitas, dan Produksi Keterkorbanan

Eksploitasi dalam rantai pasok perikanan laut jauh tidak muncul sebagai kekerasan terbuka, melainkan sebagai rasionalitas yang dinormalisasi. Ideologi bekerja sebagai teknologi pembentukan persetujuan, mengubah keterpaksaan material menjadi pilihan moral individual. Ungkapan seperti “mencari rezeki”, “demi keluarga”, atau “peluang emas” berfungsi menutupi struktur pemaksaan dan membuatnya tampak sebagai tindakan sukarela.

Mechanisme ideologis ini menciptakan hegemoni kapital, yaitu dominasi melalui normalisasi, bukan paksaan langsung. Penderitaan pekerja kemudian tidak dipahami sebagai kegagalan sistem, tetapi sebagai konsekuensi yang dianggap wajar dari mobilitas sosial. Aparatus negara, media, dan lembaga pendidikan vokasional menguatkan proses ini dengan membentuk subjektivitas yang patuh pada logika mobilitas dan risiko.

Di dalam sirkuit kapital global, pekerja migran memikul beban yang semestinya menjadi tanggung jawab kapital. Tubuh pekerja diperlakukan sebagai sumber daya habis pakai, sementara identitas mereka direduksi menjadi angka kontrak dan statistik remitan. Proses ini merupakan bentuk de-subyektivisasi, yaitu pengurangan manusia menjadi komponen logistik.

Invisibilitas pekerja bukan kondisi alami, tetapi produk politik. Tubuh pekerja hilang dalam dua lapis. Pertama, hilang di kapal yang tertutup dari pengawasan publik. Kedua, hilang di pasar global tempat komoditas dipersepsi sebagai objek tanpa sejarah. Fetišisme komoditas bekerja sempurna ketika harga menutupi jejak kehidupan yang dirampas.

Narasi kompetisi global membuat eksploitasi tampak tidak terhindarkan. Taiwan harus mempertahankan posisinya di antara pusat kapital global. Indonesia mempertahankan posisinya sebagai negara pengirim tenaga kerja. Kebijakan publik tidak pernah netral, tetapi bagian dari perhitungan politik-ekonomi yang mereproduksi struktur global.

Dalam kerangka ini, kategori keterkorbanan menjadi sangat penting. Tubuh pekerja migran bukan hanya korban insidental, tetapi unsur yang secara struktural diproduksi untuk dikorbankan demi mempertahankan sirkuit nilai global. Kapital membutuhkan populasi yang rentan sebagaimana ia membutuhkan tenaga produktif. Selama kerentanan diproduksi secara diferensial, sistem akan terus menciptakan kelompok yang mudah dimobilisasi tanpa jaminan hidup.

Kapitalisme hanya dapat bertahan jika relasi kekuasaan yang menopangnya tetap tidak terlihat. Ideologi bekerja untuk mengubah eksploitasi menjadi kesempatan, perbudakan menjadi pekerjaan, dan kematian menjadi statistik. Karena itu, yang dibutuhkan bukan reformasi moral, tetapi pembongkaran total terhadap logika yang mendasari sistem. Pertanyaan teoretis yang paling mendasar adalah: apa nilai kehidupan manusia dalam kapitalisme global?

Jika nilai dipahami sebagai hasil akumulasi kerja mati, maka tugas teoretis mendesak adalah mengembalikan perhatian pada kerja hidup. Selama komoditas diperlakukan seolah bernilai secara natural, maka manusia yang diposisikan sebagai penghasil nilai akan terus dapat digantikan. Laut sebagai pabrik tanpa dinding bukan sekadar metafora, tetapi manifestasi material dari relasi kapital atas kehidupan. Di ruang ini, kekerasan ekonomi dan kekerasan hukum tidak tampil sebagai pengecualian, tetapi sebagai normalitas operasional.


Daftar Rujukan

Althusser, L. (2014). On the reproduction of capitalism: Ideology and ideological state apparatuses (G. M. Goshgarian, Trans.). Verso. (Original work published 1970)

Arrighi, G. (1994). The long twentieth century: Money, power, and the origins of our times. Verso.

Harvey, D. (2003). The new imperialism. Oxford University Press.

Harvey, D. (2010). A companion to Marx’s Capital. Verso.

Marx, K. (1990). Capital: Volume I (B. Fowkes, Trans.). Penguin. (Original work published 1867)

Mezzadra, S., & Neilson, B. (2013). Border as method, or, the multiplication of labor. Duke University Press.

Poulantzas, N. (1978). State, power, socialism. Verso.

Silver, B. J. (2003). Forces of labor: Workers’ movements and globalization since 1870. Cambridge University Press.

Wallerstein, I. (1974). The modern world-system. Academic Press.


Aniello Iannone adalah Dosen FISIP, Universitas Diponegoro

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.