Ilustrasi: WHO (Konferensi Alma-Ata, Uni Soviet)
PERKEMBANGAN kedokteran sosial di Indonesia, apalagi perannya dalam gerakan menuju kemerdekaan dan pembangunan bangsa, tenggelam akibat pengaburan sejarah sistematis oleh Orde Baru. Di era Reformasi pun tak ada pemulihan atasnya. Kondisi ini membuat Indonesia kehilangan landasan historis dalam merumuskan paradigma kesehatan yang mandiri. Padahal, kedokteran sosial krusial untuk membangun negara berkeadilan sosial, terutama dalam menghadapi derasnya arus liberalisme ekonomi global. Akibatnya, kita kini terjebak dalam karut-marut sistem kesehatan, ditandai ketimpangan akses dan kebijakan yang semakin jauh dari prinsip keadilan sosial.
Pemahaman kembali atas sejarah kedokteran sosial ini bukan sekadar upaya rekonstruksi masa lalu, melainkan langkah strategis untuk membangun sistem kesehatan yang berdaulat, berkeadilan, dan berkelanjutan di masa depan.
Paradoks Era Reformasi
Era Reformasi pasca-1998 membawa angin demokrasi, tetapi liberalisasi ekonominya justru mengorbankan layanan kesehatan publik. Terperangkap dalam krisis moneter 97/98, Indonesia menyerah pada syarat ketat Structural Adjustment Programs (SAPs) Bank Dunia dan IMF yang menitikberatkan liberalisasi melalui pemangkasan anggaran, privatisasi, deregulasi (penguranga/penghapusan aturan), dan desentralisasi serampangan. Pelepasan peran negara menjadi harga yang harus dibayar. Namun, dampaknya melampaui sekadar penyesuaian ekonomi; kebijakan ini mengubah logika dasar sistem kesehatan, menggeser layanan publik dari hak warga menjadi komoditas.
Kebijakan ini sebenarnya melanjutkan liberalisasi sejak 1980an saat Indonesia menjalani SAPs untuk pertama kali. Alih-alih mengoreksi, Reformasi justru memperdalam arus kebijakan neoliberal yang semakin melemahkan layanan publik. Sebuah kerangka kebijakan yang terus menghantui sistem kesehatan Indonesia hingga kini.
Puskesmas-puskesmas dan program-program kesehatan masyarakat yang dinilai membuang-buang anggaran menjadi terbengkalai. Rumah sakit pemerintah, yang semula berfungsi sebagai institusi pelayanan publik, kini ditekan untuk beroperasi layaknya entitas korporasi. Dorongan untuk mencari keuntungan finansial demi keberlangsungan institusi secara perlahan menggerus esensi “pelayanan kesehatan” sebagai hak dasar. Efisiensi anggaran dan pendapatan menjadi parameter utama, sementara akses kelompok marginal semakin tersubordinasi.
Pemilihan skema JKN sebagai model pembiayaan kesehatan nasional mencerminkan pengaruh logika neoliberal dalam reformasi sistem kesehatan. Skema asuransi nasional ini, yang pertama kali diperkenalkan Bismarck di Jerman lebih dari 100 tahun lalu, merupakan langkah politik cerdik kapitalisme: meredam ketidakpuasan rakyat sekaligus mempertahankan kontrol industri dan pemodal atas layanan kesehatan.
Dalam kondisi ini, pemerintah hanya berperan sebagai regulator. Berbeda misalnya dengan model Beveridge yang mengandalkan pembiayaan langsung melalui pajak progresif dengan penyediaan layanan publik oleh negara, asuransi kesehatan wajib seperti JKN justru menginstitusionalisasi mekanisme pasar di sektor kesehatan melalui sistem asuransi. Pendekatan ini pada dasarnya telah mengkomodifikasi layanan kesehatan, mengubah apa yang seharusnya menjadi hak dasar warga negara menjadi produk finansial yang tunduk pada logika asuransi.
Dalam praktiknya, JKN menciptakan sistem yang kompleks dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan berbasis profit; mulai dari BPJS Kesehatan sebagai badan penyelenggara, menjamurnya rumah sakit swasta yang dikelola/dimodali oleh perusahaan private equity, hingga penyedia layanan outsourcing. Akibatnya, efisiensi finansial seringkali mengalahkan prinsip-prinsip pelayanan kesehatan dasar.
Ekosistem kesehatan semacam ini berkontribusi terhadap melebarnya kesenjangan akses layanan kesehatan. Inilah wajah neoliberalisme kesehatan: sebuah sistem yang mentransformasi layanan medis dari hak konstitusional warga negara menjadi komoditas yang diperdagangkan. Pengesahan UU Omnibus Kesehatan pada tahun 2023 menuai banyak kritik dan penolakan dari berbagai organisasi sipil serta organisasi profesi kesehatan; penyebab mendasarnya adalah keberadaan pasal-pasal deregulasi yang dapat memperdalam liberalisasi di sektor kesehatan.
Namun jauh sebelum logika pasar mendominasi, Indonesia sebenarnya memiliki akar alternatif, yaitu kedokteran sosial, sebuah paradigma yang menempatkan kesehatan sebagai bagian dari perjuangan keadilan struktural. Tradisi ini pernah mengemuka dalam diskursus kebijakan publik, entah melalui pemikiran dokter-dokter nasionalis era 1950-an atau aksi nyata gerakan kesehatan komunitas di pelbagai pelosok Nusantara.
Jejak yang Terhapus: Kedokteran Sosial
Sejak era kolonial, kesehatan telah menjadi alat politik yang strategis dan profitable. Tujuan utamanya adalah melindungi kepentingan penjajah: mengamankan pasukan dan pemukim Eropa dari penyakit-penyakit lokal, menjaga stabilitas perdagangan, hingga mempertahankan produktivitas tenaga kerja lokal. Di balik wajah humaniter yang ditampilkan, praktik kesehatan kolonial justru berfungsi sebagai alat kontrol sosial dan pengabsahan eksploitasi. Alhasil, ketika merdeka, Indonesia mewarisi sistem kesehatan yang timpang.
Model pelayanan yang diwariskan cenderung berorientasi rumah sakit (hospital-oriented), terkonsentrasi di perkotaan, dan mengutamakan pendekatan kuratif ketimbang preventif. Di pedesaan, layanan kesehatan seringkali hanya mengandalkan filantropi dan misionaris dengan cakupan terbatas pada program pemberantasan penyakit tertentu saja.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Konteks ini yang mendorong para dokter Indonesia di era kemerdekaan seperti Seno Sastroamidjojo, Raden Mochtar, Johannes Leimena, dan Poorwo Soedarmo berupaya merombak paradigma kesehatan masyarakat yang sempit. Mereka mengusung kedokteran sosial, yaitu sebuah pendekatan yang melihat kesehatan sebagai persoalan multidimensi: bukan hanya medis, tetapi juga terkait kemiskinan, lingkungan, dan kebijakan negara. Ini sejalan dengan aspirasi kemerdekaan, yaitu menciptakan masyarakat Indonesia yang sehat jasmani-rohani dan berpengetahuan, sebagai syarat mutlak kemandirian bangsa.
Mereka memprioritaskan pendidikan kesehatan, ketahanan pangan, serta penyediaan air bersih dan sanitasi melalui gotong royong. Bagi para perintis ini, kesehatan adalah instrumen strategis dalam mewujudkan cita-cita masyarakat adil-makmur yang berdikari, jauh melampaui sekadar pengobatan kuratif. Pendekatan berbasis pemberdayaan ini pun terbukti tidak hanya efektif dan berkelanjutan, tetapi juga sesuai dengan kondisi sosial-budaya Indonesia yang kala itu masih dalam tahap membangun.
Gagasan inilah yang menjadikan Indonesia sebagai contoh nyata dalam Konferensi Kesehatan Primer tahun 1978, yang melahirkan Deklarasi Alma-Ata yang hingga kini menjadi landasan global sistem kesehatan berkeadilan. Pada hakikatnya, kedokteran sosial merupakan evolusi ilmu kedokteran dan sains: dari pendekatan biomedis Barat yang teknokratis menuju paradigma yang lebih humanis dan sosial yang mampu mengajak masyarakat yang semula hanya menjadi objek bertransformasi menjadi pelaku perubahan.
Gerakan kedokteran sosial bermula di Eropa di era Revolusi Industri sebagai respons atas dampak buruk industrialisasi: kondisi kerja yang tidak aman maupun manusiawi, permukiman kumuh, dan sanitasi buruk dan polusi yang memicu krisis demi krisis kesehatan. Rudolf Virchow, Bapak Patologi Modern, mencetuskan istilah ini sekaligus mengkritik habis-habisan elit politik-bisnis yang kebijakan-kebijakannya mendasari kemerosotan sosial-ekonomi kaum pekerja dan memicu kemunculan berbagai wabah penyakit. Tak hanya pionir di dunia medis, Virchow juga menjadi aktor politik yang memelopori keterlibatan dokter dalam kebijakan publik.
Pemikirannya yang mengedepankan akar sosial penyakit (social origins of illness) menjadi rujukan penting bagi komunitas medis dan para pemikir perubahan sosial, tak terkecuali Marx dan Engels. Ide dan prinsip kedokteran sosial yang akhirnya mendasari terbentuknya sistem kesejahteraan umum (public welfare system) dan sistem tata kota yang lebih sehat di Eropa. Gerakan ini kemudian menyebar ke Amerika Latin pascakolonial, di mana kedokteran sosial harus berhadapan dengan warisan sains dan ekonomi imperialis yang masih membelenggu.
Benih-benih pemikiran kedokteran sosial telah masuk sejak ke Indonesia di awal abad ke-20, bersamaan dengan gelombang gerakan sosialis internasional. Tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan seperti Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Dr. Soetomo menjadi ujung tombaknya. Dukungan dari kalangan progresif Belanda akhirnya berbuah pada penyelenggaraan The Intergovernmental Conference on Far-Eastern Nations on Rural Hygiene di Bandung tahun 1937, sebuah momen bersejarah yang menandai babak baru dalam wacana kesehatan global. Konferensi Bandung ini menjadi terobosan revolusioner karena untuk pertama kalinya pribumi Asia memperoleh panggung setara dalam diskursus kesehatan internasional.
Di sini, model kesehatan Barat yang selama itu dianggap universal mulai dipertanyakan. Yang lebih menggugah, pembahasan kesehatan tidak lagi terbatas pada aspek medis semata, tetapi dikaitkan secara holistik dengan pembangunan sosial-ekonomi dan penekanan pada partisipasi masyarakat. Gebrakan ini tidak hanya membuka ruang kritik terhadap kebijakan kesehatan kolonial yang bersifat top-down, tetapi lebih jauh lagi telah meletakkan fondasi bagi pendekatan kesehatan berbasis komunitas di Indonesia. Jejak pemikiran inilah yang kelak terus bergaung dalam perkembangan sistem kesehatan nasional kita pascakemerdekaan.
Di berbagai negara, kedokteran sosial semakin terlembagakan dan melahirkan berbagai kebijakan serta program kesehatan yang lebih responsif terhadap dimensi ekonomi-politik sekaligus selaras dengan aspirasi masyarakat, dan berhasil melahirkan kalangan medis yang lebih kosmopolitan sekaligus merakyat. Sayangnya, tradisi ini kian terdesak oleh arus globalisasi yang membawa serta dominasi model kesehatan neoliberal. Di Indonesia, pendekatan ini gagal mengakar kuat akibat gejolak politik pascakemerdekaan dan keterbatasan sumber daya.
Penghilangan sejarah di era Orde Baru semakin meminggirkan warisan ini dan memutus mata rantai antara prinsip kedokteran sosial dengan perkembangan profesi medis dan kebijakan kesehatan di Tanah Air. Kini, visi itu terancam terkubur oleh sistem kesehatan yang semakin dikendalikan pasar dan wacana penulisan ulang sejarah.
Kesehatan BUKAN Barang Mewah
Neoliberalisme mungkin kuat, tapi sejarah membuktikan bahwa Indonesia pernah punya sistem kesehatan yang lebih manusiawi dan berbudaya. Dinamika politik-ekonomi global saat ini sedang melahirkan sebuah tatanan baru, suatu sistem yang kian menjadikan tubuh dan pikiran manusia sebagai rente, yang motifnya dibalut retorika keamanan dan kemajuan sains. Mungkin. inilah saatnya menggali kembali warisan kedokteran sosial demi menggembalikan marwah sistem kesehatan Indonesia, sebelum semuanya benar-benar berubah jadi bisnis semata.
Sumber
McNamara C, Bambra C. (2025) The Global Polycrisis and Health Inequalities. International Journal of Social Determinants of Health and Health Services. doi:10.1177/27551938251317472
Chomsky, N. (1999). Profit over people: Neoliberalism and global order. Seven Stories Press.
Nugroho, Y. (2003). Privatisasi Layanan Dasar – Ketika Hidup Diperdagangkan. Jentera, 3.
Kentikelenis, A.E. (2017) ‘Structural adjustment and health: A conceptual framework and evidence on pathways’, Social Science & Medicine, 187, pp. 296–305. doi:10.1016/j.socscimed.2017.02.021.
Tulchinsky T. H. (2018). Bismarck and the Long Road to Universal Health Coverage. Case Studies in Public Health, 131–179. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-804571-8.00031-7
Boissoneault, L. (2017, August 1). Bismarck tried to end socialism’s grip—by offering government healthcare. Smithsonian Magazine. https://www.smithsonianmag.com/history/bismarck-tried-end-socialisms-grip-offering-government-healthcare-180964064/
Anderson, M. R., Smith, L., & Sidel, V. W. (2005). What is social medicine? Monthly Review. https://monthlyreview.org/2005/01/01/what-is-social-medicine/
Lange, K. W. (2021). Rudolf Virchow, poverty and global health: From “politics as medicine on a grand scale” to “health in all policies.” Global Health Journal, 5(3), 149-154. https://doi.org/10.1016/j.glohj.2021.07.003
Waitzkin, H. (2006). One and a Half Centuries of Forgetting and Rediscovering: Virchow’s Lasting Contributions to Social Medicine. Social Medicine, 1(1).
Waitzkin, H. (1981). The social origins of illness: A neglected history. International Journal of Health Services, 11(1), 77–103.
Lie, A. K., & Haave, P. (2025). Social Medicine in Social Democracy. In A. K. Lie, J. A. Greene, & W. Anderson (Eds.), Medicine on a Larger Scale: Global Histories of Social Medicine (pp. 122–142). chapter, Cambridge: Cambridge University Press.
Waitzkin, H. (2017). Latin American social medicine. In S. R. Quah (Ed.), International encyclopedia of public health (2nd ed., pp. 369-376). Academic Press. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-803678-5.00247-2
Neelakantan, V. (2017). Memelihara Jiwa-raga Bangsa: Ilmu Pengetahuan, Kesehatan Masyarakat, dan Pembangunan Indonesia di Era Soekarno. Kompas (Penerbit Buku).
Pols, H. (2014). Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia. Kompas (Penerbit Buku).
Redaksi Historia. (2023). Kiprah Dokter di Dunia Pergerakan. Historia.id. Diakses dari https://www.historia.id/article/kiprah-dokter-di-dunia-pergerakan-6m7br
Vivian, R. P. (1946). Social Medicine. Canadian Journal of Public Health / Revue Canadienne de Sante’e Publique, 37(6), 239–243. http://www.jstor.org/stable/41978730
Mari Luz, dokter dan peneliti kebijakan serta sistem kesehatan global.