Bara di Balik Terang: Transisi Energi Terbarukan dalam Cengkeraman Kapitalisme Fosil (Bagian I)

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


MALAM di sebuah kota industri. Cahaya lampu merkuri memantul di genangan air hujan di bawah tiang listrik. Jaringan kabel mengular di atas jalan, berderak menyimpan tegangan tinggi. Dari kejauhan, dengung gardu induk terdengar lamat-lamat — sebuah nyanyian elektrik yang akrab dan menghipnotis. Dalam temaram ini, bayangan cerobong PLTU batu bara menjulang seperti monumen bisu; asapnya membubung memenuhi langit dengan aura muram. Di balik setiap bohlam yang menyala, ada bara api fosil yang dikorbankan. Kita hidup dalam paradoks: cahaya yang kita nikmati adalah buah dari kegelapan bahan bakar fosil. Ada kegetiran tersendiri ketika menyadari bahwa infrastruktur listrik yang menopang kehidupan modern ditegakkan di atas fondasi ketimpangan dan dominasi. Bau asap dan dengung mesin menyatu dengan napas malam, mengukir kisah tentang kuasa dan ketergantungan.

Kita dipaksa untuk berpikir bahwa lebih mudah membayangkan akhir dunia daripada akhir dominasi batu bara dan kapitalisme dalam listrik.[1] Jaringan listrik tersentralisasi hadir bagai takdir yang tak tergoyahkan. Namun, apakah sistem kelistrikan hari ini sesuatu yang netral dan alamiah? Ataukah justru sebuah infrastruktur politik hasil rekayasa sejarah panjang kekuasaan?[2] Lampu-lampu kota yang gemerlap menutupi bayang-bayang relasi kuasa: antara pusat dan pinggiran, antara produsen energi dan rakyat jelata, antara kapital dan alam. Dalam tulisan ini, saya mencoba menelusuri kritik terhadap transisi energi terbarukan (EBT) di Indonesia, sembari membedah bagaimana listrik — dari kabel, trafo, hingga kampus teknik — telah menjadi sarana dominasi kapitalisme fosil.


Batasan-Batasan Teknis yang Diklaim Netral

Dunia kelistrikan dipenuhi jargon teknis yang kerap dianggap sakral dan netral. Para insinyur dan teknokrat sering berbicara tentang “batasan teknis” seolah-olah ia adalah hukum alam tak terelakkan. Padahal, di balik dalih teknis, tersimpan politik tersembunyi.[3] Empat batasan teknis utama sering dilontarkan dalam diskursus kelistrikan: (1) listrik harus stabil mengalir 24 jam tanpa henti; (2) produksi listrik harus selalu seimbang dengan beban konsumsi; (3) energi terbarukan itu intermittent (tidak ajek) sehingga berisiko pada keandalan; (4) pembangkitan skala besar lebih efisien daripada skala kecil. Keempatnya kerap dijadikan alasan mengapa sistem existing yang bertumpu pada batu bara dan monopoli PLN dianggap tak tergantikan. Mari kita telaah satu per satu.

Pertama, kestabilan 24 jam. Dalih ini tumbuh dari asumsi bahwa listrik harus tersedia sepanjang waktu dengan tegangan dan frekuensi konstan. Benar adanya bahwa peralatan listrik butuh pasokan stabil. Namun, dalih stabilitas sering dijadikan justifikasi untuk mempertahankan pembangkit fosil “beban dasar” (base load) seperti PLTU batu bara yang beroperasi terus-menerus. Di sini netralitas teknis mulai diragukan: siapa yang menentukan definisi stabilitas dan mengapa harus selalu PLTU? Teknologi sebenarnya menawarkan ragam opsi stabilitas — misal jaringan cerdas dan manajemen beban — namun jarang dilirik bila tak sejalan dengan kepentingan bisnis. Andrew Feenberg menunjukkan bahwa dari sekian banyak desain yang mungkin, pilihan teknis biasanya diambil bukan semata karena ia paling efisien secara absolut, melainkan sesuai dengan kepentingan pihak tertentu. Alhasil, teknologi yang diadopsi cenderung “mendukung cara hidup kelompok dominan.”[4] Dalam konteks listrik, standar kestabilan yang kita anut dikodifikasi melalui keputusan politis di era tertentu — misalnya, era Orde Baru yang memilih PLTU besar terpusat — bukan semata-mata karena PLTU adalah pilihan paling ilmiah serta netral.

Kedua, produksi harus seimbang dengan konsumsi setiap saat. Ini merujuk pada sifat listrik: ia tak bisa disimpan dalam jumlah besar secara murah (setidaknya hingga baru-baru ini dengan baterai). Artinya, setiap kilowatt listrik yang dikonsumsi harus dihasilkan pada detik yang sama pula. Batasan ini sering dipakai untuk menekankan betapa rumitnya sistem tenaga: bahwa kita perlu operator tunggal (PLN) dengan kontrol terpusat demi menjaga keseimbangan itu. Namun, bila ditelaah, ini bukan sekadar persoalan teknis melainkan pilihan desain sistem. Mengapa tidak dirancang sistem yang lebih fleksibel, misalnya dengan smart grid, penyimpanan energi terdistribusi, atau adaptasi konsumsi? Jawabannya lagi-lagi menyangkut politik. Sistem yang ada dibangun dengan asumsi kontrol terpusat: pembangkit besar diatur top-down mengatur suplai ke jutaan konsumen pasif. Pola ini selaras dengan hierarki kekuasaan: rakyat dianggap objek penerima listrik, bukan subjek yang bisa aktif mengatur konsumsinya. Bagi rezim teknokratik, lebih mudah mengelola populasi “patuh” ketimbang membuka ruang koordinasi kolektif yang demokratis. Michel Foucault berbicara soal bagaimana dispositif kekuasaan bekerja melalui institusi dan infrastruktur sehari-hari.[5] Jaringan listrik terpusat bisa dilihat sebagai semacam panoptikon energetik — ia memastikan populasi bergantung pada pusat, diam-diam mendisiplinkan kita agar mengikuti ritme yang ditentukan penyedia tunggal.

Ketiga, intermitensi energi terbarukan. Sinar matahari hanya ada siang hari, angin tak selalu bertiup. Alasan ini kerap dipakai sebagai “kartu truf” menolak EBT: “Matahari dan angin tidak bisa diandalkan, nanti lampu kedap-kedip padam,” demikian keluh para insinyur konservatif. Intermitensi adalah fakta alam, tapi reaksi terhadapnya sangat politis. Apakah jawabannya lantas menolak energi surya dan bayu, kembali ke batu bara? Tentu tidak semudah itu. Intermitensi bisa diatasi dengan kombinasi solusi teknis (penyimpanan energi, jaringan luas yang menghubungkan berbagai sumber, algoritma pengatur beban) dan solusi sosial (pengaturan konsumsi fleksibel, tarif insentif). Bahwa hal-hal ini belum masif diterapkan di Indonesia mencerminkan bukan semata keterbatasan teknologi, tetapi imajinasi politik. PLN misalnya baru belakangan mencoba pilot battery storage dan itu pun skala terbatas. Lagi-lagi, di balik keengganan mengatasi intermitensi, terselip kepentingan mempertahankan pembangkit lama. Padahal, sistem PLN yang didominasi batu bara saat ini justru menjadi penghambat adaptasi terhadap EBT; pembangkit fosil tua sulit beradaptasi pada output surya/angin yang fluktuatif. Dengan kata lain, intermitensi dijadikan dalih mempertahankan status quo, padahal status quo itulah yang membatasi kemampuan sistem untuk berinovasi.

Keempat, skala besar lebih efisien. Ini dogma klasik para teknokrat: pembangkit besar dianggap lebih murah per kWh ketimbang yang kecil-kecil tersebar. Ada benarnya pada ekonomi teknik jangka pendek, tetapi reduktif pada jangka panjang. Mantra efisiensi skala besar mengabaikan banyak biaya tersembunyi: risiko kegagalan sistemik, biaya transmisi jarak jauh, dampak sosial lingkungan terpusat di satu lokasi, serta opportunity cost hilangnya kemandirian lokal. Ide sentralisasi ini historis sejalan dengan logika kontrol. Membangun 1000 PLTS atap di ribuan titik memberdayakan lebih banyak orang tapi mengurangi kontrol pusat, dibandingkan satu PLTS raksasa yang dikendalikan segelintir teknisi. Efisiensi yang dimaksud sering kali adalah efisiensi finansial bagi pemodal besar, bukan efisiensi sosial-ekologis secara luas. Andrew Feenberg menggarisbawahi bahwa “efisiensi” kerap dijadikan mitos penentu, padahal dalam praktik banyak keputusan teknis diambil karena bias kekuasaan dan ideologi tertentu. Teknologi bukanlah domain netral matematika murni; ia underdetermined oleh sains dan kemudian ditentukan oleh siapa yang berkuasa.[6] Dalam hal ini, pilihan untuk terus membangun pembangkit raksasa fosil mencerminkan bias pro-kapital besar yang sudah melekat sejak awal elektrifikasi di negeri ini.

Pada akhirnya, keempat batasan teknis di atas bukanlah murni hukum alam yang tak bisa ditawar. Ia adalah hasil ko-produksi antara sains dan kepentingan: dalih-dalih teknis yang dipolitisasi secara diam-diam. Sosiologi teknologi menunjukkan bahwa teknologi tidaklah netral; ia justru memiliki kekuatan normatif yang dapat mengatur perilaku kita, bahkan sebelum adanya aturan tertulis.[7] Paradigma teknis kelistrikan Indonesia sejak lama diarahkan untuk melayani stabilitas rezim kapital dan birokrasi: menjaga lampu tetap menyala, tapi juga menjaga siapa yang pegang saklar kuasa.


Kapitalisme, Waktu, dan Ruang dalam Logika Energi

Mengapa sistem kita tersusun seperti di atas? Untuk menjawabnya, kita perlu mundur menelaah logika kapitalisme dalam memilih bentuk energi. Kapitalisme modern selalu berupaya menaklukkan batas waktu dan ruang. Andreas Malm, dalam studi sejarahnya, menunjukkan bagaimana pada abad ke-19 para kapitalis Inggris sengaja beralih dari tenaga air ke mesin uap berbahan batu bara bukan karena uap lebih murah atau lebih unggul secara teknis, tetapi karena uap memberi kontrol waktu-ruang yang lebih besar atas tenaga kerja.[8] Air mengalir mengikuti ritme alam: pabrik dengan energi berbasis air harus terletak di desa dekat sungai dan produksinya dipengaruhi musim. Ini membatasi kapital — buruh di desa lebih sulit dipecat massal, komunitas lebih solid, dan produksi terikat waktu (siang hari). Sebaliknya, mesin uap berbahan batu bara memungkinkan pabrik dipindah ke kota (dekat dengan buruh melimpah yang mudah diganti) dan beroperasi 24 jam tanpa henti. Malm mencatat bahwa “mesin uap memiliki keunggulan utama: ia meniadakan hambatan bukan pada perolehan energi, melainkan pada perolehan tenaga kerja.”[9] Dengan batu bara, kapital dapat memaksa produksi melampaui siklus alamiah, menciptakan waktu kerja tanpa batas dan ruang produksi yang terpusat di mana disiplin dapat diterapkan lebih keras. Di sinilah awal mula kapitalisme fosil: bukan sekadar soal energi murah, tetapi energi yang tunduk pada logika dominasi.

Logika ini berlanjut hingga kini. Pilihan teknologi energi bukanlah netral melainkan yang paling cocok dengan regime of accumulation. Batu bara, minyak bumi, gas alam — semuanya adalah bentuk energi yang padat, terukur, dan dapat ditimbun sehingga memperpanjang dominasi kapital atas waktu. Kita dapat membakar batu bara kapan pun dibutuhkan profit, tak peduli siang atau malam, musim hujan atau kemarau. Bandingkan dengan tenaga surya atau angin yang sangat terikat waktu dan lokasi: matahari Indonesia bersinar terik di siang hari dan melimpah di timur Indonesia, angin kencang di musim tertentu. Bagi logika kapitalisme, keterikatan ini adalah “kelemahan” karena alam menentukan jadwalnya sendiri. Jason W. Moore menyebut kapitalisme sebagai rezim yang mengorganisir alam ke dalam sirkuit produksi. Dalam kerangka capitalocene-nya, Moore menulis bahwa jantung dari ekspansi kapital adalah perburuan “cheap nature” — alam (termasuk energi) yang dapat dieksploitasi semaksimal mungkin dengan biaya serendah mungkin.[10] Batu bara dan minyak merupakan cheap nature par excellence selama berabad-abad: tersedia melimpah, diambil dengan ongkos pekerja murah, dampak lingkungan diabaikan, serta memberi tenaga luar biasa pada pabrik dan transportasi. Ia memungkinkan kapital melompat melampaui kendala ekologis yang sebelumnya menahan laju akumulasi. Dengan fosil, kapitalisme menaklukkan ruang (menjalin jaringan perdagangan global, pabrik bisa berada di mana saja bahan bakar bisa dikirim) dan menaklukkan waktu (produksi tak perlu rehat mengikuti siklus alam, bisa 24/7). Waktu adalah uang, dan energi fosil memperbanyak waktu (kerja) itu secara masif.

Konsekuensinya, sistem energi fosil tertanam kuat dalam logika dominasi. Herbert Marcuse pernah berujar bahwa “rasionalitas teknis telah sejak awal disesuaikan dengan pemeliharaan dominasi sosial.”[11] Artinya, cara kita mengorganisir teknologi selalu selaras dengan cara mengorganisir kekuasaan. Steam engine tidak melahirkan kapitalisme industri; sebaliknya, kapitalisme industri-lah yang melahirkan steam engine. Relasi produksi menentukan sarana produksi, bukan sebaliknya. Alam dan teknologi dalam batas tertentu adalah produk konstruksi sosial. Pernyataan ini selaras dengan pandangan bahwa pilihan teknologi bukan akibat takdir alam atau evolusi netral “yang paling unggul”, melainkan hasil keputusan sosial dalam konteks perebutan kuasa. Maka, sistem kelistrikan yang kini mendominasi Indonesia dibentuk oleh sejarah politik ekonomi: oleh logika Orde Baru yang ingin industrialisasi cepat dengan sentralisasi, oleh kepentingan oligarki batu bara pasca-reformasi, dan oleh mentalitas kolonial yang memandang alam sebagai bahan mentah eksploitasi.

Transisi energi terbarukan yang sedang diwacanakan hari ini tidak terjadi di ruang hampa. Ia berhadapan langsung dengan logika dominasi waktu-ruang tadi. Misalnya, energi surya mendekonstruksi monopoli waktu kapital: matahari tak bisa diperintah bersinar tengah malam demi profit, jadi surplus listrik siang hari bisa tak termanfaatkan kecuali kita ubah perilaku konsumsi. Bagi kapital, ini masalah kecuali ditemukan cara menyimpan atau mengomersilkan surplus itu. Demikian pula, energi terbarukan terdesentralisasi mendobrak monopoli ruang: jika tiap atap rumah jadi sumber listrik, kekuasaan terpusat PLN/korporasi terancam. Kapitalisme hijau pun kemudian mencari cara menjinakkan hal ini: misal dengan membuat farm surya raksasa terpusat (sehingga tetap butuh grid panjang, listrik tetap dikuasai korporasi), atau mencari teknologi baterai canggih (yang lagi-lagi dikuasai paten perusahaan besar). Dengan kata lain, walau bentuk energinya “bersih”, modus produksinya bisa saja tetap melanjutkan logika lama. Andreas Malm pun mengingatkan: “mesin-mesin baru tidak otomatis membebaskan kita dari logika kapital; kapital justru akan membengkokkan mesin sesuai kebutuhannya.”[12] Transisi EBT dalam kapitalisme berisiko sekadar mengganti bahan bakar, tapi melestarikan dominasi atas waktu dan ruang oleh segelintir pemilik modal.


PLN sebagai Infrastruktur Kekuasaan

Di Indonesia, jantung dari sistem listrik adalah PLN, sebuah entitas yang secara formal dimiliki negara namun secara historis beroperasi bak Leviathan yang mengatur gelap-terang Nusantara. Sejak nasionalisasi perusahaan listrik kolonial di era 1950-an, PLN memegang monopoli pasokan listrik. Selama puluhan tahun, PLN membangun jaringan transmisi ribuan kilometer, pembangkit-pembangkit raksasa, dan gardu-gardu yang mendistribusikan daya ke pelosok. Secara fisik, ini prestasi teknis. Namun mari kita selami dimensi politiknya: PLN bukan sekadar perusahaan utilitas, mereka adalah infrastruktur kekuasaan terpusat.

Seperti yang ditunjukkan oleh sejarawan teknologi Thomas P. Hughes, sistem elektrifikasi sering kali mencerminkan dan bahkan membentuk struktur sosial dan politik suatu negara.[13] Pada masa Orde Baru, ekspansi jaringan listrik sejalan dengan sentralisasi kekuasaan di Jakarta. Listrik menjadi alat integrasi nasional sekaligus kontrol teritorial. Wilayah yang dialiri listrik menandakan hadirnya lengan negara mencapai rakyat. Dalam semangat Foucault, kita bisa melihat PLN sebagai bagian dari governmentality: teknik pemerintahan yang mengelola populasi lewat penyaluran daya.[14] Listrik digunakan sebagai indikator kemajuan, dalih stabilitas, bahkan kadang sebagai ancaman tersirat (“jangan melawan, nanti daerahmu tidak dibangun listrik”). PLN membangun regime of power dalam dua arti: power sebagai listrik dan power sebagai kuasa. Keduanya saling menopang. Tak heran, PLN kerap dipimpin figur militer atau birokrat yang dekat dengan pusat kekuasaan politik, memastikan kepentingan rezim teraliri seterang lampu ibu kota.

Sebagai infrastruktur politik, PLN juga menopang dominasi kapitalisme fosil. Rencana pembangunan listrik jangka panjang (RUPTL) yang disusun PLN selalu sarat kepentingan: misalnya dominasi batu bara dalam bauran energi nasional dipertahankan sekitar >50% selama dua dekade ini. Mengapa? Karena PLN terikat kontrak dengan IPP batu bara, karena elite-elite daerah dan pusat banyak yang memiliki konsesi tambang atau saham di PLTU, karena bank dan investor terlanjur menanam modal di proyek fosil. Jaringan PLN yang eksis didesain mengalirkan listrik dari pusat-pusat PLTU besar (banyak di Jawa, Sumatra) ke berbagai daerah. Ini menimbulkan semacam path dependency: jaringan transmisi Jawa-Bali misalnya diatur mengalirkan daya dari PLTU Jawa Tengah/Timur ke pusat beban di barat. Kalau tiba-tiba mau ganti dengan PLTS atap di setiap kota, secara teknis mungkin bisa, tapi secara ekonomi-politik merusak tatanan bisnis yang ada. Infrastruktur besar cenderung melanggengkan kekuasaan besar — inilah sifat politik jaringan.

PLN juga kerap memainkan peran gatekeeper. Inovasi-inovasi seperti PLTS atap, microgrid desa, atau pembangkit skala kecil independen sering tersandung regulasi yang dikeluarkan atas nama keandalan jaringan. Contoh nyata, sebelum 2021 PLN menerapkan aturan batas ekspor impor ketat untuk PLTS atap pelanggan (maksimal 30% kapasitas terpasang diekspor, itu pun dengan birokrasi berbelit). Alasan resminya demi menjaga stabilitas jaringan dari lonjakan balik arus solar. Alasan tak resminya, takut kehilangan pendapatan penjualan dan kendali. Begitu pula, proyek-proyek EBT skala utilitas yang ingin masuk sistem harus melalui skema PPA (Power Purchase Agreement) yang dinegosiasikan oleh PLN. Di sini sering muncul tuduhan bahwa PLN cenderung mempersulit EBT karena terlanjur oversupply pembangkit fosil atau enggan membeli listrik swasta dengan tarif lebih mahal dari patokan. Hasilnya, transisi energi bersih tersendat. Menurut analisis lembaga Ember, sistem kelistrikan PLN yang ada saat ini — yang dominan batu bara — memang menghambat percepatan transisi energi bersih di Indonesia.[15] Meski potensi teknis surya dan angin kita besar, jaringan yang ada belum siap beradaptasi dengan penetrasi tinggi variabel EBT. Hambatan ini bukan semata isu teknis, melainkan sengaja atau tidak merupakan konsekuensi dari keputusan politik-materiil masa lampau: keputusan untuk membangun PLTU di mana-mana, keputusan untuk menjadikan PLN satu-satunya pemain dominan.

Ini tak berarti PLN monolit jahat; ada dinamika internal pula. Belakangan, tekanan global dan janji iklim membuat pemerintah (dan PLN) menggembar-gemborkan target Net Zero 2060, pensiun dini PLTU, transisi EBT 23% pada 2025, dan sebagainya. PLN pun mulai berbicara soal green grid, smart grid, kendaraan listrik, dll. Namun, kritik datang bahwa ini sebagian besar retorika hijau di permukaan sementara praktik intinya belum berubah. PLN masih meminta subsidi besar, berencana bangun PLTU baru melalui celah “co-firing biomassa” misalnya, dan mendorong proyek gasifikasi batu bara alih-alih langsung beralih ke terbarukan. Kita melihat semacam konservatisme institusional: sebuah entitas besar yang enggan bergerak cepat karena perubahan berarti mengganggu establishment. Infrastruktur kelistrikan PLN ibarat kapal tanker raksasa; membelokkannya butuh tenaga ekstra, dan nakhoda-nakhoda lamanya barangkali tidak terlalu berminat ke arah yang benar-benar baru kecuali ada dorongan politik kuat.

Singkatnya, PLN telah lama menjadi aktor dominasi pusat dalam lanskap energi Indonesia. Ia adalah manifestasi konkret dari apa yang disebut Foucault sebagai “kekuasaan yang memusat dan menormalkan.”[16] Lewat monopoli listrik, negara/korporasi bisa menormalkan hubungan sosial: kota terang, desa tertinggal; konsumsi diatur tarif; rakyat bergantung pada token dan tagihan. Namun, di sela-sela jaringan kabel itu, ada pula benih-benih perlawanan dan alternatif yang mendesak untuk dihidupkan, sebagaimana akan kita ulas kemudian tentang demokratisasi energi.


Hijau hanyalah Jubah Baru Kapitalisme: Kritik terhadap Kapitalisme Hijau

Di era krisis iklim, “transisi energi terbarukan” telah menjadi mantra global. Sayangnya, dalam banyak narasi arus utama, transisi ini dibingkai semata sebagai peluang pasar baru dan investasi “hijau”. Di Indonesia pun pemerintah dan korporasi ramai-ramai mengadopsi istilah green economy, green investment, energi hijau, seolah-olah masalah ekologis dapat diselesaikan oleh mekanisme pasar yang sama yang menciptakan masalah itu. Inilah fenomena kapitalisme hijau: upaya menjawab krisis lingkungan tanpa menggugat logika dasar kapitalisme; memoles wajah business-as-usual dengan cat hijau.

Sejauh apa transisi EBT kita benar-benar transformatif, atau jangan-jangan hanya solusi palsu ala pasar? Beberapa indikator patut dicermati. Pertama, orientasi kebijakan EBT Indonesia masih terjebak dalam paradigma investasi, bukan keberlanjutan sejati. Pemerintah dengan bangga menyebut angka triliunan rupiah investasi hijau yang dibutuhkan, skema insentif untuk IPP, blended finance dari bank dunia, dll. Wahyu Eka Setyawan, misalnya, mencatat bahwa paradigma transisi EBT kita “masih dilandasi proposisi investasi, artinya mengedepankan bisnis di atas segalanya.”[17] Akibatnya, opsi-opsi energi terbarukan yang dipilih pun yang paling cocok dengan selera investor: panas bumi, hidro besar, perkebunan biofuel, PLTS terpusat, bahkan waste-to-energy. Opsi-opsi ini oleh Wahyu Eka Setyawan disebut “rakus lahan dan berfokus pada akumulasi”– panas bumi masuk ke kawasan konservasi dan rawan gempa, bendungan hidro menenggelamkan desa, biofuel sawit merampas hutan.[18] Alih-alih mengubah relasi dengan alam, pilihan EBT kita masih “antroposentrik” dan eksploitatif.

Kedua, solusi pasar seperti perdagangan karbon, offset emisi, dan sekuritisasi transisi (menjadikan transisi energi sebagai aset keuangan yang diperdagangkan) justru marak diusulkan. Misalnya skema Energy Transition Mechanism (ETM) di mana bank multilateral membiayai pensiun PLTU untuk diganti EBT, tapi dananya berupa utang yang harus dibayar rakyat juga nantinya. Atau penerbitan green bond dan green sukuk oleh pemerintah: utang baru yang dicat hijau. Semua ini tetap dalam kerangka logika mencari keuntungan finansial. Kapitalisme hijau menjadikan krisis iklim sebagai ladang profit baru, bukan panggilan refleksi diri. Herbert Marcuse barangkali akan menyebutnya repressive desublimation — pelampiasan hasrat hijau yang kelihatannya progresif tapi sebenarnya menyalurkan energi masyarakat kembali ke sistem lama, mengukuhkan satu dimensi berpikir.[19] Masyarakat ditenangkan dengan “pasar akan menyelesaikan perubahan iklim, asal kita pasang harga yang tepat pada karbon.” Namun kalaupun emisi diberi harga, yang punya uang akan tetap beli polusi seperti biasa.

Ketiga, retorika teknologi-sebagai-penyelamat (techno-fix) tanpa perubahan sosial mendasar. Contohnya, alih-alih mengurangi konsumsi energi dan mereorganisasi transportasi publik, kapitalisme hijau lebih senang mempromosikan mobil listrik pribadi untuk semua orang. Tentu, mobil listrik mengurangi polusi lokal, tapi ia membutuhkan penambangan litium masif, listrik ekstra (yang di Indonesia masih dari batu bara juga sebagian besar), serta mempertahankan paradigma car-oriented society. Di sini kita melihat apa yang oleh Donna Haraway disebut “tiadanya cerita sederhana” — solusi sederhana seperti ganti teknologi tanpa ganti budaya justru memperumit masalah.[20] Pendekatan Haraway mengajak kita “stay with the trouble”, bergumul dengan kompleksitas alih-alih lari ke fantasi solusi instan. Sayangnya kapitalisme tak suka hal semacam itu; ia lebih suka Narasi Singkat Pro-Market: “EBT akan untung, silakan swasta masuk, rakyat jadi konsumen hijau”.

Jason Moore pun mengingatkan bahwa krisis ekologis kita tak bisa dilepaskan dari krisis kapitalisme itu sendiri.[21] Setelah berabad-abad mengeksploitasi “cheap nature”, kini frontier alam mulai jenuh. Biaya energi terbarukan awalnya tinggi karena ia bukan “cheap” seperti fosil (yang mendapat subsidi tersembunyi berabad-abad). Alih-alih mau mengakui limit planet, kapitalisme hijau mencoba menciptakan frontier baru: green grabbing (pengambilan lahan atas nama konservasi/EBT), geoengineering, dan komodifikasi setiap jengkal siklus karbon. Ini solusi-solusi yang mempertahankan logika akumulasi, bukan transisi etis. Green capitalism ibarat bunglon: warnanya boleh hijau, tapi sifatnya tetap memangsa.

Keempat, kita harus menyinggung peran lembaga internasional dan oligarki dalam mendorong “pasar energi hijau” di sini. Konsultan asing, bank, lembaga investasi, sampai korporasi energi global kini meramaikan pasar EBT Indonesia. Mereka menawarkan paket mulai dari panel surya impor murah hingga proyek angin lepas pantai. Pemerintah menyambut karena ini sejalan dengan skema investasi tadi. Namun, ini bisa menciptakan bentuk kolonialisme energi baru: teknologi dan kapital asing mendominasi alih-alih memberdayakan rakyat lokal. Solusi pasar cenderung mengabaikan dimensi keadilan sosial, misal: siapakah yang akan mampu pasang PLTS atap? Kelas menengah ke atas. Apakah transisi ini akan melibatkan komunitas adat yang terancam proyek geotermal? Jarang sekali, kecuali sebagai objek sosialisasi belaka. Lagi-lagi, polanya: yang kuat makin kuat (dapat proyek, dapat akses listrik lebih baik), yang lemah termarginalkan (dikorbankan lahannya atau tetap hanya jadi konsumen pasif).

Dengan segala kritik di atas, bukan berarti kita antipati terhadap investasi atau teknologi. Melainkan, kita menggarisbawahi perlunya waspada bahwa “hijau” bisa diselewengkan jadi alat dominasi baru. Kapitalisme selalu pandai bertahan: jika batu bara kotor dikritik, dia akan beralih jual gas “lebih bersih”; ketika gas pun dikritik, dia jual angin/surya tapi dengan skema bisnis serupa. Tanpa perubahan sistemik, transisi EBT rawan menjadi sekadar slogan pemasaran. Seperti jeruk-jeruk yang dikemas ulang jadi “jeruk organik” padahal ditanam di lahan hasil merampas hutan dari petani kecil. Di sinilah letak kebutuhan akan pandangan kritis: transisi energi harus dilandasi logika baru, bukan cuma repaint kapitalisme dengan cat hijau.


[1] Gagasan ini sering dikaitkan dengan kritik terhadap hegemoni kapitalisme, terutama oleh Fredric Jameson, yang menyatakan “it has become easier to imagine the end of the world than to imagine the end of capitalism.”

[2] Pandangan ini adalah inti dari studi ilmu-teknologi-masyarakat (STS) dan sosiologi energi yang memahami infrastruktur teknis sebagai entitas yang dibentuk dan membentuk relasi kekuasaan. Lihat, misalnya, Thomas P. Hughes, Networks of Power: Electrification in Western Society, 1880–1930 (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1983); Langdon Winner, “Do Artifacts Have Politics?” Daedalus 109, no. 1 (1980): 121–136.

[3] Pandangan ini diadvokasi secara luas dalam sosiologi energi dan studi ilmu-teknologi-masyarakat (STS). Misalnya, Andreas Malm membahas bagaimana pilihan teknologi energi terikat erat dengan struktur kekuasaan dalam Fossil Capital: The Rise of Steam Power and the Roots of Global Warming (London: Verso, 2016). Lihat juga Gabrielle Hecht, The Radiance of France: Nuclear Power and National Identity after World War II (Cambridge, MA: MIT Press, 1998) yang menunjukkan bagaimana pilihan teknologi energi adalah bagian dari politik nasional.

[4] Andrew Feenberg, Questioning Technology (New York: Routledge, 1999), 17.

[5] Michel Foucault, misalnya, mengembangkan konsep dispositif dalam berbagai karyanya untuk menjelaskan jalinan kekuasaan, pengetahuan, dan institusi yang membentuk realitas sosial. Lihat, misalnya, Discipline and Punish: The Birth of the Prison (New York: Vintage Books, 1977).

[6] Andrew Feenberg, Questioning Technology (New York: Routledge, 1999), 19.

[7] Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai kekuatan normatif teknologi dan ketidaknetralannya, lihat Andrew Feenberg, Questioning Technology (New York: Routledge, 1999); dan Langdon Winner, “Do Artifacts Have Politics?” Daedalus 109, no. 1 (1980): 121–136.

[8] Andreas Malm, Fossil Capital: The Rise of Steam Power and the Roots of Global Warming (London: Verso, 2016).

[9] Andreas Malm, Fossil Capital: The Rise of Steam Power and the Roots of Global Warming (London: Verso, 2016), 46.

[10] Jason W. Moore, “The Rise of Cheap Nature,” dalam Anthropocene or Capitalocene? Nature, History, and the Crisis of Capitalism, diedit oleh Jason W. Moore (Oakland, CA: PM Press, 2016), 84–97.

[11] Herbert Marcuse, One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society (Boston: Beacon Press, 1964), 168.

[12] Andreas Malm, Fossil Capital: The Rise of Steam Power and the Roots of Global Warming.

[13] Thomas P. Hughes, Networks of Power: Electrification in Western Society, 1880–1930 (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1983). Untuk pembahasan yang lebih luas mengenai dimensi politik teknologi, lihat juga Langdon Winner, “Do Artifacts Have Politics?” Daedalus 109, no. 1 (1980): 121–136.

[14] Michel Foucault, “Governmentality,” dalam The Foucault Effect: Studies in Governmentality, diedit oleh Graham Burchell, Colin Gordon, dan Peter Miller (Chicago: University of Chicago Press, 1991), 87–104.

[15] Achmed Shahram Edianto, “Sistem Ketenagalistrikan PLN Jadi Penghambat Transisi Energi Bersih di Indonesia,” Kompas.id, 19 September 2022, Sistem Ketenagalistrikan PLN Jadi Penghambat Transisi Energi Bersih di Indonesia – Kompas.id.

[16] Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison (New York: Vintage Books, 1977), 170-177.

[17] Wahyu Eka Setyawan, “Kontradiksi Konversi Energi dari Fosil ke Energi Terbarukan,” IndoProgress, 28 Agustus 2019 Kontradiksi Konversi Energi dari Fosil ke Energi Terbarukan – IndoPROGRESS.

[18] Ibid.

[19] Herbert Marcuse, One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society (Boston: Beacon Press, 1964.

[20] Donna J. Haraway, “Staying with the Trouble: Making Kin in the Chthulucene” (Durham: Duke University Press, 2016).

[21] Jason W. Moore, “The Rise of Cheap Nature,” dalam Anthropocene or Capitalocene? Nature, History, and the Crisis of Capitalism, diedit oleh Jason W. Moore (Oakland, CA: PM Press, 2016).


Renanda Yafi, insinyur tenaga listrik.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.