Ilustrasi: Artsology
Aku baru tahu aku punya ADHD di usia 24—setelah bertahun-tahun hidup sambil merasa gagal, tidak fokus, dan mudah marah. Selama itu aku pikir aku cuma kurang disiplin. Ternyata bukan. Aku hanya “masking”.
Diagnosis itu membuatku sadar: bukan aku yang bermasalah. Sistemnya.
Ableisme itu struktural. Sistem memusuhi yang “berbeda”
Saat bicara tentang disabilitas, sering kali perhatian kita hanya tertuju pada kondisi individu—apa yang bisa atau tidak bisa dilakukan oleh tubuh atau pikiran seseorang. Pandangan ini keliru. Disabilitas itu bukanlah sekadar masalah tubuh atau otak. Banyak disabilitas sebenarnya muncul karena lingkungan sosial dan fisik yang tidak dirancang secara inklusif. Trotoar tanpa landai, gedung tanpa akses lift, dan transportasi umum tanpa akses yang mudah adalah beberapa contoh sehari-hari pengabaian sistematis terhadap kelompok rentan. Bahkan banyak fasilitas kesehatan yang semestinya jadi acuan tetap tidak ramah bagi difabel, belum lagi tentang tenaga medis yang minim pelatihan soal disabilitas.
Memang sudah ada Undang-Undang Penyandang Disabilitas (UU No. 8/2016) dan Undang-Undang Kesehatan (UU No. 17/2023), namun implementasinya masih jauh dari ideal. Kebijakan negara, ruang-ruang publik, dan layanan kesehatan lebih sering dibuat tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang dengan disabilitas. Pada akhirnya, banyak orang dengan disabilitas terpaksa beradaptasi dengan lingkungan yang tidak mendukung, bahkan sering kali harus menghadapi diskriminasi terselubung dari sistem yang seharusnya melindungi mereka. Disabilitas menjadi bukan hanya soal tubuh, tapi juga bagaimana sistem sosial dan fisik meminggirkan mereka yang berbeda.
Jika yang terlihat saja diabaikan, tidak heran jika disabilitas yang tidak tampak secara fisik (atau istilah populernya: neurodevelopmental disorders/neurodivergence) lebih luput dari perhatian. Lihat saja institusi sekolah. Ada berapa banyak yang memiliki fasilitas untuk anak-anak dengan gangguan belajar? Alih-alih dibantu, mereka malah mendapat nilai negatif karena dianggap gagal mengikuti pembelajaran.
Untuk itu pemahaman tentang neurodiversitas/neurodiversity menjadi penting. Neurodiversitas adalah istilah yang menggambarkan bahwa variasi neurologis—seperti autisme, ADHD, disleksia, dan kondisi neurodivergen lainnya—bukanlah gangguan yang harus “diperbaiki” apalagi “disembuhkan” sebab itu merupakan bagian alami dari keberagaman manusia, tak berbeda dengan rupa-rupa warna kulit dan bahasa. Menurut artikel di Psychology Today yang ditulis oleh Robert Chapman, istilah neurodiversitas menantang paradigma lama yang memandang kondisi neurodivergen sebagai “penyakit” atau “kelainan”. Sebaliknya, konsep ini menekankan bahwa cara otak orang memang berbeda-beda dalam memproses informasi, belajar, dan berinteraksi dengan dunia.
Meskipun neurodiversitas menawarkan perspektif yang lebih inklusif dan membebaskan, lagi-lagi masih banyak tantangan yang dihadapi orang neurodivergen, terutama karena sistem sosial dan ekonomi kita masih berpegang pada standar “normal” yang sempit dan kaku. Oleh karena itu, penting untuk memahami neurodiversitas bukan hanya sebagai konsep akademik tapi juga panggilan untuk menciptakan dunia yang lebih ramah dan menerima semua cara berpikir.
Ejekan, stigma, serta ableisme yang masih masif
Selain dari aspek struktural, masalah besar lain yang dihadapi oleh orang dengan gangguan belajar dan neurodivergensi adalah ejekan dan stigma sosial yang masih sangat luas. Di Indonesia, olok-olok seperti “autis”, “retarded”, dan kata-kata kasar lainnya sering digunakan secara sembrono sebagai hinaan di sekolah, tempat kerja, sampai lingkungan rumah. Sikap seperti ini berakar dari kurangnya edukasi dan kesadaran masyarakat tentang neurodiversitas dan disabilitas secara umum. Padahal, pengakuan dan penerimaan terhadap keberagaman neurologis adalah langkah penting untuk menciptakan masyarakat yang benar-benar inklusif dan adil.
Ejekan ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga memperkuat stigma bahwa gangguan belajar atau kondisi neurodivergen adalah sesuatu yang memalukan sehingga harus disembunyikan. Hal ini membuat banyak orang, termasuk aku sendiri, harus masking. Masking atau social camouflaging adalah upaya terus-menerus untuk “menyesuaikan diri” dengan standar “normal” (istilah kerennya: standar neurotipikal). Menyembunyikan apa yang sebenarnya dialami demi diterima dan tidak dicap “bermasalah”. Dan itu melelahkan. Tapi aku pikir semua orang juga begitu. Aku pikir aku aja yang kurang kompeten. Aku hidup sambil menyembunyikan apa yang sebenarnya aku “butuh” dan “rasakan”.
Tapi kemudian aku baca buku Empire of Normality karya Robert Chapman. Waktu pertama kali baca, aku seperti ditampar. Bukan karena bahasanya keras, tapi karena sangat memahami apa yang penulis ingin sampaikan. Aku sampai harus duduk diam sejenak dan berpikir: kesalahan itu ada di sistem.
Selain itu, akhirnya, di umur 24, aku didiagnosis Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Sebelum itu aku mengalami kecelakaan yang membuat aku semakin bertanya-tanya: Kenapa aku selalu merasa kewalahan, reaktif, enggak sabaran, gampang banget marah? Kenapa aku harus capek banget buat fokus? Kenapa aku dari kecil sering dianggap “bermasalah” atau “drama”? Dari hasil diagnosis itu aku sadar ternyata jawabannya bukan karena lemah atau enggak kompeten, tapi karena aku selama ini masking.
Surat diagnosis dari psikiater itu aku dapat sebelum berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studi master. Surat itu kemudian aku laporkan ke NHS (semacam BPJS-nya Inggris) dan layanan disabilitas di kampusku sekarang. Saat itulah aku baru merasa “terlihat”. Baru kali itu aku merasa ada yang bilang: Kamu enggak salah; cara otak kamu bekerja itu cuma berbeda saja dari manusia “biasanya”. Tapi kenapa aku harus ke Barat dulu untuk disabilitasku bisa dianggap valid?
Di Indonesia, tempat aku dibesarkan dan sekolah dasar sampai kuliah sarjana, sistem pendidikannya masih sangat ableist. Tidak ada akomodasi untuk mereka yang punya gangguan belajar, apalagi gangguan psikologis atau disabilitas lain yang tak kasat mata. Saat cerita ke orang-orang tentang diagnosis ADHD-ku, bahkan setelah menunjukkan surat resmi, respons yang aku dapat kadang: “Tapi kamu biasa-biasa aja, tuh?”—dan itu rasanya kayak diremehin banget. Komentar semacam itu menunjukkan bahwa pemahaman publik tentang disabilitas masih sangat sempit dan dibatasi oleh yang tampak secara fisik. Seakan-akan ternyata orang seperti aku itu masih yang bisa “diterima” oleh mereka walau aku tahu aku “berbeda”. Heran, masyarakat tuh serba banyak syarat dan ketentuan berlaku, ya, seakan-akan mau tanda tangan kontrak. Ribet.
Yang lebih mengkhawatirkan, bahkan dalam bidang kesehatan pun, pendekatannya sering kali patologis. Pada umumnya, gangguan belajar seperti ADHD dan autisme baru bisa didiagnosis kalau kamu masih anak-anak. Kalau kamu sudah dewasa dan kesulitan, ya, tanggung sendiri (seakan-akan sistem berkata sinis, “siapa suruh telat tahu?”). Tidak heran jika banyak orang dewasa dengan gangguan belajar tapi belum didiagnosis menginternalisasi bahwa dirinya gagal atau tidak cukup baik dalam bekerja atau melakukan kegiatan lainnya.
Chapman membahas tentang paradigma patologi, yaitu cara pikir dominan yang menganggap perbedaan neurologis sebagai kesalahan atau penyakit. Dalam paradigma ini, kamu harus “diperbaiki”. Kamu harus bisa bekerja dan belajar dengan cara yang “normal”. Kalau enggak bisa? Ya, itu salahmu. Paradigma ini menciptakan manusia ideal yang homogen: ras kulit putih, laki-laki, kuat (atau “sehat jasmani dan rohani” versi syarat lowongan kerja di Indonesia), produktif, mandiri, dan tentu saja: “rasional”. Siapa pun yang berada di luar standar ini akan dianggap menyimpang.
Konsep “normal” yang berakar dari kapitalisme dan kolonialisme
Silvia Federici dalam buku Caliban and the Witch menjelaskan bagaimana kapitalisme awal dan penjajahan menegakkan norma-norma dan fungsi yang “produktif” sebagai cara mengontrol dan menindas tubuh yang dianggap “berbeda”. Tubuh yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar—yang “tidak berguna” atau “berlebihan”—dipersekusi, diabaikan, atau dijinakkan melalui kekerasan sistemik. Norma “normal” ini bukan hanya soal standar fisik atau mental, melainkan juga menjadi alat kekuasaan yang mengatur siapa yang berhak hidup, bekerja, dan dihargai. Ketika kapitalisme menuntut efisiensi dan produktivitas, maka tubuh dan pikiran yang berbeda dipaksa untuk menyesuaikan diri atau tersisih. Dua itu saja opsinya. Sementara warisan penjajahan menambah lapisan diskriminasi dengan menyematkan nilai lebih pada tubuh dan budaya tertentu sekaligus meremehkan dan menghapus keberadaan mereka yang dianggap “lain”.
Dengan begitu, konsep “normal” yang masyarakat pegang teguh sebenarnya adalah konstruksi sosial-ekonomi yang melanggengkan ketidakadilan dan eksklusi, terutama terhadap mereka yang hidup dengan disabilitas—baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Menolak konsep ini berarti juga menantang tatanan kapitalis dan kolonial yang selama ini mendikte siapa yang layak dihitung dalam masyarakat.
Chapman dalam buku Empire of Normality juga menegaskan bahwa konsep “normal” yang selama ini kita anggap sebagai standar universal sebenarnya bukanlah sesuatu yang netral atau alami. Konsep ini berakar kuat pada logika kapitalisme dan warisan penjajahan. Karena menuntut produktivitas dan efisiensi maksimal, kapitalisme mengharuskan setiap orang untuk “berfungsi” sesuai standar tertentu—dibentuk berdasarkan kemampuan tubuh dan pikiran yang dianggap ideal oleh sistem. Mereka yang tidak sesuai standar dianggap “bermasalah” atau “tidak normal” sehingga mudah dipinggirkan dan dieksploitasi. Sementara warisan penjajahan memaksakan norma-norma budaya dan sosial eurosentris tentang siapa yang “sehat” dan “berharga” dalam masyarakat. Ini memperkuat diskriminasi terhadap kelompok yang berbeda, termasuk orang dengan disabilitas dan mereka yang berasal dari negara-negara Selatan Global.
Sudut pandang Paul Farmer dalam Pathologies of Power semakin menguak bagaimana kapitalisme dan struktur kekuasaan global menentukan siapa yang dianggap layak menerima perhatian medis, psikologis, dan sosial; serta siapa yang dibiarkan menderita dalam diam. Farmer menyatakan bahwa penderitaan bukan hanya hasil dari kondisi biologis atau psikologis, melainkan produk dari kekerasan struktural yang bersumber dari ketimpangan ekonomi, rasisme, seksisme, dan warisan kolonialisme. Dalam dunia di mana kapitalisme menentukan nilai hidup seseorang berdasarkan produktivitas dan profitabilitas, mereka yang tidak sesuai dengan norma dominan, baik karena kondisi mental, identitas gender, ras, atau status sosial dianggap “tidak normal” dan sering kali dipinggirkan dari sistem dukungan yang seharusnya melindungi mereka. Dalam kerangka ini, normalitas bukan sekadar kategori medis, tapi sebuah alat kuasa. Farmer mendorong kita untuk tidak hanya fokus pada pemulihan individu, tetapi juga mengkritisi dan menggugat sistem yang menjadi akar dari penderitaan tersebut.
Dengan demikian, ketika mempertanyakan apa itu “normal”, kita juga sedang mengkritik sistem ekonomi dan sosial yang menciptakan ketidakadilan—sistem yang tidak hanya mengeksploitasi tubuh dan pikiran, tapi juga mengukuhkan dominasi budaya dan ekonomi yang lama.
Dan inilah titik temu antara ableisme dan kapitalisme: sistem ekonomi kita dibangun bukan untuk manusia, tapi demi mesin. Kita dilatih dari kecil buat bersaing,tinggi-tinggian ranking, dinilai dari produktivitas dan kepatuhan. Sistem peringkat di sekolah bahkan berasal dari warisan eugenika yang dipakai (hingga saat ini) untuk memilah mana anak-anak yang dianggap “berpotensi tinggi” dan mana yang “bermasalah”. Kalau tidak bisa duduk tenang delapan jam di kelas, kamu dianggap malas. Kalau burnout karena pekerjaan yang enggak manusiawi, kamu disuruh meditasi atau ikut pelatihan mindfulness—bukannya mempertanyakan kenapa pekerjaan itu bikin kamu hancur.
Seluruh sistem ini didesain supaya kita terus merasa kurang, merasa perlu membuktikan diri, merasa bersalah kalau minta istirahat. Disabilitas, dalam konteks ini, bukan sekadar kondisi tubuh atau pikiran—tapi juga status sosial yang dimarjinalkan. Kita yang dianggap tidak sesuai standar harus terus adaptasi. Harus terus mengejar supaya kelihatan “normal”. Harus masking. Harus kuat-kuatan.
Aku menulis ini bukan sekadar buat cerita tentang ADHD-ku. Aku menulis ini karena aku peduli dengan orang-orang yang masih berusaha memahami dirinya sendiri. Mereka yang hidup di sistem yang bikin mereka merasa rusak, padahal mereka hanya berbeda. Aku ingin lebih banyak orang neurodivergen bisa terlihat, dihargai, dan diterima—bukan karena mereka berhasil menyembunyikan kondisinya, tapi justru karena bisa hidup otentik.
Salah satu pemikiran yang sangat memengaruhi aku datang dari Mia Mingus, seorang aktivis disabilitas dan keadilan transformasional. Dia menulis bahwa “Ableism is not simply about individuals being mean to disabled people. It is a system that places value on people’s bodies and minds based on societally constructed ideas of normalcy, productivity, desirability, intelligence, excellence, and fitness.” Bagiku, kutipan ini menyentuh inti dari bagaimana tubuh dan pikiran yang menyimpang dari norma dianggap tidak berharga dalam sistem yang mengutamakan efisiensi, performa, dan produktivitas. Sistem kapitalis menggandeng ableisme dalam menyeleksi siapa yang dianggap pantas mendapat tempat, siapa yang dianggap beban. Dalam konteks ini, disabilitas tidak hanya soal keterbatasan individu, tetapi merupakan hasil benturan antara tubuh/mental kita dengan dunia yang tidak dibuat untuk kita.
Di dunia akademik dan kesehatan publik, aku sering kali melihat disabilitas dipandang secara sempit dan hanya memberi akomodasi (yang seharusnya sudah menjadi bare minimum), bukan mempertanyakan sistem yang membuatnya sulit diakses sejak awal. Padahal, sebagaimana disampaikan oleh Mingus, perjuangan disabilitas menyangkut banyak aspek hidup—dari hak untuk istirahat sampai siapa yang dianggap pantas dicintai, diajak bekerja, atau dipercaya jadi pemimpin. Perjuanganku sebagai orang yang hidup dengan disabilitas tidak akan dapat lepas dari kritik terhadap kapitalisme dan norma-norma dominan lainnya. Dan melalui lensa ini, aku juga dapat memahami bahwa keadilan harus bersifat interseksional yang meliputi kesehatan, gender, disabilitas dan juga berbagai lapisan lainnya.
Neurodiversitas bukan masalah medis semata. Ini adalah isu keadilan sosial. Dan kalau kita serius ingin membicarakan isu kesehatan, pendidikan, atau kesejahteraan, kita harus berhenti melihat manusia dari hanya dari kacamata produksi. Kita harus berani bilang: ternyata, oh ternyata, kapitalisme memang anti disabilitas!
Referensi
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. (2016). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. https://peraturan.bpk.go.id/Details/37251/uu-no-8-tahun-2016
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. (2023). Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. https://peraturan.bpk.go.id/details/258028/uu-no-17-tahun-2023
Chapman, R. (2020). Neurodiversity, disability, wellbeing. In R. Chapman, S. Runswick-Cole, & K. Hughes (Eds.), Neurodiversity studies: A new critical paradigm (pp. 57–72). Routledge.
Chapman, R. (2023). Empire of normality: Neurodiversity and capitalism (1st ed.). Pluto Press. https://doi.org/10.2307/jj.8501594
Chapman, R. (2021, Agustus 16). Negotiating the neurodiversity concept. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/gb/blog/neurodiverse-age/202108/negotiating-the-neurodiversity-concept
Chapman, R. (2021, Agustus 23). Neurodiversity and the pathology paradigm. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/gb/blog/neurodiverse-age/202108/neurodiversity-and-the-pathology-paradigm
Sonuga-Barke, E., & Thapar, A. (2021). The neurodiversity concept: is it helpful for clinicians and scientists?. The Lancet Psychiatry, 8(7), 559-561. http://dx.doi.org/10.1016/S2215-0366(21)00167-X
Farmer, P. (2004). Pathologies of power: Health, human rights, and the new war on the poor (Vol. 4). Univ of California Press.
Federici, S. (2004). Caliban and the witch: Women, the body and primitive accumulation. Autonomedia.
Miranda‐Ojeda, R., Wickramasinghe, A., Ntolkeras, G., Castanho, I., & Yassin, W. (2025). The Neurodiversity Framework in Medicine: On the Spectrum. Developmental Neurobiology, 85(1), e22960. https://doi.org/10.1002/dneu.22960
Powell, R. M. (2020). Confronting eugenics means finally confronting its ableist roots. Wm. & Mary J. Race Gender & Soc. Just., 27, 607. https://heinonline.org/HOL/P?h=hein.journals/wmjwl27&i=645
Radulski, E. M. (2022). Conceptualising autistic masking, camouflaging, and neurotypical privilege: Towards a minority group model of neurodiversity. Human Development, 66(2), 113–127. https://doi.org/10.1159/000524122
Withers, A. J., Ben-Moshe, L., Brown, L. X., Erickson, L., da Silva Gorman, R., Lewis, T. A., … & Mingus, M. (2019). Radical disability politics. In Routledge handbook of radical politics (pp. 178-193). Routledge.
Samantha Dewi Gayatri, mahasiswa MSc Global Mental Health di University of Glasgow.