Ilustrasi: Ilustruth
DALAM beberapa dekade terakhir, sektor pendidikan tinggi, termasuk peran dosen, semakin dipengaruhi oleh pasar. Dosen yang dahulu dianggap sebagai kompas moralitas, penjaga gerbang ilmu pengetahuan, dan pembentuk generasi kritis, kini dipahami sebagai pekerjaan yang berfungsi sekadar menghasilkan lulusan siap kerja, “produk” yang “layak” memenuhi kebutuhan pasar. Sementara institusi pendidikan semakin beroperasi layaknya korporasi.
Dalam hal ini, dosen berperan penting dalam formula sirkuit uang dari Karl Marx, M-C-M’ (M: uang; C: komoditas; M: uang yang lebih banyak). Dalam skema ini, pekerja berperan sebagai komoditas yang dibeli oleh kapitalis dengan uang. Tenaga kerja mereka digunakan untuk memproduksi barang atau jasa yang kemudian dijual demi mendapatkan uang lebih banyak.
Uang yang dikeluarkan kapitalis untuk membeli pekerja disebut upah. Upah ini selalu lebih rendah dibanding nilai sebenarnya yang dihasilkan pekerja. Selisih antara nilai yang diciptakan dan upah yang diberikan disebut nilai lebih (surplus value). Nilai lebih inilah yang menjadi sumber keuntungan bagi kapitalis.
Tren transformasi dosen sebagai komoditas ini tidak khas Indonesia, melainkan secara global seiring dengan dominasi neoliberalisme di sektor pendidikan. Di Eropa, terutama setelah krisis keuangan 2008, banyak universitas mulai merespons tekanan untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan “nilai guna” lulusan. Ini terlihat dengan munculnya pendekatan outcome-based education dan penekanan pada employability.
Di Amerika Latin —yang memiliki sejarah panjang pendidikan sebagai alat pembebasan dan gerakan deschooling— sistem pendidikan mulai diprivatisasi dan beroperasi sebagaimana bisnis. Dosen berada di bawah tekanan untuk menghasilkan lulusan yang memenuhi kebutuhan pasar sehingga sering kali mengorbankan penelitian atau kajian sosial kritis. Hal ini setidaknya terjadi di Cile pasca-Kudeta 1973. Negara ini juga merupakan salah satu laboratorium pertama bagi kebijakan neoliberal di sektor pendidikan.
Komodifikasi sistem pendidikan juga masif terjadi di Asia, baik di negara maju maupun berkembang. Pendidikan tinggi dipandang sebagai sarana strategis untuk memperkuat daya saing nasional di pasar global. Di banyak negara Asia, termasuk Indonesia, pemerintah menekankan pentingnya pendidikan tinggi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan daya saing.
Paradigma di atas sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Immanuel Wallerstein melalui teori world-systems. Merujuk teori ini, pendidikan merupakan bagian penting dari struktur kapitalisme global. Pendidikan, termasuk infrastrukturnya seperti perguruan tinggi, tidak lagi hanya untuk menghasilkan tenaga kerja bagi pasar domestik tetapi juga sistem ekonomi global. Pendidikan tidak lagi diorientasikan untuk kepentingan nasional atau domestik tetapi juga terkait dengan penguatan posisi sebuah negara dalam peta ekonomi dunia.
Pendidikan Tinggi dalam Sistem Pasar
Marx (1992) dalam analisisnya tentang kapitalisme menyebutkan bahwa komodifikasi adalah proses ketika segala sesuatu, termasuk tenaga kerja, diupayakan bisa diperdagangkan. Dalam konteks pendidikan, dosen menjual tenaga intelektual mereka untuk upah, dan hasil dari pekerjaan mereka adalah lulusan yang disiapkan untuk pasar kerja. Marx menjelaskan bahwa dalam kapitalisme, tenaga kerja diharapkan menciptakan nilai lebih, yang dalam kasus dosen, diwujudkan dalam bentuk lulusan yang memiliki nilai produktif bagi pasar dan kapitalis di luar institusi pendidikan.
Sejalan dengan ini, Harvey (2005), seorang geografer marxis, menggambarkan bahwa neoliberalisme telah menciptakan situasi di mana segala aspek kehidupan telah dikooptasi oleh logika pasar. Begitu pun sektor pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi tidak lagi dilihat sebagai proyek sosial atau tempat pengembangan intelektual bebas, tetapi industri yang harus menghasilkan keuntungan dan produk yang dapat bersaing di pasar tenaga kerja. Dosen didesain untuk tidak hanya menjalankan tugas pengajaran, tetapi juga harus menyesuaikan diri dengan tuntutan produktivitas yang diukur berdasarkan seberapa cepat dan efisien mereka dapat mencetak tenaga kerja siap pakai.
Dalam kerangka ini, universitas tidak berbeda dari pabrik, dan lulusan yang dihasilkan bukan lagi individu yang kritis dan berpikiran bebas melainkan produk yang siap memenuhi permintaan dan kebutuhan industri. Sistem ini menciptakan tekanan luar biasa bagi dosen, yang sering kali harus berfokus pada pengajaran yang relevan dengan industri dan penelitian yang diarahkan pada inovasi yang berorientasi pada pasar. Dosen kerap harus berdamai antara antara idealisme sosok pendidik atau pengekor semua kebijakan yang pro-pasar.
Kondisi terintegrasinya dosen dalam rantai produksi tenaga kerja berdampak pada pudarnya keotonomian mereka sebagai intelektual yang merdeka. Akibat tekanan untuk memenuhi kebutuhan pasar dan meningkatkan daya saing lulusan, banyak yang terjebak dalam mekanisme penyesuaian kurikulum dan metode pengajaran yang berorientasi pada pasar, bukan pada pengembangan kritisisme, kreativitas, atau kebebasan intelektual.
Kondisi ini sejalan dengan apa yang disampaikan Marx dalam Kapital. Menurutnya, di bawah kapitalisme, pekerja kehilangan hak atas produk kerja mereka. Dalam konteks pendidikan, dosen kehilangan otonomi atas kurikulum dan metode pengajaran yang mereka kembangkan karena diatur oleh kebutuhan pasar. Ini mengarah pada alienasi dosen dari pekerjaan intelektual mereka sendiri. Dosen bukan lagi sebagai pencipta pengetahuan yang bebas, melainkan agen yang berfungsi dalam logika ekonomi.
Marx (2013) pernah menulis bahwa: “the worker becomes all the poorer the more wealth he produces, the more his production increases in power and range. The worker becomes an ever cheaper commodity the more commodities he creates.” Di dalam perguruan tinggi, kalimat ini sulit diterima. Dosen selalu dihegemoni perspektif bahwa semakin menghasilkan sumber daya siap kerja, maka ia semakin menjadi komoditas yang andal. Hegemoni ini membuat banyak dosen semakin pragmatis dan membuat perguruan tinggi sulit terlepas pada kekangan paradigma pasar.
Pendidikan sebagai Aparatus Ideologis
Meminjam pemikiran Althusser (1971) soal Aparatus Ideologis Negara (Ideological State Apparatus/ISA), proses komodifikasi pendidikan sejatinya sangat ideologis dan dijalankan secara struktural. Pendidikan tinggi telah bertransformasi menjadi salah satu instrumen negara yang digunakan untuk mereproduksi hubungan produksi kapitalis. Dosen, melalui peran mereka dalam institusi pendidikan, berperan dalam mentransmisikan ideologi dominan kepada pelajar, baik secara eksplisit maupun implisit. Proses ini menciptakan kesadaran palsu yang menormalkan kapitalisme dan hubungan kekuasaan yang ada, sehingga lulusan lebih mudah diterima dan dimanfaatkan oleh sistem ekonomi yang berlaku.
Dalam konteks Indonesia, sistem pendidikan tinggi sering diarahkan untuk mendukung agenda pembangunan ekonomi yang berfokus pada pertumbuhan. Mahasiswa sering kali dijejali pemahaman bahwa kuliah harus cepat lulus dan siap kerja, tanpa secara rasional benar-benar memahami dalam konteks apa dan untuk kepentingan siapa mereka harus belajar. Orientasi ini mengarahkan mahasiswa dan lulusan pendidikan tinggi sebagai manusia-manusia pasif, yang hanya menerima dan minim keberanian untuk menciptakan atau mengkritik. Para pembelajar pada akhirnya hanya sebagai “produk akhir” yang siap digunakan oleh kapitalis untuk memenuhi kebutuhan industri.
Freire pernah mengungkapkan dalam Pedagogy of the Oppressed (1970): “Education either functions as an instrument which is used to facilitate integration of the younger generation into the logic of the present system and bring about conformity or it becomes the practice of freedom, the means by which men and women deal critically and creatively with reality and discover how to participate in the transformation of their world.”
Idealisme Freire ini sangat penting dalam membangun sistem pendidikan dan lulusan yang merdeka, kreatif, dan adaptif terhadap perubahan dunia. Namun, sayangnya, komodifikasi pendidikan dalam konteks kapitalisme telah mengarahkan pendidikan ke arah pendulum yang berbeda. Alih-alih merdeka dan fokus pembebasan intelektual, pendidikan lebih sering berfungsi sebagai sarana integrasi pasar. Dosen dalam sistem ini terjebak dan dipaksa untuk “memproduksi” lulusan yang sesuai dengan standar pasar, menghilangkan elemen pendidikan yang bersifat transformatif dan membebaskan.
Seorang pemikir kiri dari Frankfurt School bernama Herbert Marcuse dalam karyanya One Dimensional Man (2013) pernah mengkritik cara sistem kapitalis menciptakan individu-individu yang tunduk pada sistem tanpa pertanyaan kritis. Alih-alih menjadi kritis, pendidikan justru diarahkan untuk menciptakan lulusan yang fungsional. Marcuse berpendapat bahwa kapitalisme menciptakan one dimensional thinking, di mana orang atau masyarakat didorong untuk menyesuaikan diri dengan sistem daripada memikirkan alternatif. Dalam konteks ini, pendidikan tinggi, alih-alih merdeka dan menjadi antitesis atas status quo, justru menjadi aparatus ideologis yang melanggengkan hegemoni pasar yang membelenggu. Dosen, yang seharusnya memiliki peran untuk mengkritik sistem dan mengembangkan pemikiran alternatif, justru terjebak dalam siklus produksi ini dan dalam proses penyediaan tenaga kerja yang melanggengkan sistem pro-pasar.
Sebuah Jalan Alternatif
Saya tidak menyatakan bahwa mencetak tenaga kerja adalah dosa. Upaya membentuk pelajar yang siap kerja pastinya hal mulia agar mereka memiliki kesempatan hidup yang lebih baik. Namun begitu, upaya ini tidak bisa dilakukan secara pragmatis. Upaya membentuk tenaga kerja harus disertai upaya melawan komodifikasi pendidikan dan upaya mengembalikan esensi pendidikan yang kritis dan transformatif. Dengan begitu, kita tidak membentuk pekerja yang selalu menjadi ekor, tapi juga dapat berperan sebagai kepala.
Salah satu pendekatan dapat dilakukan dalam merealisasikan ide di atas adalah dengan mengadopsi pedagogi kritis seperti yang dikemukakan oleh Freire. Dalam pedagogi ini, dosen tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga fasilitator bagi mahasiswa untuk mengembangkan kesadaran kritis tentang dunia di sekitar mereka. Pendidikan tidak lagi berfokus pada pencetakan lulusan sebagai produk pasar, tetapi pada pembebasan intelektual, di mana mahasiswa didorong untuk mempertanyakan struktur ekonomi-politik yang mereka hadapi.
Freire menyarankan bahwa pendidikan harus menjadi proses dialogis. Dalam hal ini, dosen tidak lagi berperan sebagai satu-satunya sumber kebenaran, tetapi memberikan ruang bagi mahasiswa untuk berperan aktif dalam menafsir kebenaran dan mencipta pengetahuan. Hal ini dapat diterapkan dengan melibatkan mahasiswa dalam proyek-proyek berbasis masalah, yang tidak hanya berfokus pada keterampilan teknis tetapi juga pada isu-isu sosial seperti keadilan, ekologi, dan ketimpangan. Pendekatan ini bertujuan untuk menjadikan pendidikan sebagai alat perubahan sosial, bukan sekadar instrumen produksi tenaga kerja.
Transformasi juga perlu dilakukan di luar kelas. Dosen juga perlu membangun jaringan solidaritas akademik, baik di tingkat lokal maupun internasional. Jaringan ini bisa berfungsi sebagai ruang diskusi dan kolaborasi untuk memperjuangkan reformasi pendidikan yang lebih humanis. Dengan membentuk komunitas yang berkomitmen pada pendidikan kritis, dosen bisa saling mendukung dalam mengembangkan kurikulum yang lebih inklusif dan berorientasi pada keadilan sosial. Jaringan ini juga dapat menciptakan ruang bagi penelitian berorientasi sosial yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat. Dosen dapat memilih untuk fokus pada penelitian yang relevan dengan isu-isu lokal atau nasional yang berdampak langsung pada masyarakat, bukan hanya topik yang memberikan keuntungan finansial pribadi.
Maka dari itu, dalam menghadapi tantangan komodifikasi pendidikan, dosen perlu mencari cara untuk merebut kembali otonomi mereka sebagai intelektual dan pendidik. Dengan menolak sistem pendidikan yang berfokus pada logika pasar, dosen dapat kembali memperjuangkan pendidikan sebagai ruang untuk pemberdayaan dan pembebasan.
Sebagai intelektual, dosen memiliki potensi untuk menjadi agen perubahan sosial. Pendidikan yang mereka tawarkan tidak harus tunduk pada logika kapitalisme dan pasar, tetapi dapat menjadi instrumen untuk menciptakan generasi yang kritis, kreatif, dan mampu memikirkan alternatif dari tatanan sosial dan ekonomi yang ada.
Jalan ini mungkin tidak mudah, tetapi dalam konteks yang semakin didominasi oleh neoliberalisme, peran dosen yang transformatif sangat dibutuhkan untuk mengembalikan pendidikan sebagai sarana pemberdayaan dan keadilan sosial, bukan sekadar mesin pencetak tenaga kerja bagi pasar.
Daftar Pustaka
Althusser, Louis. Ideology and Ideological State Apparatuses. In Lenin and Philosophy and Other Essays, Monthly Review Press, 1971.
Freire, Paulo. Pedagogy of the Oppressed. Bloomsbury, 1970.
Harvey, David. A Brief History of Neoliberalism. Oxford University Press, 2005.
Marcuse, Herbert. One-dimensional man: Studies in the ideology of advanced industrial society. Routledge, 2013.
Marx, Karl. Capital: Volume I. Penguin Classics, 1992.
Marx, Karl. “Economic and philosophic manuscripts of 1844: Estranged labour.” Social Theory Re-Wired. Routledge, 2013. 158-164.
Faiz Kasyfilham, dosen Departemen Politik dan Ilmu Pemerintahan FISIP Undip