Kelas Menengah Indonesia: Terkikis, Terabaikan, dan Terlupakan

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: pixabay/geralt


KELAS menengah Indonesia sedang berada di persimpangan: terimpit oleh ketidakpastian ekonomi, terpinggirkan dalam politik, dan semakin kehilangan peran historis sebagai motor perubahan sosial. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat populasi kelas menengah Indonesia mengalami penurunan drastis, dengan lebih dari sembilan juta orang keluar dari kelompok ini antara 2019 (sebelum pandemi) hingga 2024. Penurunan ini dipandang oleh banyak pihak sebagai faktor yang berkontribusi terhadap melemahnya perekonomian nasional serta meningkatnya populisme di kalangan masyarakat.

Mengapa kelas menengah terus mengalami kemerosotan, baik secara ekonomi maupun dalam kesadaran politik? Bagaimana hal ini memengaruhi peran mereka dalam demokrasi dan memperkuat ketimpangan kekuasaan di negara kita? Apakah ini mencerminkan kegagalan struktural yang lebih dalam dalam menghadapi masalah kelas di Indonesia?

Sebagian ekonom menyatakan bahwa fenomena ini merupakan imbas dari transformasi basis ekonomi negara yang berawal dari agraris menjadi industri manufaktur di pertengahan tahun 1990-an. Namun, menurunnya kelas menengah bukan cuma tentang penghasilan, daya beli, konsumsi rumah tangga, ataupun berbagai persoalan ekonomi lainnya, tetapi merupakan peringatan penting bahwa demokrasi sudah lama mati.


Kemunculan Kelas Menengah di Indonesia

Untuk memahami perkembangan kelas menengah di Indonesia, kita perlu menelusuri akar historisnya, yang dapat ditemukan pada masa kolonial. Meskipun pada masa pra-kolonial sudah ada kelas pedagang yang memegang kekuasaan ekonomi signifikan, dan penguasa sering kali merasa terancam oleh kekayaan dan pengaruh mereka, kelas menengah modern yang kita kenal sekarang berakar dari kebijakan kolonial sejak akhir abad ke-19.

Kolonialisme dan kapitalisme bergantung pada tenaga kerja yang terampil dan murah untuk mempertahankan eksploitasi wilayah jajahan. Pemerintah kolonial, melalui kebijakan Politik Etis, memberikan akses pendidikan kepada masyarakat pribumi. Tujuannya adalah mencetak birokrat yang cakap dengan upah murah dan patuh demi kelangsungan pemerintahan kolonial. Kebijakan ini dibungkus dengan dalih mission civilisatrice, gagasan moral yang berkembang di Eropa sebagai pembenaran atas kolonialisme, termasuk di Hindia Belanda.[1] Namun, kebijakan ini justru melahirkan kelompok baru—golongan terpelajar yang awalnya dididik untuk mendukung kepentingan kolonial tetapi lambat laun mengembangkan pemikiran kritis terhadap pemerintah Belanda.[2] Golongan ini kemudian menjadi cikal bakal kelas menengah dan memainkan peran penting dalam pergerakan nasional pada awal abad ke-20, dengan spektrum politik yang sangat beragam.

Setelah kemerdekaan, embrio kelas menengah dari golongan terpelajar memainkan peran penting dalam pembangunan negara-bangsa. Namun, mereka terpecah antara yang mendukung pembangunan negara dengan orientasi ekonomi liberal dan yang mengutamakan keadilan sosial serta redistribusi kekayaan. Pada dekade awal kemerdekaan, partai-partai yang memiliki kesadaran kelas, seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), berusaha mengartikulasikan kepentingan kelas pekerja dan petani dalam transisi pasca-kolonial. Namun, setelah penghancuran PKI dan penumpasan gerakan kiri pada 1965-1966, kelas menengah kehilangan elemen penting yang sadar akan ketimpangan sosial dan ekonomi.[3]


Menghilangnya Kesadaran Kelas

Absennya wacana “kelas” dalam percakapan sosial politik telah melemahkan partisipasi politik dan mendorong kebijakan yang semakin condong ke oligarki. Ironisnya, meskipun istilah “kelas” sering muncul dalam media, terutama dalam konteks ekonomi, diskursus ini sangat dangkal dan tidak menyentuh aspek ketimpangan sosial yang lebih dalam.

Warisan Orde Baru sangat berperan dalam hal ini. Rezim tersebut secara sistematis menghapus kesadaran kelas dengan menekankan ideologi pembangunan dan stabilitas sebagai prioritas utama, sehingga menggantikan perdebatan politik kelas dengan isu-isu ekonomi semata. Akibatnya, banyak individu dari berbagai lapisan masyarakat menerima kondisi struktural tanpa menyadari posisi kelas mereka yang sebenarnya, sebuah manifestasi dari ideologi yang mempertahankan ketimpangan sosial. Mereka, tanpa sadar, mendukung sistem yang justru mengeksploitasi mereka.

Menariknya, kelas menengah—dengan akses yang lebih baik terhadap pendidikan, sumber daya, dan jaringan sosial—seharusnya memiliki kemampuan lebih besar untuk menginstitusionalisasi dirinya dibandingkan kelas proletar. Namun, pertanyaan yang perlu diajukan adalah: untuk tujuan apa institusionalisasi ini terjadi? Dalam banyak kasus, institusionalisasi kelas menengah lebih sering diarahkan pada upaya memperkuat kepentingan ekonomi mereka sendiri, yang ujung-ujungnya berorientasi pada keuntungan, bukan keadilan sosial. Hal ini menjadikan kelas menengah lebih rentan terjebak dalam narasi ideologis yang mendukung status quo dan memperlemah solidaritas dengan kelas pekerja.

Proses penghapusan kesadaran kelas ini memiliki akar yang kuat di masa Orde Baru. Selama periode tersebut, kelas menengah—yang sebelumnya menjadi motor perubahan sosial dan politik—mengalami kemunduran dalam hal kesadaran politik dan orientasi sosial. Alih-alih menjadi agen perubahan, kelas menengah terperangkap dalam dinamika pembangunan yang didefinisikan oleh stabilitas ekonomi dan pertumbuhan, tanpa menyadari ketimpangan sosial yang terus berlangsung.

Teori-teori politik yang mendominasi pemikiran rezim otoriter tahun 1960-an, salah satunya oleh Samuel P. Huntington, membantu menjelaskan fenomena ini. Dalam bukunya Political Order in Changing Societies (1968), Huntington berargumen bahwa mobilitas sosial yang bersamaan dengan pembangunan ekonomi sering kali menyebabkan frustrasi sosial.[4] Ketika mobilitas sosial meningkat, masyarakat memiliki ekspektasi yang lebih tinggi terhadap sistem politik. Namun, ketika partisipasi politik yang meluas tidak diiringi oleh pelembagaan politik yang kuat, hal ini dapat memicu ketidakstabilan. Rezim Orde Baru menggunakan teori ini untuk menekan partisipasi politik demi menjaga stabilitas pembangunan. Gerakan kiri, yang secara tradisional menyadari ketimpangan kelas, dihancurkan secara sistematis. Orde Baru tidak hanya menekan gerakan kiri melalui represi fisik dan politik, tetapi juga mengontrol wacana ideologis di ruang publik, menghapus diskusi tentang “kelas” dari percakapan politik nasional.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Trauma Sejarah dan Dampaknya Pasca-1998

Reformasi 1998 memberikan kesempatan baru bagi politik Indonesia, dengan menurunnya represi negara terhadap wacana kelas dan perdebatan politik yang lebih terbuka. Namun, trauma sejarah yang dihasilkan dari kekerasan dan represi politik pada 1965-1966 masih membayangi dinamika politik kelas. Trauma ini—yang tertanam dalam ingatan kolektif kelas menengah—membentuk ketakutan untuk terlibat dalam politik kelas secara mendalam, dan menghambat munculnya institusionalisasi gerakan yang lebih kritis terhadap ketimpangan sosial. Akibatnya, meskipun represi negara telah berkurang sejak Reformasi, kelas menengah tetap tidak mampu menggerakkan perubahan struktural yang signifikan.

Pengalaman kekerasan politik di masa lalu membuat banyak individu enggan atau tidak mampu membangun institusi yang dapat mengadvokasi perubahan sosial yang berkelanjutan, karena bayang-bayang ketakutan dan stigma yang masih melekat terhadap politik yang bersifat radikal atau kiri.

Namun, represi yang dulu bersifat fisik dan langsung kini telah bergeser ke ranah digital. Represi digital—melalui penggunaan teknologi seperti pengawasan, pemutusan akses internet, manipulasi daring, dan penggunaan hukum untuk membungkam kritik—semakin mempersempit ruang gerak masyarakat sipil dan kebebasan berekspresi. Pemerintah menggunakan instrumen-instrumen ini untuk mengontrol wacana publik, termasuk dengan mengerahkan buzzers yang menyebarkan disinformasi dan menekan oposisi.[5]

Meskipun represi fisik berkurang, kebebasan politik kini tetap dibatasi dengan cara yang lebih halus namun efektif. Hukum dan teknologi digital telah menjadi alat yang semakin kuat untuk mengontrol perbedaan pendapat, menciptakan “otonomi terkontrol” di mana masyarakat dapat berbicara namun di bawah ancaman dan tekanan tersembunyi. Dampaknya adalah pelemahan lebih lanjut dari gerakan sosial yang dapat memicu perubahan struktural.

Meskipun ada kebebasan politik yang lebih besar setelah Reformasi, kita menyaksikan kemandekan dalam institusionalisasi politik yang memperjuangkan keadilan sosial. Institusionalisasi kelas menengah pasca-1998 lebih diarahkan pada memperkuat stabilitas ekonomi ketimbang memerangi ketimpangan sosial, dan inilah salah satu dampak dari trauma sejarah yang belum sepenuhnya diselesaikan. Tanpa menghadapi masa lalu secara kritis, kesulitan untuk membangun institusi politik kelas yang efektif akan terus berlanjut. Institusionalisasi kelas menengah sering kali difokuskan untuk melayani kepentingan ekonomi mereka sendiri, alih-alih memperjuangkan keadilan bagi kelas pekerja.

Pada titik ini, kita melihat dampak dari penerapan teori Huntington di Indonesia. Rezim Orde Baru membatasi partisipasi politik dan mengarahkan kelas menengah untuk fokus pada konsumsi ekonomi dan kehidupan pribadi. Kelas menengah ini berkembang secara ekonomi, tetapi secara politik tidak berdaya. Ideologi pembangunan digunakan untuk menjustifikasi penghapusan kesadaran kelas, yang pada akhirnya menghilangkan potensi gerakan sosial yang bisa menantang oligarki. Argumen Huntington, yang menekankan bahwa mobilitas sosial dapat memicu ketidakstabilan politik, telah digunakan oleh rezim otoriter untuk membatasi ruang demokrasi. Stabilitas politik yang mereka bangun bukanlah stabilitas yang demokratis dan inklusif, melainkan stabilitas yang melanggengkan ketimpangan kekuasaan dan menutup kemungkinan perubahan struktural.

Pentingnya membicarakan kelas, terutama kelas menengah, terletak pada perannya dalam memecah kelas pekerja.[6] Di Indonesia, kelas menengah sering kali dipahami sebagai hasil dari kebijakan ekonomi yang memberikan sebagian pekerja kondisi yang lebih baik, baik dari segi upah maupun gaya hidup. Perbedaan ini menciptakan kesadaran terpisah yang membuat kelas menengah lebih rentan terhadap narasi ideologis kelas berkuasa, yang menggambarkan kapitalisme sebagai sistem yang menguntungkan semua orang.[7] Pada kenyataannya, kategori kelas menengah justru memperkuat pemisahan di antara kelas pekerja, membentuk persepsi yang menguntungkan elite penguasa.


Tantangan Kelas Menengah di Masa Kini

Pada akhirnya, kelas menengah yang terbentuk di bawah rezim Orde Baru bukanlah kelas yang sadar akan peran politiknya dalam memperjuangkan keadilan sosial, melainkan kelas yang dikondisikan untuk menerima status quo. Dengan absennya wacana kelas dalam politik nasional dan penekanan pada stabilitas di atas partisipasi, Orde Baru meredam potensi kelas menengah untuk menjadi kekuatan perubahan sosial yang signifikan.

Kini, setelah lebih dari dua dekade Reformasi, kelas menengah Indonesia masih terjebak dalam dinamika yang dibentuk oleh warisan Orde Baru. Meskipun ada pertumbuhan ekonomi, kesadaran kelas tetap lemah, dan ruang publik untuk wacana kritis tentang ketimpangan sosial semakin terkikis. Fokus kelas menengah pada gaya hidup konsumtif dan mobilitas sosial individual telah menjauhkan mereka dari kesadaran kolektif yang bisa menantang dominasi oligarki dalam sistem politik dan ekonomi Indonesia.

Akan tetapi, harapan tetap ada. Di tengah meningkatnya ketimpangan dan ketidakpuasan sosial, gerakan-gerakan sosial baru yang muncul dari kalangan buruh, petani, dan aktivis lingkungan menunjukkan bahwa kesadaran kelas belum sepenuhnya padam. Jika kelas menengah dapat melampaui kesadaran individual dan konsumtif menuju kesadaran kolektif, mereka masih memiliki potensi untuk menjadi agen perubahan sosial yang memperjuangkan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.


[1] Elsbeth Locher-Scholten, Ethiek in Fragmenten: Vijf Studies over Koloniaal Denken en Doen van Nederlanders in de Indonesische Archipel, 1877–1942 [Ethics in Fragments: Five Studies on Colonial Thinking and Actions of the Dutch in the Indonesian Archipelago, 1877–1942] (Utrecht: Hes, 1981), 176–208

[2] Robert van Niel, The Emergence of the Modern Indonesian Elite, (Leiden: Brill, 1960).

[3] Vedi R. Hadiz, “The Left and Indonesia’s 1960s: The Politics of Remembering and Forgetting,” Inter-Asia Cultural Studies 7, no. 4 (2006): 554–69.

[4] Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Societies (New Haven: Yale University Press, 1968), 55.

[5] Andreas Ufen, The Rise of Digital Repression in Indonesia under Joko Widodo, GIGA Focus Asia, no. 1 (2024), https://www.giga-hamburg.de/en/publications/giga-focus/the-rise-of-digital-repression-in-indonesia-under-joko-widodo.

[6] Muhammad Ridha, “Memahami ‘Kelas Menengah’ Indonesia,” Indoprogress, 5 Februari 2016.

[7] Ibid.


Teuku Reza Fadeli, pengajar Departemen Sejarah Universitas Indonesia

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.