Ilustrasi: Sriwijaya Media
PADA tanggal 18 September 2024, Partai Buruh (PB) memperingati tiga tahun kelahirannya. Acara dengan tajuk 3 Tahun Kebangkitan Kelas Buruh yang diselenggarakan di Istora Senayan menghadirkan anggota serikat-serikat buruh yang tergabung dalam PB. Tidak hanya buruh di Pulau Jawa, anggota PB dari Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, hingga Papua turut hadir. Bahkan, ada anggota PB dari Riau yang naik motor ke Jakarta untuk menghadiri peringatan kelahiran PB.
Kemeriahan acara PB ternodai oleh keputusan mengundang Prabowo Subianto. Prabowo diberi panggung untuk memberikan pidato kebangsaan. Namun, Prabowo tidak hadir dalam acara tersebut dan hanya mengirimkan video ucapan selamat.
Dalam video berdurasi 6 menit itu, Prabowo sama sekali tidak menyinggung masalah perburuhan, termasuk UU Cipta Kerja maupun upah. Padahal, pimpinan PB mengundang Prabowo di acara partai untuk meminta keberpihakan Prabowo terhadap buruh. Mereka berharap adanya revisi UU Cipta Kerja dan kenaikan upah yang signifikan. Namun, harapan tersebut sia-sia belaka. Di sinilah pimpinan PB tidak pernah belajar dari sejarah. Sudah berkali-kali gerakan buruh dikhianati oleh Prabowo, tetapi tidak kapok merangkulnya. Pada tahun 2019, KSPI mendukung Prabowo sebagai calon presiden, namun partainya mendukung UU Cipta Kerja dan politik upah murah. Bahkan, Prabowo sendiri turut mendukung UU Cipta Kerja karena dianggap mampu memenuhi kepentingan masyarakat.
Cawe-Cawe Elite Partai Buruh
Kelakuan elite Partai Buruh yang jauh dari cita-cita kelas pekerja sudah sedari dulu dipertontonkan. Kita masih ingat Presiden Said Iqbal bertemu dan ‘sungkem’ dengan salah satu calon presiden, Ganjar Pranowo, setelah aksi May Day 2023. Lalu, pada aksi mendukung putusan MK tanggal 22 Agustus 2024, PB memberikan panggung kepada salah satu anggota DPR RI dari Partai Gerindra, Habiburokhman. Massa aksi sedang marah dan muak kepada DPR, tetapi PB justru mengajak anggota dewan untuk memberikan orasi (Ada dugaan salah satu pimpinan Partai Buruh melobi Habiburokhman untuk memberikan pernyataan di depan peserta aksi). Tak pelak lagi, mobil komando PB menjadi sasaran kemarahan massa yang melempar botol minuman ke arah pemimpin aksi.
Tidak berhenti di situ, dalam momen Pilkada saat ini, PB mengusung Calon Kepala Daerah yang diidentikan dengan politik dinasti, yakni Airin sebagai calon Gubernur Banten. Padahal, Said Iqbal sendiri pernah menyatakan bahwa dia tidak setuju dengan kekuasaan yang dibangun atas dasar dinasti.
Sikap ‘cawe-cawe’ elite PB semakin kelihatan terang-benderang ketika terjadi konflik internal di Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia. Said Iqbal hadir dalam konferensi pers mendukung kepemimpinan Arsjad Rasjid. Dalam konferensi pers tersebut, Said Iqbal tidak mengakui kepemimpinan KADIN hasil Munaslub. Meskipun tidak mengatasnamakan Partai Buruh—Said Iqbal hadir sebagai Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI)—kehadiran Said Iqbal menimbulkan pertanyaan. Pasalnya, konflik di organisasi pengusaha tidak ada hubungannya secara langsung dengan kepentingan buruh. Justru, pengusaha yang ada di KADIN mempunyai kepentingan berbeda dengan buruh.
Kekecewaan publik akibat ulah segelintir elite PB semakin besar saat mengundang Prabowo di acara ‘3 Tahun Kebangkitan Klas Buruh.’ Bukan lagi kecewa, tetapi publik semakin geram dan marah. Media sosial PB dipenuhi dengan komentar negatif, hingga kemarahan. Kekecewaan datang tidak hanya dari luar, tetapi juga dari anggota PB.
Padahal, PB sebenarnya telah mendapatkan momentum untuk menjadi partai alternatif yang bisa dipercaya rakyat saat memenangkan gugatan UU Pilkada terkait ambang batas pencalonan kepala daerah. PB dianggap punya peran besar dalam gerakan #Peringatandarurat, di mana muncul protes besar dari rakyat. Tren positif PB sudah sangat bagus dan popularitasnya semakin tinggi. Apalagi pada saat PB mengusung Anies Baswedan sebagai Calon Kepala Daerah, banyak warga Jakarta yang bersimpati terhadap Partai Buruh.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Anggota Berhak dan Harus Kritis
Keputusan Partai Buruh mengundang Prabowo di acara ‘3 Tahun Kebangkitan Klas Buruh’ mendapatkan respons yang beragam. Tidak sedikit yang merasa kecewa, kesal, dan marah. Kekecewaan banyak diluapkan melalui komentar di akun media sosial PB. Banyak yang menyayangkan sikap PB yang mengundang Prabowo. Prabowo (dan juga Partai Gerindra) dianggap bagian dari rezim yang berkuasa, dan turut andil dalam meloloskan UU Omnibus Law Cipta Kerja.Â
Salah satu unsur PB yang melakukan kritik terbuka adalah Komite Politik Nasional Partai Buruh (Kompolnas PB). Dalam pandangan dan pernyataan sikapnya, Kompolnas PB secara eksplisit menolak hadir di acara PB tersebut.
Kompolnas PB memandang bahwa Prabowo sama saja dengan oligarki lainnya, yang tidak pernah berpihak pada kepentingan buruh dan rakyat. Bahkan, Prabowo dan partainya bertanggung jawab atas pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Mengutip pernyataan Kompolnas PB sendiri:
Dari rekam jejak selama ini tidak ada satupun statemen dari Prabowo yg berpihak kepada kelas pekerja, bahkan dia dan partainya adalah pendukung UU Cipta Kerja yg paling ditentang oleh Partai Buruh. Prabowo juga politisi yg paling sering mengeluarkan retorika nasionalisme dan kemandirian ekonomi. Pada akhirnya Prabowo hanya akan melanjutkan kebijakan ekonomi Jokowi yg pro-pasar yang semakin memiskinkan rakyat. Dan yg perlu diingat bahwa Prabowo adalah salah satu elit kapitalis terkaya di Indonesia yang menguasai konsesi lahan sangat luas di Kalimantan.
Menggantungkan harapan pada Prabowo adalah sebuah kekeliruan dan semakin menjauhkan Partai dari cita-cita dan idealismenya. Pasca pemilu ini adalah sebuah ujian bagi partai buruh. Tantangan terbesar yang dihadapi Partai Buruh saat ini adalah bagaimana mempertahankan kemandirian politik kelas dan memperluas basis dukungan.
Anggota Partai Buruh yang merasa kecewa terhadap sikap segelintir pimpinan perlu menjaga daya kritisnya. Elite PB yang sering bermanuver dan merugikan kepentingan kelas pekerja perlu dikontrol supaya PB tidak terjerembab di jalur kepentingan oligarki. Anggota PB tidak perlu takut berbeda dengan sikap elite yang ada di PB karena prinsip utama yang dipegang adalah membangun partai yang mementingkan perjuangan kelas pekerja. Apalagi, PB dibangun di atas fondasi demokrasi, di mana anggota punya hak, peran, dan tanggung jawab yang sama.
Gerakan Rakyat Membangun Partai Politik Alternatif-Progresif
Sikap Partai Buruh yang mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran menyebabkan kekosongan kekuatan oposisi politik. Secara politis, rakyat tidak mempunyai pilihan partai politik yang bisa menjadi saluran aspirasi mereka untuk beroposisi. Kekosongan tersebut harus diisi dengan pembangunan partai politik yang akan menjadi alat perjuangan terhadap rezim yang baru.
Partai politik yang akan dibangun harus dipersiapkan untuk bertarung dalam politik elektoral. Susah dan rumitnya sistem kepartaian serta pemilu Indonesia membuat waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan diri mengikuti pemilu menjadi panjang. Jika ingin mengikuti Pemilu 2029, gerakan rakyat harus segera mulai (di tahun 2024 ini) membangun partai politiknya sendiri untuk memenuhi syarat administrasi sebagai partai politik peserta pemilu. Belum lagi, mengikuti pemilu membutuhkan biaya yang sangat besar, sehingga gerakan rakyat harus memikirkan besarnya biaya politik. Di sisi lain, UU Partai Politik dan Pemilu harus direvisi untuk mempermudah rakyat terlibat dalam konstestasi politik elektoral. Revisi UU Partai Politik dan UU Pemilu harus terus digaungkan di setiap aksi sebagai tuntutan demokratisasi. Isu ini mungkin bisa digunakan sebagai kelanjutan aksi #Peringatandarurat.
Selain bertarung dalam politik elektoral, partai alternatif-progresif diperlukan untuk memimpin gerakan massa; mengambil peran pelopor dalam protes-protes dan demonstrasi rakyat; hadir di setiap aksi dan pemogokan buruh; terlibat dalam perjuangan petani dan warga yang digusur dan dirampas tanahnya, serta memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan rakyat ke depannya.
Organisasi buruh, seperti KASBI, FPBI, KSN, dan organisasi lainnya yang ada di aliansi GEBRAK ataupun organisasi lain di luar GEBRAK, seperti PHI, KPRI, Komite Politik (organisasi yang dibangun Eko Prasetyo dkk.), bisa menjadi inisiator pembangunan partai alternatif-progresif. Organisasi buruh, petani, nelayan, perempuan, kaum muda, masyarakat adat, dan NGO, sudah saatnya serius dan sungguh-sungguh. Tidak hanya jargon dan slogan!
Konferensi Gerakan Rakyat (KGR) yang pernah diselenggarakan di tahun 2018 merupakan modal untuk kembali mengonsolidasikan gerakan yang mulai ramai belakangan ini. Hari Sumpah Pemuda bisa saja dijadikan momentum bagi gerakan rakyat untuk mendeklarasikan oposisi dan seruan bersama membangun partai politik alternatif-progresif. Ketidaksukaan dan kritik terhadap Partai Buruh perlu dimanifestasikan dalam bentuk yang lebih berkualitas, yaitu membangun partai politik alternatif-progresif. Tidak hanya bullying dan cemooh di media sosial, atau menggerutu dalam hati.
Akbar Rewako adalah anggota Komite Politik Nasional, Partai Buruh