“Obral” Gelar Akademik

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Ilustruth


 

FENOMENA “obral” gelar akademik di perguruan tinggi telah menjadi topik perdebatan yang hangat di kalangan akademisi, termasuk akademisi Indonesia. Perdebatan tersebut semakin memanas ketika Majalah Tempo merilis laporan investigasi mengenai skandal guru besar pada 7 Juli kemarin. Mereka mengungkap berbagai praktik tidak etis yang melibatkan sejumlah pihak tidak jujur, baik dari dalam institusi pendidikan itu sendiri maupun dari pihak luar dengan kepentingan tertentu, padahal gelar akademik yang didapatkan di perguruan tinggi seharusnya dihormati karena mencerminkan komitmen terhadap prestasi, pengetahuan, dan integritas. 

Fenomena ini menunjukkan adanya celah dalam sistem pendidikan tinggi, di mana standar dan prosedur yang seharusnya ketat dan transparan malah disalahgunakan demi keuntungan pribadi atau kelompok. Hal ini mencoreng reputasi institusi pendidikan yang bersangkutan dan merugikan mahasiswa serta alumni yang telah berusaha keras untuk meraih gelar dengan cara yang sah. Hal ini juga menimbulkan ketidakadilan bagi mereka yang benar-benar layak mendapatkan gelar tersebut berdasarkan prestasi dan dedikasi yang dimiliki.


Mengaburkan batas: korupsi dan komodifikasi gelar akademik

Secara historis, pencapaian akademis tidak selalu terbebas dari pengaruh kekayaan dan kekuasaan. Di Eropa abad pertengahan, misalnya, posisi akademis sering kali diperoleh melalui dukungan finansial dari orang-orang kaya (La Vopa, 2002; Sturdy, 1995). Siapa pun yang memiliki uang dan waktu luang dapat menjalani kehidupan yang penuh pemikiran, tetapi hanya sedikit yang bisa melakukannya. Para bangsawan mungkin mengejar filsafat dan sejenisnya sebagai hobi, tetapi mereka tidak akan benar-benar menjadi cendekiawan.

Beasiswa profesional terkonsentrasi di sekitar “chartered universities” yang mulai bermunculan sekitar pertengahan Abad Pertengahan. Sebagian besar universitas yang melatih sarjana profesional disewa secara langsung oleh gereja atau secara tidak langsung sebagai lembaga untuk melatih pendeta. 

Sebagian besar dari cendekiawan memang dilihat dan secara hukum diperlakukan sebagai pendeta. Diperlakukan sebagai pendeta adalah salah satu manfaat sampingan dari memiliki gelar sarjana di masa itu. Mereka hanya dapat diadili di pengadilan gerejawi dan bukan di pengadilan sipil yang terkenal menguntungkan terdakwa. Seorang cendekiawan mungkin tidak benar-benar seorang pendeta, tetapi dia cukup dekat untuk dimasukkan ke dalam kelas itu. Praktik ini terus berkembang selama berabad-abad lamanya.

Di era modern, praktik di universitas tidak hanya tentang transaksi finansial, tetapi juga terlibat dalam pengaturan quid pro quo kompleks. Semua ini secara nyata merusak nilai-nilai dasar yang seharusnya dijunjung tinggi oleh institusi akademik seperti kejujuran, keadilan, dan meritokrasi.

Tekanan ekonomi menjadi penyebab utama tren yang mengkhawatirkan ini. Perguruan tinggi di seluruh dunia menghadapi tantangan keuangan karena dana publik berkurang, biaya operasional meningkat, dan persaingan mendapat prestise global semakin ketat (Stromquist, 2007; Münch, 2014). Dalam situasi seperti ini, godaan untuk mengubah posisi akademis menjadi sumber pendapatan sangat besar, terutama bagi perguruan tinggi yang kesulitan finansial. Tekanan ekonomi ini bisa mendorong praktik tidak etis seperti “mengobral” gelar akademik seperti gelar doctor honoris causa

Di sisi lain, menjadi doctor honoris causa sering dianggap sebagai cara untuk mendapatkan prestise, pengaruh, disegani, dan peluang karier yang besar. Individu kemudian terdorong mencari cara pintas untuk mendapatkan gelar-gelar itu, meskipun berarti melakukan hal-hal tak pantas.

Korupsi dalam institusi akademik memperburuk masalah ini. Ketika mekanisme akuntabilitas lemah dan pengawasan kurang memadai, kesempatan untuk melakukan tindakan ilegal meningkat. Pejabat dan anggota fakultas yang korup bisa menyalahgunakan posisi mereka (Aguilera & Vadera, 2008). Korupsi semacam ini tidak hanya merusak integritas institusi, tetapi juga memperpanjang budaya perilaku tidak etis di dalam institusi tersebut. Akibatnya, kandidat yang seharusnya layak bisa diabaikan, dan standar akademis pun tergerus.

Manifestasi dari fenomena ini beragam dan sering kali terselubung. Transaksional adalah bentuk yang paling terang-terangan (Hallak & Poisson, 2007). Seperti praktik jual beli di pasar, individu membayar sejumlah besar uang untuk mendapatkan gelar-gelar akademik itu. Sulit untuk mendeteksi dan menanganinya sebab transaksi biasanya terjadi di balik pintu tertutup dengan hanya beberapa “orang dalam” yang mengetahui.

Dalam kasus lain, gelar akademik itu diberikan sebagai imbalan atas bantuan, seperti mengamankan pendanaan untuk perguruan tinggi atau memberikan dukungan politik. Pengaturan quid pro quo ini lebih sulit untuk dibuktikan karena tidak melibatkan pertukaran uang secara langsung, namun tetap saja membahayakan integritas proses akademik itu sendiri.

Manifestasi lain yang sering terjadi di Indonesia adalah pemberian gelar profesor kehormatan kepada individu-individu yang tidak memiliki kualifikasi akademis yang diperlukan. Fenomena ini umumnya melibatkan pengusaha kaya, politikus, atau tokoh-tokoh berpengaruh yang, meskipun tidak memiliki latar belakang akademis memadai, memperoleh gelar kehormatan tersebut sebagai bentuk penghargaan atau pengakuan atas kontribusi di bidang lain. 

Secara umum, gelar profesor kehormatan diberikan sebagai bentuk pengakuan atas kontribusi signifikan individu dalam berbagai bidang yang dinilai memajukan masyarakat atau disiplin ilmu tertentu. Meskipun demikian, gelar ini menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai standar akademik dan integritas institusi pendidikan tinggi di Indonesia. Kekhawatiran muncul: bahwa gelar kehormatan mungkin tidak selalu didasarkan pada prestasi akademis yang substansial melainkan dapat dipengaruhi oleh pertimbangan politik atau kepentingan bisnis tertentu. Ini menuntut adanya evaluasi kritis terhadap mekanisme pemberian gelar kehormatan dan potensi dampaknya terhadap reputasi serta kredibilitas akademik institusi pendidikan tinggi.

Meskipun gelar profesor kehormatan tidak secara inheren bermasalah, penggunaannya dapat mengaburkan batas antara pencapaian akademik yang sesungguhnya dan pengakuan transaksional, terutama ketika gelar tersebut diberikan sebagai bentuk penghargaan kepada para donatur. Praktik semacam ini justru berpotensi melemahkan nilai intrinsik gelar akademik dan mengikis kepercayaan publik terhadap sistem pencapaian akademik, dengan menyoroti potensi konflik kepentingan dan komersialisasi.


Rusaknya prinsip meritokrasi

Konsekuensi dari “obral” gelar akademik sangat besar dan luas, dengan dampak yang merusak berbagai aspek dalam dunia pendidikan dan masyarakat secara keseluruhan. Pada intinya, praktik ini merusak prinsip meritokrasi yang seharusnya menjadi landasan utama dalam dunia akademis kita. Ketika gelar akademik dapat dibeli dengan uang, nilai pencapaian ilmiah yang tulus dan usaha keras yang dilakukan oleh para akademisi sejati menjadi berkurang dan tidak dihargai sebagaimana mestinya. Akibatnya, individu yang layak dan benar-benar kompeten sering kali diabaikan atau tersingkir oleh mereka yang memperoleh gelar tanpa melalui proses yang sah dan layak.

Erosi meritokrasi ini menyebabkan penurunan standar akademik secara keseluruhan. Dengan adanya individu yang memperoleh gelar tanpa memenuhi syarat yang seharusnya, kualitas pendidikan dan penelitian juga mengalami penurunan. Akademisi sejati, yang telah melalui berbagai proses pendidikan yang ketat dan kompetitif, mungkin merasa kurang termotivasi ketika melihat bahwa pencapaian mereka tidak dihargai atau diakui. Ini tentu berdampak negatif pada kualitas dan inovasi dalam penelitian, karena individu yang tidak memenuhi syarat atau kurang kompeten menduduki posisi yang seharusnya diisi oleh akademisi yang benar-benar berdedikasi dan kompeten.

Selain itu, “obral” gelar akademik juga berdampak pada kredibilitas institusi pendidikan. Institusi yang terlibat dalam praktik ini akan kehilangan reputasi dan kepercayaan dari masyarakat. Mahasiswa yang lulus dari institusi tersebut akan menghadapi kesulitan dalam mencari pekerjaan atau melanjutkan pendidikan mereka, karena gelar yang mereka peroleh dianggap tidak memiliki nilai atau kualitas yang sesuai. Hal ini juga dapat mengurangi minat dan kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan tinggi, karena mereka melihat bahwa gelar akademik tidak lagi menjadi indikator kompetensi dan pengetahuan yang sesungguhnya.

Kepercayaan publik terhadap institusi akademik mengalami kerusakan serius ketika kasus-kasus penjualan gelar akademik terungkap oleh media massa. Saat skandal semacam ini muncul, reputasi institusi yang terlibat akan terpengaruh secara negatif, dan kepercayaan terhadap sistem akademik secara keseluruhan akan dipertanyakan. Hilangnya kepercayaan publik ini memiliki dampak yang signifikan, termasuk penurunan jumlah pendaftaran mahasiswa baru, menurunnya donasi dari alumni, serta berkurangnya dukungan dari pembuat kebijakan. Akibatnya, institusi akademik tersebut mungkin menghadapi tantangan besar dalam menjaga operasional dan keberlanjutannya.\

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Penutup

Apa yang harus dilakukan? Mengatasi masalah ini membutuhkan pendekatan yang beragam. Memperkuat mekanisme pengawasan dan akuntabilitas di dalam institusi akademik sangatlah penting. Audit rutin, proses seleksi yang transparan, dan badan independen diperlukan untuk menyelidiki pelanggaran agar dapat membantu mencegah praktik korupsi dan memastikan bahwa pengangkatan akademis didasarkan pada aturan-aturan yang berlaku. Transparansi dalam proses pengangkatan adalah kuncinya. Perguruan tinggi harus memublikasikan secara rinci kriteria dalam pemberian gelar akademik, bersama dengan informasi tentang proses seleksi dan anggota komite. Akses terbuka terhadap informasi ini dapat membantu memastikan bahwa pengangkatan dilakukan secara adil dan berdasarkan prestasi. 

Mendorong pelaporan pelanggaran juga sama pentingnya. Perguruan tinggi harus menciptakan saluran aman dan rahasia guna melaporkan pelanggaran dan melindungi pelapor dari pembalasan. Dengan mengembangkan budaya integritas dan akuntabilitas, institusi akademik dapat memberdayakan individu untuk berbicara menentang perilaku tak etis. Selain itu, menanamkan budaya integritas kepada staf akademik dan administrator. Tujuannya untuk mengurangi kemungkinan individu terlibat dalam praktik kotor ini. 

Pada titik ini, “obral” gelar akademik adalah ancaman serius bagi integritas dan kredibilitas institusi akademik. Diperlukan reformasi komprehensif untuk memastikan bahwa gelar akademik diberikan berdasarkan pencapaian ilmiah yang tulus, dan bukan karena pengaruh finansial, kepentingan, atau politik belaka. Dengan mengambil langkah-langkah ini, institusi akademik dapat menegaskan kembali komitmen mereka terhadap meritokrasi, memulihkan kepercayaan publik, dan memastikan kemajuan pengetahuan yang berkelanjutan serta pengembangan generasi cendekiawan di masa depan.***


Daftar Pustaka

La Vopa, A. J. (2002). Grace, talent, and merit: Poor students, clerical careers, and professional ideology in eighteenth-century Germany. Cambridge University Press.

Sturdy, D. J. (1995). Science and social status: the members of the Academie des sciences 1666-1750.

Münch, R. (2014). Academic capitalism: Universities in the global struggle for excellence. Routledge.

Stromquist, N. P. (2007). Internationalization as a response to globalization: Radical shifts in university environments. Higher education53, 81-105.

Aguilera, R. V., & Vadera, A. K. (2008). The dark side of authority: Antecedents, mechanisms, and outcomes of organizational corruption. Journal of Business Ethics77, 431-449.

Hallak, J., & Poisson, M. (2007). Corrupt schools, corrupt universities: What can be done?. Paris: International Institute for Education Planning.


Roy Martin Simamora, Pengajar Filsafat Pendidikan di ISI Yogyakarta

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket