Ilustrasi: Jonpey
ACARA Clash of Champions (selanjutnya disebut CoC) jadi perbincangan warganet di berbagai platform media sosial akhir-akhir ini. Acara dengan kemasan game show yang diinisiasi oleh lembaga bimbingan belajar Ruangguru ini dapat dikatakan cenderung bersifat edukatif dan menarik karena mempertontonkan kepintaran luar biasa dari para pesertanya. Mereka diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ekstrem, menghafalkan urutan dari puluhan kartu yang diacak, menghafalkan ratusan lukisan, dan sebagainya. Menampilkan mahasiswi-mahasiswa berprestasi dari berbagai universitas bergengsi di dalam dan luar negeri, acara ini mendapatkan jutaan viewers di setiap episode.
Narasi TV pernah membuat game show serupa, menampilkan kompetisi regu antar universitas di Indonesia dengan format cerdas cermat, dengan judul Tes Wawasan Kebangsaan. Namun acara itu cenderung tidak se-hype CoC. Di luar negeri, game show semacam ini, dengan format serupa tapi tak sama, juga telah banyak dibuat. Ada University Challenge yang menampilkan puluhan regu peserta dari berbagai universitas di Britania Raya dengan pertanyaan-pertanyaan sulit dari beragam disiplin keilmuan dan University War di Korea Selatan yang kuat menampilkan pertunjukkan kepintaran para peserta di bidang matematis.
Meski bukan yang pertama, dengan konteks Indonesia saat ini, di mana konten-konten “pamer kekayaan” kian bertebaran di berbagai platform media sosial, acara “pamer kepintaran” seperti CoC tentu jadi hal yang berbeda dan tak luput dari sorotan warganet.
Respons warganet terhadap CoC di berbagai platform media sosial cukup beragam. Dari mulai apresiasi terhadap game show ini, puja puji untuk para peserta yang luar biasa pintar, hingga respons (yang sayangnya) bernada nyinyir terhadap beberapa individu peserta, beberapa di antaranya bahkan bersifat seksis terhadap perempuan.
Ada pula beberapa respons unik yang terselip di antara tiga respons tersebut: menyoroti perbedaan nasib para peserta dengan warganet. Berbagai komentar yang cenderung disampaikan dengan nada candaan tersebut sebetulnya mencerminkan keresahan atau kritik terhadap tajamnya ketimpangan sosial, terutama di sektor pendidikan. Namun, proyeksi dari keresahan tersebut sering kali cenderung kurang terefleksi dengan baik. Akibatnya, komentar tersebut pun mendapat respons semacam “jangan iri, belajar saja jika mau pintar seperti mereka.” Alih-alih, “iya ya, kenapa mereka bisa pintar-pintar dan berkuliah di kampus-kampus terbaik di Indonesia dan bahkan luar negeri… sementara kebanyakan dari kita tidak bisa berkuliah?”
Respons itu sebetulnya tidak mengherankan karena mirip dengan respons ketika ada yang mengkritisi konten-konten pamer kekayaan para youtuber, “mereka kaya karena bekerja keras… jangan iri.” Alih-alih, “kenapa ya para youtubers itu bisa sampai hati memamerkan kekayaan di tengah tajamnya ketimpangan sosial yang ada?”
Normalisasi ketimpangan akibat depolitisasi
Respons warganet atas segelintir komentar kritis penonton CoC tersebut secara tidak langsung menunjukkan dalamnya depolitisasi—terjadi semenjak masa Orde Baru—yang kian menurunkan sikap kritis masyarakat dan kemudian membentuk sikap apatis terhadap ketimpangan sosial yang ada. Pada saat yang sama, ideologi neoliberalisme—yang disebarkan ke seluruh dunia sejak akhir tahun 1970-an—juga telah merasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia.
Ketimpangan sosial jadi dinormalisasi dengan cara mengindividualisasikan masalah. Dengan kata lain, menjadikannya sebagai perkara individu semata.
Individualisasi masalah jelas tercermin dari respons terhadap komentar kritis seperti “jangan iri”, “jangan dengki”, “kamu iri, dengki” terhadap para peserta CoC yang pintarnya luar biasa. Beberapa warga net juga merespons seperti, “acara bagus gini dijulidin. Sinetron-sinetron, tuh, gak mendidik, julidin.”
Beberapa menilai bahwa CoC memotivasi para pelajar untuk belajar lebih giat agar pintar luar biasa seperti para peserta. Ini serupa tapi tak sama dengan acara-acara “pamer kekayaan” yang dianggap dapat memotivasi para penontonnya untuk lebih giat bekerja agar kaya luar biasa seperti para youtubers kesayangan mereka.
Problem dari keresahan yang disampaikan melalui komentar-komentar yang menyoroti perbedaan nasib para peserta CoC dengan warganet tersebut jelas bersifat struktural. Ketidakmampuan seseorang untuk menjadi pintar luar biasa dan berkuliah di universitas-universitas bergengsi dalam dan luar negeri seperti para peserta CoC tidak selalu disebabkan karena kurang bekerja keras atau tidak mau belajar, melainkan karena berbagai problem yang ada di luar diri mereka, termasuk tertutupnya akses terhadap pendidikan tinggi. Kita tahu banyak orang tidak bisa berkuliah atau mengakses pendidikan tinggi bukan karena malas atau kurang giat belajar, tapi sebab biaya kuliah mahal dan kebanyakan orang tak punya cukup duit untuk itu.
Dalam CoC sendiri, beberapa peserta mengaku mengakses Ruangguru sebagai sarana belajar mereka. Ini saja sudah mencerminkan aspek lain dari tidak meratanya pendidikan Indonesia. Tidak semua orang bisa mengakses bimbel di luar sekolah seperti Ruangguru, bukan?
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Model pendidikan kritis yang kian langka
Selain soal di atas, beberapa hal yang ditunjukkan oleh game show CoC ini juga perlu dilihat dengan lebih kritis.
Dalam episode-episode yang ditayangkan sejauh ini, CoC menyoroti bidang science, technology, engineering, and mathematics (STEM) dan IPK tinggi sebagai tolok ukur kepintaran para peserta. Ilmu sosial cenderung tidak ada. Hal ini terlihat biasa saja dan tidak berbahaya sama sekali. Namun, kalau dinormalisasi melalui game show semacam ini, narasi dominan tentang “kepintaran” yang memang sudah ada sebelumnya seperti “mereka yang ada di jurusan science/STEM lebih pintar dari mereka yang ada di social science”[1] secara umum akan terus dilanggengkan.
Orientasi-orientasi jangka pendek dari mereka yang mengenyam pendidikan tinggi melalui obsesi terhadap hasil semacam “IPK tinggi” memang sah saja dan tidak ada yang salah dengan itu. Namun, orientasi semacam ini tentu saja tidaklah cukup.
Dapat dimengerti jika orientasi jangka panjang dari pendidikan tinggi—misalnya untuk transformasi sosial, mengatasi ketimpangan dengan ilmu pengetahuan—tak dapat ditunjukkan via CoC. Bagaimanapun, CoC hanyalah game show yang terlepas dari aspek edukasinya, bertujuan untuk menghibur para pemirsa. Namun demikian, melalui game show ini, kita dapat menyadari bahwa memang, pendidikan di Indonesia secara umum masih belum berfokus pada mempertanyakan “kenapa”—salah satu ciri dari pendidikan kritis, fondasi bagi transformasi sosial.
Penutup
“Memamerkan kepintaran. So what?” kurang lebih begitu bunyi dari secuil komentar skeptis warganet terhadap CoC. Sebuah keresahan dan refleksi yang valid.[2] Meski mungkin terlihat tidak berhubungan secara langsung dengan CoC, namun sebetulnya punya keterkaitan erat, karena pada akhirnya, di tengah tajamnya ketimpangan sosial seperti saat ini, pertanyaan yang diajukan tetaplah sama: Jika mereka yang pintar-pintar itu dan kita yang berpendidikan tinggi (di mana angkanya sangat rendah dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan, akibat problem struktural yang ada sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya) hanya berujung di menara gading, apa gunanya kepintaran-kepintaran itu?
Meminjam kata-kata Wiji Thukul “apa gunanya banyak baca buku, kalau mulutmu kau bungkam melulu?” ***
[1] Yang mana dampaknya sangat luas, termasuk pada perkembangan ilmu-ilmu sosial itu sendiri.
[2] Bukan iri, ya, warganet 🙂
Fathimah Fildzah Izzati, PhD Candidate di Development Studies – SOAS University of London dan Pemimpin Redaksi marsinah.id