Foto: Salgu Wissmath/Associated Press via The New York Times
RABU, 7 Desember 2022. Semester musim gugur segera usai dan lima hari lagi ujian akhir dimulai. Biasanya ini menjadi hari-hari paling sibuk di kampus. Di seluruh pelosok, akan terlihat mahasiswa menyiapkan diri untuk ujian dan perpustakaan buka 5×24 jam. Berbagai ruangan untuk persiapan pun disediakan. Bahkan, untuk menurunkan tingkat stres, beberapa ekor llama akan terlihat merumput di pelataran hijau kampus. Hewan mirip unta kecil dari Amerika Selatan itu sudah dilatih menyediakan tubuhnya untuk diusap dan bahkan dirangkul oleh para cendekia muda yang menghadapi hari-hari penuh tantangan dan ketegangan.
Namun hari ini seluruh kampus sepi. Hampir tak terlihat orang berlalu-lalang. Ruang kelas kosong. Koridor tempat saya berkantor pun hanya menampilkan deretan pintu tertutup. Tak ada suara apa pun kecuali deru mesin pemanas dan kicau burung. Walaupun pukul 16.25 sore matahari sudah condong ke perairan Teluk San Francisco, kebanyakan lampu belum menyala. Kampus terasa bagai seonggok peninggalan masa lalu: besar, megah, kosong.
Situasi ini mirip dengan keadaan saat penguncian wilayah akibat pandemi Covid-19 pada 2020 lalu. Namun kali ini bukan virus penyebabnya, melainkan aksi mogok kerja yang dilakukan oleh para pekerja akademis yang paling rentan namun menjadi tulang punggung kehidupan intelektual kampus. Mereka adalah mahasiswa, pekerja pascadoktoral (yang umumnya sudah bergelar PhD) yang bekerja sebagai pengajar S1, pekerja riset di berbagai laboratorium, kantor arsip dan bengkel kerja akademis lain seperti perpustakaan dan di dalam proyek penelitian para profesor.
Sekitar 40 ribu orang pekerja yang tersebar di 10 kampus Universitas California seperti Berkeley, Los Angeles dan San Francisco tergabung dalam aksi ini.
Sebagai catatan, Universitas California merupakan kampus yang meraih gelar “universitas publik terbaik di dunia” karena tingginya integritas intelektual, termasuk 70 pemegang hadiah Nobel dalam berbagai bidang. Sementara jumlah mahasiswa dari semua tingkat berjumlah sekitar 280 ribu.
Betapa berat beban para pekerja universitas yang dipenuhi dengan kerentanan ini. Mereka harus mengajar, melakukan riset dan menjalankan kerja-kerja administrasi pada saat yang sama. Beban ini pun turut dipikul oleh mahasiswa pascasarjana karena sebagian besar dapat mengejar cita-cita akademiknya dengan cara mengajar. Mereka bukan sekadar asisten yang membantu dosen menyiapkan kuliah dan menilai makalah serta hasil ujian para mahasiswa. Mereka juga bertanggung jawab memimpin kelompok-kelompok diskusi di kelas-kelas besar, menentukan topik-topik yang akan didiskusikan dan menggugah serta menumbuhkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa. Sebagian juga menyusun silabus serta mengajar. Beberapa dari mereka mengajar mata kuliah dasar yang ditujukan untuk membangun keterampilan dalam melakukan riset dan menulis secara akademis.
Minggu keempat mogok, 10 Desember 2022, para pekerja pascadoktoral dan mahasiswa pascasarjana yang bekerja sebagai peneliti dan tenaga laboratorium berhasil meratifikasi kontrak baru yang menjamin kenaikan upah. Tuntutan upah didasarkan pada tingginya biaya hidup di negara bagian California sekaligus mencerminkan tingginya nilai tenaga mereka bagi seluruh Universitas California. Kontrak baru pun menjamin adanya delapan minggu cuti untuk urusan keluarga (seperti kelahiran anak atau mengurus keluarga yang menderita penyakit) tanpa pemotongan upah, juga menjamin perlindungan dari pelecehan dan perundungan. Selain itu, kontrak baru juga menjamin hak-hak bagi para pekerja pascadoktoral dan peneliti difabel.
Tapi masalah jauh dari selesai. Kontrak baru untuk 11 ribu pekerja akademis ini justru menuai pertanyaan baru: apakah itu melemahkan posisi kelompok yang belum mencapai persetujuan dengan universitas, yaitu 35 ribu mahasiswa pascasarjana yang bekerja sebagai pengajar?
Tuntutan para mahasiswa pengajar meliputi upah hidup layak dan penghapusan “beban sewa permukiman” (rent burden). “Housing is a workplace issue” (‘perumahan tidak terpisah dari pekerjaan’), demikian bunyi tuntutan mereka. Mereka mau ada jaminan tidak bakal mengeluarkan lebih dari 30% upah untuk perumahan. Tuntutan ini dilayangkan ke kampus karena selama ini Universitas California juga menyediakan jasa sewa perumahan. Sewa untuk mahasiswa lajang dan yang sudah berkeluarga sering melebihi 30% total upah. Banyak yang kesulitan membayar dan akibatnya terancam menjadi homeless–yang jumlahnya sudah 173 ribu orang (data 6 Oktober 2022, per calmatters.org) di California. Untuk mengakali beban ini mereka kadang tinggal di mobil, melakukan couchsurfing (pindah dari sofa ke sofa teman) atau cara lain.
Tuntutan lain adalah dibebaskan dari kewajiban membayar uang kuliah selama mengajar. Ini termasuk uang pendaftaran khusus bagi mahasiswa asing. Jumlahnya mencapai sekitar $14 ribu setahun untuk mahasiswa berstatus penduduk California atau $43 ribu untuk yang bukan.
Biaya kuliah di AS memang tinggi. Bahkan banyak yang terpaksa menggunakan pinjaman khusus student loan yang baru harus mulai dicicil kalau mereka sudah lulus dan bekerja. Tahun 2021 lalu tercatat ada 42,8 juta peminjam dengan rata-rata utang $37.787 ke program pemerintah dan bahkan mencapai $40.780 ke bank swasta.
Ada ironi di balik tingginya biaya pendidikan tinggi di California ini–seperti di seluruh AS dan mungkin di sebagian besar negara di dunia. Ironinya ialah bahwa institusi ini merupakan universitas negeri. Artinya, seharusnya biaya pendidikan ditanggung oleh negara bagian, bukan bertopang pada donor besar atau proyek-proyek riset yang juga dibiayai oleh swasta seperti selama ini. Kenyataannya banyak sekali program yang harus mencari dana dari luar untuk membiayai riset, laboratorium dan tenaga kerja.
Kenyataan ini juga mungkin menjawab mengapa universitas lebih cepat menyetujui tuntutan pekerja pascadoktoral dan riset ketimbang yang lain. Pekerja pascadoktoral dan riset itulah motor proyek-proyek penelitian besar yang merupakan sumber keuangan kampus. Ada ketakutan bahwa seandainya aksi mogok mereka berlangsung lebih lama, sebagian besar proyek penelitian di berbagai bidang penting (seperti riset biomedis, genetika, dsb) akan terbengkalai dan hasilnya sia-sia sehingga donor mungkin akan cabut. Di sisi lain, para tenaga pengajar, yang memotori pendidikan di kampus-kampus, seakan tidak dianggap begitu penting sehingga kontrak mereka masih dihambat.
Universitas California didirikan sebagai institusi publik untuk melayani dan mencerdaskan masyarakat. Pada awalnya lembaga ini dibiayai negara bagian dan federal. Namun, pada era privatisasi, terutama ketika Ronald Reagan menjadi Gubernur California dan kemudian Presiden AS, kecenderungan memotong anggaran universitas dan institusi pendidikan publik lain–termasuk pendidikan umum–semakin pesat. Akibatnya, institusi pendidikan terpaksa mencari jalan untuk membiayai diri sendiri, termasuk dengan cara menaikkan uang kuliah dan uang registrasi secara cepat dan dahsyat. Dampaknya jelas: kaum elite yang mampu membayar tanpa harus bekerja sebagai kuli gurem bidang akademis.
Tetapi tuntutan untuk mengubah situasi ini tidak bisa hanya berasal dari mereka yang paling diperas tenaganya. Seluruh pembayar pajak seharusnya menuntut supaya porsi anggaran yang mencukupi harus dialokasikan untuk pendidikan. Inilah tantangan yang besar yang dihadapi dan hingga saat ini belum memperoleh jawaban sama sekali.
Tanggal 12 Desember, ada berita bahwa perundingan sudah memasuki upaya mediasi dengan pihak ketiga. Apakah ini akan menghasilkan kontrak yang memenuhi kebutuhan hidup pekerja akademis? Hingga saat ini belum jelas.
Masih Ada Bias
Barangkali yang agak membingungkan bagi pihak-pihak di luar perundingan ialah bahwa negosiasi pekerja akademis diwakili oleh United Auto Workers (UAW/Serikat Pekerja Otomotif). Sekarang anggota UAW memang mencakup pekerja akademis, juga pekerja bidang penerbangan dan antariksa serta pekerja dengan alat pertanian. Di samping UAW ada beberapa serikat lain yang mewakili sebagian pekerja akademis di kampus. Misalnya American Federation of Teachers untuk Universitas California (UC-AFT), serikat pekerja akademis dengan posisi lecturer (kira-kira dosen tak tetap) dan pekerja perpustakaan.
Dosen tetap atau senate faculty tidak memiliki perwakilan serikat pekerja. Saya duga karena posisi para profesor ini dianggap sedemikian terhormat sehingga tidak layak disebut pekerja. Untuk perkara ini kita hanya perlu mengingat bahwa sampai sekarang istilah academic labor (‘pekerja akademis’) sudah banyak dipakai. Sudah ada pemahaman bahwa penelitian, penulisan dan pengajaran juga merupakan kerja yang menghasilkan komoditas yang tak berbentuk materi (immaterial, nontangible).
Walaupun kebanyakan profesor mendukung mogok, masih terdapat bias terhadap serikat pekerja, terutama UAW. Beberapa orang yang saya ajak ngobrol, misalnya, bertanya kenapa mahasiswa harus masuk serikat pekerja otomotif–yang sering diidentikkan dengan “pekerja kasar”. “Apa yang mereka ketahui mengenai mengajar?” tanya mereka. Dalam berbagai informasi yang dikeluarkan oleh Universitas California juga ada kecenderungan untuk mengatakan bukan mahasiswa yang mengajukan tuntutan melainkan UAW. Bias anti-pekerja inilah yang tampil di balik pernyataan dukungan.
Saya kira kebanyakan dosen mendukung mahasiswa karena tidak ingin melihat mereka menderita karena dedikasinya kepada dunia pendidikan tinggi. Banyak yang ikut demonstrasi dan orasi, tetapi saya kira masih ada perasaan yang terpendam bahwa pekerjaan akademis berada di tingkatan yang jauh di atas pekerjaan “kasar”.
Ini tetap berlangsung walaupun sebenarnya pandemi menunjukkan betapa banyak segi kehidupan seluruh masyarakat bergantung pada “pekerja kasar”–yang mendapat julukan baru essential workers (‘pekerja yang memenuhi kebutuhan dasar’). Mulai dari tukang masak, cuci piring, pelayan toko/supermarket, hingga pekerja bidang kesehatan/medis di rumah sakit dan laboratorium–semua pekerjaan konkret yang tidak dapat dilakukan secara daring melalui komputer. Semuanya kalau tidak dapat bekerja akan menghentikan roda perekonomian, bahkan roda kehidupan. Pekerja pertanian, supir bus, tukang pos, bahkan pekerja pabrik di seluruh dunia semuanya turut menentukan siklus hidup.
Namun pelajaran ini agak cepat terlupakan. Semoga dengan aksi mogok pekerja akademis ini, para intelektual, para pekerja daring dan sebagainya ingat bahwa hidupnya tergantung pada pekerja di strata yang paling dasar ini.
Privatisasi neoliberal tampaknya memakan anak-anaknya sendiri, juga di negara bagian terkaya di AS, negara bagian dengan perekonomian kelima terbesar di dunia. Ada istilah the paradox of plenty, yaitu paradoks negara yang kaya akan sumber daya tetapi masyarakatnya miskin (rasanya tak perlu mengulangi kata-kata Multatuli dalam Max Havelaar abad ke-19). Sekarang kita juga mengenal ironi negara kaya: perekonomian besar yang menelantarkan pendidikan dan juga memakan anak-anaknya sendiri.
Quo vadis?
*Sebagian informasi diperoleh dari wawancara dengan mahasiswa yang ikut mogok.
Sylvia Tiwon, Associate Professor di Department of South & Southeast Asian Studies, University of California, Berkeley