Ketika Pelancong Menjadi Pembela HAM

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: York.ac.uk


SUATU hari, seorang gadis belia bepergian dengan maskapai Qantas Airways tanpa pendamping. Karena sang ayah bekerja di maskapai tersebut, ia bisa mendapatkan tiket dengan harga miring. Ia melancong dengan penuh keberanian dan rasa percaya diri. “Saya tidak ragu untuk mencari bandara dan bepergian dengan pesawat sendirian,” katanya. 

Selama penerbangan itu ia ternyata dikelompokkan ke dalam unaccompanied minor dan merasa diperlakukan seperti bayi oleh para awak. Maka ia pun protes kepada sang ayah. Ia tak suka karena merasa bisa mengurus diri sendiri. Sang ayah mengalah sehingga pada kesempatan berikutnya membiarkan anak itu bepergian sendiri dari kota di mana mereka tinggal, Perth. Si ayah hanya meminta satu atau dua kakaknya menjemput di bandara kedatangan. 

Saat duduk di bangku kuliah, gadis ini semakin sering melancong ke berbagai belahan dunia. Bersama sang kekasih, ia mengunjungi keluarga sang ibu di Singapura, lantas melanjutkan perjalanan dengan bus ke Malaysia. Dari Malaysia, mereka beranjak ke sejumlah pulau tropis nan indah di Thailand bagian selatan dengan bus, kereta api, dan kapal feri. Pada usia 19 tahun, gadis itu melancong ke Amerika Selatan. Setahun berselang, setelah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Nottingham, Inggris, ia menjadi backpacker ke sejumlah wilayah di Eropa. 

Nama gadis itu adalah Elaine Pearson, yang sejak tahun 2007 bekerja untuk salah satu lembaga hak asasi manusia terbesar di dunia: Human Rights Watch (HRW). Setahun kemudian dia menjadi wakil direktur divisi Asia dengan kantor HRW di New York, lalu sejak 2013 menjadi direktur HRW untuk Australia di Sydney hingga 2022 sebelum mendapat tugas baru sebagai direktur Asia.

Semakin banyak negara yang dia sambangi saat bekerja di tempat tersebut. Bedanya kali ini Elaine tak lagi fokus pada keindahan di berbagai tempat. Ia datang untuk para korban pelanggaran HAM.


Menentang Rasisme

Perhatian Elaine pada hak asasi manusia bermula pada Mei 1997, saat menginjak usia 21 tahun. Pemicunya adalah kunjungan seorang politikus rasis bernama Pauline Hanson ke Perth. Pauline sebelumnya adalah anggota Partai Liberal kemudian dipecat. Perempuan kelahiran 1954 itu lantas mendirikan partai baru yang diberi nama One Nation.

Dalam pidato pertama setelah terpilih sebagai anggota parlemen pada 1996, Pauline mengaku “terancam” dengan membanjirnya orang-orang Asia di Negeri Kanguru. Di rentang 1984 dan 1995, kata Pauline, 40 persen imigran asal Asia datang ke Australia dengan budaya dan agama masing-masing. Mereka membentuk ghetto dan enggan berbaur. “Tentu orang-orang bakal menyebut saya rasis. Tapi, seandainya bisa, saya seharusnya punya hak untuk bilang siapa saja yang bisa datang ke negara saya,” kata Pauline.

Elaine tersentak. Meski dilahirkan di Sydney, ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga multietnis. Ia punya ibu asal Singapura yang beretnis Teochew, sementara ayahnya lahir di Inggris sebelum bermigrasi ke Australia sekitar tahun 1960. Keluarga mereka bersusah payah untuk membaur dengan yang lain. Tak heran jika pernyataan Pauline itu menyakitkan bagi Elaine.  

Momentum kedatangan Pauline ke Perth mendorong Elaine untuk bergabung dengan massa demonstran guna menyuarakan protes. Mereka berteriak-teriak di gedung di mana Hanson menggelar pertemuan. Para demonstran itu, termasuk Elaine, dengan lantang dan penuh amarah berteriak: “Orang rasis tidak diterima di sini!” Elaine muncul dalam berita jam 6 sore, mengenakan jumper rajutan warna hijau milik sang ayah yang tampak teramat besar untuknya.  

Pada Agustus 2022, orang yang jadi sasaran demonstrasi itu lagi-lagi bikin heboh. Kali ini Pauline bikin heboh di Indonesia karena menyebut banyak kotoran sapi bertebaran di Bali. Pernyataannya itu dibantah oleh Sandiaga Uno selaku Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Elaine juga tersentak saat seorang guru sastra Inggris di sekolah menengah atas merekomendasikannya sebuah buku karangan John Pilger berjudul A Secret Country. Buku itu berisi berbagai kisah masa lalu mengenai Australia yang sekian lama disembunyikan dan tak diceritakan. Dari sana ia mengetahui perspektif sejarah yang utuh, yang tak pernah dipelajari di sekolah-sekolah, dan malah diabaikan sekian lama. 

Ia membaca, misalnya, kisah mengerikan soal pembunuhan massal terhadap orang-orang first nations setelah kedatangan bangsa kulit putih, juga kriminalisasi terhadap suku Aborigin–yang berlanjut hingga kini. Meski buku itu dibaca lebih dari dua dekade lalu, Elaine masih tidak lupa bahwa setiap orang Aborigin–termasuk perempuan dan anak-anak di kota Roebourne, Australia Barat–ditangkapi hingga tiga kali dalam setahun. 


Berkisah Lewat Buku

Elaine Pearson menuangkan pengalaman-pengalaman di atas dalam sebuah buku yang terbit pada September lalu, Chasing Wrongs and Rights. Buku setebal 371 halaman ini terbagi ke dalam 11 bab yang dikelompokkan dalam empat bagian, yaitu: Perdagangan Manusia, Asia, Mencari Aman di Luar Negeri, dan Australia.

Dalam buku tersebut Elaine menghadirkan kisah perjalanan saat menemui korban pelanggaran HAM di berbagai belahan dunia: Australia, Belanda, Etiopia, Filipina, Nepal, Nigeria, Papua Nugini, Sri Lanka, Swiss, Thailand, Tiongkok, dan Indonesia. Ia menulis soal krisis kesehatan mental dan kebebasan akademis. Ia mengangkat persoalan dibuangnya sejumlah pencari suaka dan migran ke sebuah pulau penjara di Papua Nugini. Ia mengekspos perbudakan, perdagangan manusia, migran, dan pengalaman tertangkap di Kathmandu, Nepal.

Elaine dan para koleganya pembela hak asasi manusia secara cermat mendokumentasikan ketidakadilan dan meningkatkan kewaspadaan, menuntut pertanggungjawaban pemerintah sejumlah negara yang semena-mena. Tapi pada saat yang sama dia sadar bahwa pekerjaan para pembela HAM itu menguras tenaga, dan perubahan yang diharapkan bisa memakan waktu lama.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Elaine sadar betul bahwa orang akan mudah putus asa atau menjadi fatalis saat memikirkan keadaan dunia. Elaine tak ingin begitu. Dia selalu ingat menjaga keseimbangan antara kerja dan istirahat. Elaine tetap menjaga api motivasi dalam dirinya dengan merayakan kemenangan-kemenangan kecil namun bermakna, yang ia temukan pada diri para korban yang dibela.

twitter.com/PearsonElaine
twitter.com/PearsonElaine

Jilbab Sampai Tes Keperawanan

Salah satu negara yang mendapat perhatian Elaine adalah Indonesia. Sejak tahun 2008 ia kerap turun ke lapangan, dari Aceh sampai Jakarta, untuk mengamati, membaca, berdiskusi, dan bertanya pada sejumlah aktivis HAM di negeri ini. Ia bertanya tentang banyak hal: kebebasan beragama, penyiksaan dan pembunuhan yang dilakukan aparat, hak pencari suaka, hak kalangan LGBT, dan sebagainya.

Selama beberapa tahun melakukan kerja-kerja di Indonesia bersama HRW, ia dan kawan-kawannya menemukan berbagai pelanggaran HAM. Dari Aceh di barat hingga Papua Barat di timur. 

Ia dan para kolega di lembaga tersebut menginvestasikan waktu dan energi untuk mengangkat tak hanya kesemena-menaan, melainkan juga berbagai kekejaman tersembunyi yang berimbas pada banyak orang. Berbagai kesemena-menaan itu lama dibiarkan tanpa ada yang mengawasi sehingga terus dan terus terjadi.

Salah satunya adalah kewajiban berjilbab untuk perempuan dan anak perempuan di Aceh, Sumatera Barat, dan sejumlah daerah. Elaine-lah yang untuk kali pertama mencetuskan ide penelitian mengenai puluhan peraturan wajib jilbab di Indonesia, juga “tes keperawanan”. Sebelum mengamati itu, HRW sudah melihat hal sebaliknya, yaitu pelarangan penutup kepala bagi perempuan dan anak perempuan di Eropa, termasuk Jerman dan Prancis.

Sebelum HRW menerbitkan laporan berjudul Menegakkan Moralitas: Pelanggaran dalam Penerapan Syariah di Aceh, Indonesia pada Desember 2010, Elaine bersama seorang rekan bertandang ke Banda Aceh. Di sana mereka menemui pejabat pemerintah, polisi Syariah (Wilayatul Hisbah), aparat kepolisian, kelompok hak perempuan, dan sejumlah wartawan lokal. Elaine dan sejumlah rekan juga mendiskusikan laporan tersebut bersama sejumlah pejabat di Kementerian Hukum dan HAM di Jakarta. Ia menyayangkan bahwa para pejabat itu mengatakan tak bisa berbuat apa-apa untuk mencampuri otonomi khusus yang berlaku di Aceh, dan menegaskan bahwa itu semata-mata adalah urusan pemerintah daerah.

Satu-satunya lembaga yang menyambut laporan itu dengan antusias adalah Komnas Perempuan. Lembaga tersebut bahkan turut bergabung bersama HRW dalam konferensi pers di Jakarta guna menjelaskan pada publik mengenai persoalan ini.

Dalam berbagai rapat dan konferensi pers, Elaine menegaskan bahwa HRW tak hanya melakukan advokasi guna menentang kewajiban mengenakan pakaian islami, melainkan juga sebaliknya, yaitu meminta agar pemerintah di sejumlah negara agar tak lagi melarang perempuan mengenakan pakaian bernuansa islami. “Saya tak tahu apakah hal ini membantu, tapi publik perlu memahami bahwa kami secara konsisten menyerukan berbagai pelanggaran ini entah di Indonesia, Iran, maupun Eropa Barat,” tulis Elaine dalam buku ini.

Laporan tersebut bergaung cukup nyaring di media massa, namun pemerintah Aceh mengabaikannya. Mereka menganggapnya sekadar produk “organisasi Barat” yang tak mengenal Islam. Tapi, sejumlah kelompok hak-hak perempuan di Aceh berterima kasih pada HRW. “Itu seperti bom yang meledak,” ungkap seorang aktivis perempuan di Banda Aceh pada Elaine. Dia mengatakan hanya Elaine dan kawan-kawannya yang bisa melakukan itu. Diangkatnya kasus ini ke hadapan publik sangat membantu mereka untuk berdialog dengan pemerintah.

Meski setelah berbulan-bulan merasa laporan tersebut tidak membawa dampak pada peraturan tata cara berpakaian, Elaine merasa setidaknya telah merekam pengalaman sejumlah perempuan. Ini setali tiga uang dengan apa yang ia dan kawan-kawannya lakukan pada para korban orang hilang di Sri Lanka atau korban pembunuhan di luar hukum di Filipina. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Elaine kembali mendatangi Jakarta pada Januari 2014 untuk alasan yang sama. Bersama seorang rekan di HRW, ia menemui tiga perempuan muda untuk bicara soal pengalaman pemaksaan berjilbab di sekolah. Salah satu di antaranya adalah seorang taruna Polwan. Elaine bertanya apa pengalaman terburuk yang pernah dia alami. Ia mengira jawaban taruna itu akan berkisar pada persoalan jilbab, tapi ternyata tidak. Perempuan 19 tahun itu mengaku harus menjalani ”tes keperawanan” sebagai syarat untuk bergabung sebagai anggota Polwan.

Beberapa kali Elaine memastikan pada pendamping juru bahasanya bahwa dia tidak salah memahami. Sesuatu yang pernah ia dengar di Afghanistan, Mesir, dan India, ternyata juga ada di Indonesia. 

“Saya terkejut,” kata Elaine dalam bukunya. Sementara  Andreas Harsono, rekan penelitinya di HRW asal Indonesia, seorang laki-laki, tak terlalu terkejut saat mendengar informasi yang telah berlangsung sejak lama itu.

Elaine kemudian mengusulkan agar HRW menggelar penelitian seputar ”tes keperawanan” itu. Andreas sepakat dan bilang, “Ada kalanya perlu seseorang dari luar negeri yang bisa memberi pandangan baru pada sebuah persoalan dan bagaimana praktik yang sudah berlangsung lama ini salah adanya.”

HRW menerbitkan laporan pertama mereka soal praktik yang tak ilmiah, diskriminatif, serta melanggar hak perempuan khusus seleksi kepolisian pada akhir 2014. Pada pertengahan 2015, laporan berikutnya khusus seleksi tentara keluar.

Ide Elaine untuk meneliti tentang ”tes keperawanan” memicu perdebatan beberapa tahun dan akhirnya melahirkan perubahan di institusi militer. Pada Juni 2021, Jenderal Andika Perkasa, ketika itu menjabat Kepala Staf Angkatan Darat, menginstruksikan para komandan TNI AD untuk hanya menilai kemampuan fisik calon prajurit. Namun begitu tampaknya AL dan AU enggan mengikuti itu dengan menyatakan bahwa ”tes keperawanan” masih diatur. Ini berubah setelah Joko Widodo mengangkat Andika sebagai Panglima TNI pada November 2021.


Penutup

Buku Elaine ini menyibak berbagai pemikiran dan pekerjaan yang belum diketahui publik Indonesia, termasuk cara kerja HRW, dalam bentuk cerita perjalanan. Ia menemui dan berbicara dengan mereka yang sengsara karena menjadi korban kesewenang-wenangan penguasa di berbagai negara. Ia kerap buka suara soal pelanggaran HAM di Nepal, Sri Lanka, Indonesia dan sebagainya. Elaine menerangkan dengan baik bagaimana diskriminasi terhadap perempuan, kekejaman terhadap orang miskin, sengketa bahkan perang saudara di berbagai negara.

Dampaknya adalah surplus orang pencari keamanan dan pekerjaan di negara-negara lain. Banyak dari mereka terperangkap dalam perdagangan manusia, sebagai pekerja rumah tangga, pekerja kasar, dan pekerja seks yang tidak bisa menyuarakan hak-hak. Celakanya politikus macam Pauline Hanson menolak para pendatang tersebut karena takut mereka mengubah Australia. Elaine menerangkan mengapa negara semacam Australia harus membantu para migran–bukan menempatkan mereka di pulau kecil di Papua Nugini. 

Buku ini menunjukkan betapa penulis mengerahkan segenap pikiran, hati, dan tenaga untuk membela orang-orang terpinggirkan yang haknya dilanggar bahkan terampas. Lebih dari itu, buku ini juga menunjukkan bahwa hak asasi manusia adalah persoalan global. Anggapan bahwa hak asasi manusia hanya tantangan nasional masing-masing negara sudah terlalu ketinggalan zaman.


Frans Pascaries adalah penulis dan penerjemah. Bukunya, Enggan Jadi Keluarga Fasis: Kumpulan Surat Untuk Anak diterbitkan EA Books pada November 2022. Ia bekerja sebagai penerjemah paruh waktu di Human Rights Watch.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.