Ilustrasi: Wikimedia Commons
COBA ingat kembali apa yang kita pelajari tentang pencapaian kemerdekaan dalam mata pelajaran IPS atau Sejarah semasa sekolah dulu. Mulai dari gold, glory, gospel, perdagangan rempah-rempah, VOC, hingga Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) muncul dalam ingatan karena topik tersebut sering menjadi bahan ujian.
Di luar itu, ada satu bagian penting yang terlewatkan: serikat pekerja dan gerakan buruh secara umum. Selama ini, tepatnya sejak Orde Baru, peran mereka dalam perjuangan kemerdekaan dipendam dan diabaikan.
Posisi buruh dan serikat dalam sejarah perjuangan mencapai kemerdekaan perlu direkonstruksi dengan menggunakan perspektif kelas. Karl Marx mengatakan bahwa sejarah seluruh masyarakat adalah sejarah perjuangan kelas. Penulis pun ingin menggambarkan perjuangan kemerdekaan Indonesia sebagai bagian dari narasi perjuangan kelas.
Meskipun perspektif tersebut telah dicerabut oleh Orde Baru, namun artefaknya masih tersimpan di beberapa media cetak yang terbit di masa penjajahan. Berdasarkan data tersebutlah penulis menyusun cuplikan fenomena yang menempatkan gerakan buruh sebagai bagian vital dalam masyarakat. Penulis membatasi data usaha-usaha mencapai kemerdekaan hanya pada 1918-1920-an hingga menuju Depresi Besar atau Krisis Malaise. Era ini merupakan masa-masa krusial dan gerakan buruh pun sedang kencang-kencangnya.
Memahami penjajahan dari perspektif kelas
Dari sudut pandang non-kelas, penjajahan sering kali diidentikkan dengan brutalitas suatu kelompok berbasis wilayah dalam menguasai kelompok atau wilayah lain. Dari perspektif kelas, aksi penjajahan dapat dibaca sebagai proses akumulasi primitif.
Akumulasi primitif adalah proses pemisahan produsen langsung dari alat produksi mereka sendiri oleh para pemilik modal. Ini adalah titik awal corak produksi kapitalistik. Hampir sama dengan dosa asal dalam teologi, kata Marx. Proses pemisahan ini hanya dapat berlangsung ketika ikatan produsen langsung terhadap lahan dipisahkan. Produsen langsung kemudian menjadi buruh upahan. Setelah kapitalis berhasil melakukan akumulasi primitif dan mampu berdiri sendiri, mereka akan meningkatkan skala akumulasinya.[1]
Menurut Gonçalves & Costa (2020), perampasan dalam akumulasi primitif terjadi dalam dua level. Pertama, perampasan ruang untuk menjamin reproduksi fisik dan sosial di Eropa–tempat kapitalisme industri berlangsung; kedua, ekspansi melalui penjajahan dan pemusatan perdagangan.[2] Meski demikian, pada dasarnya akumulasi primitif tidak hanya dapat dilakukan oleh negara-negara Eropa. Negara-negara Asia lain pun dapat melakukannya.
Awal mula penjajahan Indonesia sendiri dapat dilihat dari dua level tersebut. Awalnya adalah permintaan rempah di pasar internasional yang tinggi bahkan terjadi trade boom. Brown (2003) menjelaskan saat trade boom tersebutlah kelompok Islam melakukan ekspedisi dan akhirnya berhasil menguasai pasar.[3] Pedagang-pedagang Islam yang menguasai perdagangan di Eropa berasal dari Asia Selatan dan Timur Tengah, termasuk Cina muslim yang berasal dari Fujian. Eropa ingin memotong peran kelompok tersebut dengan langsung mengambil rempah di tempat asalnya.
Akhirnya, pada 1512, mereka pun berhasil tiba di Kepulauan Maluku. Mereka berusaha merampas dan memonopoli perdagangan rempah-rempah.
Kedatangan bangsa-bangsa lain ke Indonesia pada dasarnya merupakan tindakan untuk mengakumulasi kapital, sebuah proses yang oleh Marx dikatakan terjadi setelah akumulasi primitif dilakukan di Eropa. Dan hal itu sangat menguntungkan mereka. Salah satu perusahaan di Belanda yang berhasil mencapai kawasan Indies pada 1590, misalnya, mampu meningkatkan keuntungan hingga 300 persen (Brown, 2003).
Besarnya prospek Indonesia mendorong pemerintah Belanda untuk menyatukan perusahaan-perusahaan ke dalam satu “payung”, yang tidak lain adalah VOC. Dalam Arsip Nasional Republik Indonesia dijelaskan bahwa VOC merupakan gabungan dari enam perusahaan kecil yang dibentuk pada 1602 setelah penjelajahan pertama pada 1595-1597.[4][5] Sprague (2011) menyatakan bahwa VOC dibentuk untuk memonopoli proses kolonialisasi di Asia.[6] Mereka pun menguasai pemerintah dan perdagangan.
Brown mencatat bahwa kehadiran VOC merupakan salah satu faktor krusial yang menghancurkan produsen dan pedagang lokal di Maluku melalui praktik monopoli yang sangat kejam. Tindakan monopoli yang sangat kejam merupakan bagian dari proses akumulasi primitif yang dilakukan oleh VOC. Mereka berupaya untuk mencabut produsen dari alat produksinya, yakni lahan.
VOC pun terus melakukan perluasan dengan menguasai pemerintah-pemerintah lokal di Batavia dan sekitarnya, termasuk di luar Jawa seperti Minahasa, dengan cara memaksa mereka mengikuti aturan-aturan perusahaan.
Meskipun VOC mengalami permasalahan finansial pada 1780-an, yaitu pasca-peperangan dengan Inggris, akumulasi kapital di Indonesia tidak berhenti. Pemerintah Belanda menggantikan VOC menjajah dan melakukan hal yang sama misalnya lewat Cultuurstelsel. Cultuurstelsel atau tanam paksa adalah kewajiban untuk petani menanam tanaman komersial setelah kemenangan Belanda pada akhir 1820-an (Carey, 2008 dalam Sidel, 2021)[7].
Selain itu, pemerintah kolonial juga melakukan penyitaan tanah yang dilegitimasi oleh UU Agraria 1870 (Sidel, 2021). Dhiaulhag & Berenschot (2020) menjelaskan bahwa berdasarkan undang-undang ini, semua tanah yang tidak memiliki bukti kepemilikan akan diambil oleh negara untuk dieksploitasi oleh perkebunan dan pertambangan barat.[8]
Baik para pedagang, perusahaan gabungan seperti VOC, serta pemerintah Belanda telah melakukan akumulasi primitif. Mereka melakukan ekspansi ke berbagai wilayah dan merusak relasi produksi lama. Namun, aksi ini tidak berjalan lancar karena yang dieksploitasi melakukan perlawanan. Marx (1887) mengatakan bahwa dalam sejarah akumulasi primitif, mereka yang direbut alat produksinya memang senantiasa melakukan perlawanan.
Gerakan buruh dan perjuangan kemerdekaan dalam media
Media sebagai penyebar informasi dan mobilisasi memiliki peran penting dalam proses pembentukan kesadaran politik. Oleh karena itu penulis mencoba merekonstruksi gerakan buruh periode 1918-1920-an dalam menghadapi penjajah lewat media yang mereka terbitkan sendiri saat itu. Selain itu, dengan cara itu kita juga dapat “mendengar suara” mereka secara langsung.
Penulis menggunakan empat media cetak yang lantang bicara kemerdekaan dan perburuhan, yakni Benih Mardeka, Warta Timoer – Benih Mardeka, Boeroeh Bergerak, dan Soeara Kaoem Boeroeh. Artikel di dalam media tersebut dipilih dengan kata kunci “gerakan buruh” dan “serikat”.
Gerakan buruh dalam tulisan ini dimaknai sebagai semua pemikiran dan tindakan yang dilakukan oleh para buruh untuk mengontrol relasi kapital, baik dari segi upah, jaminan sosial, waktu kerja dan istirahat, dan berbagai hal lain yang berkaitan dengan aspek produktif dan reproduktif.
Di dalam Soeara Kaoem Boeroeh, media perburuhan yang terbit di Poerworedjo, terdapat artikel tentang kegelisahan kelompok pekerja. Mereka dulu merasa merdeka tapi tertindas karena hadirnya kapitalis-kolonial.
“Begitoelah keada’an didjaman kakek mojang dan pada sekarang ini adanja soedah menjadi terbalik. Dahoeloe hidoep orang ada begitoe seneng, sekarang hidoepnja menanggoeng soesah. Didjakan mentjari penghidoepan doeloe ada merdika, sekarang dijalan ini itoe ada selaloe kedesek dan tertindes…. Doeleo hasil pekerjaan boeat sendiri, sekarang boeat orang lain jaitoe kaoem madjikan Apakah bagian orang jang kerdja itoe? Diganti dengan oepah. Setelah mendjadi boeroeh itoe laloe membawa sifat keada’an sendiri, bekerdja tiada pandang tempo.” [9]
Berita di atas menunjukkan perubahan makna kerja akibat akumulasi primitif. Kolonialis-kapitalis mencabut produsen dari alat produksinya. Produsen-produsen tersebut kemudian diikat ke dalam relasi kapital dengan menjadikan mereka sebagai buruh. Hal inilah yang dilawan oleh para pekerja.
Dalam Benih Mardeka, media perjuangan kemerdekaan yang dikembangkan oleh Sarekat Islam di Medan Deli, penulis menemukan narasi-narasi protes terhadap perampasan lahan dan perusahaan-perusahaan Belanda. Salah satunya artikel berjudul “Protest boeat toean M.C. Schadee” yang terbit pada 23 November 1918. Di sana terdapat laporan tentang protes atas perebutan lahan pertanian. M. C. Schadee menyatakan bahwa para pekerja hanya bisa berteriak tanpa melihat keuntungan dari alih fungsi lahan yang dilakukan pemerintah kolonial dan perusahaan.
“Apa jang kita bikin pada malam hari, toean Schadee tidak oesah perdoeli; tetapi pada siang hari kita maoe bertanam padi dan lain-lain makanan di atas tanah jang kita ada hak boeat dan itoelah: 4 H.A. boeat tiap-tiap tangga di Sumatera Timoer.”[10]
Masih di media yang sama, terdapat artikel berjudul “Pemogokan Besar di Tanah Djawa” yang terbit pada 4 April 1918. Gerakan ini dipimpin oleh orang bumiputra dan Tionghoa serta beberapa orang Eropa yang tidak berpihak pada penjajah.
Salah satu pihak yang mengawali gerakan besar tersebut adalah Zetters Bond, yakni orang-orang yang bekerja di dalam bidang percetakan (drukkerij), khususnya surat kabar. Narasi yang terlihat adalah perlawanan kaum buruh (koeli), jurnalis, melawan kapitalis (kaoem oeang)–yang mencerminkan kelompok pengusaha dan pemerintah kolonial.
Di dalam Boeroeh Bergerak, media Personeel Fabriek Bond (PFB) yang terbit di Yogyakarta, terlihat pula bagaimana buruh-buruh tidak tinggal diam terhadap penjajahan. Mereka memobilisasi pembaca untuk mengikuti kegiatan vergadering (pertemuan) dan propaganda. Contoh propaganda yang mereka lakukan adalah Propaganda Vergadering P.F.B du Bandjaratma Brebes yang berisi penceritaan asas PFB kepada publik[11].
Warta Timoer – Benih Mardeka bahkan lebih eksplisit, yaitu mencantumkan kemerdekaan sebagai arah gerakan kaum buruh. Ini termuat dalam artikel yang terbit pada 22 Februari 1924. “Keroekonan kita orang kaoem boeroeh akan djadi sendjata boeat mentjahari kemerdekaan dan terlepas dari segala tindisan.” [12]
Semua keluhan, berita, ajakan propaganda dan perlawanan terhadap kolonial-kapitalis di atas menunjukkan bahwa kelompok buruh memiliki peran yang besar dalam membentuk kesadaran pekerja hingga melakukan perlawanan untuk mencapai kemerdekaan.
Lalu, bagaimana cara mereka melakukan perlawanan?
Strategi dan tantangan perjuangan kelas untuk merdeka
Keluhan-keluhan dari para buruh yang dieksploitasi oleh para penjajah kerap kali diekspresikan melalui aksi protes dan mogok kerja. Aidit (1952)[13] menjelaskan bahwa mogok merupakan cara yang digunakan oleh buruh untuk mencapai kepentingannya, termasuk untuk menghadapi negara kapitalis.
Selain mogok, buruh-buruh dalam serikat juga mendirikan koperasi. Hal ini dilakukan oleh Persatoean Sarekat Sekerdja Indoneisa di Surabaya. Serikat tersebut mendirikan drukerrij – perusahaan percetakan.[14] Dengan adanya usaha ini, diharapkan buruh dapat bekerja sesuai kehendaknya dan terlepas dari eksploitasi perusahaan kolonial.
Aksi para pekerja semakin masif ketika semakin tingginya kesadaran tentang perbedaan pekerja bumiputra dengan pekerja Eropa, perlakuan eksploitatif kapitalis, juga hadirnya Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV) dan Sarekat Islam di antara mereka. Kombinasi antara kesadaran internal dan dukungan organisasi/partai telah mendorong para buruh untuk membuat serikat, salah satunya Perhimpoenan Kaoem Boeroeh Tani (PKBT). Serikat ini terbentuk karena dorongan Sarekat Islam dan ISDV Surabaya (Cahyono & Soegiri DS, 2003).[15]
Sarekat Islam berkembang pesat sejak 1912 di Jawa dan luar Jawa, meskipun Jawa masih menjadi pusat kegiatannya (Ricklefs, 2001).[16] Kelompok ini hadir karena adanya ketimpangan akses perdagangan antara kelompok muslim bumiputra dengan kelompok Tionghoa dan Belanda. Namun, dalam perkembangannya, mereka lebih dikenal sebagai kelompok nasionalis yang melawan pemerintah kolonial. Sementara ISDV merupakan organisasi marxis yang merupakan cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain mendorong munculnya berbagai macam serikat buruh, ISDV juga berupaya untuk menyatukan serikat yang ada menjadi gabungan serikat (vaksentral) sejak 1916.
Meski dua organisasi tersebut kerap kali berkonflik yang bersifat destruktif, mereka pernah berusaha untuk mewujudkan keinginan bersama, yakni menyatukan serikat ke dalam gabungan serikat. Mereka pun mendirikan Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) secara bersama-sama pada akhir Desember 1919 (Aidit, 1952).
Selain menyatukan serikat, kedua kelompok tersebut juga memiliki akar dan pola yang sama dalam mengembangkan nasionalisme untuk melawan penjajah atau kapitalis (Mehden, 1958).[17] Kedua kelompok tersebut aktif melakukan pendekatan langsung kepada buruh-buruh yang sudah maupun belum sadar atas permasalahan kerja yang ditimbulkan oleh proses akumulasi kapital pemerintah kolonial. Hal ini misalnya dilakukan oleh Semaun saat masih menjadi anggota Sarekat Islam yang mendirikan Havenarbeidersbond (Sarekat Buruh Pelabuhan) pada 1919 di Semarang (Ingleson, 2013).
Selain dua organisasi itu, partai-partai nasionalis yang melawan penjajahan sekaligus kapitalis, bersama dengan serikat, juga memberikan subsidi pada koperasi-koperasi di perkampungan (Ingleson, 2013)
Dengan adanya kekuatan propaganda dan agitasi, mobilisasi, serta kemampuan pengorganisiran yang baik, plus pembuatan koperasi sebagai usaha bersama, gerakan buruh pun dapat mencapai kejayaan. Namun kejayaan gerakan buruh tidak bertahan lama karena diadang oleh pemerintah kolonial.
Ingleson (2013) menjelaskan kejayaan buruh dengan aksi mogoknya terjadi pada 1918–1920, dan setelah itu meredup. Hal tersebut ditandai dengan kalahnya buruh pelabuhan di Semarang pada 1921 serta adanya perkumpulan para majikan yang bekerja sama dengan pemerintah kolonial.[18] Pemerintah kolonial yang menyadari ancaman aksi mogok merupakan perlawanan politik pun akhirnya menerbitkan artikel 16 bis, yakni undang-undang larangan mogok yang diumumkan pada 10 Mei 1923 (Cahyono & Soegiri DS, 2003).
Penutup: sejarah kemerdekaan adalah sejarah perjuangan kelas
Kelompok buruh dengan terang-terangan menyatakan apa yang mereka lakukan adalah usaha mencapai kemerdekaan dari ikatan eksploitasi penjajah yang menindas mereka. Karena penjajah melakukan akumulasi primitif, maka perlawanan terhadap mereka adalah juga perlawanan terhadap kaum kapitalis.
Namun, narasi ini seringkali luput dari sejarah yang kita pelajari. Oleh karena itu sejarah kemerdekaan Indonesia perlu direkonstruksi, yaitu memberi tempat yang semestinya untuk kaum buruh. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan menggunakan perspektif kelas karena penjajahan adalah perang antar kelas. Sejarah yang demikian dapat dijadikan pijakan untuk mengembangkan gerakan buruh di masa yang akan datang.[19]
[1] Marx, K. (1887). Capital: A Critique of Political Economy Volume I – English Edition. In English: Vol. I (Issue 2008). Progress Publishers.
[2] Gonçalves, G. L., & Costa, S. (2020). From primitive accumulation to entangled accumulation: Decentring Marxist Theory of capitalist expansion. European Journal of Social Theory, 23(2), 146–164. https://doi.org/10.1177/1368431018825064
[3] Brown, C. (2003). A Short History of Indonesia: The Unlikely Nation?. Crows Nest: Allen & Unwin.
[4] Arsip Nasional Republik Indonesia. (2007). The Archive of the Dutch East India Company (VOC) and the Local Institutions in Batavia (Jakarta). Leiden, Boston: Brill
[5] Penulis mengucapkan terima kasih kepada Windu Jusuf yang sudah membantu penulis dalam memahami masa runtuhnya VOC.
[6] Prague, Ted. (2011). History of Capitalist Development in Indonesia: Part One – Dutch Colonisation.
[7] Sidel, John T. (2021) Republicanism, Communism, Islam: Cosmopolitan Origins of Revolution in Southeast Asia. Ithaca and London: Cornell University Press.
[8] Dhiaulhaq & Berenschot. (2020). A 150-year-old obstacle to land right. Inside Indonesia. https://www.insideindonesia.org/a-150-year-old-obstacle-to-land-rights
[9] Soeara Kaoem Boeroeh, 1 Augustus 1921, halaman 2, kolom 1.
[10] Benih Mardeka, 23 November 1918, halaman 2, kolom 3-4.
[11] Boeroeh Bergerak, 15 Maart 1920, halaman 3, kolom 2.
[12] “Kerukunan kita orang kaum buruh akan menjadi senjata untuk mencari kemerdekaan terlepas dari segala penindasan” (Warta Timoer – Benih Mardeka, 1924)
[13] Aidit, DN. (1952). Sejarah Gerakan Buruh Indonesia. Jakarta: Yayasan Pembaruan.
[14] Soeara Boeroeh Indonesia, 31 Maart 1931 halaman 2.
[15] Cahyono, Edi & Soegiri D.S. (2003). Gerakan Serikat Buruh: Jaman Kolonial Hinda Belanda hingga Orde Baru. Jakarta: Hasta Mitra.
[16] Ricklefs, M. C. (2001). A History of Modern Indonesia Since C. 1200 (Third Edition). Hampshire: Palgrave.
[17] Mehden, F. R. von der. (1958). Marxism and Early Indonesian Islamic Nationalism. Political Science Quarterly, 73(3), 335–351.
[18] Ingleson, John. (2013). Perkotaan, Masalah Sosial, dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial (Cetakan kedua). Depok: Komunitas Bambu.
[19] Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bung Coen yang sudah membaca dan me-review draf awal tulisan ini.
Estu Putri Wilujeng, dosen Departemen Ilmu Sosiologi, FISIP Universitas Indonesia