Sumber foto: 1stdibs
JIKA Uni Soviet merupakan artefak abad ke-20, maka ia merupakan peninggalan yang sama sekali belum selesai dieksplorasi. Berbagai eksperimen ekonomi politik yang diterapkan selama puluhan tahun di sana akan selalu jadi pengingat bahwa kapitalisme bukanlah satu-satunya dunia yang mungkin. Kegagalan dan berbagai penyimpangan terhadap marxisme pun menjadi bahan otokritik orang-orang kiri untuk dapat benar-benar mewujudkan mimpinya: menghadirkan surga di bumi.
Tapi artikel ini tidak akan membahas hal serius seperti itu. Biarlah kita serahkan ke rekan-rekan di Militan Indonesia saja. Apa yang akan dibahas adalah satu aspek yang, sependek pencarian, cukup jarang dibahas di Indonesia: olahraga.
Soviet adalah negara yang mendominasi kompetisi olahraga internasional, setidaknya sejak memutuskan ikut Olimpiade 1952 sampai 1988—sebelum akhirnya hancur berkeping-keping tiga tahun kemudian. Mereka mencatatkan diri sebagai peraih medali terbanyak di enam Olimpiade Musim Panas dari sembilan kesempatan; juga juara umum di tujuh Olimpiade Musim Dingin dari sembilan kali partisipasi.
Total, Soviet mengumpulkan 395 emas, 319 perak, dan 296 perunggu. Bahkan sampai sekarang, negara dengan luas 22,4 juta kilometer persegi ini, yang tidak lagi ada di muka bumi sejak 31 tahun lalu, masih berada di posisi kedua di bawah Amerika Serikat sebagai peraih medali terbanyak sepanjang masa.
Ini belum termasuk berbagai rekor dunia yang mereka pecahkan. Sepanjang 1971 sampai 1976 saja atlet Soviet memecahkan 343 rekor dunia.
Apa sebab Soviet begitu berkuasa di lapangan olahraga? Dalam pidato di hadapan mahasiswa di Universitas Rakjat dan Universitas Indonesia pada 1962 lalu, Njoto, salah satu dari pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI), mengatakan jawabannya adalah karena mereka memanfaatkan betul ilmu pengetahuan. “Mungkinkan semua ini terjadi,” katanya, merujuk keunggulan Soviet di bidang lain dari mulai balet, catur, film, pendidikan, dan militer, “seandainya marxisme itu bukan suatu ilmu?”
Sah-sah saja menganggap pernyataan pemimpin PKI paling flamboyan itu hanya berpropaganda belaka untuk menunjukkan—dengan sederhana—betapa komunisme lebih berkuasa ketimbang lawan bebuyutan mereka, liberalisme. Dan itu mudah saja bagi orang yang hidup ketika sepertiga dunia berwarna “merah”.
Tapi Njoto tak keliru. Apa yang terjadi di Soviet memang kontras dengan negara lain, bahkan AS sekalipun.
Ilmu Mencetak Atlet
Ilmu olahraga AS tak berkembang banyak sampai beberapa dekade setelah Perang Dunia II. Tak ada dukungan dari negara untuk itu, juga dana dari swasta. Masing-masing pelatih mengembangkan resep dan metode latihan sendiri yang dianggap cocok bagi atlet. Ringkasnya, tak ada pelatihan terpadu.
Meski begitu, dengan cara liberal tersebut, AS tetaplah raja turnamen olahraga. Merekalah juara umum pada Olimpiade terakhir sebelum Soviet turut serta (1948). Pada 1952 pun mereka masih mempertahankan titel tersebut, sementara Soviet mengintip di urutan kedua.
Barulah pada Olimpiade berikutnya yang diselenggarakan di Melbourne, Australia (1956), kedigdayaan AS goyang. Soviet keluar sebagai peraih medali terbanyak (98), sementara AS harus puas di tempat kedua (74). Begitu pula dalam Olimpiade Roma 1960. Empat tahun berikutnya, saat Olimpiade diselenggarakan di Tokyo, Soviet memang berada di posisi kedua. Namun, total medali yang dibawa pulang tetap lebih banyak dari AS (96 banding 90).
AS sadar ada yang salah dengan sistem mereka. Dan itu adalah kurangnya dukungan terhadap riset. “Penelitian nasional kita sekarang serampangan dan tidak terencana,” kata mantan atlet yang kemudian menjadi pelatih, Ken Doherty, bersama atlet John Cooper pada 1969. “Betapa disayangkan kesadaran tersebut membutuhkan krisis, kerusuhan, dan kekalahan dari orang Rusia” (Bourne, 2008, hlm 344).
Sebagai tawaran solusi, mereka kemudian menyerukan “national program of research in track and field”. Proposal tersebut terdiri dari serangkaian rencana, dari mulai mendirikan satu lagi pusat pelatihan, mengumpulkan riset-riset terkait baik yang dipublikasikan di dalam dan di luar negeri, dan menyelaraskan pelatih dan atlet dengan ilmuwan.
Ini semua, seperti yang bisa ditebak, telah dijalankan jauh-jauh hari oleh Soviet.
Untuk yang pertama, Soviet mulai memobilisasi sumber daya besar-besaran setelah Komite Sentral Partai memutuskan negara harus merengkuh supremasi olahraga dunia pada 1948, setelah sebelumnya lebih fokus mengembangan budaya fisik massa. Untuk poin kedua bahkan tak sekadar mengumpulkan, tapi melakukan riset itu sendiri. Di sana, misalnya, ilmu tentang manajemen latihan diakui sebagai disiplin akademis tersendiri, sesuatu yang baru terjadi di AS pada 1975.
Untuk poin terakhir, ketika para pelatih AS membuat kurikulum yang sekadar berdasarkan pengalaman sendiri, di seberang lautan pelatih Soviet menghabiskan ratusan jam mempelajari teori umum olahraga dan dasar-dasar pelatihan. Para ilmuwan bekerja sama dengan pelatih dan atlet untuk menerapkan hasil riset dan kembali ke meja kerja untuk menyempurnakannya (Bourne, 2008).
Ringkasnya, mengubah sedikit diktum Lenin, Soviet percaya bahwa tanpa teori (olahraga) revolusioner tak akan ada gerakan (olahraga) revolusioner.
Daftar teori olahraga yang dikembangkan Soviet akan terlalu panjang jika dijabarkan satu per satu. Pun dengan para ilmuwannya. Tapi satu orang yang berada di urutan paling atas patut dibahas lebih: Lev Pavlovich Matveyev.
Teori Matveyev mencakup semua hal, dari mulai aspek filosofis dan metodologis teori olahraga; aspek sosial dan psikologi olahraga yang terkait dengan sejarah, sosiologi, estetika, serta etika; aspek biologis termasuk antropometri, morfologi, biofisika, biokimia, fisiologi; terapi dan pemulihan trauma; sampai aspek metrologi atau pengukuran teori olahraga.
Namun, dari sekian banyak rumus, teori “periodisasi” (periodization) dianggap yang paling penting. Bukan hanya karena ini adalah teori olahraga secara umum, tapi juga kelak membuat nama Matveyev populer di dunia Barat (meski teori periodisasi sebenarnya adalah hasil kolektif para ilmuwan, tapi Matveyev-lah yang pertama kali menggunakan istilahnya).
Secara umum periodisasi bicara tentang “pembagian program pelatihan seorang atlet ke dalam periode tertentu atau ‘siklus’ waktu” (Bourne dalam Staps, Vol 114, Ed 4, 2016). Ada siklus mikro, yang berdurasi satu pekan; ada siklus meso, yang terdiri dari tiga sampai enam siklus mikro yang berlangsung selama satu bulan; dan yang terakhir siklus makro yang sifatnya tahunan. Siklus makro terdiri dari tiga periode utama, yaitu periode persiapan, periode kompetitif (termasuk di dalamnya saat kompetisi), dan periode transisi atau “istirahat aktif” sebelum masuk kembali ke periode pertama.
Teori ini dikembangkan dari basis material–sebagaimana prinsip materialisme dialektis: penampilan dan profil pelatihan sekian ribu atlet dalam kompetisi yang hasilnya dapat dikuantifikasi dengan mudah seperti lari, renang, atau angkat berat.
Tujuan utama dari periodisasi adalah membuat potensi seorang atlet maksimal pada hari kompetisi. Dengan kata lain, mencapai puncak pada waktu yang tepat.
Tidak ada contoh terbaik dari penerapan teori ini selain Olimpiade Roma 1960. Ketika itu banyak pengamat percaya AS membawa tim lintasan dan lapangan (track and field)–mencakup olahraga jalan cepat, lari, lompat, dan lempar–terbaik mereka yang bahkan diyakini akan melampaui rekor sebelumnya: 15 medali. Tapi harapan tinggal harapan. Mimpi tak pernah terwujud. AS Tertunduk lesu di hadapan si raksasa merah.
Ray Norton, sprinter favorit AS yang berhasil memecahkan empat rekor dunia saat itu, berada di posisi buncit atau finis keenam di nomor 100 dan 200 meter. Di cabang lompat tinggi, John Thomas, juga pemegang rekor dunia, finis di urutan ketiga, di belakang dua atlet Soviet yang salah satunya bahkan belum pernah melompat lebih tinggi dari 7 kaki. Juga Harold Connolly, yang dua pekan sebelumnya memecahkan rekor dunia, gagal mencapai putaran final cabang lempar palu.
Matveyev mengatakan sebenarnya atlet AS yang dibawa ke Roma lebih berbakat. Masalahnya kemampuan mereka tidak muncul pada waktu yang paling dibutuhkan. Jadi, misalnya kompetisi digelar Juni, karena ketidakpahaman tentang siklus latihan, kemampuan maksimal mereka justru muncul pada Maret yang tak pernah lagi tercapai apalagi terlampaui bulan-bulan berikutnya. Hal ini juga dialami atlet-atlet negara lain.
Menurut amatan Matveyev di kemudian hari, pada Olimpiade 1960 hanya 7 sampai 10 persen atlet non-Soviet mampu menghasilkan penampilan terbaik pada hari kompetisi, sementara atlet Soviet jauh lebih banyak, yaitu sekitar 18 persen (Bourne, 2016).
Kemenangan Soviet, ringkasnya, adalah berkat pelatihan yang sistematis, terencana, efektif, dan ilmiah.
Sebagaimana sains lain, teori periodisasi juga terus berkembang seiring dengan munculnya data-data terkini, sanggahan-sanggahan dari ahli lain, dan hipotesis baru. Saat ini ada beberapa variasi dari periodisasi. Salah satu mengembangkannya adalah Vladimir Platonov, seorang profesor asal Ukraina.
Pada saat bersamaan, Platonov juga membahas beberapa metode pelatihan atlet dari Barat yang sekali lagi menunjukkan ketertinggalan mereka. Menurutnya, masalah dari teori Amerika adalah “dalam banyak kasus studinya didasarkan pada data yang sangat terbatas–hanya di bagian tertentu dari persiapan atau kemampuan motorik tertentu.” Disebutkan pula bahwa mereka “tidak memiliki dasar empiris memadai… dan kurangnya pencatatan studi teoretis” (Lyakh, dkk, dalam Journal of Human Kinetics, 9 Dec 2014, 44).
Atas semua keunggulan ini, tak mengherankan teori periodisasi Matveyev pada akhirnya mengubah wajah pelatihan atlet bahkan di seluruh dunia, tak terkecuali di AS. Teori dasar periodisasi mulai diperkenalkan di sana pada 1973 oleh Arnd Kruger dan dua tahun kemudian ditulis dengan detail untuk para pelatih oleh Frank Dick.
Tudor Bompa, ahli periodisasi paling otoritatif di Barat, menyimpulkan bahwa sejak akhir abad ke-20, periodisasi resmi menjadi “dasar dari setiap pelatihan atlet yang serius.” Bahkan sekarang periodisasi tak hanya diterapkan pada olahraga tertentu yang terkait dengan trek dan lapangan seperti di awal penerapan, tapi di hampir seluruh cabang seperti skating, sepeda gunung, binaraga, dan bahkan golf.
Keunggulan teori periodisasi sempat tercoreng setelah terkuaknya skandal doping sebelum Olimpiade 1983 di Los Angeles–meski sampai sekarang tak jelas pula berapa banyak atlet yang terlibat. Namun, dalam sebuah wawancara pada 2001, Matveyev mengatakan terlepas apakah menggunakan doping atau tidak, latihan dengan metode periodisasi pasti membuat seorang atlet diuntungkan daripada yang tidak. Ini juga diakui oleh banyak ilmuwan AS setelah metode ini menjadi umum.
(Omong-omong, atlet AS juga menginjeksikan steroid ke tubuh mereka).
Fondasi: Manusia Baru
Ada seperangkat stereotipe yang melekat pada orang-orang kiri di Indonesia: gaya hidup yang buruk. Merokok seperti kereta uap abad ke-19, jauh dari makanan sehat, rapat dan teklap sampai larut, tidur subuh, bangun siang, dan seterusnya dan seterusnya. Entah dari mana persisnya prasangka ini muncul, tapi yang jelas tak mungkin dari Soviet.
Cita-cita Soviet adalah menciptakan manusia baru yang salah satu elemennya adalah sehat. Berbagai program kemudian diselenggarakan secara nasional.
Hanya tiga hari setelah Revolusi Oktober, Komisi Pendidikan yang dibentuk oleh Lenin mendeklarasikan visi progresif mereka untuk anak sekolahan: “semua sekolah harus memperhatikan perkembangan fisik dan mental anak-anak dan harus memperkenalkan senam, permainan, berenang, dan jalan-jalan” (Louis & Louis, 1980).
Memang visi tersebut tampak biasa-biasa saja jika dilihat dari kacamata sekarang. Mungkin semua menteri olahraga dan menteri pendidikan akan mencanangkan ini saat baru menjabat. Kak Seto yang baik hati juga bicara hal yang sama persis. Tapi harus diingat bahwa itu dinyatakan dalam konteks yang sangat “panas”, yaitu ketika aparatus Tsar masih mengintai, keberadaan beragam faksi yang tak sepakat dengan revolusi, ancaman dari negara imperialis, sampai potensi perang sipil (yang akhirnya benar-benar pecah).
Program dengan cakupan lebih luas dibuat pada April 1918 lewat dekrit yang mewajibkan pria usia 16-40 menjalani pelatihan fisik dan militer. Program ini berlangsung sampai akhir perang sipil pada 1922. Setahun kemudian, dibentuk Dewan Kebudayaan Fisik. Dari dewan inilah pada tahun-tahun berikutnya program latihan fisik terus berjalan sampai pada akhir 1926 satu juta orang secara resmi terlibat secara reguler dalam olahraga.
Sebetulnya aktivitas fisik sangat berakar dalam keseharian masyarakat Soviet. Apa yang dilakukan pemerintah—Bolshevik—saat itu adalah membuatnya selangkah lebih maju dengan memformalkannya.
Program terpenting dalam konteks olahraga adalah Gotov k trudu i oborone (GTO) atau ‘bersiap untuk bekerja dan bertahan’, diluncurkan pada 1931 dengan visi menciptakan pemuda yang memiliki “otot kawat tulang besi” (Louis & Louis, 1980). GTO inilah yang meski awalnya punya tujuan umum—yaitu menciptakan masyarakat yang sehat agar mampu melakukan aktivitas fisik seumur hidup—pada akhirnya menjadi tulang punggung keberhasilan Soviet di kancah internasional. Ini terlihat jelas dari moto kejuaraan GTO: “Dari medali GTO ke medali Olimpiade”.
GTO secara sederhana adalah pelatihan berjenjang sejak usia dini. Apa yang dilatih pertama-tama benar-benar hal-hal dasar, dari mulai berenang, lari, melompat, dan gimnastik umum. Selain menghadiri kelas pelatihan fisik, setiap murid juga harus terlibat dalam kompetisi lokal setidaknya sekali setiap dua bulan.
Anak-anak yang dianggap punya potensi akan memasuki, kita sebut saja, “GTO tahap dua”. Potensi dilihat dengan proses seleksi yang ketat, selain soal fisik juga termasuk psikologi. Mereka akan ditempatkan ke dalam sekolah luar biasa yang fokus mengembangkan kemampuan olahraga. Pada 1931 sampai 1940, ada 11 juta anak yang berhasil memasuki tahap dua, dan menjadi 17 juta pada 1957 sampai 1960.
Pelatih terbaik sudah diterjunkan di tahap ini sebab para ilmuwan Soviet mengatakan rentang usia 9-12 adalah waktu yang sangat penting bagi pengembangan atlet. Ini kontras dengan yang terjadi di AS pada periode yang sama. Di sana sangat umum anak-anak dilatih oleh orang tuanya sendiri dengan pengetahuan olahraga dan kepelatihan seadanya.
Sama seperti tahap paling awal, di tahap ini waktu calon atlet pun dihabiskan untuk aktivitas fisik yang umum-umum saja seperti berlari, melompat, menendang, dan melempar. Dengan kata lain, masih mempersiapkan fondasi. Kontras dengan itu, pada periode yang sama, umumnya anak-anak muda AS telah diasah untuk melakukan dan ahli dalam olahraga yang spesifik. Pelatihannya juga kerap kilat beberapa waktu sebelum mengikuti kompetisi.
Para atlet kemudian ditempatkan di cabang olahraga yang paling mereka kuasai. Di sinilah tahap akhir sebelum seorang atlet diputuskan turut serta dalam Olimpiade. Seleksi akhir terjadi. Menurut New York Times edisi 5 Mei 1964, pada 1963 sebanyak 66 juta atlet berkompetisi memperebutkan tempat di tim Olimpiade.
Sementara yang gagal dapat terus melanjutkan latihan fisik di GTO. Tak jarang pula mereka menjadi pelatih warga lain yang usia maksimalnya 60.
Setelah mencapai GTO tingkat junior atau memenangkan kejuaraan tingkat kota atau kabupaten, seorang atlet berpotensi memperoleh gelar Master of Sport USSR. Pada tahap selanjutnya ada gelar Master of Sport USSR nasional atau internasional. Kelas tertinggi adalah gelar Merited Master of Sport SSR. Karena dikuantifikasi sedemikian rupa, para atlet dapat membandingkan prestasi GTO-nya sendiri dengan atlet lain, termasuk yang telah mencapai tahap Olimpiade.
Salah satu atlet elite yang berhasil dicetak dari sistem berjenjang ini adalah Olga Korbut, pesenam berusia 14 tahun yang memenangkan tiga emas dan satu perak pada Olimpiade 1972. Guru di sekolah dasar Grodno, kota yang terletak beberapa mil di sebelah timur perbatasan Soviet-Polandia, melihat betapa berbakatnya Olga di kelas latihan mingguan. Para guru kemudian mengantarkannya ke klub olahraga yang dikelola oleh Angkatan Darat.
Di sana, pemimpin klub, Renald Knysh, lantas meminta Elena Volchetskaya, seorang mantan atlet Olimpiade, untuk melatih Olga secara privat. Menurut laporan The Guardian, Elena awalnya menganggap Olga sebagai anak malas, tapi di sisi lain ia bertahan karena tahu bahwa anak didiknya punya bakat hebat dan tulang belakang yang luar biasa lentur.
Kelak Olga dan Elena “akan menjadi salah satu hubungan guru/murid paling menentukan dalam sejarah olahraga,” tulis media asal Inggris tersebut. Apa sebabnya? Karena dalam Olimpiade yang diselenggarakan di Munich tersebut Olga melakukan sesuatu yang terpikirkan atlet lain saja tidak: backward flip di balok keseimbangan yang lebarnya hanya 4,5 inci, atraksi yang sebelumnya hanya bisa dilakukan bahkan oleh atlet elite mana pun di lantai.
Tak hanya itu, ia juga melakukan atraksi spektakuler yang kelak dinamakan “korbut flip”, sebuah gerakan ke belakang seperti ditarik magnet. Sama seperti backward flip, gerakan ini pun belum pernah dilakukan pesenam mana pun (karena dianggap terlalu berbahaya, gerakan ini resmi dilarang).
Penampilan yang durasi totalnya tak lebih dari empat menit tersebut mengubah citra senam untuk selamanya, dari yang awalnya seperti balet yang anggun menjadi gerakan “liar” tapi tertata. Banyak orang tiba-tiba tertarik dengan olahraga ini sampai-sampai membuat senam menjadi salah satu cabang utama di Olimpiade.
Untuk meringkas, fondasi olahraga Soviet, seperti yang dikatakan direktur klub atletik Spartak di Moskow pada 1976 kepada New York Times, Alexander Malinin, “adalah olahraga massal” yang merupakan salah satu sarana menciptakan manusia baru. “Karena dari olahraga massal kita bisa mengambil satu atau dua yang terbaik,” katanya.
Demikianlah sistem olahraga Soviet berjalan selama puluhan tahun. Sistem yang, mengutip pernyataan akademisi di bidang sejarah olahraga dan pendidikan fisik Reet Howell pada 1993, “dikagumi dan dicemburui oleh orang-orang Barat” selama beberapa dekade terakhir.
Sisi Kelam Olahraga Soviet?
Tentu saja tidak semua hal dalam sistem olahraga Soviet mulus tanpa noda sebagaimana banyak aspek lain di negara tersebut. Berbagai penyimpangan tentu saja ada. Dan membahas kekacauan tersebut sama penting dengan membicarakan keberhasilannya.
Sebuah artikel tahun 1993 yang ditulis Jim Riordan, akademisi yang dihormati karena studi-studinya tentang Rusia dan pernah lama tinggal di Moskow selama Perang Dingin, merangkum berbagai sisi gelap olahraga Soviet dalam artikel jurnal yang judulnya tampak sangat ambisius mengingat hanya terdiri dari 12 halaman: “Rewriting Soviet Sports History” (Journal of Sport History, Vol 20, No 3).
Salah satu hal yang menurut Jim keliru adalah “campur tangan politik dalam olahraga,” yang berarti ia meyakini bahwa seharusnya keduanya harus dipisahkan sama sekali. Olahraga harus selalu netral. Ia, misalnya, mencantumkan kutipan dari mantan pejabat olahraga bahwa “untuk mendapatkan izin pergi ke kompetisi internasional, saya harus mengirim catatan khusus kepada Stalin tentang jaminan kemenangan.”
Menurutnya adalah keliru jika Soviet hendak menggunakan olahraga sebagai sarana untuk menunjukkan supremasi komunisme terhadap kapitalisme/liberalisme.
Tapi, suka atau tidak, olahraga selalu berkaitan dengan politik. Kita tentu sudah terlalu sering mendengar seorang politikus berjanji meningkatkan fasilitas olahraga untuk publik, membangun stadion, dan sebagainya dan sebagainya, yang ketika dia terpilih sama sekali tak terealisasi. Salah satu alasan mengapa Soekarno menggelar Ganefo juga karena menurutnya Komite Olimpiade Internasional (IOC) tak netral. Dalam konteks Perang Dingin mereka lebih pro-Barat.
Bahkan AS sekalipun secara sadar menjadikan Olimpiade sebagai ajang guna memperebutkan supremasi dunia. Lewat Departemen Luar Negeri dan kemudian Psychological Strategy Board yang dibentuk Presiden Truman, AS tanpa henti berpropaganda—atau dalam bahasa mereka “memberikan informasi”—melalui media massa tentang betapa adiluhungnya olahraga mereka dibanding sistem Soviet. Pihak swasta digandeng—baik secara terbuka atau terselubung—karena mereka sadar bahwa pesan akan lebih mudah diterima audiens jika bukan dari sumber resmi pemerintah (Journal of Cold War Studies, Vol 18, No 2, 2016).
Bukti lain campur tangan politik dalam olahraga, kata Jim yang mengutip keterangan mantan kiper Vladimir Maslachenko, adalah para atlet harus tahu apa yang boleh dan tak boleh dikatakan kepada para wartawan saat berkompetisi di dunia luar (dalam derajat tertentu, lagi-lagi, ini sebelas duabelas dengan tindakan AS).
Hal lain yang diungkit oleh Jim adalah banyak dari para atlet Soviet yang berkompetisi Olimpiade adalah atlet profesional, padahal sampai 1990 hanya amatir saja yang boleh turut serta. Ia tidak menyebut jumlah detail dan signifikansinya terhadap perolehan medali.
Masalahnya definisi IOC tentang amatirisme berbeda dengan Soviet. Bagi IOC dan Barat secara umum, atlet tak bisa lagi disebut amatir ketika mereka yang mendapatkan sejumlah uang karena partisipasi dalam olahraga tertentu alias menjadikannya sebagai mata pencarian. Sementara Soviet menganggap para atlet yang mereka kirim masih tergolong amatir karena hanya mendapatkan subsidi atas pencurahan tenaga kerja baik dalam pelatihan atau kompetisi.
Selain itu, IOC yang tahu persis debat ini tetap mengizinkan Soviet turut serta dalam kompetisi.
Kritik berikutnya adalah betapa para atlet di masa tua diabaikan setelah mendedikasikan seluruh hidupnya untuk negara di masa muda. Beberapa mantan atlet yang mengalami ini dan ditulis dalam artikel itu adalah Yelena Vaitsekhuvskaya dan Valery Brumel. Tanpa sama sekali bermaksud mewajarkan, bukankah itu terjadi di banyak tempat di seluruh dunia, bukan kasus spesifik di negara sosialis seperti Soviet?
Olga Korbut, pesenam cilik hebat itu, juga di masa tuanya hidup susah sampai-sampai harus melelang medali yang dengan susah payah ia dapat pada 2017 lalu. Ironisnya, itu terjadi saat Olga telah 26 tahun tinggal di AS. Ia pindah ke sana pada 1991 dan menyambung hidup sebagai guru senam.
Sampai sini berbagai keberatan Jim masih merupakan medan abu-abu yang bisa diperdebatkan. Tapi ada beberapa sisi lagi yang memang benar-benar kelam sehingga tidak perlu sanggahan sama sekali.
Salah satunya, sempat disinggung di atas, adalah penggunaan obat-obatan. Jim menulis: “mengingat mentalitas ‘menang dengan segala cara’ yang mendominasi eselon atas administrasi olahraga, dalam jangka panjang negara telah memproduksi, menguji, memantau, dan mengadministrasikan obat peningkat kinerja bahkan pada atlet semuda 7-8 tahun.” Obat yang dimaksud termasuk simultan dan penghambat pertumbuhan, steroid anabolik, sampai doping darah.
Dunia olahraga Soviet pun tak lepas dari “pembersihan” Stalin. Kepala Sekolah Stalin Institute S. M. Frumin, misalnya, ditangkap karena dianggap mata-mata asing dan ditembak mati pada 1950. Hal serupa terjadi pada banyak pejabat dan dosen olahraga, kata Jim, dengan alasan seperti “anti-patriotik”. Sebelum Perang Dunia II pecah, lima menteri olahraga dan banyak pejabat olahraga juga dieksekusi. Lebih banyak lagi yang dikirim ke Gulag.
Ada pula kisah soal pemaksaan berlebihan terhadap para atlet untuk menembus batas mereka sendiri. Salah satu yang mengalami ini adalah pesenam Elena Mukhina. Ia dipaksa mempraktikkan “Thomas Salto”, sebuah gerakan berbahaya yang kini telah dilarang, dalam latihan menjelang Olimpiade 1980, dan berakhir dengan patah leher.
Cerita lain yang tidak ditulis Jim tapi dipublikasikan oleh sebuah media ternama mungkin akan membuat siapa pun yang membacanya muntah. Bahkan dari namanya saja sungguh membuat bergidik “doping aborsi”.
Dikisahkan bahwa dokter Soviet menyimpulkan kekuatan otot dan kapasitas paru-paru perempuan hamil dapat meningkat karena menghasilkan lebih banyak sel darah merah. Para ilmuwan kemudian menerapkan teori tersebut kepada para pesenam. Para atlet, dua di antaranya disebut baru berusia 15, dipaksa hamil sebelum Olimpiade. Jika tak punya suami atau pacar, maka mereka dipaksa berhubungan seks dengan pelatih laki-laki. Kemudian mereka harus aborsi setelah janin berusia 10 pekan. Siapa saja yang menolak metode sadis ini akan dikeluarkan dari tim.
Ternyata kisah horor ini adalah produk rekaan media Barat, bagian dari propaganda dalam konteks Perang Dingin. Dengan kata lain, hoaks belaka.
Uni Soviet memang telah mati, tapi tidak dengan peninggalan-peninggalannya (baik yang baik atau buruk). Setidaknya lewat paparan ringkas ini kita tahu bahwa tidak ada jalan pintas menciptakan atlet elite, apalagi menjadi negara yang superior dalam dunia olahraga. Semua harus dimulai dari bawah, terorganisir, dan setia kepada penemuan-penemuan ilmiah. Sangat sulit, jika tak mau dibilang hampir mustahil, mempersiapkan atlet dengan performa mumpuni ketika tanah lapang tinggal cerita, gaji tidak dibayar, dan hanya makan nasi kotak saat bertanding.***