Ilustrasi: Jonpey
JIKA Anda pernah melihat salah satu foto kongres kedelapan sosialis internasional di Copenhagen tahun 1910, terlihat dua perempuan berjabat tangan dengan latar belakang para peserta lainnya yang berdiri di tangga pintu masuk Hotel Skodsborg. Kedua revolusioner itu adalah Clara Zetkin dari Jerman dan Alexandra Kollontai dari Rusia. Sebagai seorang feminis marxis dan organisator buruh, Alexandra merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah gerakan kelas pekerja yang dalam rangka memperingati 150 tahun kelahirannya akan saya bahas beberapa warisannya untuk kita semua hari ini.
Lahir pada 31 Maret 1872 di St. Petersburg, Alexandra Mikhailovna merupakan putri dari seorang jenderal kavaleri berkuda Russia keturunan Cossack. Belajar dari sang ayah, Alexandra kecil dibesarkan dalam keterbukaan pemikiran. Ia beruntung hidup di dalam keluarga berkecukupan dan memiliki seorang ayah yang dapat menjadi teman diskusi segala topik. Setelah dewasa ia menjalani pendidikan di sekolah umum hingga akhirnya mendapatkan sertifikat untuk menjadi seorang guru. Kegiatan aktivismenya dimulai pertama kali saat ia membantu kakaknya mengajarkan para buruh membaca di sebuah perpustakaan pada hari minggu di St. Petersburg.
Alexandra adalah seorang yang selalu bersemangat dalam belajar. Setelah menitipkan putra semata wayang kepada keluarganya dengan berat hati, ia berangkat ke Zurich pada tahun 1898 untuk belajar ilmu ekonomi kepada seorang profesor marxis bernama Heinrich Herkner. Pada momen inilah ia mulai tertarik pada marxisme. Sekembalinya ke Russia pada 1899, ia bergabung dengan Partai Sosial Demokrat Pekerja Russia dan berkenalan dengan Vladimir Lenin. Ia juga menjadi saksi dari demonstrasi Minggu Berdarah yang menyulut Revolusi 1905 di Rusia. Ketika terjadi perpecahan di tubuh partai antara Lenin dan Julius Martov atau Bolshevik dan Menshevik, Alexandra tetap membantu kedua belah pihak meski akhirnya kelak ia bergabung dengan Menshevik karenakan perbedaan pendapat soal Duma.
Setelah salah satu pamflet kontroversialnya terbit ia terpaksa harus angkat kaki dari negerinya. Ketika di Jerman, ia sempat menjelajahi Eropa dan berkenalan kepada tokoh-tokoh revolusioner lainnya dari Karl Kautsky, Clara Zetkin hingga Rosa Luxemburg. Ketika Perang Dunia I meletus, Alexandra berseberangan dengan banyak anggota anggota Sosial Demokrat Jerman yang mendukung perang. Ia pun hengkang ke Denmark dan terkaget-kaget karena kaum Sosial Demokrat Denmark pun menyatakan sikap mendukung perang. Dari Denmark, ia melanjutkan perjalanan ke Swedia. Sesampainya di sana, ia ditangkap dan dipenjarakan karena aktivitas politiknya. Setelah bebas, Alexandra segera berkemas menuju Norwegia, bergabung dengan para sosialis Norwegia dan tinggal di sana sampai 1917 ketika mendengar kabar revolusi bahwa Tsar Nicholas II telah ditumbangkan.
Begitu Alexandra tiba di Russia, ia segera menjadi anggota Komite Eksekutif Soviet Petrograd. Setelah Revolusi Oktober ia dipilih menjadi komisariat kesejahteraan rakyat dan anggota komite sentral. Pada masa itu ia adalah seorang agitator, penulis selebaran militan, dan pekerja di koran perempuan Bolshevik atau Rabotnitsa. Pada 1919 ia dan Inessa Armand mendirikan Departemen Perempuan atau Zhenotdel di dalam pemerintahan Uni Soviet. Zhenotdel merupakan organisasi yang bertugas meningkatkan keadaan hidup perempuan di Uni Soviet melalui edukasi, kampanye melawan buta huruf, sosialisasi regulasi baru pernikahan, serta sosialisasi aturan kerja yang berlaku di republik muda Soviet. Departemen ini dibubarkan pada 1930. Alexandra sempat membangun oposisi yang sangat kritis terhadap Soviet, namun pudar karena suaranya minoritas. Namun ia berhasil selamat dari pembersihan Stalin lalu dipilih sebagai seorang diplomat dan terpaksa mendukung Stalin demi membendung fasisme Nazi.
Pemikiran-pemikiran terbaik Kollontai dapat Anda jumpai di The Social Basis of the Woman Question (1909), New Woman (1918), Communism and the Family (1920), The Labour of Women in the Evolution of the Economy (1921), Sexual Relations and the Class Struggle (1921), Prostitution and Ways of Fighting It (1921), The Soviet Woman (1946) hingga novelnya yang terkenal Love of Worker Bees (1924). Dari semua karyanya, menurut saya pribadi Alexandra Kollontai mewariskan setidaknya tiga hal penting untuk kita semua hari ini.
Pertama, Alexandra Kollontai menetapkan dengan tegas garis batas antara emansipasi perempuan yang sungguh-sungguh berusaha membebaskan perempuan dan mana yang bukan. Ia memisahkan antara pemikiran serta arah perjuangan para feminis liberal dan feminis marxis. Sementara yang pertama memperjuangkan perubahan serta pengutamaan hak-hak keistimewaan kaum perempuan di dalam masyarakat kapitalis lewat reformasi serta tuntutan moral, feminis marxis memperjuangkannya dalam ranah ekonomi politik dimana kapitalisme ditempatkan sebagai penyebab dari penindasan atas perempuan itu sendiri.
Tapi, mengapa Alexandra membagi feminisme ke dalam dua kubu? Bagi Alexandra, selain keduanya memiliki latar belakang kelas sosial yang berbeda, kedua kubu pun punya tujuan emansipasi perempuan yang berbeda pula. Feminis borjuis bertujuan mengamankan posisi dan kesejahteraannya sendiri. Feminis kelas pekerja bertujuan membangun sebuah masyarakat baru yang terbebas dari belenggu bentuk masyarakat lama yang selama ini menindas kaum perempuan. Perjuangan perempuan pekerja bukan menyingkirkan pekerja laki-laki, namun berjuang bersama bahu membahu menumbangkan kapitalisme. Hal ini ia jelaskan dalam tulisannya The Social Basis of the Woman Question (1909) yang menerangkan perihal posisi feminis kelas pekerja dalam perjuangan perempuan merebut emansipasi dalam kebebasan ekonomi dan politik hingga persoalan masa depan pernikahan dan bentuk keluarga di masyarakat yang baru.
Kedua, Alexandra Kollontai juga memperkenalkan analisis marxisme—yang cenderung membahas urusan sosial di ranah publik—ke dalam ranah domestik. Ia menjelaskan marxisme tak hanya dalam persoalan produksi kapitalisme namun juga reproduksi. Dalam beberapa karyanya ia kerap menceritakan bagaimana kaum perempuan juga menjadi subjek yang terdampak oleh eksploitatifnya sistem kapitalis. Perempuan dalam kapitalisme terlihat terbebaskan, namun justru mendapatkan beban ganda. Di satu sisi ia mesti bekerja di luar rumah untuk menjadi tulang punggung keluarga, di sisi lain ia mesti menjadi penyambung napas bagi anggota keluarganya di dalam rumah. Warisan masyarakat masa lalu seperti bentuk keluarga beserta norma-normanya yang bersintesis dengan dunia modern bentukan kapitalisme inilah yang memaksa perempuan masuk ke dalam relasi upahan sehingga mereka tak berdaya. Dari pemahaman tersebut, Kollontai memperkenalkan sebuah prinsip dan program sosialisasi pekerjaan domestik. Program ini sempat disetujui oleh Soviet ketika Alexandra menjabat komisariat. Sosialisasi pekerjaan domestik artinya bahwa semua pekerjaan rumah yang selama ini membebani perempuan di rumah, mulai dari menjahit, memasak, membersihkan rumah hingga mengasuh anak, akan dialihkan menjadi tugas publik atau pemerintah setempat atau negara. Ia bahkan mengajukan pembuatan dapur umum atau restoran umum hingga penitipan anak umum untuk para perempuan pekerja di Soviet waktu itu. Persis seperti yang ia jelaskan di tulisannya The First Steps Towards the Protection of Motherhood (1918), Decree: Child Welfare (1919) dan Communism and the Family (1920). Dengan kemudahan ini, bentuk keluarga lama akan meredup dan bertransformasi. Kaum perempuan pun dapat fokus bekerja agar memperoleh penghasilan hidup yang setara dengan kaum laki-laki dan tentunya dapat berkontribusi banyak untuk masyarakatnya baru, yaitu masyarakat sosialis.
Ketiga, Alexandra Kollontai adalah salah satu contoh terbaik dari penerapan pemikiran materialisme dialektis dan historis ke berbagai aspek realitas sosial. Lewat marxisme, terutama via pembacaan atas The German Ideology (1845), ia memahami posisi filosofis marxisme. Melalui A Contribution to the Critique of Political Economy (1859), ia mengerti posisi ekonomi politik marxisme. Dan akhirnya, melalui pembacaan atas The Origin of the Family, Private Property and the State (1884) karya Engels, Alexandra mengungkap kibul takhayul seputar perempuan yang selama ini dipercaya masyarakat. Ia menenerangkan asal-usul dari penindasan terhadap perempuan yang selalu berkelindan dengan ekonomi politik atau soal penguasaan sumber daya dan alat produksi. Lewat marxisme, ia dapat membedah bagaimana moralitas, bentuk keluarga, dan konsep cinta yang eksis hari ini sesungguhnya dikondisikan oleh corak masyarakat borjuasi.
Di akhir Theses on Feuerbach (1845), Marx menulis bahwa semua filsuf sampai hari ini hanya menafsirkan dunia, sementara yang terpenting adalah mengubahnya. Begitu juga Alexandra yang menggunakan pemikiran marxisme tak hanya untuk pemahaman dirinya sendiri, namun juga mengimplementasikan pemikirannya lewat serangkaian praktik politik, mulai dari kiprahnya dalam partai sosial demokrat, di dalam komisariat Soviet awal, hingga di dunia diplomasi Soviet.
Setelah kepergian Lenin, sebagai salah satu anggota Bolshevik terakhir yang lolos dari pembersihan Stalin, Alexandra sudah terlalu letih memperjuangkan kembali gagasan-gagasannya dalam kompleksitas politik serta birokrasi di Soviet yang dingin. Ia bahkan kerap dikritik karena bungkam ketika mantan kekasih dan kawan-kawannya dieksekusi. Namun, pada dasarnya ia ’didubeskan’ sehingga menjauh dari politik dalam negeri. Selain itu, dengan diam, Alexandra juga ingin melindungi putra semata wayangnya, Mikhail Kollontai.
Alexandra Kollontai menghabiskan sisa umurnya untuk mengumpulkan tulisan-tulisan lama dan menulis beberapa memoar. Pada 9 Maret 1952 di Moskow, ia menghembuskan nafas terakhir, hanya beberapa hari sebelum ulang tahunnya yang ke-80. Tulisan ini saya persembahkan kepada para perempuan pekerja untuk memperingati Hari Perempuan Internasional 2022. Selamat ulang tahun yang ke-150, Kamerad Alexandra!***