Meningkatkan Kekuatan Freelancer dengan Berserikat

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Jonpey


“APA yang membuatmu memilih freelance daripada bekerja di kantor?” demikian sebuah pertanyaan dari seorang pengguna internet di forum Quora. Pengguna yang lain ringan saja menjawab: “Freelance itu sebuah pilihan bagi mereka yang enggak mau diperintah oleh bos.”

Pemahaman orang banyak tentang freelancer atau pekerja lepas memang cenderung positif. “Enggak mau diperintah bos” seperti jawaban di atas mengasumsikan pekerja lepas memiliki hierarki yang setara dengan pemberi kerja. Asumsi ini pula yang ada di balik penyebutan-penyebutan lain untuk mereka seperti “pekerja mandiri”, “kontraktor independen” atau “mitra”.

Pekerja lepas juga kerap dianggap orang yang merdeka. Alih-alih dijerat rezim jam kerja 9-5, mereka relatif otonom dalam arti bisa bekerja di mana saja dan kapan saja. Sebab, mereka diupah berdasarkan satuan hasil, bukan satuan jam. Mereka dibayar setelah produk—apapun itu—telah selesai dikerjakan. Para pekerja lepas juga kerap disebut sebagai pekerja gig karena karakter upah per hasil ini.

Waktu dan lokasi kerja yang fleksibel, dalam sebuah survei, jadi alasan utama mengapa seseorang memilih menjadi pekerja lepas (65,4 persen).  Alasan kedua, dengan bekerja lepas seseorang dapat menyalurkan minat dan bakatnya (56,7 persen). Ada ruang bagi eksplorasi kreativitas individu dan itu dianggap tak akan berkembang jika mencurahkan tenaga kerja di pekerjaan-pekerjaan konvensional. Bekerja sebagai freelance, dalam derajat tertentu, dimaknai sebagai upaya meraih kebebasan.

Mungkin karena alasan-alasan di atas pula dalam survei yang sama ditemukan lebih banyak anak muda (21-30 tahun) yang memilih bekerja lepas (49,3 persen) ketimbang kelompok usia di atasnya (30-40 tahun, 26,5 persen).

Masalahnya apa yang diyakini sebagai realitas pekerja lepas hanya ilusi; ia justru menyelubungi kenyataan eksploitatif yang terjadi.

Telah banyak riset yang menyebutkan bahwa pekerja lepas mengalami kerentanan, bahkan dalam derajat tertentu lebih dalam ketimbang mereka yang bekerja dalam relasi konvensional–buruh tetap, kontrak dan outsourcing. Sebuah riset dari The Guardian pada 2017 lalu, misalnya, menemukan pekerja lepas kehilangan ribuan poundsterling karena bekerja tanpa dibayar alias gratisan—sekadar untuk mendapatkan pengalaman demi mempercantik portofolio.

Dalam buku Pekerja Industri Kreatif Indonesia (2021) saya, Fathimah Fildzah Izzati, Rara Sekar Larasati, Ben K. C. Laksana, dan Kathleen Azali menemukan lima kondisi rentan yang yang dialami pekerja industri kreatif (meski tidak spesifik tentang pekerja lepas, namun industri kreatif adalah satu dari sekian sektor di mana banyak freelancer berkecimpung). Lima situasi tersebut adalah:

  1. kontrak kerja kasual
  2. ketiadaan jaminan sosial
  3. jam dan beban kerja yang panjang dan berlebih
  4. upah murah dan ongkos tersembunyi
  5. ketiadaan kepastian karier

Penjelasan lebih jauh tentang poin-poin di atas dapat dibaca langsung di buku yang bisa diunduh gratis atau dalam ulasan dari Wisnu Prasetyo Utomo.

Lima kondisi penuh kerentanan di atas adalah fenomena umum meski kesimpulannya diambil dari informan yang jumlahnya terbatas. Misalnya soal ketiadaan jaminan sosial. Dalam kategori kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), pekerja lepas disebut “pekerja bukan penerima upah” atau PBPU. Per Januari 2022, PBPU yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan hanya 3,5 juta atau hanya sekitar 10 persen dari total pekerja lepas.

Sementara di BPJS Kesehatan, peserta yang tercatat sebagai PBPU sebanyak 30,4 juta per 31 Desember 2020. Jumlahnya memang jauh lebih banyak dibanding peserta BPJS Ketenagakerjaan, hanya saja patut dicatat bahwa PBPU dalam BPJS Kesehatan juga termasuk mereka yang bukan freelancer seperti pedagang, petani, peternak, montir, dan lain-lain. Dengan kata lain, freelancer yang merupakan peserta aktif BPJS Kesehatan jumlahnya pasti lebih sedikit.

Dalam hal upah, menurut Statistik Ekonomi Kreatif 2020, tenaga kerja ekonomi kreatif rata-rata hanya mendapatkan Rp2,45 juta per bulan. Upah sekecil itu, selain dipakai untuk menanggung ongkos tersembunyi—yang tidak ditanggung pemberi kerja seperti penyusutan peralatan kerja atau penyewaan tempat kerja—juga diperoleh dari jam kerja yang panjang. Hasil Survei Ekonomi Kreatif dari Bekraf dan BPS pada 2017 lalu menyebut lebih dari 31 persen bekerja lebih dari 48 jam per pekan.

Ketiadaan perlindungan hukum kerap dianggap sebagai biang keladi situasi penuh kerentanan ini. UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan—dan menyusul UU Cipta Kerja—dianggap terlalu bercorak manufaktur. Namun, hukum bukan pangkal persoalan sebenarnya sebab ia adalah produk dari sistem ekonomi politik yang sedang berlangsung. Camkan ini: pada dasarnya hukum adalah manifestasi kepentingan kelas berkuasa.

Situasi rentan yang dialami pekerja—tak hanya freelancer—adalah buah dari rezim pasar tenaga kerja fleksibel (labor market flexibility) yang dijajakan oleh kapitalisme neoliberal. Gagasan utama dari rezim ini adalah menciptakan sistem kerja di mana buruh mudah direkrut dan mudah pula dipecat. Ia pertama-tama hadir dalam sistem kerja kontrak dan outsourcing yang mulai diperkenalkan sejak 1970-an dan kemudian hadir lewat wujud pekerja lepas.

Pekerja lepas yang bisa bekerja untuk pemberi kerja mana pun di belahan dunia ini dimungkinkan karena adanya platform capitalism, istilah yang dipopulerkan oleh Nick Srnicek lewat buku berjudul sama. Lewat platformlah pekerja lepas dan pemberi kerja bertemu dan menjalin “kontrak” kerja.

Platform dan rezim LMF saling berkelindan menciptakan kerentanan bagi pekerja lepas. Seperti kata Carl Hughes dan Alan Southern dalam sebuah artikel jurnal, “pengembangan perangkat lunak platform telah bersekutu dengan struktur pasar tenaga kerja yang dideregulasi.” Satu contoh sederhana adalah soal upah. Seorang pekerja lepas sangat mungkin menurunkan upah ke tingkat paling minimal sebab dengan cara itulah ia lebih mungkin dipilih untuk mengerjakan proyek.

Dalam konteks inilah mengemuka urgensi agar pekerja lepas bergabung dalam serikat.


Praktik (dan Pertanyaan untuk) Serikat Pekerja Lepas

Ketika menghadapi masalah, misalnya pelanggaran hak-hak, maka pekerja lepas cenderung pasif. Hal seperti ini disebabkan oleh corak kerja yang terindividualisasi/teratomisasi dan fakta bahwa kedudukan pemberi kerja dan penerima kerja tak pernah setara.

Arti penting serikat pekerja bagi pekerja lepas pada dasarnya adalah sama dengan serikat pekerja pada umumnya: meningkatkan daya tawar dengan aksi-aksi kolektif.

Ada beberapa serikat pekerja lepas yang telah lama eksis dan dapat dirujuk untuk menunjukkan arti penting mereka. Salah satunya adalah Freelancers Union yang didirikan pada 1995 dan saat ini telah memiliki lebih dari 50 juta anggota berstatus independent worker di Amerika Serikat.

Pada 2017, mereka mendapatkan kemenangan setelah desakan untuk membuat peraturan tentang pekerja lepas diloloskan. Salah satu pokok peraturan tersebut, menyatakan bahwa klien harus membayar pekerja lepas dalam kurun waktu maksimal 30 hari setelah pekerjaan selesai. Kemudian harus ada kontrak untuk pekerjaan yang nilainya lebih dari 800 dolar AS.

Dua persoalan utama dari pekerja lepas memang kerap tidak dibayar tepat waktu dan dilanggar hak-haknya karena ketiadaan kontrak.

Di Inggris, ada serikat yang menaungi pekerja lepas dan pekerja di industri media dan hiburan bernama Bectu. Salah satu yang menarik dari mereka, selain advokasi standar dan penyediaan berbagai jaring pengaman bagi anggota, adalah mereka memiliki daftar tarif standar bagi pekerjaan-pekerjaan yang kerap dilakoni pekerja lepas yang bisa dirujuk saat bernegosiasi.

Di Indonesia, tidak ada patokan tarif seperti ini. Akibatnya adalah kekacauan. Pekerja lepas, terutama mereka yang belum berpengalaman, memasang tarif serendah mungkin agar mendapatkan proyek. Mereka melakukan perentanan diri dan itu tentu saja sangat disukai pemberi kerja.

Di Jerman, berkat advokasi dari serikat bernama ver.di, jika seorang pekerja lepas mendapat setengah dari pendapatan mereka dari satu perusahaan, serikat dapat mewakili mereka untuk bernegosiasi.

Ada bentuk-bentuk kolektif lain yang bukan serikat tapi juga menjalankan fungsi untuk meningkatkan taraf kehidupan pekerja lepas. Sebuah kelompok di Inggris bernama Forge misalnya membuka pertemuan rutin untuk para anggota untuk sekadar berbagi cerita. Latar belakangnya adalah bahwa banyak pekerja lepas mengalami kesepian akut dan terasing dari kehidupan sosial.

Betapapun esensinya sama dengan serikat konvensional, serikat pekerja lepas memiliki tantangan tersendiri. Misalnya, bagaimana berelasi dengan pemberi kerja yang bahkan mungkin tidak kita ketahui sosok dan alamatnya karena pekerja dan pemberi kerja sekadar terhubung dengan platform.

Kemudian, bagaimana memecahkan persoalan advokasi sehari-hari karena sifat pekerjaan yang teratomisasi sementara kemampuan pengurus serikat pastilah terbatas. Ia berbeda dengan serikat konvensional yang sangat mungkin saat menjalankan sebuah advokasi langsung melibatkan ratusan atau bahkan ribuan anggota yang terdampak.

Juga termasuk bagaimana meyakinkan pekerja lepas bahwa mereka adalah bagian dari kelas pekerja. Pekerja lepas kerap merasa bahwa mereka adalah profesional, sebuah kelompok yang ada di tengah buruh dan pemberi kerja. Karena merasa demikian, mereka justru cenderung resisten terhadap segala upaya kolektif untuk meningkatkan taraf hidup.

Tantangan-tantangan ini akan terus bertambah sejalan dengan semakin intensifnya perjalanan serikat dan serikat pun harus mampu menjawabnya sendiri. Mengantisipasi dan mencoba mencari jalan keluar atas tantangan-tantangan tersebut semakin penting karena ada kecenderungan pekerjaan lepas terus diterapkan di semua lini sebagai respons dari korporasi atas situasi pandemi. Prospek ekonomi yang tidak jelas membuat perusahaan semakin memilih freelancer ketimbang merekrut pekerja tetap, bahkan untuk bidang yang tadinya tak pernah dibuka untuk pekerja lepas. Artinya, banyak rakyat pekerja akan semakin rentan.

Jamie Woodcock dalam The Fight Against Platform Capitalism (2021) merangkum ada tiga dinamika yang akan memengaruhi perjuangan dalam ekonomi platform, yaitu meningkatnya koneksi antara pekerja; kurangnya komunikasi dan negosiasi dengan platform; dan terakhir adalah internasionalisasi platform. Sekilas, dinamika ini tampaknya akan membuat serikat pekerja semakin tidak relevan. Bagaimana mungkin, misalnya, mengadvokasi seorang pekerja ketika pemberi kerja berada jauh di luar negeri. Namun, menurut Woodcock, alih-alih mengurangi kekuatan serikat pekerja, semua dinamika ini mampu “memberikan dasar teknis bagi munculnya perjuangan global baru melawan kapitalisme.”

Pada akhirnya bergabung ke serikat memang bukan seperti meminta permohonan ke jin setelah menggosok-gosok lampu ajaib: terkabulkan serta merta. Namun bagaimanapun itu lebih baik karena kita tahu persis bahwa ada orang yang bernasib serupa dan juga hendak memperjuangkan cita-cita bersama.***


Artikel ini dikembangkan dari presentasi penulis dalam diskusi “Pekerja Rentan Jakarta, Berserikatlah!” yang diselenggarakan oleh Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) pada Sabtu 19 Februari 2022.


 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.