Ilustrasi: Jonpey
MINGGU lalu, entah mengapa, saya ingin jadi orang kaya. Ini karena saya melihat sebuah berita. Seorang artis menyumbang 30 juta rupiah untuk dapur umum penanggulangan Covid-19. Nanti dulu. Saya tidak sinis. Sama sekali. Saya hanya gumun, kagum sambil bengong. Kok ya ada orang mau menyumbang sebesar itu!
Kalau orang-orang kaya menyisihkan uang jajannya Rp30 juta untuk membeli tas Hermès saya tidak akan begitu kagum. Itu biasa. Orang berduit membelanjakan kekayaannya. Biasa sekali bukan?
Bahkan orang kaya model Zuckerberg atau Gates, yang menyumbang puluhan milyar dolar untuk berbagai macam hal yang berhubungan dengan kemanusiaan tidak membuat mulut saya menganga. Saya tahu persis bahwa itu cara mereka mendistribusikan kekayaan sekaligus menghindari pajak. Itu cara mereka menghindar dari kontrol negara.
Bukankah itu bagus untuk kemanusiaan? Jawabnya bisa iya. Bisa tidak. Iya, karena mungkin orang ini benar-benar membelanjakan uangnya untuk orang banyak. Tidak, karena hanya dia yang bisa mengontrol untuk apa uang itu.
Negara dikontrol oleh banyak orang. Kalau saja uang-uang ini diberikan untuk negara dalam bentuk pajak, semakin banyak orang bisa mengontrolnya. Justru itu yang dihindari oleh orang-orang superkaya ini. Oh ya. Bukankah ditengah-tengah pandemi ini mereka justru bercita-cita meninggalkan bumi manusia dengan segala kesengsaraannya dan mau hidup di planet lain?
Orang seperti Jeff Bezos dan Elon Musk sudah bercita-cita mengkoloni Planet Mars. Bisa bayangkan mau jadi apa dia disana? Saya bayangkan mereka akan bikin koloni yang bisa mereka kontrol.
Nah, bisa paham mengapa menjadi kaya itu baik? Ya karena Anda bisa mengontrol sendiri apa yang Anda mau. Kontrol adalah kekuasaan.
Nah, kita kembali pada Mbak Artis yang bikin patah hati banyak pria karena memilih kawin dengan anak sultan minyak itu. Apa yang dia lakukan jelas mulia. Sangat mulia. Dia berhak atas surga untuk kedermawanan itu.
Dia tidak hanya terkenal. Dia pintar. Dia bekerja keras dan kabarnya tidak melulu hidup dari kekayaan sang suami dan keluarganya. Ya, kerja keras. Sama seperti Kang Supri sopir GoJek tetangga saya yang pagi, siang, sore, hingga malam klayapan mengantar makanan.
Bedanya adalah Kang Supri hanya bisa mengumpulkan seratus ribu sehari. Perlu waktu 300 hari bagi Kang Supri agar bisa menyumbang seperti Mbak Artis kita itu. Hal yang tidak mungkin karena jika itu dia lakukan, pada hari kelima, dia, istri, dan dua anaknya sudah mati kelaparan.
Kang Supri adalah orang baik. Dia suka menolong orang lain. Dia pernah memberi boncengan gratis kepada si mbok dagang jamu gendong yang kelelahan berjalan pulang.
Mbak Artis juga orang baik. Dia baik kepada semua orang. Dan, seperti yang Anda lihat tadi, dia juga menolong orang dari kelebihan yang dia punya.
Bedanya cuma satu. Kang Supri tidak bisa mengontrol kekayaaan yang tidak dia punyai. Sebaliknya, Mbak Artis lebih punya kebebasan untuk mengontrol apa saja. Dia tidak bertanggungjawab atas makanan untuk buruh-buruh gendong di pasar. Namun, dia memutuskan ikut memberi makan buruh-buruh itu.
Kekayaan adalah kekuatan dan kekuasaan. Nah, disinilah kita masuk ke persoalan yang lebih serius.
Beberapa hari lalu saya membaca berita tentang bagaimana keputusan karantina (lockdown) di Indonesia diambil. Dalam berita itu dikatakan bahwa para elit super kaya Indonesia mendesak Presiden Jokowi agar tidak melakukan lockdown. Alasan mereka, kebijakan ini hanya akan mematikan ekonomi yang sudah mulai tumbuh kembali.
Sementara, saat itu rumah sakit dan segenap infrastruktur kesehatan sudah kolaps. Orang mati dalam jumlah ribuan – dan lebih banyak lagi yang tidak tercatat sebagai statistik. Tapi, orang-orang kaya ini berhasil membuat kebijakan yang menyelamatkan diri mereka. Lockdown berarti bisnis mereka harus tutup. Kekayaan mereka bisa menyusut.
Berita ini tentu saja membuat saya terheran-heran. Mengapa para elit super kaya ini tiba-tiba segaris dengan para penyangkal Covid? Bukankah para penyangkal Covid itu sedari dulu mengatakan bahwa Covid ini adalah ciptaan dan konspirasi para elit super kaya?
Akhirnya terungkap bahwa mereka yang anti-lockdown bukanlah para aktivis pejuang kemanusiaan itu. Tapi, para elit super kaya dan keputusan politik diambil setelah mendengarkan suara mereka! Persetan dengan para pejuang kemanusian dan aktivis yang sekarang lebih banyak berkiprah di medsos itu. Pikiran saya ikut-ikutan konspiratif. Jangan-jangan para pejuang anti-lockdown ini sebenarnya konco-konco para elit super kaya tersebut. Ah, sudahlah. Teori konspirasi tidak akan pernah selesai karena fungsinya hanya untuk menentramkan pikiran-pikiran delusional.
Begitulah. Kekayaan membuat Anda bisa berbuat apa saja. Kekayaan bisa menggoyangkan keputusan seorang presiden, penguasa tertinggi di sebuah negeri. Kekayaan bisa mengubah sikap seseorang.
Oh ya, selain soal anti-lockdown ini, saya juga membaca berita lain. Anda mungkin merasa bahwa pandemi ini sangat merugikan. Banyak usaha bangkrut. Banyak orang tidak bisa bekerja. Banyak yang bahkan tidak bisa makan juga.
Pandemi ini menghilangkan kekayaan. Jumlah orang kaya yang bangkrut tentu banyak sekali. Itu sebabnya para orang kaya melobi Presiden Jokowi agar tidak melakukan lockdown yang merugikan ekonomi dan membuat orang-orang kaya yang sudah terpuruk makin terpuruk. Begitu bukan? Salah sama sekali.
Tahukah Anda apa yang bertambah ditengah pandemi ini? Jumlah orang kaya! Credit Suisse, sebuah lembaga perbankan, dalam studinya mengatakan bahwa jumlah orang kaya yang memiliki kekayaan lebih dari US$1 juta dollar (Rp 14,5 milliar) bertambah dari 106,2 ribu pada 2019 menjadi 171,7 ribu pada 2020. Sebuah peningkatan sebesar 61,7%. Jumlah orang-orang kaya ini hanya 0,1% dari seluruh penduduk Indonesia.
Pandemi ini telah memperlebar kesenjangan sosial. Ia mempertajam jurang kaya dan miskin. Namun, itu tidak berarti yang kaya makin miskin; atau yang kaya tetap kaya; tapi yang miskin semakin miskin. Yang terjadi adalah yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin.
Bank Dunia baru saja menurunkan status Indonesia dari negara berpenghasilan menengah atas (upper middle income) menjadi menengah bawah. Ekonomi kita terpuruk. Namun anehnya, yang kaya semakin kaya. Pandemi rupa-rupanya menciptakan kesempatan (opportunity) untuk orang-orang kaya menambah kekayaannya.
Kita kembali ke Mbak Artis tadi. Saya pernah membaca semboyan seorang rekan yang berkerja menjadi pekerja migran di luar negeri. Secara bergurau dia menancapkan semboyannya sebagai, “muda foya-foya, tua bahagia, mati masuk surga.” Mbak Artis kita, menurut saya, jauh melampaui itu. Di dunia pun dia sudah jelas-jelas berpahala dan berpeluang besar masuk surga.
Bayangkan. Kekayaan pun bisa mengontrol katrol Anda ke surga!
Namun, di tengah nafsu besar menjadi kaya tanpa kekurangan hingga surga pun bisa terkontrol itu, saya tiba-tiba mendapati diri saya tidak berdaya. Kalau Anda miskin, sulit sekali untuk Anda menjadi kaya. Sekali Anda terpuruk di dunia ini, Anda hanya akan tersedot lebih dalam seperti terjebak ke dalam lumpur.
Anda memerlukan bantuan. Anda tidak perlu bantuan perseorangan karena bantuan dari yang lebih mampu itu juga semacam kontrol bukan? Para pemikir modern menawarkan bantuan itu. Dialah sesuatu yang lebih besar dari individu, yang bernama komunitas, commune, atau organisasi sosial. Anda berinvestasi di dalam organisasi seperti itu. Ia bisa juga berupa negara – tapi negara yang benar-benar bisa Anda kontrol bukan dikontrol oleh kara plutokrat dan kleptokrat. ***