Lemahnya Supremasi Sipil di Indonesia: Perihal Kesadaran dan Kesempatan Militer untuk Mengintervensi Urusan-Urusan Sipil

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


SELAIN melanjutkan ke perguruan tinggi, menjadi bagian dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) kerap kali menjadi impian dari sebagian pemuda bangsa yang baru saja menamatkan jenjang pendidikan dasarnya. Sebab, mereka yang menjadi bagian dari dua instansi tersebut sering dianggap memiliki masa depan yang cerah dan terjamin. Bagaimana tidak, berbagai fasilitas seperti gaji tetap dan tunjangan yang dijamin langsung oleh negara akan mereka dapatkan. Selain itu, pengabdian dan prestise di tengah masyarakat sebagai anggota TNI dan POLRI membuat kedua profesi ini selalu diminati (Nugroho, 2020). 

Prestise TNI dan POLRI di tengah masyarakat muncul bukan tanpa sebab. Dalam lintasan sejarahnya, Indonesia pernah dikuasai oleh dua kekuatan militer tersebut. Pada Era Orde Baru, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) memiliki sebuah kewenangan yang disebut sebagai Dwifungsi ABRI. Kewenangan tersebut membuatnya mempunyai peran sentral dalam pembangunan nasional karena mampu menjalankan dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi pertahanan dan fungsi sosial politik (Harisanto, 1993). Akibatnya, ABRI tidak hanya bertugas di barak saja, tetapi juga menempati berbagai posisi di lembaga legislatif dan jajaran birokrasi sipil. Hal itu dibuktikan dengan temuan mengenai adanya 12 menteri dan 27 anggota kabinet, serta 11 orang yang memegang posisi strategis di kementerian berasal dari unsur militer pada tahun 1966 (Winarno, 2007). Selain itu, sejak Juli 1998, ada 14 provinsi dari total 27 provinsi di Indonesia, atau 55,5 persen, yang dipimpin oleh anggota militer (Abdulsalam, 2017). Kemudian, ada sekitar 41,1 persen walikota/bupati dipegang anggota militer di seluruh Indonesia (Abdulsalam, 2017). 

Fakta sejarah mengenai kekuasaan dua kekuatan militer tersebut yang kemudian membangun prestise mereka di tengah masyarakat. Pasca-Reformasi 1998, diskursus untuk mengurangi peranan militer dalam urusan sipil, atau dikenal dengan istilah penguatan supremasi sipil, mulai menguat sejalan dengan menguatnya semangat reformasi. (Sujito, 2002, hh. 122). Meskipun demikian, praktik pelemahan supremasi sipil tetap saja terjadi di Indonesia saat ini. Oleh karena itu, tulisan ini berupaya untuk menjabarkan faktor-faktor dari langgengnya pengaruh militer dalam politik Indonesia dan pelemahan supremasi sipil di Indonesia. Saya berargumen bahwa lemahnya supremasi sipil disebabkan oleh lemahnya pemerintahan sipil itu sendiri dan munculnya kesadaran dalam kubu militer mengenai kekuatan ekonomi-politik mereka di konteks Indonesia, yang diikuti dengan upaya untuk mempertahankan kekuatan dan privilese tersebut. Hasilnya, supremasi sipil dan kontrol demokratis atas militer cenderung rentan untuk kembali dilemahkan.


Supremasi Sipil dalam Lintasan Sejarah

Menurut konsep demokrasi modern, pemerintahan suatu negara yang demokratis harus dijalankan atas kehendak rakyat. Oleh karena itu, keputusan-keputusan strategis harus dibuat oleh pejabat publik dari kalangan sipil yang dipilih secara demokratis. Inilah inti dari konsep supremasi sipil. Dalam penerapannya, prinsip tersebut tentu saja menerima berbagai tantangan, salah satunya adalah dari kubu militer. 

Ambil saja contoh Pakistan. Periode kudeta Pakistan diawali pada tahun 1958 ketika militer Pakistan melakukan pembatalan atas Undang-Undang Dasar (UUD) Pakistan 1956 hingga tahun 2007 ketika Jenderal Musahrraf terpilih menjadi Presiden (Budiardjo, 2008, hh. 126–127). Javid Husein (2018) mengatakan bahwa dalam periode tersebut, kondisi sosial, politik, hingga ekonomi Pakistan luluh lantah akibat banyaknya kudeta kekuasaan yang dilakukan oleh petinggi-petinggi militer. 

Pergantian dari sistem parlementer menuju sistem presidensial, yang mana terjadi berkali-kali, mewarnai berbagai kudeta yang terjadi di Pakistan. Instabilitas ‘politik sipil’ini membuat jalannya demokrasi di negara tersebut terganggu dan menjadi dalih bagi militer untuk mengintervensi politik. Selain itu, sebagaimana diatur dalam UUD Pakistan, wewenang presiden untuk mencopot perdana menteri dan membubarkan national assembly (majelis rendah dari parlemen Pakistan) semakin memperburuk iklim demokrasi Pakistan (Budiardjo, 2008, hh. 125).

Di Indonesia sendiri, keterlibatan militer di luar barak sudah terjadi sejak negara ini berdiri pada tahun 1945. Harold Crouch (1999, hh. 35) mengidentifikasi bahwa setidaknya ada dua faktor yang kemungkinan menjadi penyebab dari keterlibatan militer dalam urusan sipil di Indonesia. Pertama, orientasi militer di Indonesia memang sudah bersifat politis sejak awal. Menurut Harold, para anggota militer waktu itu bergabung dengan militer bukan karena ingin mengejar karir militer, melainkan karena tertarik dengan perjuangan kaum nasionalis melawan kolonialisme. Kedua, kegagalan golongan sipil dalam menjalankan pemerintahan. Berbagai gejolak; seperti pergantian kabinet, krisis ekonomi, dan terutama pemberontakan; membuat kalangan militer beranggapan bahwa mereka adalah satu-satunya kekuatan yang mampu menjaga kestabilan negara (Crouch, 1985, hh. 50).

Kemudian, mengadaptasi pemikiran S. E. Finer (1962), Ulf Sundhaussen (1982) menolak pandangan bahwa militer Indonesia sudah politis sejak awal. Ia mengungkapkan bahwa setidaknya ada dua faktor yang menjadi penyebab keterlibatan militer dalam urusan sipil di Indonesia. Pertama, faktor internal, yaitu keinginan militer untuk mempertahankan hak-hak yang menurut mereka harus mereka dapatkan. Hak-hak yang dimaksud di sini adalah bayaran atas perjuangan mereka dalam membebaskan Indonesia dari penjajah. Salah satu contohnya adalah dibatalkannya rancangan pembentukan angkatan bersenjata oleh pemerintah pusat pasca-Proklamasi. Pemerintah pusat berpendapat bahwa pembentukan angkatan bersenjata pada masa itu, masa di mana Jepang masih memiliki sisa-sisa kekuasaan di Indonesia, adalah upaya yang ceroboh karena dapat memicu pertikaian dengan Jepang (Raditya, 2018). Namun, para pemimpin militer pada era pasca-kemerdekaan merasa bahwa hal tersebut merupakan bentuk penghinaan dan pengabaian terhadap eksistensi angkatan bersenjata di Indonesia (Lee, 2000, hh. 697). 

Di sisi lain, sebagaimana diungkapkan oleh Richard Robison (2009), keterlibatan militer dalam urusan-urusan sipil juga dapat dan perlu dipandang dari kacamata ekonomi politik. Dalam Indonesia: The Rise of Capital, Robison menjelaskan bahwa militer merupakan salah satu aktor yang berperan penting dalam pembentukan kaum kapitalis lokal di Indonesia karena memiliki kemampuan ekonomi yang cukup besar. Muhammad Chatib Basri (1994) menjelaskan bahwa kekuatan ekonomi militer dalam pemikiran Robison terletak pada kemampuan birokrasinya untuk melakukan penetrasi terhadap pasar melalui monopoli negara dalam berbagai sektor ekonomi. Kemampuan ini kemudian dikombinasikan dengan kelihaian politisi-birokrat dalam menggaet investor dan dukungan dana raksasa dari investor asing. Kombinasi ketiga kelompok tersebut kemudian menghasilkan kaum kapitalis lokal yang disebut sebagai bureaucratic capitalist. Berbeda dengan kapitalisme negara (state capitalism) atau pengusaha sektor privat (private entrepreneurs) yang mengakumulasikan kapital untuk investasi yang produktif, akumulasi kapital yang dilakukan oleh kapitalis birokrat ini bertujuan untuk mewujudkan kepentingan politik mereka. Argumen ekonomi politik dari Robison ini sejalan dengan argumen Ulf Sundhaussen mengenai faktor internal penyebab intervensi militer ke dalam urusan sipil.

Kedua, faktor eksternal, yaitu gagalnya pemerintahan sipil yang membuka kesempatan bagi militer untuk mengintervensi urusan-urusan sipil.  Buruknya sistem birokrasi pemerintahan pasca-Proklamasi adalah salah satu bentuk faktor eksternal tersebut. Setelah dikeluarkannya Maklumat X Wakil Presiden tanggal 3 November 1945 tentang pembentukan partai politik, banyak partai politik yang menjamur di Indonesia. Menguatnya posisi tawar partai politik sedikit banyaknya telah mempengaruhi birokrasi publik karena hampir semua pegawai berafiliasi dengan partai politik tertentu sehingga mereka pun terkotak-kotak (Sinambela & Poltak, 2006, hh. 79). Akibatnya, para birokrat lebih fokus berpolitik praktis dan mengurusi partai politik, daripada melakukan pelayanan kepada publik, sehingga fungsi pelayanan berjalan secara tidak maksimal pada waktu itu (Yudiatmaja, 2015, hh. 18–19).

Kombinasi dari faktor internal dan eksternal tersebut akhirnya mendorong angkatan bersenjata Republik Indonesia masuk ke dalam ranah politik pada 22 Desember 1948, yaitu dalam rangka pembentukan Pemerintahan Militer di Jawa untuk menghadapi Agresi Militer II Belanda (Karhin, 1952). Pembentukan Pemerintahan Militer di Jawa merupakan konsekuensi susulan dari ditangkapnya para pemimpin sipil, yaitu Sukarno, Hatta, Agus Salim, Sjahrir dan seluruh anggota kabinet. Menurut M. C. Ricklefs (2001, hh. 483–484), para pemimpin sipil sengaja membiarkan dirinya ditangkap dengan harapan bahwa opini dunia akan tersinggung sehingga kemenangan militer Belanda akan berbalik menjadi kekalahan diplomatik. Namun, pemikiran yang muncul di antara kalangan militer setelah itu justru citra mengenai gagalnya pemerintahan sipil dan menguatnya posisi angkatan bersenjata dalam tataran politik Indonesia (Jenkins, 1983, hh. 16–17).

Lebih lanjut, jatuhnya demokrasi parlementer pada 1957 menunjukkan bahwa pemerintahan sipil semakin lemah kedudukannya. Persepsi tersebut diperkuat dengan keterlibatan TNI dalam penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta pada tahun 1958. Dalam peristiwa tersebut, TNI memainkan peran penting. Phill Manuel Sulu (2011) mencatat bahwa TNI dapat menumpas pemberontakan tersebut tanpa perlawanan yang berarti. Peristiwa ini kemudian memantik gairah politik TNI untuk terlibat di dalam urusan politik sipil (Lee, 2000, hh. 694). Hal tersebut dibuktikan dengan upaya untuk melegitimasi keterlibatan TNI dalam urusan sipil melalui konsep “Jalan Tengah” yang dipaparkan oleh Abdul Harris Nasution pada November 1958 (Rinakit, 2005, hh. 7).  Konsep “Jalan Tengah” mengungkapkan bahwa TNI adalah kekuatan perjuangan rakyat yang harus bisa bekerja berdampingan dengan kekuatan rakyat lainnya. Oleh karena itu, TNI harus ditempatkan di semua institusi sipil (Lev, 2009, hh. 191).


Supremasi Sipil Kini dan Nanti

Kini, secara normatif, dwifungsi seharusnya sudah dihapus seiring berjalannya reformasi dan berlakunya Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI (Dhae, 2019). Selain itu, sebagaimana ditulis oleh SETARA Institute (2019), mandat reformasi TNI yang dideduksi dari TAP MPR No. VII/MPR/2000 Tahun 2000 Tentang Peran TNI menyatakan bahwa TNI dan POLRI tidak boleh menduduki jabatan sipil dan terlibat politik praktis. Dengan demikian, indikator supremasi sipil pada Era Reformasi seharusnya lebih baik. Namun, pada kenyataannya, praktik dwifungsi masih terjadi dalam birokrasi pemerintahan. 

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) (2020) mengungkapkan bahwa setidaknya ada 30 orang anggota POLRI, baik aktif maupun purnawirawan, yang menjabat di jabatan sipil pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Selain itu, pada era kepemimpinan yang sama, Ombudsman Republik Indonesia juga menemukan setidaknya ada 25 anggota POLRI yang menduduki jabatan strategis di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) (Fachriansyah, 2020). 

Multifungsi POLRI di sini mirip seperti Dwifungsi ABRI pada Era Orde Baru. Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 4 Tahun 2017 yang berisi mengenai Penugasan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di Luar Struktur Organisasi Polri merupakan pemicu munculnya faktor internal, yaitu keinginan POLRI untuk terlibat dalam politik. Karena peraturan tersebut, penugasan anggota POLRI di luar struktur kepolisian dapat dibenarkan (CNN Indonesia, 2020). Ditambah lagi, Presiden Joko Widodo jarang sekali memusatkan perhatiannya kepada permasalahan-permasalahan hukum. Hal tersebut berakibat pada munculnya produk-produk hukum yang bermasalah, yang mana dapat memberi jalan bagi masuknya anggota militer ke dalam urusan sipil, seperti Perkap Nomor 4 Tahun 2017 misalnya. 

Di sisi lain, penguasaan POLRI terhadap BUMN juga mirip dengan apa yang digambarkan oleh Robison di Era Orde Baru. Hal tersebut menunjukkan bahwa POLRI di masa kini mempunyai kemampuan birokratis yang sama kuat dengan ABRI pada Era Orde baru. Apabila merujuk kepada faktor ekonomi di balik kudeta militer Pakistan, bukan tidak mungkin bahwa kendali POLRI atas BUMN bisa menjadi latar belakang kudeta POLRI atas negara pada masa mendatang. Tidak hanya itu, kendali POLRI atas BUMN merupakan ancaman yang serius terhadap supremasi sipil dan hajat hidup rakyat. Sebab, perusahaan-perusahaan BUMN pada umumnya menyediakan aspek-aspek vital kehidupan masyarakat, yang mana mayoritas terdiri dari kalangan sipil dan marginal.

Buruknya indikator demokrasi pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo juga merupakan faktor eksternal yang turut melemahkan supremasi sipil pada masa kini.  Survei dari Saeful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis pada awal tahun 2020 menyatakan bahwa pascakerusuhan Pemilu 2019, sebanyak 43 persen dari 1.220 responden Indonesia merasa takut untuk berbicara politik, yang mana meningkat apabila dibandingkan dengan survei yang dilaksanakan pada tahun 2014, yaitu sebanyak 17 persen dari 1.220 responden saja (Setiawan, 2020). Vedi Hadiz mencatat bahwa kemunduran demokrasi atau illiberalism of Indonesian democracy merupakan gejala dari penyakit demokrasi yang sudah diderita Indonesia sejak runtuhnya Rezim Orde Baru. Menurutnya, sejak Orde Baru runtuh, oligarki warisan Orde Baru masih bercokol di Indonesia dan terus berupaya untuk menguasai sistem politik. Upaya oligarki warisa Orde Baru untuk menguasai sistem politik berjalan beriringan dengan mundurnya demokrasi di Indonesia. Pada masa kini, gejala ini muncul setelah Pilkada DKI 2017. ‘Pesta demokrasi’ di DKI tersebut memperkuat tesis yang diajukan oleh Vedi Hadiz. Ketika melihat Pilkada DKI 2017 Vedi Haiz merujuk pada anak-anak Suharto yang mendukung demonstrasi anti-Ahok pada tahun 2017 sebagai oligarki warisan Orde Baru yang berupaya untuk menguasai sistem politik. Bersama dengan kelompok populis religius dan sektarian, mereka menggunakan politik identitas sebagai upaya untuk menggulingkan Ahok. Penggunaan taktik politik identitas inilah yang menyebabkan demokrasi Indonesia menjadi semakin iliberal.

Kecenderungan iliberal tersebut juga semakin ‘memberi angin’ kepad kelompok-kelompok yang iliberal, seperti kelompok Islamis-fundamentalis  dan militer (Diprose et al., 2019). Kekuatan atau kelompok tersebut tidak hanya sekadar muncul, tetapi juga saling berkontestasi untuk mendapatkan legitimasi. Kecenderungan iliberal yang mereka bawa juga berimplikasi kepada cara mereka berkontestasi, yang biasanya juga bersifat iliberal dan nondemokratis. Akibatnya, posisi militer kembali diuntungkan dalam konstelasi politik yang seperti ini. Pada akhirnya, militer secara perlahan-lahan dapat menggerus supremasi sipil.

Efek dari lemahnya supremasi sipil pada masa kini tidak main-main. Salah satu efek dari perluasan kewenangan POLRI adalah banyaknya serangan dan pembatasan terhadap hak-hak sipil. Kontras (2020) mencatat bahwa sepanjang Oktober 2019 – September 2020 telah terjadi 157 peristiwa pelanggaran, pembatasan, ataupun serangan terhadap kebebasan sipil yang terdiri atas 4 serangan terhadap hak asosiasi, 93 serangan terhadap hak berkumpul, dan 60 serangan terhadap hak berekspresi yang mengakibatkan menyempitnya ruang sipil di Indonesia. Selain itu, Kontras juga mencatat bahwa efek dari perluasan kewenangan POLRI adalah banyaknya kekerasan yang terjadi kepada warga sipil: penyiksaan, penganiayaan dan bentrokan dengan warga, serta salah tembak. Korbannya melimpah: dari 33 peristiwa, 22 orang tewas dan 9 luka-luka. Sementara angka penganiayaan dan kekerasan lainnya seperti bentrokan oleh Polri berjumlah 57 peristiwa dan mengakibatkan 102 orang luka-luka dan 2 tewas. Bahkan, bukan hanya POLRI, TNI juga tercatat melakukan 76 kasus kekerasan, didominasi oleh 40 kasus penganiayaan dan 19 kasus penembakan. Semua kasus itu mengakibatkan: 43 orang tewas, 100 luka-luka, 3 ditangkap, dan 8 lainnya tidak terdapat bekas fisik, misalnya diintimidasi.

Berbagai temuan tersebut tentunya bukan merupakan indikator yang baik. Dalam negara yang sedang memperdalam kualitas demokrasinya, supremasi sipil atas militer seharusnya terjamin. Mayoritas rakyat juga masih mendukung supremasi sipil hingga saat ini. Survei dari SMRC menunjukkan bahwa mereka yang mendukung supremasi sipil mencapai 71 persen sementara 76 persen responden mendukung bahwa TNI harus di bawah komando dan kontrol kepala negara atau presiden yang dipilih rakyat (Santika, 2020).  Hal ini tentu menarik sebab di tengah tingginya prestise militer, masyarakat tetap memiliki kesadaran akan pentingnya supremasi sipil. Sayangnya, prestise militer tersebut juga menjadi faktor yang membuat masyarakat tidak terlalu vokal dalam menyuarakan semangat supremasi sipil. 

Lemahnya supremasi sipil juga masih tampak pada keambiguan hubungan antara Kementerian Pertahanan dan TNI. Peran TNI sebenarnya hanya merupakan pelaksana kebijakan politik di bidang pertahanan. Ada tiga upaya yang saya sarankan untuk memperkuat supremasi sipil. Pertama, basis kekuatan ekonomi militer perlu dipreteli. Berdasarkan tesis yang diajukan oleh Robison, kekuatan ekonomi militer bukan bersumber dari kepemilikan modal, melainkan dari kemampuan birokrasinya untuk melakukan penetrasi ke dalam berbagai sektor ekonomi. Oleh karena itu, regulasi terkait kewenangan militer perlu dibatasi supaya kewenangan militer hanya berfokus di sektor pertahanan semata. Selain pembatasan regulasi, penguatan kontrol publik terhadap kewenangan militer juga perlu diperkuat. 

Kedua, peran masyarakat sipil dan rakyat secara luas dalam mengontrol militer perlu diperkuat. Hal ini menjadi penting, sebab ada kalanya negara tidak mampu memegang kontrol terhadap militer dan justru saling berkoalisi. Masalahnya, gerakan sosial sering kali tidak mampu berhadapan dengan kekuatan militer. Ketidakmampuan ini disebabkan oleh posisi militer sebagai repressive state apparatuses yang memungkinkan mereka untuk mengakses segudang persenjataan guna merepresi aktivis gerakan sosial. Oleh karena itu, kewenangan militer dalam memonopoli persenjataan harus diperlemah. Sebuah inisiatif untuk mengonsolidasikan gerakan-gerakan atau komunitas yang berfokus untuk menegakkan supremasi sipil di bawah satu payung organisasi yang sama sangatlah diperlukan. Penegakkan supremasi sipil harus menjadi tuntutan utama yang diperjuangkan oleh organisasi tersebut. Sebab, selama ini, isu supremasi sipil hanya menjadi tuntutan subsidier yang diperjuangkan oleh gerakan sosial arus utama, di samping penegakkan demokrasi sebagai tuntutan utama.

Ketiga, pembentukan model alternatif relasi sipil-militer di Indonesia. Gagasan ini mungkin bisa dibilang baru dan kontroversial, tetapi bukannya tidak mungkin.  Salah satu model alternatif relasi sipil-militer yang dapat diterapkan adalah dengan cara membentuk universal army sebagaimana yang digagas oleh Fredric Jameson (2016). Dalam menggagas universal army, Jameson bertolak dari konsep dual power atau kekuasaan ganda. Konsep tersebut menekankan bahwasannya, di samping kekuatan koersif negara, ada entitas non-negara, yang dimotori oleh rakyat pekerja, yang mampu memiliki kekuatan setara negara. Artinya, entitas ini mampu menjadi institusi pemerintahan alternatif yang mampu mengimbangi dan mengontrol negara.

Supaya mampu menandingi kekuatan negara, entitas ini harus memenuhi beberapa syarat. Pertama, adanya konflik yang memunculkan kondisi krisis di negara tersebut. Kondisi krisis ini akan memunculkan ketidakpercayaan warga negara terhadap institusi negara. Situasi ini memberikan ruang gerak kepada entitas non-negara untuk membangun kekuatan. Kedua, guna membangun kekuatan yang mampu menandingi negara, entitas non-negara tersebut harus mampu merespons kebutuhan-kebutuhan vital dan mendesak bagi warga negara di tengah kondisi krisis. Ketidakpercayaan wagra negara terhadap institusi negara yang dibarengi dengan kemampuan entitas non-negara untuk merespons kebutuhan warga negara krisis membuat legitimasi negara terkikis dan kekuasaan pun berpindah dari negara ke entitas non-negara. Contoh dari dual power ini dapat dilihat dari beberapa peristiwa historis, seperti dual power antara negara dan gereja pada abad pertengahan di Eropa, 

Dalam konteks dual power, Jameson menekankan bahwa apabila ingin diterapkan sebagai model militer alternatif, universal army harus mampu menawarkan sebuah fungsi yang berbeda dari militer konvensional. Dengan bertolak dari asumsi bahwa militer konvensional berfungsi sebagai repressive state apparatuses, Jameson berargumen bahwa militer konvensional erat kaitannya dengan penggunaan kekerasan secara berlebihan. Oleh karena itu, universal army harus mampu meminimalisir penggunaan kekerasan dan berfokus untuk merespons kebutuhan-kebutuhan mendasar warga negara. Selain itu, fokus universal army untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasar warga negara menjadikannya bukan sekadar entitas militer profesional, melainkan juga kekuatan sosioekonomi yang kuat, yang mampu mengikis kekuatan ekonomi militer konevensional. Dengan adanya kondisi seperti ini, slogan supremasi sipil semu seperti “Bersama Rakyat TNI Kuat!” mampu didelegimitasi. 

Lebih lanjut, Jameson juga menjelaskan bahwa universal army mampu dibentuk oleh masyarakat dari berbagai latar belakang sekaligus. Oleh karena itu, dalam konsepsi idealnya, universal army memungkinkan seluruh warga negara menikmati wewenang untuk melakukan monopoly and exercise of violence atau monopoli kekerasan sebagaimana diimajinasikan oleh Max Weber secara terukur dan demokratis, yang tidak dimonopoli oleh kekuatan militer konvensional nan konservatif. 

Dengan demikian, militer, baik sebagai kekuatan represif maupun ekonomi, mampu didelegitimasi kekuatannya, demi terwujudnya supremasi sipil dan demokrasi rakyat pekerja yang kita impikan.*** 


Kepustakaan

Abdulsalam, H. (2017). Kemenangan dan Kekalahan Supremasi Sipil. Tirto.id. https://tirto.id/kemenangan-dan-kekalahan-supremasi-sipil-cxWa

Basri, M. C. (1994). Catatan dari Pergulatan Kebijakan Ekonomi di Indonesia: Sebuah Upaya Merambah Pemikiran Richard Robison. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 42(3). https://www.lpem.org/repec/lpe/efijnl/199410.pdf

Budiardjo, M. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama.

CNN Indonesia. (2020). Jokowi Didesak Cabut Peraturan soal Polisi di Jabatan Sipil. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200701143913-32-519561/jokowi-didesak-cabut-peraturan-soal-polisi-di-jabatan-sipil

Crouch, H. (1985). Indonesia. In Z. H. Ahmad (Ed.), Military-Civil Relations in Southeast Asia. Oxford University Press. https://books.google.co.id/books?id=xoBuAAAAMAAJ&redir_esc=y

Crouch, H. (1999). Militer dan Politik di Indonesia. Sinar Harapan.

Dhae, A. (2019). Pengamat: Masyarakat Khawatir Kembalinya Dwifungsi TNI. Media Indonesia. https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/219282/pengamat-masyarakat-khawatir-kembalinya-dwifungsi-tni

Diprose, R., McRae, D., & Hadiz, V. R. (2019). Two Decades of Reformasi in Indonesia: Its Illiberal Turn. Journal of Contemporary Asia, 49(5), 691-712. https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/00472336.2019.1637922

Fachriansyah, R. (2020). Suspicious Side Gig: Nearly 400 State Officials Have Concurrent Roles at State Firms. The Jakarta Post. https://www.thejakartapost.com/news/2020/06/29/suspicious-side-gig-nearly-400-state-officials-have-concurrent-roles-at-state-firms.html

Finer, S. E. (1962). The Man on Horseback: The Role of the Military in Politic. Pall Mall Press. https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0095327X7400100102

Firmansyah, M. (2020). Tim Advokasi untuk Demokrasi soroti multifungsi Polri. Alinea.id. https://www.alinea.id/nasional/tim-advokasi-untuk-demokrasi-soroti-multifungsi-polri-b1ZQc9vyo

Harisanto, E. S. (1993). The Dual Function of the Indonesian Armed Forces (Dwi Fungsi ABRI) [Naval Postgraduate School]. https://core.ac.uk/download/pdf/36732044.pdf

Husein, D. (2018). Civilian Supremacy. The Nation. https://nation.com.pk/05-Jun-2018/civilian-supremacy

Ibrahim, A. (2009). Guarding the State or Protecting the Economy? The Economic Factors of Pakistan’s Military Coup. Working Paper Series, 09(92). https://www.lse.ac.uk/international-development/Assets/Documents/PDFs/Dissertation/Prizewinning-Dissertations/PWD-2007/WP92.pdf

Jameson, F. (2016). An American Utopia: Dual Power and the Universal Army. Verso. https://thecharnelhouse.org/wp-content/uploads/2017/09/Fredric-Jameson-An-American-Utopia-Dual-Power-and-the-Universal-Army-2016.pdf

Jenkins, D. (1983). The Evolution of Indonesian Army Doctrinal Thinking: The Concept of Dwifungsi. Asian Journal of Social Science, 11(1), 15–30. https://doi.org/10.1163/080382483X00103

Karhin, G. M. (1952). Nationalism and Revolution in Indonesia. Cornell University Press.

Kontras. (2020). Tak Kenal Prioritas, Semua Diterabas Laporan Tahunan Hari Bhayangkara ke-74. https://kontras.org/wp-content/uploads/2020/06/2907_bhayangkara_Final-2.pdf

KontraS. (2020). Catatan 1 Tahun Pemerintahan Joko Widodo – Ma’ruf Amin Resesi Demokrasi. https://kontras.org/wp-content/uploads/2020/10/Final_Catatan_1-Tahun-Jokowi-MA-1.pdf

Lee, T. (2000). The Nature and Future of Civil-Military Relations in Indonesia. Asian Survey, 40(4), 692–706. https://www.jstor.org/stable/3021189?seq=1

Lev, D. S. (2009). The Transition to Guided Democracy : Indonesian Politics 1957-1959. Equinox Publishing (Asia). https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=467933#

Muhaimin, Y. (1998). ABRI dan Demokratisasi di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 1(3). https://jurnal.ugm.ac.id/jsp/article/view/11166

Nasution, A. H. (1966). Sedjarah Perdjuangan Nasional di Bidang Bersenjata.

Nugroho, A. C. (2020). Masih Jadi Idaman Untuk Berkarier Setelah Lulus Sekolah, Ternyata Ini Kisaran Gaji Prajurit TNI dari Tamtama Hingga Jenderal! Sosok.id. https://sosok.grid.id/read/412210064/masih-jadi-idaman-untuk-berkarier-setelah-lulus-sekolah-ternyata-ini-kisaran-gaji-prajurit-tni-dari-tamtama-hingga-jenderal?page=all

Raditya, I. N. (2018). HUT TNI dan Kelahirannya yang Sempat Tak Direstui. Tirto.id. https://tirto.id/hut-tni-dan-kelahirannya-yang-sempat-tak-direstui-cxQd

Ricklefs, M. C. (2001). A History of Modern Indonesia since c. 1300. PALGRAVE. https://doi.org/10.1007/978-1-349-22700-6

Rinakit, S. (2005). The Indonesian Military after The New Order. Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). https://www.diva-portal.org/smash/get/diva2:789515/FULLTEXT01.pdf

Robison, R. (2009). Indonesia: The Rise of Capital. Equinox Publishing.

Santika, E. F. (2020). Mayoritas Warga Dukung Supremasi Sipil Daripada Militer. Gatra.com. https://www.gatra.com/detail/news/488275/politik/mayoritas-warga-dukung-supremasi-sipil-daripada-militer

SETARA Institute. (2019). Jalan Sunyi Reformasi TNI. SETARA Institute. https://setara-institute.org/jalan-sunyi-reformasi-tni/

Setiawan, R. (2020). Survei SMRC: 43 Persen Responden Takut Bicara Politik Pasca 22 Mei. Tirto.id. https://tirto.id/survei-smrc-43-persen-responden-takut-bicara-politik-pasca-22-mei-ecue

Sinambela, & Poltak, L. (2006). Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan, dan Implementasi. Bumi Aksara.

Sujito, A. (2002). Gerakan Demiliterisasi di Era Transisi Demokrasi :Peta Masalah dan Pemanfaatan Peluang. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 6(1), 121–138.

Sulu, P. manuel. (2011). Permesta Dalam Romantika, Kemelut Dan Misteri (1 ed.). Gramedia Pustaka Utama.

Sundhaussen, U. (1982). The Road to Power: Indonesian Military Politics 1945-1967. Oxford University Press. https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=414747

Widoyoko, J. D. (2016). Menimbang Peluang Jokowi Memberantas Korupsi : Catatan untuk Gerakan Anti Korupsi. Integritas: Jurnal Antikorupsi, 2(1), 269–297. https://jurnal.kpk.go.id/index.php/integritas/article/download/134/32

Winarno, B. (2007). Sistem Politik Indonesia Era Reformasi (W. Afiyanti (ed.)). Media Pressindo. https://books.google.co.id/books?id=BRVTbWr6wFQC&printsec=copyright&hl=id#v=onepage&q&f=false

Yudiatmaja, W. E. (2015). Politisasi Birokrasi: Pola Hubungan Politik dan Birokrasi di Indonesia. Jurnal Ilmu Administrasi Negara, 3(1), 10–28.


Bangkit Adhi Wiguna, Mahasiswa Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada.


IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.