Daftar Isi Edisi Ini:
- Beberapa Catatan untuk PULANG
- Saduran Puisi-Puisi Marx
- Komodifikasi Cinta
- Marx-Engels: Tentang Produksi Artistik dan Realisme
Tahun 1927, sutradara Rusia Sergei Eisenstein mencetuskan ide yang ambisiusnya keterlaluan: memfilmkan Das Kapital. Sangat lazim jika sebuah novel diadaptasi ke dalam film–tapi Kapital? Tentu pertanyaan yang lumrah adalah, “Bukankah Kapital adalah analisis tentang moda produksi kapitalis alih-alih sastra?” atau, “Kira-kira bagaimana bentuknya? Fiksi atau dokumenter?” Eistenstein merencanakannya sebagai fiksi, lengkap dengan rupa-rupa karakter dan sebuah alur yang padu. Konon karena itu pula orang-orang partai bereaksi keras. Namun hingga akhir hayatnya pun proyek tersebut tak pernah terwujud. Sang sutradara sibuk dengan sejumlah produksi film lainnya. Sekarang, namanya “hanya” diingat publik karena dua film propaganda legendaris, Strike (1924) dan Battleship Potemkin (1925).
Tapi bukan berarti rencana itu tak pernah ia seriusi. Eistenstein sempat berkonsultasi pada penulis James Joyce, yang sempat pula mengajak sang sutradara untuk memfilmkan novelnya, Ulysses (satu proyek lagi yang kedengaran mustahil). Dalam skema kasar Eistenstein, si protagonis “Kapital” haruslah seorang pekerja pabrik beserta seluruh detil kehidupannya dalam rentang waktu satu hari yang kira-kira mampu menggambarkan relasi produksi secara global. Mungkin Eistenstein melihat kemiripan tertentu antara Kapital dan Ulysses. Marx mengawali Kapital dengan deskripsi objek sehari-hari, lalu membongkar kontradiksi-kontradiksi masyarakat yang terinternalisasi dalam objek-objek tersebut. Petualangan karakter Leopold Bloom dalam Ulysses bermula pada suatu hari yang biasa-biasa saja pada tanggal 16 Juni 1906. Sisanya: satu hari jalan-jalan di Dublin dan satu sejarah singkat dunia dalam kepala sang protagonis.
Catatan kasar proyek “Kapital” itu dibuka sang sutradara dengan sederet nama dan posisi: “Judul: Kapital/sutradara: S. Eistenstein/skenario: K. Marx”, dan seterusnya. Barangkali Kapital yang mau diadaptasinya itu bukan cuma seperangkat teori, tapi juga sebuah epos yang ditulis seorang mpu. Bagi Eisenstein, Marx mula-mula adalah seorang penulis.
Demikian edisi Lembar Kebudayaan IndoProgress kali ini memperkenalkan rubrik baru, Kliping. Melalui Kliping, pembaca diajak menelusuri karya Marx yang jarang disentuh orang, yakni puisi. Yovantra Arief menerjemahkan beberapa puisi tersebut dan memberi pengantar yang nakal pada Kliping edisi ini. Lebih jauh, “karir” kepenyairan Marx yang singkat itu ternyata ikut memberi bentuk pada tulisan-tulisannya di kemudian hari.
Marx, si pecandu Shakespeare itu, memang tidak pernah menulis kritik kesenian secara sistematis. Apa yang disebut-sebut sebagai “Kritik Seni Marxis” baru dikembangkan di kemudian hari oleh sederet pemikir, aktivis, dan seniman. Rubrik Teori edisi kedua memuat tulisan Suluh Pamuji, “Marx-Engels: Tentang Produksi Artistik dan Realisme”, yang mengamati lebih jauh bagaimana Marx dan Engels membahas kesenian.
Adapun rubrik Kritik kali ini diisi oleh tulisan Dea Anugrah tentang novel Pulang, karya terbaru Leila S. Chudori. Tak banyak novel seputar peristiwa ’65 yang bergulat dengan tema orang-orang di pengasingan yang ditolak di negeri sendiri. Tulisan Dea membedah bagaimana Leila menghadirkan kembali tokoh-tokoh eksil ini dalam Pulang.
Rubrik Apresiasi menghadirkan dua karya visual masing-masing dari Herpri Kartun dan Metavana. Herpri rupanya menanggapi kasus-kasus korupsi yang akhir-akhir ini anyar terjadi di Indonesia. Evolusi manusia dalam gambaran Herpri akan berakhir sebagai seekor tikus. Metavana dalam “Komodifikasi Cinta” sepertinya coba melihat televisi sebagai jantung masyarakat saat ini; memompa darah-darah yang hitam menuju tubuh kebudayaan. Selebihnya untuk rubrik Apresiasi, silahkan pembaca mencernanya sendiri.
Akhirnya, sampailah edisi kedua Lembar Kebudayaan ini ke hadirin pembaca. Selamat menikmati!