Tanggapan atas kritik tentang Opera “Tan Malaka“
1. KRITIK ini mungkin keras, mungkin cerdas, tapi memakai pendekatan konvensional seorang ideolog. Dalam pandangan kritik ini, teater adalah sebuah pertunjukan hagiografis: Tan Malaka harus tampil sebagai sosok yang koheren, padu, serba benar, tanpa kontradiksi.– dan sehubungan itu, penulis kritik ini menganggap teater tak bisa mengandung benturan dalam statemen-statemennya sendiri.
Dalam lakon saya, kontradiksi (‘dialektik’) berkecamuk, antara tokoh dan narrator, antara pernyataan si tokoh dan narrator sendiri, antara dua sosok itu dengan kur – dan dengan itulah sebuah teater berproses. Teater adalah sebuah peristiwa yang tak selesai hanya di panggung. Andaikata saya mau menulis sebuah hagiografi yang hanya ingin memuja seorang tokoh, saya tak akan menuliskannya dalam bentuk teater.
2. Aneh jika absennya Tan Malaka dikaitkan dengan teori Lefort. Bagi saya absennya Tan Malaka justru untuk menunjukkan bahwa Revolusi bukan pekerjaan satu orang, bahwa emansipasi adalah rangkaian panjang orang-orang tak bernama (katakanlah ‘massa’) yang menafsirkan secara kreatif cita-cita Revolusi, dan selamanya baru. Tan Malaka tak hadir, karena ia tak bisa dijadikan berhala yang itu-itu saja.
3. Saya katakan tadi, kritik ini memakai pendekatan konvensioal seorang ideolog. Seorang ideolog bertolak dari dalilnya sendiri, dengan jargon-jargonnya sendiri, (‘kelas’, dst.), dengan label-label (‘humanisme universil’, dst) yang tak pernah dipersoalkan lagi.
4. Seorang ideolog yang menilai karya seni kurang-lebih sama dengan seorang fuquha yang menilai karya seni: yang hendak ditemukan adalah apakah karya ini cocok dengan dalil atau tidak, murtad atau tidak, mengandung unsur kafir atau murni beriman.
Jenis ideolog itu banyak ditemukan dalam zaman “realisme-sosialis” ala Zhdanov di masa Stalin. Saya sulit untuk cocok dengan itu.***