Kredit foto: ANTARA News Aceh – Antaranews.com
TELINGA kita pasti sudah akrab dengan adagium “tubuh perempuan adalah pasar”. Maksudnya, dari ujung rambut sampai ujung kaki perempuan itu bernilai komoditi bagi produksi barang konsumsi. Rambut perempuan menjadi sasaran produksi sampoo, bibir perempuan menjadi sasaran produksi lipstik, wajah perempuan menjadi sasaran produksi bedak, kulit perempuan mejadi sasaran body lotion dan aneka krem lainnya. Tubuh laki-laki pun dalam perkembangannya kini telah menjadi pasar konsumsi, tetapi tidak semasif perempuan. Pendeknya “tubuh adalah pasar” telah memacu proses produksi berlangsung langgeng hingga akumulasi kapital tetap berjalan. Fenomena ini sudah berlangsung sejak abad ke-18 dan sampai sekarang tak berubah.
Setidaknya 20 tahun terakhir ini, melalui berbagai peristiwa di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, telah muncul adagium “the God market”. Harap tak terburu murka ketika kata “Tuhan” disebut berdampingan dengan istilah “pasar”, dan bukan tempat ibadah. Istilah ini saya pinjam dari Meera Nanda, seorang feminis India yang menekuni filsafat ilmu dan sejarah. Apa yang dijelaskan Nanda dalam karyanya The God Market (2011)[1] mengenai globalisasi dan bangkitnya Hinduisme –Hindu yang konservatif—memiliki pola cerita yang sama dengan apa yang sedang terjadi di Indonesia.
Pada hemat saya, globalisasi itu menciptakan hubungan yang aneh antara “tubuh perempuan sebagai pasar” dan “pasar Tuhan” melalui segala atribut seperti pakaian, bahasa, mitos di sekitar proses reproduksi sosial dan perkawinan, acara keagamaan, ziarah keagamaan. Pakaian untuk perempuan dalam tradisi Arab yang menutup kepala, wajah dan seluruh tubuh, kini telah menjadi pakaian global perempuan muslim yang diembel-embeli dengan kata syar’i –berbau “Tuhan”. Belanja madu atau lainnya untuk keperluan tubuh sehat bagi anggota keluarga pun mencari merk yang berlabel “Tuhan”, termasuk dalam hal menyimpan uang di bank. Kesediaan perempuan untuk dipoligini (poligami) dan beranak banyak ditempeli dengan label “Tuhan”. Tuhan telah menjadi label pasar, artinya segala produk yang diberi aroma “Tuhan” telah menjadi pilihan konsumsi bagi konsumen kelas menengah yang sedang gandrung pada “Tuhan”. Gandrung religiositas.
Kiranya fenomena antara tubuh perempuan dan “Tuhan” di arena pasar terjadi melalui proses sejarah kapitalisme yang pada akhir abad 20 disebut neoliberalisme. Ini pun aneh. Menguatnya neoliberalisme dan globalisasi telah mendorong bandul dunia bergerak ke kanan –konservatisme agama— meski hal itu tidak berlangsung secara hitam putih dan general. Namun, kita akui bahwa dalam pemilu di sejumlah negara maju maupun berkembang telah dimenangkan oleh kelompok konservatif agama ini.
Membawa “Tuhan” ke Pasar Global
Mungkin pembaca sudah sangat paham tentang globalisasi dan neoliberalisme. Namun, saya tetap akan mencuplikkan uraian Nanda mengenai dua istilah itu sebelum beragumen tentang “pasar Tuhan”.
“Kita hidup di dunia yang telah terglobalisasi, dan kita telah membicarakannya berulang kali”, tulis Meera Nanda. Berulang-ulang kita membincang globalisasi seperti merapal mantra, tetapi sungguh globalisasi bukan mantra. Globalisasi hidup sebagai logika ekonomi dan teknologi yang telah merasuk ke dalam kehidupan semua lapis masyarakat tanpa memilih kelas. Nanda memberi contoh tentang ‘nasib’ seorang lelaki tua, penulis surat profesional yang kehilangan mata pencahariannya karena ponsel. Sepanjang hidupnya, lelaki ini mencari nafkah dengan duduk di luar kantor pos utama Mumbai, menuliskan surat untuk pelanggannya yang buta huruf dengan imbalan upah. Namun, dengan hadirnya ponsel, layanannya ditinggalkan pelanggannya, karena orang tak perlu lagi menulis surat untuk berkomunikasi dengan kerabat dan handai taulannya. Lelaki tua itu pun kehilangan pekerjaannya. Meski revolusi teknologi telah membuatnya menganggur, revolusi itu pula yang mendorong keluarganya naik ke jajaran kelas menengah. Tiga dari empat anaknya bekerja di sektor teknologi informasi yang sedang booming di India. Ketika lelaki tua itu diwawanara oleh The New York Times pada 2007, seorang putrinya sedang berdinas di New Jersey, AS, untuk perusahaan perangkat lunak Infosys yang terkemuka di India.[2]
Nanda menyuplik pernyataan Anthony Giddens mengenai globalisasi. Menurut Giddens, globalisasi adalah intensifikasi hubungan sosial di seluruh dunia yang menghubungkan daerah yang jauh sedemikian rupa sehingga kejadian lokal dibentuk oleh peristiwa yang terjadi bermil-mil jauhnya dan sebaliknya. Definisi itu diperkuat oleh Ulrick Beck bahwa globalitas berarti: di planet kita ini tak ada kejadian yang disebut peristiwa lokal terbatas. Semua kejadian berupa penemuan, kemenangan, dan malapetaka di suatu lokal akan begitu cepat menyebar ke seluruh dunia. Kita harus mengubah orientasi dan mengatur kembali kehidupan, tindakan, organisasi, dan lembaga-lembaga di sepanjang poros lokal-global.[3]
Globalisasi mempunyai hubungan dengan neoliberalisme dan seringkali diserupakan, tetapi sesungguhnya berbeda. Kata neoliberal adalah singkatan dari ‘liberalisme neo-klasik’, sebuah tradisi pemikiran ekonomi abad ke-18 yang berasal dari John Locke (1632-1704), Adam Smith (1723–90), dan David Ricardo (1772–1823). Neoliberalisme dibangun di atas prinsip laissez-faire (bahasa Prancis: “’biarkan orang melakukan apa yang mereka pilih”) dalam prinsip ekonomi liberalisme klasik yang meyakinkan bahwa kekuatan pasar yang tidak dibatasi oleh negara secara alami akan membawa kemakmuran dan kedamaian bagi masyarakat. Hal ini menuntut deregulasi hambatan nasional untuk perdagangan, yang mereka yakini mengganggu alokasi sumber daya yang efisien. Pemikiran neoliberal menggunakan kembali pemikiran pasar bebas abad ke-18, setelah kapitalisme mengalami krisis berkali-kali. Gagasan itu diangkat sebagai kebijakan oleh Margaret Thatcher di Inggris dan Ronald Reagan di AS, dan diikuti oleh semua pemimpin negara di seluruh dunia. Neoliberalisme segera menjadi ideologi dominan bagi lembaga-lembaga ekonomi global seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (WB). Kedua lembaga dana itu bagai misionaris yang menyebarkan agama ke negara-negara berkembang sehingga menjadi global. Ketika neoliberalisme mencabut batas-batas teritorial negara-bangsa dalam semangat globalisasi, dunia menjadi flat, rata dan datar.[4]
Neoliberalisme mengubah tekstur demokrasi. Pemerintah menjadi lebih seperti korporasi nirlaba, sementara warga menjadi lebih seperti konsumen. Hubungan keduanya berubah dari warga negara menjadi klien atau konsumen layanan pemerintah. Sebagai konsumen, warga negara boleh menuntut layanan yang baik dan efisien, tetapi mereka tidak boleh banyak bicara tentang layanan apa yang harus diprioritaskan. Kata kunci baru dari pemerintahan neoliberal adalah ‘pemberdayaan’ melalui ‘kemitraan publik-swasta’ untuk ‘memecahkan masalah’ dan membuat ‘pilihan yang lebih baik’. Model hubungan konsumen dan negara inilah yang dipromosikan oleh Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan misionaris agama-agama untuk globalisasi di seluruh dunia.[5]
Nanda berpendapat bahwa masuknya neoliberalisme ke dalam tubuh India sejak dekade 1990-an telah menanggalkan semangat sosialisme yang ditanam oleh Nehru sepanjang 1945-1975). Hawa neoliberalisme menciptakan tumbuhnya kelas menengah baru India berkat pendidikan tingi yang diperolehnya dan ketimpangan sosial yang tajam. Dari sini tumbuh kelompok pendukung neoliberalisme yang disebut Hindutva-neoliberal, yang mempunyai padanan dengan theocon (theocracy-conservatism) di AS. Theocon di AS, seperti halnya Hindutva-neoliberal berpendapat bahwa sekularisme telah membawa kehancuran budaya. George W. Bush dengan sepenuh iman mempercayai bahwa iman Kristen adalah prasyarat berfungsinya pasar bebas neoliberalis, persisnya prasyarat bagi Amerika. Begitu pula di India, Subramanian Swamy, seorang tokoh Hindutva berpendapat bawah iman Hindu sebagai prasyarat bagi India dan prasyarat untuk berfungsinya kapitalisme di India. Swamy berjanji bahwa India akan menjadi negara adikuasa global pada tahun 2025 asalkan orang India mengembangkan kemauan politik untuk membongkar semua aspek sosialisme dan sekularisme Nehru. Swamy telah melontarkan gagasan perkawinan Hindu dan nilai laissez-faire dalam kapitalisme sejak 1970-an. Dulu gagasannya itu ditertawakan –ketika kiri Nehru masih kuat—tetapi sekarang gagasannya menjadi candu bagi kelas menengah baru.[6]
Meski tidak sama persis, globalisasi theocon juga merayap ke Indonesia. Penghancuran sosialisme dan sekularisme pada masa Soekarno telah membuka pintu bagi kapitalisme untuk masuk ke dalam kebijakan negara sejak Orde Baru. Meski Soeharto bukan penganut theocon, tetapi perkembangan neoliberalisme dan globalisasi menumbuhkan kelompok theocon yangberupaya memurnikan Islam —sebagaimana jargon pemurnian Kristen di AS dan pemurnian Hindu di India– yang menurut beberapa sumber ditandai sejak dekade 1980-an. Theocon Islam di Indonesia dibentuk sejak dari kampus dan kota besar, lalu kini mereka menguasai birokrasi negara, perguruan tinggi, dunia hiburan dan secara umum kelas menengah baru di Indonesia. Namun, berbeda dengan theocon India maupun di AS, theocon di Indonesia tidak tegas menyatakan perkawinan Islam dan kapitalisme adalah prasyarat Indonesia, sebaliknya ada faksi yang mengutuk kapitalisme dan hendak menggantikan dengan ekonomi Islam dan negara khilafah. Meski tak persis serupa, theocon di Indonesia tumbuh dalam pengaruh globalisasi, dan dalam semangat menanggalkan batas-batas negara-bangsa.
Membawa Tubuh Perempuan Ke Pasar “Tuhan”
Theocon di Indonesia telah membawa tubuh perempuan ke pasar “Tuhan”. Ciri ini membedakan dengan proses theocon di India maupun Amerika. Sebenarnya, tubuh perempuan sebagai pasar telah menjadi fakta empiris yang bertumbuh sejak abad ke-19 melalui produk sabun (baik sabun cuci alat dapur maupun cuci tubuh) atas nama ‘revolusi kebersihan’. Tubuh perempuan secara spesifik memiliki nilai komoditas konsumsi, dan tubuh itu dijadikan sarana pembentukan peradaban –merujuk pada pernyataan Norbert Ellias dan Pierre Bordieau. Sebagai contoh, iklan sabun mandi pada abad ke-19 ditujukan untuk perempuan agar tubuhnya bersih dan wangi. Bersih dan wangi adalah ciri peradaban di Eropa pada masa itu. Hal demikian setara dengan penggunaan tubuh perempuan untuk membangun politik identitas dan budaya tertentu. Pengalaman kita di Indonesia dewasa ini yang signifikan adalah penggunaan tubuh perempuan kelas menengah sebagai strategi hegemonik theocon Islam-Indonesia.
Tubuh perempuan kelas menengah itu mulanya ditutup oleh jilbab dan kini semakin rapat dengan cadar (niqab) dan burqa dalam warna cenderung serba hitam sebagaimana di Arab dan Afghanistan. Kiranya dengan menggunakan label “Tuhan”, busana syar’i itu mempunyai pertautan yang erat dengan pasar dan industri fashion. Anda dapat membeli burqa di Pasar Tanah Abang sampai online shopping seperti Tokopedia. Bahkan perempuan kelas menengah Malaysia sampai belanja pakaian syar’i ke pasar Tanah Abang. Melalui ponsel akses tubuh perempuan ke “pasar Tuhan” tak punya batas jarak dan waktu. Pendeknya, bisnis global yang disebut pakaian syar’i berkembang pesat, termasuk sampoo khusus perempuan berhijab, salon, dan lainnya.
Pasar pakaian syar’i dan konsumennya berkembang pesat atas nama “Tuhan”. Tubuh-tubuh perempuan telah dibawa ke “pasar Tuhan”, dan “pasar Tuhan” berkembang pesat melayani tubuh perempuan. Pada mulanya konsumen “pasar Tuhan” itu bukan perempuan kelas pekerja, melainkan berasal dari kelas menengah baru yang berpendidikan tinggi atau menjadi artis berkat neoliberalisme. Religiositas perempuan kelas menengah –dengan penanda jilbab/niqab/burqa-dijadikan role model bagi perempuan kelas pekerja, dan alhasil perempuan kelas pekerja dengan sukarela merujuk pada mereka yang dianggapnya sebagai barometer religiositas.
Indonesia saat ini dipenuhi oleh ribuan perempuan kelas menengah yang berpendidikan tinggi dan berpartisipasi dalam jaringan global ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, sebagian dari perempuan kelas menengah ini percaya pada makna kesalehan perempuan, yaitu pendisiplinan perempuan melalui “pasar Tuhan”. Kesalehan perempuan melekat pada busananya, kepatuhan dalam perkawinan dan pemroduksi anak. Maka tak heran jika muncul penolakan ibu rumah tangga terhadap penggunaan vaksin bagi anak-anak dan penolakan terhadap keluarga berencana. Mereka pun menerima poligami (lebih tepatnya poligini) dan perkawian dini sebagai wujud religiositas. Inilah ledakan religiositas yang disebut H. Neill MacFarland pada 1967 dengan istilah “jam Tuhan menjadi sibuk” untuk menanggapi kebutuhan kebutuhan sosial-psikologis baru yang diciptakan neoliberalisme dan globalisasi. Neoliberalisme dan globalisasi yang bergerak cepat dalam menuntut perempuan sebagai tenaga kerja sekaligus konsumen, lantas menciptakan perempuan kelas menengah ini dalam kondisi alienasi. Mereka mengalami alienasi karena aktivitas produksi dan reproduksi sosial terpisahkan, pun dalam hidup sebagai masyarakat global yang terfragmentasi.
Kondisi alienasi yang dihadapi perempuan kelas menengah itu segera difasilitasi oleh gerakan politik theocon. Mereka gunakan tubuh perempuan kelas menengah sebagai alat kampanye untuk melawan sekularisme. Kampanye tentang perkawinan dini, poligini (poligami), melahirkan anak banyak merupakan counter terhadap kampanye anti-perkawinan dini, anti-poligini, dan keluarga berencana. Kelompok feminis pengusung isu-isu tersebut dituduh sebagai agen sekuler yang membawa budaya kehancuran keluarga dan lalu diperhadapkan dengan ledakan religiositas kelas menengah perempuan yang menamakan diri “Indonesia Tanpa Feminis”. Cara pandang anti-sekularisme ini mirip dengan theocon di AS.
Namun, tubuh perempuan kelas menengah –yang diikuti kelas pekerja— yang menjadi sarana penggunaan busana identitas, sarana poligami, sarana perkawinan dini dan pemroduksi anak, terkoneksi dengan pasar global sebagai konsumen. Pengguna busana syar’i adalah konsumen tekstil yang cukup besar karena bahan busana yang diperlukannya. Para perempuan dipoligini guna melahirkan anak-anak sebagaimana yang mereka butuhkan untuk regenerasi religiositas dan hal itu berkorelasi untuk regenerasi konsumen. Perempuan yang didorong untuk kawin muda dimobilisasi untuk mempersiapkan renegerasi tenaga kerja baru. Pasar bebas membutuhkan perluasan dan percepatan regenerasi konsumen dan tenaga kerja.
Pendeknya ledakan religiositas juga membawa pertumbuhan bisnis ziarah keagamaan terutama ke Arab Saudi, aktivitas keagamaan (acara-acara pengajian yang menumbuhkan mata rantai bisnis), dan tubuh perempuan menjadi rantai pasok terdepan “pasar Tuhan”.
“Pasar Tuhan” Dalam Pemilu
Berbeda dengan theocon di India yang melahirkan nasionalisme Hindu sempit, di Indonesia yang tumbuh adalah chauvinisme kelompok yang berorientasi pada khilafah (non-negara bangsa). Serupa dengan di India, theocon di Indonesia menciptakan jurang pemisah antara kelompok mereka dengan non-Islam, bahkan dengan masyarakat Islam yang berbeda dengan mereka. Pertumbuhan mereka menguat karena kemitraannya dengan partai politik, lembaga agama dan lembaga bisnis. Pada saat kampanye pilpres 2019, aktivitas mereka melalui media sosial semakin menciptakan kondisi material dan ideologis bagi ledakan religiositas perempuan kelas menengah. Hal itu terlihat dari besarnya jumlah perempuan kelas menengeh dalam pelbagai aktivitas kampanye yang dimobilisasi gerakan theocon ini.
Cukup aneh bagi perempuan kelas menengah yang berpartisipasi dalam kontestasi calon anggota legislatif (caleg) maupun pilkada, segera mengubah tubuhnya menjadi syar’i melalui busana. Arena pemilu telah menjadi “pasar Tuhan” dan mereka memperebutkan konsumen kelas pekerja yang telah terpapar oleh ledakan religiositas yang mereka bawa sendiri.
Trend “pasar Tuhan” ini menjadi tantangan bagi gerakan kiri di Indonesia, karena mereka tumbuh dengan menanggalkan (menghancurkan) kekuatan sosialis dan melekat pada neoliberalisme dan globalisasi. Tampaknya theocon memperkuat diri dalam arena pasar bebas pemilu, sementara kekuatan kiri belum memiliki sarana untuk mengikuti pemilu. Kesenjangan ini harus dipecahkan dalam strategi yang sesuai dengan situasi abad ke-21 dan bukan pada abad ke-19 atau awal abad ke-20.
Di sisi lain, muncul gerakan untuk “kembali ke busana nusantara” sebagai upaya menghadang theocon melalui tubuh perempuan. Menurut hemat saya, yang terjadi adalah perang fashion antara “pasar Tuhan” dan “pasar tradisi” melalui tubuh perempuan. Tak ada yang buruk dengan busana yang mengetengahkan kain-kain nusantara, tetapi masalah ini bukan sekedar fashion.***
—————
[1] Meera Nanda, The God Market: How Globalization is Making India More Hindu, (London: Random House Group Limited, 2011)
[2] Nanda, The God Market, 5
[3] Nanda, The God Market, 8
[4] Nanda, The God Market, 16-17
[5] Nanda, The God Market, 24
[6] Nanda, The God Market, 99