Kredit ilustrasi: Facebook
DALAM Al-Qur’an Surah Al-Baqarah: 30-33, Allah berfirman, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Apakah Engkau hendak menjadikan di bumi itu siapa yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku me-ngetahui apa yang tidak Engkau ketahui.” Dia mengajar kepada Adam nama-nama seluruhnya, kemudian memaparkannya kepada para malaikat, lalu berfirman: “Sebutkanlah kepadaKu nama-nama benda itu, jika kamu ‘orang-orang’ yang benar.” Mereka berkata: “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini!” Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Aku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan kamu sembunyikan?”
***
Ayat tersebut memberikan refleksi tentang satu cerita yang populer di kalangan umat Islam. Suatu ketika, Allah men-tanfidz-kan Nabi Adam sebagai Khalifatullah fil ardli –kira-kira berarti “penanggung jawabdi muka bumi”— kepada para malaikat. Tentu malaikat sedikit komplain: bagaimana mungkin makhluk yang banyak berbuat kerusakan ini kemudian bisa mendapatkan ganjaran sebagai khalifah? Tapi Allah memberikan satu anugerah yang lain terkait hal ini: pengetahuan, yang memungkinkan manusia untuk bisa menjalankan tugasnya sebagai khalifah. Allah memberikan tes sederhana: menyebutkan nama-nama benda yang ada di bumi, sebagai pertanda mengenai pengetahuan manusia yang (mungkin) bisa digunakan untuk mengelola bumi.
Menurut Syaikh Mustafa Al-Maraghi, sebagaimana dikutip oleh Wahib Mu’thi dalam artikelnya, Khalifah berarti pengganti, yaitu pengganti dari jenis makhluk yang lain, atau pengganti, dalam arti makhluk yang diberi wewenang oleh Allah agar melaksanakan perintahNya di muka bumi. Artinya, “khalifah” berarti bertanggung jawab dari semua makhluk di muka bumi untuk mengelola semua ciptaan Allah yang ada di muka bumi, baik yang hidup maupun yang mati.
Mengapa manusia –dan bukan yang lain—yang diberi kepercayaan? Ayat tersebut menggariskan dua hal penting: pengetahuan untuk ‘mengelola’ bumi dan seisinya, serta (melalui pengetahuan itu) kemampuan untuk menghindari pertumpahan darah dan kerusakan.
***
Istilah Khilafah kemudian mengalami perluasan makna untuk menyebut ‘pemimpin’. Secara spesifik, ia tidak lagi ditujukan pada manusia secara umumnya, tetapi secara lebih khusus ditujukan pada orang-orang yang mendapatkan kekuasaan. Selepas Nabi Muhammad wafat, istilah Khalifah menjadi lebih spesifik lagi, yaitu ‘pemimpin umat Islam’ dari masa Khulafaurrasyidin hingga khilafah Umayyah, dan Abbasiyah.
Rekan-rekan Hizbut Tahrir, juga Daesh, kemudian menggaungkan jargon ini untuk proyek politik mereka di abad ke-21, yaitu mengembalikan kekuasaan ‘Islam’ di muka bumi, yang konon sudah tercerabut karena hegemoni sekularisme Barat sejak awal abad ke-20.
Tulisan ini tidak membahas aspirasi tersebut. Tapi jika kita lihat konteks ayat tersebut, juga konteks ayat-ayat lain, sesungguhnya ide tentang “Khilafah” bermakna jauh lebih luas: Khilafah juga bermakna tanggung jawab untuk mengayomi semua yang berada dalam jangkauan kekuasaan seorang makhluk. Sebagai khalifatullah fil ‘ardli, “pengganti” Allah di muka bumi, ada tanggung jawab yang melekat pada manusia untuk menjaga seluruh isi muka bumi dari kerusakan dan pertumpahan darah.
Ayat-ayat lain menegaskan tanggung jawab manusia sebagai khalifah ini untuk menjaga bumi dari kerusakan. Di Surah Al-Baqarah ayat 60, Allah berfirman, “Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.” Di ayat tersebut, bukan hanya Allah melarang kita untuk berbuat kerusakan di berbagai belahan bumi (dengan teknologi perang yang tidak bernafas etis, misalnya), tetapi juga menegaskan dua ruang yang harus dijaga karena berdampak pada orang banyak: tempat untuk makan dan minum (atau, jika kita bawa dalam konteks yang luas, kita mungkin bisa menyebutnya sebagai “alat produksi”).
Dalam Al-Qur’an Surah Al-An’am ayat 165, Allah juga berfirman, “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Kesemua ayat tersebut menandaskan tugas etis Khalifah, yaitu menjaga pertumpahan darah dan menjaga bumi dari kerusakan.
***
Pada awal tahun ini, anak-anak sekolah di negara-negara Eropa, Australia, dan Amerika Serikat turun ke jalan dalam aksi School Strike for Climate, menuntut agar pemimpin-pemimpin dunia bertindak lebih tegas untuk merespons perubahan iklim. Saya berkesempatan untuk mengikuti aksi yang digelar oleh anak-anak sekolah menengah dan sekolah dasar di Brisbane, yang berisi orasi dan long march menuju gedung parlemen. Awal Februari 2019, Anggota House of Representative Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Alexandria Ocasio-Cortez, merilis rancangan UU yang populer dengan istilah Green New Deal. Dokumen setebal 14 halaman tersebut berisi rasionalisasi 15 kebijakan ramah lingkungan dan percepatan transisi menuju ekonomi yang berkelanjutan, pemenuhan hak-hak dasar warga, konsultasi dengan masyarakat indigenous terkait dengan industri, dan pengurangan emisi.
Gagasan-gagasan serupa juga diperjuangkan oleh beragam lapisan masyarakat di Indonesia. Masyarakat di Pegunungan Kendeng, sudah sejak lama menolak pertambangan salah satu BUMN yang ingin mendirikan pabrik. Di berbagai daerah, kelompok-kelompok masyarakat dan ulama lokal bahu-membahu untuk memperjuangkan hak-hak mereka di tengah industrialisasi yang mengeksploitasi alam. Perjuangan mereka tentu tidak mudah. Di masa dimana orang-orang yang menolak “pertumbuhan ekonomi” terancam nyawanya, aktivitas untuk membela hak-hak warga desa untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dan nyaman justru dihadang oleh represi dari aparat negara.
Saya tidak bertanya lagi, apakah Islam menyuruh kita untuk peduli pada lingkungan. Pandangan Islam terkait hal ini sudah jelas. Nash Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi telah banyak menganjurkan kita untuk peduli pada kerusakan lingkungan. Ulama-ulama kontemporer juga sudah merumuskan banyak fikih terkait dengan air, penanggulangan bencana, hingga masalah-masalah etika dalam bisnis dan industri.
Tapi, saya kira ada hal lain yang lebih patut kita tanyakan: mengapa agenda-agenda untuk merespons perubahan iklim dan kerusakan lingkungan tidak didorong masuk ke legislasi-legislasi nasional, atau kebijakan yang lebih luas, oleh partai-partai Islam? Mengapa masalah lingkungan minim sekali dibahas ketika kampanye, yang notabene banyak sentimen terkait identitas Umat Islam muncul dalam berbagai narasi? Atau, mengapa banyak negara berpenduduk muslim yang kaya seperti Saudi atau negara-negara Petro-Dollar yang justru tidak banyak mendorong pengelolaan lingkungan yang baik?
Bisa jadi ada satu fakta yang jelas: ada keterputusan antara gagasan tentang Khilafah dan interpretasinya yang lebih luas, sebagaimana saya utarakan di atas, dengan agenda politik umat Islam. Selama ini, agenda politik umat Islam ketika Pemilu diletakkan di atas gagasan kosong: Islam didudukkan tanpa diamalkan ajarannya, tanpa dikontekstualisasikan ajarannya untuk menjawab tantangan zaman, dan tanpa dipahami isi ajarannya. Ketika Pemilu, umat Islam disesatkan oleh ajakan untuk menjaga kepentingan umat Islam tanpa kemudian ada pembahasan kritis tentang seperti apa dan bagaimana Islam diejawantahkan di abad ke-21.
Akibatnya, yang terjadi adalah polarisasi identitas Islam tanpa disertai oleh perdebatan dan diskusi konstruktif tentang bagaimana memahami dan menjalankan ajaran Islam di abad ke-21. Secara lebih spesifik, kita diberikan khutbah tentang pentingnya politik dan menegakkan Khilafah tanpa kemudian melihat bahwa menjadi khilafah di muka bumi berarti juga mencegah pertumpahan darah dan menjaga diri dari berbuat kerusakan.
***
Pada titik inilah, penting untuk memberikan pemahaman yang lebih kritis dan riil tentang ‘khalifah Allah di muka bumi’ pada generasi muda. Kita perlu imajinasi tentang “khilafah” yang lebih progresif, yaitu “khilafah” yang mencegah pertumpahan darah dan kerusakan apapun di muka bumi. Dengan kata lain, kita juga perlu “khilafah” yang menjaga lingkungan, berbuat adil kepada sesama, mengayomi kaum minoritas, dan khilafah yang berorientasi pada perdamaian dan nilai-nilai anti-kekerasan. Artinya, menjadi “khilafah” bukan berarti sekadar institusi abad pertengahan yang dipaksakan untuk berdiri di abad ke-21 dengan senjata, tetapi justru komitmen etis kita sebagai umat Islam untuk mencegah pertumpahan darah esame manusia dan menjaga bumi dan seisinya dari kerusakan.
Dengan cara pandang ini, istilah Khilafah juga perlu diejawantahkan menjadi gerakan politik yang berbeda dengan apa yang dibawa oleh Daesh. Khilafah, dalam konteks ini, secara politis bisa bermakna komitmen pemerintah untuk penurunan suhu 1,5oC, mengurangi emisi, mencegah kenaikan air laut, hingga mendorong hak-hak orang-orang desa yang ingin bertani di tengah-tengah ekspansi perusahaan-perusahaan tambang. Atau, bisa jadi bermakna perbaikan regulasi terkait dengan pemberian izin operasi untuk pertambangan yang semakin hari semakin tidak beraturan.
Menjadi Khalifah Allah di muka bumi di abad ke-21, dengan demikian, menjadi semakin berat. Pada titik inilah kesadaran teologis kita sebagai seorang Muslim juga mesti dibarengi dengan kesadaran lingkungan. Jangan sampai, khutbah-khutbah Jumat kita dipenuhi oleh ajakan untuk tidak memilih pemimpin dengan identitas tertentu, sementara kita lupa bahwa di kabupaten sebelah, udara semakin panas karena truk batubara yang hilir-mudik tanpa memedulikan dampak lingkungan.
Semoga Allah melindungi kita dari berbuat kerusakan di muka bumi.
Afalaa tadzakkaruun?***
Ahmad Rizky Mardhatillah Umaradalah mahasiswa PhD di The University of Queensland – UQ, Australia