Kredit ilustrasi:Kati Lacey
Kalau kamu masih mengira bahwa ilmu-ilmu sosial lebih sederhana dan mudah daripada ilmu-ilmu alam, coba pikir-pikir lagi. Ilmu-ilmu sosial bisa jadi lebih rumit dan sulit daripada yang kamu kira. Melalui tulisan ini, saya berusaha menggambarkan sebentuk kerumitan suatu sains sosial, alih-alih membuka suatu pengantar STS (studi teknologi dan sains). Di akhir, saya akan menawarkan dua atau tiga program STS yang relevan bagi konteks spesifik Indonesia.
PENDIDIKAN dasar saya adalah teknik lingkungan, suatu disiplin keilmuan yang lebih dekat dengan sains dan rekayasa teknik. Kondisi ini adalah salah satu peristiwa lazim di Indonesia: para orang tua, salah satunya orang tua saya, mendorong anak-anaknya masuk kelas IPA saat SMA untuk kemudian berkuliah di jurusan eksakta, sains atau teknik. Saya yang muda, yang bercita-cita belajar filsafat dan sosiologi, mesti tunduk pada tekanan masyarakat di sekitar saya. Walau, selalu saya simpan dan pelihara cita-cita itu.
Selepas lulus kuliah teknik lingkungan, sebagai bagian dari latihan saya menyatakan cita-cita menjadi seorang ilmuwan sosial (sebut saja, seorang etnografer amatir), saya berupaya mengasah salah satu praktik dasar dari ilmu sosial yang biasa disebut “pengamatan turun-tangan” (participant observation). Artinya, kurang lebih, melakukan pengamatan sekaligus ikut serta dalam kehidupan keseharian orang-orang yang diteliti. Sebagai contoh, saya tidak hanya mengamati dan membicarakan apa yang mereka lakukan sehari-hari, tetapi sama pentingnya juga ikut serta dalam beberapa kegiatan mereka: ikut bersih-bersih, memasak, menonton televisi, bermain dengan anak, dan apapun itu yang terjadi dalam rutinitas keseharian mereka.
Selama sekitar satu dasawarsa terakhir, saya telah mengamati, hidup bersama, dan mencatat perilaku keseharian manusia dengan berbagai latar belakang keprofesian: direktur, pegawai negeri sipil, pegawai swasta, aktivis, filsuf, antropolog, sosiolog, arsitek, desainer, seniman, geografer, tukang, pedagang kaki lima, pembantu rumah tangga, dan lain-lain. Separuh dari mereka orang Indonesia yang hidup di Indonesia; separuh lagi dari mereka tinggal di beberapa negara di tiga benua: Asia, Afrika, dan Eropa. Dengan demikian, dapat dikatakan sebaran pengamatan saya cukup menjangkau berbagai bentuk tubuh dan disabilitas, jenis kelamin dan gender, agama dan kepercayaan, tingkat pendidikan, kelas sosioekonomi, bahasa, dan usia.
Tentu, intensitas pengamatan untuk tiap orang yang saya amati tidaklah sama. Tergantung kedekatan (rapport, istilahnya) yang berhasil dibangun dari dua belah atau berbagai belah pihak. Walau, ada pula kebetulan-kebetulan yang mendekatkan seakan-akan secara tidak sengaja; seperti saat terjebak banjir sehingga mesti bermalam, misalkan. Dengan cara-cara yang sedemikian rupa, ada sebagian yang hanya memberi kesempatan untuk dikuntit dan diamati dalam lingkungan kerja, ada sebagian yang mengajak untuk mampir ke rumahnya dan bahkan menawari untuk menginap.
Berdasarkan pengamatan-pengamatan tersebut, dengan segala macam serba-serbinya, yang bisa saya katakan adalah: mereka semuanya semata-mata adalah manusia biasa.
Mereka manusia biasa.
Mereka bernafas, tidur, makan, minum, kencing, kentut, berak dengan caranya masing-masing, tapi tak ada satupun yang tidak bernafas, tidur, makan, minum, kencing, kentut, berak. Tiap orang punya makanan kesukaan dan cara makannya masing-masing, walau saya bisa pastikan bahwa tidak ada yang beraknya tidak menguarkan bau semerbak. Dengan demikian, sesungguh-sungguhnya, tidak ada satupun manusia super dengan keunggulan bawaan. Yang ada adalah keberadaan beragam sistem, jejaring, institusi, organisasi, instrumen, dan perangkat sosial yang memungkinkan kemajuan atau kemunduran satu manusia dibandingkan lainnya. Sebagai contoh, asumsi bahwa orang-orang Jerman lebih tepat waktu dan pekerja keras semata-mata adalah asumsi. Ada sebagian yang rajin ngaret dan pemalas. Meskipun demikian, sistem transportasi dan pelembagaan bahasa mereka, misalkan, sedemikian rupa telah memungkinkan mereka untuk cenderung jadi lebih tepat waktu dan bekerja secara lebih terstruktur. Tidak ada sifat bawaan lahir yang serta merta membuat mereka jadi disiplin sejak jabang bayi. Yang ada adalah sosialisasi yang terjadi secara terus menerus oleh masyarakat dan lingkungan sosial yang membesarkan si bayi tersebut.
Kita manusia biasa.
Bahwasanya tiap manusia adalah unik merupakan suatu fakta sosial, tetapi keunikan itu tidak sendiri dan satu-satunya. Ada seseorang yang jadi direktur di sebuah kementerian dan ada seseorang yang jadi tukang rakit bambu di suatu kampung. Tapi mereka tidak sendirian. Ada seorang direktur lain di sebuah kementerian lain, dan ada seorang tukang rakit bambu di suatu kampung yang lain. Keberadaan tipe-tipe dan identitas-identitas sosial ini memungkinkan mereka dianalisis secara ilmiah. Bahwa kemudian tiap tipe dan identitas sosial memiliki ragam kualitas yang spesifik adalah bagian dari keniscayaan dinamika sosial. Pencapaian seseorang hingga menjadi seorang direktur, dengan demikian, bukanlah suatu pencapaian satu orang manusia super, melainkan suatu pencapaian sosial. Tiap-tiap dari kita adalah manusia biasa, tapi ketika kita bersama-bersama bekerja sama, berkolaborasi mencipta suatu masyarakat, maka kita menciptakan sesuatu yang lebih luar biasa daripada seorang manusia biasa.
Kalau kamu berhasil membaca hingga titik ini, apakah kamu mulai merasa sebentuk kompleksitas tertentu?
Dengan mengacu pada pengamatan yang telah saya ceritakan sebagian di atas, dapat dikatakan bahwa ilmu-ilmu sosial merupakan suatu sains dengan kerumitan berlipat ganda. Perumpamaan komparatif yang mungkin kamu telah sering dengar kira-kira bunyinya seperti ini: bila seorang ilmuwan alam hendak mengukur gravitasi bumi, di mana pun ia mengukur, selama ia masih di permukaan bumi dan menggunakan metode yang standard, maka kurang lebih ia akan memperoleh angka yang tak jauh beda, kecuali terjadi penyimpangan-penyimpangan yang bisa dijelaskan secara eksak; sementara bila seorang ilmuwan sosial mensurvei preferensi pemilu yang akan datang, maka dia tidak hanya bertanya, tetapi juga turut mencipta dan mengarahkan persepsi sang calon pemilih, yang simpangannya melampaui galat statistik. Artinya, dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam, ada suatu ciri khas dari ilmu-ilmu sosial: mereka punya kapasitas untuk mencipta dirinya sendiri, mencipta masyarakat, mencipta realitas sosial.
Tentu, perceraian antara ilmu “alam” dan ilmu “sosial” adalah sesuatu yang artifisial, dan kita bisa membahas lebih lanjut tentang ini di lain ruang. Pun, saya tidak ingin mengembangkan argumen bahwa ilmu sosial lebih unggul daripada ilmu alam, atau sebaliknya. Yang saya bisa katakan adalah bahwa tiap-tiap ilmu punya bentuk-bentuk kerumitannya masing-masing sehingga suatu cabang keilmuan akan tampak asing bagi mereka yang tidak familiar dengan keilmuan spesifik dari masing-masing disiplin. Seorang biolog akan merasa asing ketika pertama kali memasuki sebuah studio arsitektur lanskap, dan kebalikannya seorang arsitek juga tidak familiar ketika pertama kali berjumpa dengan rupa-rupa alat di dalam laboratorium mikrobiologi.
Kendatipun demikian, beberapa cabang keilmuan sosial memiliki kapasitas untuk mengamati praktik-praktik ilmiah di berbagai ruang dan waktu. Cabang-cabang tersebut selama sekitar tiga dasawarsa terakhir dikenal sebagai rumpun STS (Studi Teknologi dan Sains) yang mencakup filsafat, sejarah, antropologi, dan sosiologi sains dan teknologi. STS lebih mempertanyakan bukan sekadar apa-apa yang para ilmuwan katakan, tetapi apa-apa yang mereka lakukan. Tentu, para praktisi STS mengumpulkan, membaca, dan membedah pustaka-pustaka ilmiah, tetapi mereka lebih jauh lagi memvalidasi dengan cara blusukan menyelidiki laboratorium, universitas, studio, dan tempat-tempat sains dipraktikkan sehari-hari. Dengan cara sedemikian rupa, maka kabut mistis dari ilmu pengetahuan bisa disingkap. Citra seorang jenius tunggal semata-mata adalah sebuah citra rekaan. Sebagaimana halnya direktur, pegawai negeri sipil, pegawai swasta, aktivis, filsuf, antropolog, sosiolog, arsitek, desainer, seniman, geografer, tukang, pedagang kaki lima, pembantu rumah tangga, dan lain-lain; seorang ilmuwan bekerja dengan mengandalkan orang-orang dan benda-benda sosial di sekitarnya. Walau, sebagaimana halnya tiap tipe sosial punya keahlian praktis masing-masing, para ilmuwan punya suatu kekhasan: mereka adalah suatu suku yang sangat gemar membaca, bereksperimen, dan menulis. Yang kita sebut sains, tak lebih tak kurang, adalah hasil dari apa-apa yang telah mereka baca, uji coba, dan tuliskan. Artinya, siapapun bisa menjadi seorang ilmuwan selama sekurang-kurangnya gemar membaca, bereksperimen, dan menulis, serta tentu saja, ada cukup sumber daya yang mampu mendukung praktik membaca, bereksperimen, dan menulis tersebut, juga berinteraksi sosial secara rutin dengan orang-orang yang punya kegemaran serupa.
Semoga di titik ini, kamu bisa makin menangkap apa yang saya coba uraikan, bahwasanya kita, tak lebih dan tak kurang, adalah manusia biasa. Bila kamu masih merasa kurang yakin, maka dengan senang hati saya akan melampirkan daftar pustaka filsafat, sejarah, antropologi, dan sosiologi sains dan teknologi untuk kamu baca lebih lanjut. Setelah kamu luangkan waktu untu menyelami pustaka-pustaka tersebut dan kemudian menuliskan tanggapan atau kritik untuk tulisan ini, maka kamu telah memenuhi sebagian ciri khas kecendekiaan ilmuwan yang saya sebutkan sebelumnya.
Di titik ini, saya akan berhenti mengantarkanmu ke STS. Mudah-mudahan kamu sudah berada di pelatarannya, di pintu masuk, atau mungkin sudah ada di dalamnya. Sebagaimana saya sebutkan di awal tulisan ini, di akhir saya akan tawarkan beberapa program STS yang relevan untuk konteks spesifik Indonesia kekinian.
Pertama, politik dengan cara-cara lain (politics by other means). Setiap calon presiden adalah manusia biasa. Seorang calon presiden hanyalah sebuah ekspresi dari pergerakan sosial yang lebih besar, salah satu manusia biasa dari suatu masyarakat yang bisa mencipta sesuatu yang lebih besar. Jangan pernah gantungkan harapan pada satu orang. Bermasyarakatlah. Mulailah dengan berharap pada orang-orang terdekat di sekitarmu. Perubahan hanya bisa terjadi bila ada pergerakan sosial yang menyentuh, terkoordinasi, tangguh, terawat, terus menerus, dan bermakna. Membacalah. Bereksperimenlah. Menulislah. Berinteraksi sosiallah. Nongkronglah. Berdiskusilah. Lahirkanlah nama-nama, kata-kata, konsep-konsep, dan teori-teori baru. Ciptakan benda-benda sosial baru. Ubah dirimu. Ubah masyarakat. Dengan cara seperti itu, kita telah berpolitik praktis tanpa harus terlebih dahulu bergabung dengan partai politik atau kandidat pasang calon manapun.
Kedua, sains dengan cara-cara lain (science by other means). Dengan melakukan politik dengan cara-cara yang lain, maka kamu juga melakukan sains dengan cara-cara lain. Yang terjadi kemudian adalah demokratisasi pengetahuan. Hari ini, jurnal-jurnal dan pustaka-pustaka ilmiah bisa diakses dengan jauh lebih mudah melalui kanal-kanal peretasan terbuka. Selama seseorang rajin membaca, bereksperimen, dan menulis, maka sains dan teknologi bisa dilakukan di luar institusi-institusi pendidikan tinggi dan laboratorium-laboratorium. Orang-orang bisa membaca, bereksperimen, menulis, membincangkan dan mengembangkan pengetahuannya di jalanan. Bila seni adalah sesuatu kegiatan yang mendayagunakan pengetahuan dan kita telah menyaksikan seniman-seniman jalanan, maka kita sedang menyaksikan kelahiran ilmuwan-ilmuwan jalanan.
Ketiga, masyarakat lebih dari sekadar manusia (more-than-human society). Poin terakhir ini adalah sesuatu yang sejauh ini masih implisit. Ketika saya menyebutkan “masyarakat” sesungguhnya saya mengacu pada suatu konstruksi yang terdiri dari banyak unsur dan manusia hanyalah salah satu di antaranya. Agar suatu masyarakat bisa tercipta dan terawat, maka dibutuhkan kolaborasi antara satwa, tumbuhan, tanah, air, udara, mineral, dan seterusnya. “Kita” tidak pernah sendirian. Tengoklah kampungmu; dia menjadi kampung tidak hanya karena keberadaan orang-orang kampung tetapi juga makhluk-makhluk lain, seperti ayam kampung, atau anjing kampung. Dengan kata lain, politik dan sains dengan cara-cara lain yang saya sebutkan di atas adalah suatu praktik yang mencakup suatu aspirasi untuk mencapai kesetaraan antara manusia dan makhluk-makhluk selain manusia. STS tidak hanya menawarkan program politis dan ilmiah, tetapi juga ekologis dan geologis. Kita bisa menjadi lebih dari sekadar manusia.***
Indrawan Prabaharyaka