KEHIDUPAN Myra Riggs, hari-hari ini, diliputi ketidakpastian. Perempuan berusia 61 tahun, yang tinggal di kota Baltimore, AS itu, tak nyaman lagi tinggal di rumahnya yang memiliki pekarangan luas dan ditumbuhi pepohonan. Sewaktu-waktu, rumah yang dibelinya melalui pinjaman model sub-prime mortgage (kredit perumahan), lenyap berpindah tangan.
Melalui model sub-prime mortgage ini, sebuah lembaga keuangan bukan bank, memberikan kesempatan kepada orang-orang seperti Riggs, yang berpendapatan rendah dan memiliki catatan kredit yang buruk, memperoleh segepok uang kontan dengan bunga tinggi. Gabungan dari dua hal itu, menyebabkan model sub-prime mortgage mengandung resiko yang sangat tinggi.
Memang beberapan tahun belakangan ini, pasar surat utang kredit perumahan (sub-prime mortgage) tengah menjamur di Amerika Serikat dan Inggris. Bagi orang-orang seperti Riggs, sub-prime mortgage tak lain adalah perwujudan dari “mimpi tentang Amerika sebagai tanah yang dijanjikan.” Dengan sub-prime mortgage, tidak hanya mereka yang kaya yang bisa memiliki rumah sendiri. Inilah realisasi dari janji yang dicanangkan oleh kapitalisme-neoliberal. Tetapi, sejak jatuhnya pasar saham Amerika Serikat pada 10 Oktober lalu, mimpi Riggs pelan-pelan buyar. Jatuhnya pasar saham itu, menyebabkan Riggs harus membayar utang dan bunganya dengan nilai yang sangat tinggi.
“Semuanya lenyap begitu saja, karena kebodohan saya. Saya tak tahu apa-apa tentang ARMs (adjustable rate mortgages). Itu semua adalah tipuan,” ujar Riggs kesal.
Mengapa Riggs tiba-tiba merasa dirinya tertipu? Penjelasannya jauh berada di luar kota Baltimore.
Sebenarnya, jejak-jejak krisis ini sudah bermula sejak tahun 2001 ketika terjadi gelombang pasang bisnis properti. Perusahaan-perusahaan properti berlomba-lomba membangun rumah, karena adanya kemudahan memperoleh kredit dari lembaga keuangan. Tetapi, pada Agustus 2005, gelombang pasang ini berhenti. Pada 2006, terjadi koreksi pasar yang substansial dan pada pertengahan Agustus 2006, U.S. Home Construction Index, jatuh lebih dari 40 persen. Pada saat yang sama, sekitar $400B dari ARMs, lenyap.
Memasuki 2007, krisis properti semakin tak terhentikan. Harga jual rumah jatuh, menyebabkan industri sub-prime mortgage skala besar seperti American Home Mortgage Investment Corporation (AHMI), Mortgage Guaranty Insurance Corporation (MGIC), dan New Century Financial Corporation (NCFC), jatuh bangkrut. Para investor kehilangan billiunan dollar untuk mencegah agar aset-aset sub-prime mortgage tidak lenyap. Tindakan ini kemudian memicu terjadinya huru-hara di pasar finansial global.
Pada Kamis, 9 Agustus 2007, Bank Sentral AS (Fed), dipaksa untuk menyuntikkan dananya sebesar $30B, untuk menjamin pengeluaran berlebih para investor. Keesokan harinya, Fed kembali mengucurkan uang tambahan sebesar $38B. Tetapi, cerita belum selesai, karena pada 13 Agustus kembali Fed mengucurkan dana sebesar $5B, dan ditambah lagi sebesar $7B hingga $15B pada 14/15 Agustus.
Di belahan dunia yang lain, The European Central Bank (ECB) dipaksa untuk menyuntikkan dana sebesar €61B, pada 10 Agustus. Demikian juga dengan Bank of Japan yang harus mengucurkan dana sebesar ¥600B. Untuk tanggal 10 saja, total dana yang dikucurkan oleh bank sentral Amerika, Eropa dan Jepang, masing-masing sebesar $43B, $191B, dan $8.4B. Sejumlah dana kecil lainnya datang dari bank-bank Australia, Hong Kong, dan Kanada.
Menurut para pengamat pasar modal, inilah untuk pertama kalinya, sejak peristiwa serangan teroris pada 11 September, 2001, bank sentral Amerika, Eropa, dan Jepang melakukan aksi bersama.
Finansialisasi Kapitalisme
Bagaimana menjelaskan hubungan kebangkrutan pasar properti Amerika, dengan kepanikan luar biasa yang terjadi di pasar global?
Profesor John Bellamy Foster, dari Universitas Oregon, AS, mengatakan, kapitalisme kini berada dalam fase baru yang ditandai oleh meningkatnya peran keuangan (finance) bagi keberlangsungan operasi kapitalisme. Struktur baru kapitalisme ini, oleh Foster disebutnya “financialization.”
Masih menurut Foster, struktur baru ini lahir dari masa stagnasi ekonomi tahun 1970an, yang ditandai oleh ekspansi besar-besaran sektor keuangan. Hal ini mendorong kedudukan sektor keuangan semakin independen dan menentukan dasar-dasar sistem produksi. Di dalam struktur baru ini, para kapitalis semakin tergantung pada pertumbuhan keuangan untuk melindungi dan memperbesar kapital keuangannya. Tetapi, pada saat yang sama, finansialisasi ini, seberapapun luas pergerakannya, tidak akan pernah bisa mengatasi stagnasi yang terjadi dalam sektor produksi.
Fred Magdoff dari Universitas Vermont, memberikan rumusan matematik yang menarik untuk menjelaskan keberadaan struktur baru kapitalisme ini. Ia kembali pada Karl Marx yang mengatakan, akumulasi kapital melalui investasi dalam rumus M-C-M’, dimana kapital digunakan untuk membeli bahan-bahan material, mesin, dan tenaga kerja, guna memproduksi C (komoditi) untuk kemudian dijual dimana si kapitalis menerima kembali M’ (uang semula ditambah ^M, nilai lebih yang dihasilkan buruh). Menurut Magdoff, dalam struktur baru ini yang terjadi adalah rumus M-M’ (uang mencetak uang yang lebih besar lagi).
Bagaimana proses M-M’ ini bekerja? Menurut Magdoff, proses ini bekerja dalam bentuk lingkaran utang. Di sini pertumbuhan dipicu oleh utang. Ketika stagnasi terjadi, para investor yang enggan mengucurkan dananya ke sektor produksi, mengalihkan dananya secara besar-besaran ke lembaga-lembaga keuangan penjamin seperti hedge fund, yang kemudian memberikan utang kepada konsumen. Keadaan ini menyebabkan pasar produksi kembali bergairah, karena terjadi permintaan akibat daya beli yang dinamis. Dari sini, para mega investor tersebut mereguk keuntungan luar biasa. Dan ini semua berlangsung secara spekulatif dan bersifat global.
Hasilnya sungguh luar biasa. Jika pada 1985 utang AS adalah dua kali jumlah GDP, maka dua dekade kemudian utang AS mencapai tiga kali GDP, mendekati $44T GDP seluruh dunia. Demikian juga, rata-rata volume transaksi harian mata uang asing, meningkat dari $570B pada 1989, menjadi $2.7T pada 2006. Demikian juga, sejak 2001, pasar global kredit derivatif meningkat rata-rata di atas 100 persen per tahun. Jika pada awal milenium baru pertumbuhan kredit global derivatif tidak terlalu signifikan, maka pada pertengahan 2006, diperkirakan nilai kredit derivatif yang diperdagangkan di pasar global menggelembung hingga $26T.
Dengan struktur baru ini, dimana sektor keuangan (bank, firma-firma investasi, perusahaan-perusahaan asuransi, dan konsorsium real estate), merupakan pemain utamanya, keuangan bukan lagi sekadar satu-satunya “lem perekat” yang menghubungkan beragam bagian dalam sistem kapitalis. Ia juga telah menjadi satu-satunya “minyak pelumas” bekerjanya sistem ini. Dengan kata lain, demikian Magdoff, keuangan merupakan aktivitas yang paling dominan dalam sistem ekonomi kapitalis yang telah matang.
Data-data berikut mendukung argumen Magdoff dan juga Foster. Jika pada 1960 keuntungan sektor keuangan di AS tercatat hanya sebesar 15 persen dari seluruh keuntungan domestik, kini jumlah tersebut mendekati 40 persen dari total keuntungan. Pada saat yang sama, sektor manufaktur yang menyumbang sebesar 50 persen dari keuntungan domestik, kini posisinya terkapar hingga hanya menyumbang 15 persen.
Menariknya, aspek sentral dari dinamika stagnasi-finansial ini, adalah spekulasi di sektor properti. Maka tidaklah aneh, ketika terjadi krisis di sektor ini, dengan seketika krisis tersebut merambat ke sektor lain secara meluas. Sementara itu ada dua fakta lain yang saling tunjang. Pertama, sektor keuangan saat ini merupakan sektor yang paling tersebar dan paling terkait secara global; kedua, konsumsi AS adalah yang terbesar di dunia dan menjadi sumber utama permintaan ekonomi dunia. Maka adalah logis, jika krisis properti AS memberi efek domino di tingkat global.
Bagaimana Dengan Indonesia?
Sejak krisis ekonomi pada 1987, praktis perekonomian Indonesia menjadi bulan-bulanan para spekulan. Miliaran dollar AS masuk menyerbu pasar finansial Indonesia, memanfaatkan kelemahan dan ketidakberanian pemerintah untuk mengontrol pergerakan arus kapital.
Sebagai contoh, kuartal pertama tahun 2003 arus investasi asing (FDI) langsung minus US$ 2,6 miliar, sedangkan pada 2004 penurunan masih akan terus terjadi dengan prediksi minus US$ 3,9 miliar. Ini berbanding terbalik dengan investasi jangka pendek (portofolio), yang menunjukkan gairah lebih besar dibandingkan investasi langsung. Investasi asing berbentuk portofolio meningkat tahun 2003 mencapai US$ 1,2 miliar. Hingga Maret 2007, dana asing mencapai Rp 510,74 triliun atau lebih dari separo total kepemilikan saham senilai Rp 745,16 triliun.
“Indonesia dinilai cukup atraktif bagi investasi, khususnya dalam bentuk portfolio,” ujar Budi Mulya, Direktur Perencanaan Strategis dan Humas Bank Indonesia.
Dengan struktur investasi yang berat ke sisi investasi jangka pendek itu, ekonomi Indonesia sangat rentan terhadap gejolak di pasar global. dinamika pasar global. Ketika terjadi krisis properti di AS, misalnya, pada akhir Juli 2007, rupiah ditutup pada level Rp9.215 per USD atau melemah 1,99 persen dari Rp9.035 pada bulan Juni.
Artinya, krisis ekonomi yang melanda hampir sepuluh tahun ini, tidak akan pernah berakhir.***
Coen Husain Pontoh
Sumber: BBC, the Independent, Monthly Review, investor-daily, Wikipedia, New York Times, www.bi.go.id.