Belajar dari Kasus Bolivia
Nur Iman Subono
Bolivia is the poorest, most backward country in South America. It has dozens of spoken languages, a ruinous geography, and almost no infrastructure. If we can make decentralization work here, it can work anywhere.
(Armando Godinez, antropolog dan peneliti sosial)
DIBANDINGKAN dengan negara-negara Amerika Latin lainnya (tepatnya wilayah Amerika Selatan), seperti Brazil, Argentina, Venezuela, dan Chili, misalnya, Bolivia hampir-hampir tidak dikenal atau terlewatkan begitu saja dalam banyak kajian akademis maupun media massa, khususnya di Indonesia.
Tidak ada fenomena sosial dan politik yang spektakuler di sana yang bisa dikaji. Begitu kira-kira banyak komentar orang. Bahkan, bagi sebagian kalangan aktivis “Kiri” Amerika Latin, dan mungkin juga kalangan pergerakan progresif di Indonesia, nama Bolivia meninggalkan cerita buruk. ”Che” Guavara yang dikenal sebagai tokoh ikon gerakan perlawanan terhadap imperialisme, kolonialisme, dan kapitalisme terbunuh di sana karena dikhianati para petani Bolivia.
Lokasi negara yang satu ini, di wilayah Amerika Selatan, bisa dibilang sebagai “terkurung” (landlocked). Dengan luas sekitar lebih dari 3000 km, Bolivia berbatasan dengan Brazil di Timur Laut dan Timur, Paraguay di Timur, Argentina di Tenggara dan Selatan, Chili di Barat, dan Peru di Barat Laut. Populasinya berjumlah 8.274.325 jiwa (2001), dan lebih dari 60 persen masyarakatnya merupakan penduduk asli (indigenous) di mana Aimaras, Quechuas, dan Guaranies merupakan kelompok etnis terbesar. Bahasa Spanyol yang merupakan bahasa yang umumnya dipakai di wilayah Amerika Latin, digunakan hanya sekitar 40 persen penduduk Bolivia. Selebihnya menggunakan bahasa Aimara, Quechua dan Tupiguarani (Altman dan Lalander, 2003).
Tapi, dalam beberapa tahun belakagan, cerita tentang Bolivia dengan segala dinamikanya telah banyak berubah. Salah satunya, karena terpilihnya Juan Evo Morales Aima, dengan basis pendukungnya yang tergabung dalam MAS (Movement Towards Socialism), sebagai presiden Bolivia. Kehadirannya telah mendobrak tradisi ’politik lama’ yang selama ini dikuasai kalangan elit keturunan Spanyol. Evo sendiri berasal dari salah satu suku Indian (penduduk asli) yang pertama kali menduduki posisi nomer satu sebagai presiden melalui pemilihan umum (Webber, 2006).
Dalam kesempatan ini, tulisan ini sendiri tidak akan bicara mengenai fenomena Evo dan MAS nya. Yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah fenomena politik lainnya yang dikenal dengan proyek desentralisasi di Bolivia. Mengapa ini menarik, dan menjadi penting ditampilkan? Sebagaimana sudah disinggung oleh Armando Godinez di atas, Bolivia adalah negara yang termiskin dan terkebelakang di wilayah Amerika Latin. Jadi, bagaimana kita membayangkan ada proses desentralisasi di sana? Lebih dari itu, mengutip H. Klein, dalam bukunya Historia de Bolivia, negara ini memiliki karakter negara represif dan mempunyai tingkat ketimpangan dalam masyarakat yang akut. Bahkan, masih menurutnya, Bolivia memasuki tahun 1990an sebagai negara yang paling tersentralisir di wilayah Amerika Latin, sebagai hasil panjang dari Revolusi 1952 di mana Gerakan Nasionalis Revolusioner (Nationalist Revolutionary Movement) mengambilalih kekuasaan secara politik, memegang kendali secara ekonomi, dan menjalankan kebijakan strategi modernisasi yang dihela oleh negara (Klein, 2003).
Atas dasar itu, menjadi menarik untuk mengeksplorasi secara mendalam proses desentralisasi dan pemerintahan lokal di Bolivia. Fenomena ini memang bukan unik Bolivia tapi, kecenderungan umum yang berkembang di wilayah Amerika Latin sejak tahun 1980an dan 1990an. Namun demikian, sebagaimana banyak dirujuk dalam berbagai kajian, Bolivia dianggap sebagai ”success story” dalam proyek desentralisasi tersebut, meski sifat sentralisme yang kuat dari pemerintah pusat. Apa yang hendak dipaparkan dalam tulisan ini, dengan merujuk pada kasus Bolivia, adalah akibat-akibat desentralisasi terhadap respon atau tanggapan pemerintah yang lebih berorientasi mengatasi kemiskinan atau mempromosikan investasi publik, dan juga dinamika dari aktor-aktor, lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi yang terlibat di dalamnya.
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul di sini secara sederhana sebagai berikut : (a) apakah desentralisasi mengubah hasil-hasil kebijakan di tingkat lokal? Jika demikian, apakah perubahan itu lebih baik atau lebih buruk ?; (b) Apakah perubahan-perubahan tersebut merupakan cerminan (reflection) dari perubahan yang mendasar dari proses pembuatan kebijakan itu sendiri, atau ini hanya berkaitan dengan parameter teknis soal arus dana atau anggaran (flow of funds)?; dan (c) Bagaimana dinamika antar aktor, organisasi dan lembaga di balik ”keberhasilan” atau ”kegagalan” proyek desentralisasi di Bolivia? Untuk lebih sistematisnya, tulisan ini dibagi dalam beberapa bagian sebagai berikut; (1) Pendahuluan; (2) Desentralisasi: Perdebatan tanpa Akhir; (3) Program Desentralisasi di Bolivia; (4) Dinamika Politik antar aktor, organisasi dan lembaga; dan (5) Penutup.
Definisi Desentralisasi
Pada umumnya definisi paling mendasar dari desentralisasi adalah pemindahan sebagian kekuasaan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau lokal. Ia menggambarkan sejumlah pembaharuan yang bertujuan meningkatkan suara lokal dalam kebijakan. Apabila sentralisasi merupakan respon terhadap kebutuhan untuk persatuan nasional , maka desentralisasi adalah tanggapan atas tuntutan terhadap keberagaman. Dalam realitas dan implementasinya, kedua bentuk administrasi tersebut berdampingan dalam sistem politik yang berbeda.
Secara teoritis, menurut Rondinelli dan Cheema (1983), ada tipologi desentralisasi yang menampilkan jarak di antara perbedaan tingkat desentralisasi yang dijalankan di berbagai negara atau wilayah kebijakan. Tipologi itu terdiri dari tiga bentuk desentralisasi, masih menurut mereka, masing-masing memiliki karateristik yang berbeda sebagai berikut :
• Dekonsentrasi, sering disebut bentuk paling lemah dari desentralisasi, adalah proses dalam administrasi publik di mana pejabat di pemerintah pusat atau kementrian negara memiliki tingkat otoritas tertentu yang didelegasikan untuk membuat keputusan, atau sebaliknya, meregulasikan pelaksanaan dinas administrasi Para pejabat bertanggung jawab pada badan-badan pemerintah atas berbagai keputusan yang diambil
• Delegasi, sering disebut sebagai bentuk yang lebih ekstensif dari desentralisasi, adalah proses di mana pemerintah pusat memindahkan tanggung jawab nya untuk pengambilan keputusan dan fungsi-fungsi administrasi publik ke organisasi-organisasi semi-otonom yang tidak sepenuhnya dikontrol oleh pemerintah pusat, meski pada akhirnya bertanggung jawab pada pemerintah pusat.
• Devolusi, adalah proses dalam administrasi publik di mana badan-badan yang berbeda didirikan berdasarkan undang-undang, terpisah dari pemerintah pusat, dan di mana perwakilan yang terpilih secara lokal diberikan kekuasaan untuk memutuskan sejumlah masalah-masalah publik dan memiliki akses terhadap sumber-sumber yang dapat digunakan untuk menjalankan kebijakan-kebijakannya.
Menurut Jean Bonnal, perubahan yang mengarah pada devolusi adalah sebuah transisi dari desentralisasi administrasi ke arah desentralisasi politik. Jika desentralisasi administrasi lebih diasosiasikan dengan gagasan atau inti dari dekonsentrasi, maka desentralisasi politik meliputi proses devolusi kekuasaan yang sesungguhnya. Dengan kata lain, perpindahan dari fungsi-fungsi dan sumber-sumber di antara tingkatan-tingkatan dari pemerintah pusat yang berbeda-beda (dekonsentrasi), menjadi lebih signifikan dengan perpindahan kekuasaan pembuatan kebijakan dan sumber-sumber pemerintah pusat ke arah masyarakat (devolusi) (Bonnal, 2003). Sementara itu, delegasi dapat dilihat sebagai proses transisi dari dekonsentrasi ke arah devolusi.
Philip Mawhood (1987) mengemukakan, tujuan utama dari kebijakan desentralisasi adalah sebagai upaya mewujudkan keseimbangan politik, akuntabilitas pemerintah lokal, dan pertanggungjawaban pemerintah lokal. Ketiga tujuan ini saling berkait satu sama lain. Sedangkan prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah harus memiliki teritorial kekuasaan yang jelas, memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) sendiri, memiliki badan perwakilan yang mampu mengontrol eksekutif daerah, dan adanya kepala daerah yang dipilih sendiri oleh masyarakat daerah melalui suatu pemilihan yang bebas (Manhood, 1987).
Berdasarkan penjelasan mengenai desentralisasi, khususnya secara teoritis, saya hendak memotret desentralisasi yang berjalan di Bolivia dengan segala keberhasilan, kesempatan dan hambatan yang muncul.
Program Desentralisasi di Bolivia
Sebelum terjadinya proses desentralisasi, Bolivia adalah negara dengan pemerintahan yang sangat tersentralistik. Hampir semua kebijakan, aktivitas, dan hal yang bersifat fisik seperti, gedung-gedung, terkonsentrasi di ibukota, Lapaz. Sebaliknya, sedikit sekali, atau hampir tidak ada, kehadiran pemerintah di mayoritas kotamadya di seluruh wilayah Bolivia. Masyarakat sendiri pada umumnya tinggal di distrik-distrik yang tidak memiliki akses ke para pejabat publik, dan karenanya tidak banyak kesempatan untuk mengetahui siapa-siapa sebetulnya yang mengelola dan memerintah negara selama ini. Akibatnya, tidak mengherankan bila pemerintah tidak tanggap terhadap berbagai tuntutan lokal, apalagi melakukan investasi publik ke berbagai kotamadya.
Tepatnya, mengutip David Attman dan Rickard Lalander, dengan merujuk pada berbagai indikator, Bolivia adalah negara yang paling miskin di Amerika Selatan, dan salah satu yang termiskin di dunia (lebih dari 65 persen masyarakatnya hidup di bawah garis kemiskinan), dan pendapatan tahunan per kapitanya mendekati US$ 1000,- meskipun angka ini masih menyembunyikan distribusi pendapatan yang sangat timpang di dalam masyarakat (Attman dan Lalander, 2003). Selain itu, Bolivia dikenal sebagai “negara yang berciri rasis, di mana kehidupan kaum tani asli (tidak berbahasa Spanyol) dikendalikan oleh kaum elit kulit putih (criollo), yang kekuasaannya lebih banyak berdasarkan kekerasaan daripada konsensus atau berbagai pakta sosial” (Klein, 1993).
Bolivia juga, seperti negara berkembang lainnya, mengandung beban korupsi yang sudah akut dan beban birokrasi yang terlalu berat. Dalam soal korupsi, Bolivia menempati urutan 89 dari 102 negara yang disurvai oleh Transparency International (2002). Bahkan, setelah Paraguay, Bolivia termasuk dalam tujuh belas negara terkorup di wilayah Amerika Latin (Attman dan Lalander, 2003).
Sementara itu, mayoritas penduduknya yang berlatar belakang pribumi, sekitar 50-70 persen tetap berada dalam posisi terpinggirkan. Mereka secara umum terstrukturisasi dalam arti akses yang terbatas ke informasi, berada dalam relasi kekuasaan yang timpang, dan mengalami sikap rasis dan diskriminasi. Singkat kata, sentralisme dan eksklusifisme etnis adalah dua ciri utama dari konteks sosial-politik Bolivia.
Ternyata relasi kekuasaan yang timpang ini, yang sudah tertanam sejak era kolonialisasi, tidak mengalami perubahan setelah kemerdekaan Bolivia pada 1825. Bahkan, tatanan kolonial yang digantikan secara politik oleh pemerintahan republik justru menciptakan relasi asimetris yang lebih parah antara warga negara dan kelompok-kelompok masyarakat Indian yang tidak diakui keberadaannya (Barholdson et all, 2002).
Jika memang demikian, mengapa kemudian Bolivia mengalami perubahan yang relatif drastis, dan bahkan radikal, khususnya dengan program desentralisasi? Ada dua faktor utama, disamping banyak faktor lainnya, yang bisa diangkat. Pertama, sebagaimana dialami negara-negara Amerika Latin pada umumnya, Bolivia gagal dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, meski pembaharuan ekonomi sudah dibuka. Pertumbuhan ekonomi per kapita yang mendekati nol persen selama 15 tahun, sudah pasti hanya menurunkan kredibilitas pemerintah, siapapun presiden dan partainya. Dan sebagai sisi baliknya, muncul gejolak sosia di mana-mana di wilayah Bolivia. Presiden Sấnchez de Lozada dari Partai MNR (Movimiento Nacionalista Revolucionario) memandang, struktur pemerintahan itu sendiri yang menjadikan hambatan untuk pertumbuhan ekonomi. Karenanya, desentralisasi dilihat sebagai upaya untuk memperdalam pembaharuan struktural dalam rangka menjadikan negara lebih efisien dan tanggap terhadap aspirasi dan tuntutan masyarakat.
Kedua, munculnya politik populis berbasis etnis pada tahun 1980an, yang telah memotong dominasi tradsional MNR di antara pemilih masyarakat pertanian. Sudah pasti, ini merupakan ancaman serius buat keberadaan MNR yang telah mendeklarasikan dirinya sebagai “natural party of government.” Sebagai partai yang lahir dalam suasana pembaharuan agraria pada era Revolusi 1952, mau tidak mau mereka harus menata-ulang tatakelola pemerintahan, menafisirkan ulang situasi sosial-politik, dan membuat lagi hubungan yang baru antara negara dan warga. Semuanya ini bertujuan untuk merebut kembali loyalitas masyarakat Bolivia yang tinggal di luar kota-kota besar dan menengah (Faguet, 2005).
Rancangan Pembaharuan Undang-undang
Berbeda atau bisa juga melengkapi faktor-faktor yang telah disebutkan, perubahan yang mendasar terjadi di Bolivia, yang kemudian mendorong lahirnya proyek desentralisasi, berkaitan dengan kebijakan presiden Paz Estenssoro pada tahun 1985, yang melakukan program “structural adjustment” (penyesuaian struktural).
Kebijakan ini bertujuan mengurangi peran sektor negara. Kekuatan yang mendorong di balik kebijakan ini adalah, (a) proyek neoliberal yang mempromosikan privatisasi, yang diawali pada 1985, dan kemudian dilanjutkan pada 1990an dengan diperkenalkannya Undang-undang Kapitalisasi; dan (b) upaya menjadikan desentralisasi sebagai suatu cara untuk membangun negara yang lebih terintegrasi tapi tidak terlalu terbebani, bersamaan dengan memberikan jangkauan yang lebih luas terhadap representasi baik dari kepentingan-kepentingan regional maupun kelompok-kelompok rural dan penduduk asli yang sebelumnya terpinggirkan.
Proses tersebut berawal dengan adanya revisi Undang-undang pada tahun 1992, yang menyatakan Bolivia sebagai republik yang berdaulat, merdeka, multietnis dan multikultural, dan pemerintahan lokal memiliki hak untuk otonom dan anggaran tersendiri. Proses desentralisasi di Bolivia adalah upaya untuk mempromosikan secara bersamaan proses demokratisasi, administratif, dan desentralisasi. Salah satu inovasi pemerintah adalah upaya untuk mengombinasikan antara demokrasi perwakilan yang berasal dari “Barat” yang berjalan di tingkat nasional, dengan demokrasi langsung, yang berbasis pada berbagai bentuk organisasi dan tradisi lokal seperti ayllu, sindicato, capitanía dan sebagainya. Pada titik ini, pemberantasan kemiskinan menjadi orientasi atau tujuan program desentralisasi mengingat masih terbelakangnya wilayah-wilayah di luar kota-kota besar di Bolivia.
Proses desentralisasi di Bolivia secara formal merupakan fungsi dari tiga undang-undang yakni, UU Desentralisasi Adiministratif (Ley de Decentralizacíon Administrativa, LDA), UU Partisipasi Masyarakat (Ley de Participación Popular, LPP), dan UU Pemerintahan Lokal (Ley de Municipalidad, LM). LDA merupakan bentuk paling lemah dari proses desentralisasi yang dikenal sebagai dekonsentrasi. Ini merupakan langkah awal, dari hasil perdebatan selama bertahun-tahun, untuk membangun kekuatan-kekuatan regional di luar pusat kekuasaan yang sudah mapan selama ini yang berpusat di La Paz. LPP bergerak di luar perdebatan tersebut, dengan lebih maju lagi secara progresif dalam memberikan kekuasaan tandingan di luar pemerintah pusat (Bartholdson, et all, 2002).
Inti dari LPP tersebut terdiri dari 4 poin utama: (a) Alokasi sumber-sumber. Dana-dana yang disalurkan ke berbagai kotamadya meningkat 20 persen dari seluruh pendapatan nasional tahunan. Yang lebih penting lagi, alokasi di antara kotamadya berubah dari kriteria yang sangat politis dan tidak sistematik ke arah kriteria yang benar-benar berbasis pendapatan per kapita; (b) Tanggungjawab terhadap Pelayanan Publik. Pemilikan terhadap prasarana lokal dalam bidang pendidikan, kesehatan, irigasi, jalan raya, olahraga dan budaya, diberikan kepada kotamadya bersamaan dengan tanggungjawab untuk memelihara, melengkapi, dan mengelola fasiltas-fasilitas tersebut. Termasuk di sini, melakukan investasi baru terhadap pelayanan publik tersebut yang juga berarti, infrastuktur di tingkat nasional dan regional dalam sektor-sektor tersebut sudah dipindahkan ke pemerintah lokal; (c) Komite Penilai dan Pemantau (Comitế de Vigilancia) dibentuk untuk menyediakan saluran alternatif bagi keterwakilan tuntutan-tuntutan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan. Komite yang terdiri dari kelompok-kelompok ‘akar rumput’ dan lokal, bertugas mengajukan usulan-usulan proyek dan mengadakan pengawasan terhadap anggaran belanja dan pendapatan daerah; dan (d) Pemekaran Kotamadya. Beberapa kotamadya yang ada mengalami pemekeran meliputi daerah pinggiran atau satelit, serta wilayah rural sekitarnya. Sekitar 198 (dari 311 yang sudah ada) kotamadya baru dibangun dan dikembangkan (Faguet, 2003). Jumlah ini meningkat menjadi 324 di tahun 2003 yang tanggung jawabnya semakin diperluas meliputi wilayah pertanian dan pengadaan pelayanan publik. Boleh dibilang, LPP inilah undang-undang utama yang menjadi ‘soku guru’ di balik program desentralisasi di Bolivia.
Sebelum adanya pembaharuan, pemerintahan lokal hampir tidak pernah hadir di mayoritas wilayah Bolivia. Wilayah yang ada umumnya diisi berbagai bangunan seperti, gedung sekolah, balai kesehatan, dan asrama atau tangsi militer di mana mereka berada di bawah tanggung jawab kementrian negara masing-masing. Tapi, setelah pembaharuan, pemerintahan lokal terpilih hadir di semua wilayah. LPP merupakan bagian dari program perluasan desentralisasi administratif dan fiskal. Di bawah LDA, tanggung jawab kementrian negara di luar masalah pendanaan gaji pegawai, termasuk masalah kesehatan dan pendidikan, didesentralisasi dari nasional ke tingkat departemen, dan pemerintah lokal yang dikepalai oleh kepala administratif (prefectural government) dan bertanggung jawab pada dewan perwakilan terpilih. Sementara itu, peran dan tanggung jawab pemerintah lokal semakin ditegaskan dalam LM yang diresmikan tahun 1999. Ini sangat berkaitan dengan masalah ketetapan soal pelayanan publik, pemasukan dari penarikan pajak, pengelolaan sumbers-sumber alam, dan fasilitasi perencanaan yang partisipatoris. Model desentralisasi yang dikembangkan Bolivia ini, sangat menekankan pada partisipasi masyarakat dalam masalah alokasi sumber-sumber dan pengawasan di tingkat lokal.
Sejak saat itu, Bolivia memasuki tahap dari reorganisasi administratif menuju rekonfigurasi tanggung jawab dan kompetensi di antara tiga tingkat administratif (nasional, regional, dan lokal). Pemerintah pusat dan jajaran kementriannya harus melakukan revisi atas seluruh program dan proyeknya, untuk mengakomodasi peran dan posisi aktor-aktor institusional baru. Kesepakatan keuangan dengan berbagai lembaga keuangan internasional sudah pasti juga harus bergerak dalam figura desentralisasi tersebut. Boleh dibilang sejak tahun 1996, kebanyakan dari kebijakan, program dan proyek nasional telah memasukkan faktor desentralisasi dalam rancangan dan implementasinya. Lembaga-lembaga donor kelihatannya memberikan dukungan penuh pada pola yang sudah berubah ini (Perales, 2003).
Pelembagaan Struktur Undang-undang Partisipasi Masyarakat (LPP)
Sebagaimana sudah diungkapkan, LPP adalah undang-undang yang sangat penting di balik program desentralisasi di Bolivia. Untuk itu, dalam bagian ini, kita akan mengangkat masalah LPP dalam kaitannya dengan pelembagaan strukturnya.
Selanjutnya, agar LPP bisa berfungsi, dibentuklah berbagai lembaga atau organisasi baru sebagai penopangnya. Menurut Altman dan Lalander (2003), setiap kotamadya memiliki pemerintahan yang terdiri dari dewan kotamadya (consejo municipal, CM) dan walikota (alcade) yang dipilih langsung oleh masyarakat. Anggota dewan kotamadya memeroleh gaji bulanan, dan terdiri dari lima sampai sebelas orang, tergantung pada jumlah masyarakat di kotamadya tersebut. Untuk bisa dinominasikan sebagai anggota dewan, seseorang harus mencalonkan diri di bawah payung partai politik, dan ada pembagian atau jatah anggota dewan di antara partai politik dengan menggunakan pemilihan melalui sistem representasi proporsional.
Sementara itu, tidak jauh berbeda, untuk menjadi seorang walikota, seseorang harus dicalonkan oleh partai politik, dan calon tersebut harus mendapatkan dukungan lebih dari 50 persen pemilih dari warga di kotamadya tersebut, atau biasanya, dan ini yang selalu terjadi, dewan kotamadya memilih walikota dari salah satu anggotanya. Sebagaimana tercatat dalam pasal 21 undang-undang yang baru dibolehkan untuk melakukan apa yang disebut sebagai ”constructuctive censure vote” yang maksudnya, jika seorang walikota belum dipilih secara langsung oleh warga, atau mendapat suara dukungan kurang dari 50 persen, maka dia (laki-laki maupun perempuan) dapat digantikan oleh seorang anggota dewan dengan dukungan 3/5 dari anggota dewan kotamadya.
Secara geografis, masing-masing kotamadya dibagi dalam distrik-distrik (canton), yang merupakan unit terkecil dari wilatah teritorial Bolivia. Dalam distrik-distrik tersebut, terdapat apa yang disebut sebagai Organisasi Teritorial Akar Rumput (Organizaciones Territoriales de Base, OTB), yang merupakan unit utama dari representasi sosial (sebagaimana diakui dalam Dekrit 23858, September 1994). Setelah bertahun-tahun, dan bahkan mungkin berabad-abad, diabaikan dan tidak diakui, pemerintah nasional akhirnya mengakui organisasi-organisasi komunitas yang meliputi asosiasi warga urban, kelompok-kelompok penduduk asli pra-Hispanic, dan serikat-serikat petani campesino (Platt, 1999), dengan satu persyaratan utama, mereka tidak terjadi tumpang tindih keanggotaannya secara geografis. Masing-masing OTB harus masuk ke satu kotamadya, dan memilih wakilnya satu orang untuk duduk sebagai perwakilan dalam CM. Sejauh ini, berdasarkan data pemerintah dari 1994 hingga 1997, jumlah anggota organisasi CM ini 15.000 organisasi.
Setiap distrik menominasikan satu wakilnya untuk duduk di Komite Pengawas (Comité de Vigilancia, CV), yang merupakan organisasi pemantau lokal berbasis masyarakat sipil yang bertugas mengawasi pengeluaran dan anggaran kotamadya, memeriksa secara resmi, dan menyetujui anggaran pemerintah kotamadya dan rencana aksi tahunan, dan bahkan mereka juga bisa mengusulkan proyek-proyek baru. Menurut undang-undang, mereka yang aktif di CV tidak mendapatkan gaji atau kompensasi material lainnya. Masing-masing kotamadya memiliki tiga sumber utama pendanaan yakni, Partisipasi Bersama, Dana Kompensasi Departemen, dan Pajak Kotamadya. Boleh dibilang, tulang punggung dari desentralisasi di Bolivia adalah transfer yang sifatnya permanen dan otomatis dari 20 persen pendapatan negara dari pajak nasional ke pemerintah kotamadya berbasis per kapita, dan digunakan untuk pelayanan publik yang dikenal sebagai ”co-participation.” Dana-dana tersebut dapat dihentikan untuk sementara waktu melalui mekanisme berperannya CV. Singkat kata, melalui prosedur co-participation ini pendapatan pemerintah lokal meningkat, dimana kemudian pendaat warag turut meningkat.
Dampak Ekonomi Desentralisasi
Bagaimana dampak ekonomi dari proyek desentralisasi kepada pemerintahan lokal atau daerah? Adakah perbedaan yang signifikan dalam arus modal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah? Bagaimana dengan komposisi investasi atau pilihan prioritas investasi antara pemerintah pusat dan daerah?
Berdasarkan data yang ada, terlihat adanya perubahan dari arus modal yang masuk. Jika sebelum desentralisasi, sekitar 308 kotamadya hanya menerima sekitar 14 persen dari seluruh anggaran yang disalurkan. Sementara sekitar 86 persen sisanya diserap oleh hanya tiga kota besar. Namun, setelah program desentralisasi, komposisi ini berbalik menjadi 73 persen berbanding 27 persen. Selain itu, standar per kapita yang digunakan diprioritaskan kepada distrik-distrik yang lebih kecil dan terkebelakang atau miskin. Di sini terlihat ada perubahan yang drastis dari investasi publik yang lebih menyebar dibandingkan sebelumnya, yang hanya terkonsentrasi di 3 kota besar (La Paz, Santa Cruz, dan Cochabamba). Ini artinya, ada pemerataan dalam penyaluran anggaran, dan pada gilirannya akan memberi kesempatan dalam memerangi kemiskinan di tempat-tempat yang sebelumnya tidak pernah terjangkau oleh kehadiran pemerintah pusat. Kota-kota lain di Bolivia (rest of Bolivia) yang mengalami kenaikan dalam presentasi anggaran tersebut adalah Oruto (129 persen), Potosi (1058 persen), Sucre (363 persen), Tarija (213 persen), Trinidad (920 persen), dan Cobija (408 persen) (Faguet, 2004).
Sementara itu, dalam hal pendapatan pemerintahan lokal, sebagaimana ditunjukkan Gray-Molina (2001), gambarannya juga tidak jauh berbeda. Ada perubahan mendasar di sini. Sementara pada tahun 1993, 3 kota besar (La Paz, Santa Cruz, dan Cochabamba), menerima lebih dari 90 persen pembagian pendapatan, maka pada tahun 1997, pembagian mereka menurun drastis hingga 40 persen. Di lain pihak, pada periode yang sama, kota-kota lainnya pembagian pendapatannya bertumbuh dari 7.9 persen menjadi 61.2 persen.
Dalam soal komposisi investasi sektoral, juta terjadi perubahan yang cukup mendasar. Menurut Faguet (2005), terdapat perbedaan yang besar antara investasi pemerintah pusat dan pemerintah lokal terhadap sektor-sektor yang ada selama periode tahun 1991-93 dan 1994-96. Dalam tahun-tahun sebelum pembaharuan terjadi, pemerintah pusat kebanyakan menginvestasikan anggarannya ke sektor transportasi, hidrokarbon (hydracarbon), multisektoral, dan energi yang secara persentase menyerap sekitar 73 persen dari anggaran yang ada. Sebaliknya, setelah proyek desentralisasi dilakukan, investasi yang berasal dari anggaran bergerak ke sektor-sektor seperti pendidikan, pembangunan urban, air dan sanitasi, yang persentasenya mencapai sekitar 79 persen dari investasi municipal. Dari kecenderungan yang sangat berbeda ini ada dua hal yang bisa disimpulkan: (a) tidak ada sama sekali persamaan (one in common) di antara dua invetasi publik yang ada, dan ini artinya (b), ada perbedaan prioritas dalam menggerakan investasi publik antara pemerintah pusat dan pemerintah lokal. Pada titik ini, bisa dikatakan, program desentralisasi yang dijalankan telah membalik prioritas investasi publik yang sebelumnya pro-bisnis ke arah pro-masyarakat.
Gambaran lainnya bisa juga dilihat dalam soal bagaimana investasi publik didistribusikan secara geografis di antara pemerintahan lokal di Bolivia sebelum dan sesudah desentralisasi. Masih menurut Faguet, investasi per kapita sebelum desentralisasi sangat timpang, dimana investasi terbesar diserap hanya pada 3 distrik utama, dan sisanya bisa dibilang mendekati nol. Sebaliknya, setelah desentralisasi berjalan, tidak ada lagi distrik yang memiliki per kapitas di atas Bs. 700. Rata-rata investasi di masing-masing pemerintah lokal dalam periode tersebut adalah Bs 208 per kapita. Indikator ini lagi-lagi memperlihatkan bahwa pemerintah pusat dengan anggaran atau pendanaan yang besar, dan sangat otonom, menjalankan distribusi invetasi yang sangat timpang di seluruh wilayah Bolivia. Hal mana berlawanan dengan pemerintah yang sudah mengalami desentralisasi yang menjalankan investasi publik dengan distribusi yang lebih merata.
Program desentralisasi di Bolivia, juga terbukti mampu meningkatkan kepekaan pemerintah terhadap kebutuhan nyata masyarakat lokal. Setelah 1994, inverstasi di sektor pendidikan, air dan sanitasi, pengelolaan air, dan pertanian adalah fungsi positif terhadap laju melek huruf dan laju penyaluran air dan kotoran, serta laju perbaikan gizi di banyak wilayah Bolivia (Faguet, 2005). Peningkatan investasi ini menunjukkan adanya perubahan komposisi, dari semula hanya berkonsentrasi pada masalah kesehatan dan pendidikan, kemudian mulai menaruh perhatian pada sektor lainnya seperti, sanitasi, irigasi, dan dukungan terhadap para petani dan peternak di wilayah pedesaan (Perales, 2003). Bahkan sejak 1995, proses desentralisasi di Bolivia yang memberikan kekuasaan pada badan-badan di tingkat regional dan kotamadya, langsung maupun tidak, telah memberikan kontribusi dalam hal peningkatan pendapatan yang dialokasikan untuk memberantas kemiskinan. Ini sangat pararel dengan sejumlah insentif keuangan (seperti hibah atau kredit jangka panjang) dari pemerintah pusat untuk mendorong pengalokasian sumber-sumber pendanaan yang sudah didesentralisasikan agar diarahkan langsung kepada wilayah-wilayah yang miskin dan terkebelakang (poverty reduction areas) (Perales, 2003).***
Nur Iman Subono, staf pengajar di Jurusan Politik Reguler dan Pasca Sarjana, FISIP UI, disamping sebagai peneliti di DEMOS, Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi, Jakarta.
Artikel ini sebelumya dipresentasikan dalam Konferensi dengan tema, “Beyond Poverty Reduction: Promoting a Comprehensive Social Policy Framework for Decentralized Indonesia”, Jakarta, 27-28 Juni 2007, yang diadakan oleh Perkumpulan Prakarsa, Jakarta.
Untuk kepentingan kenyamanan membaca, catatan kaki dihilangkan.