HARI raya Idul Adha disebut juga sebagai Hari Raya Idul Qurban karena pada hari tersebut dan hari tasyriq, yakni tiga hari setelah hari raya Idul Adha[1], kaum muslim ber-qurban hewan.
Ada sebuah cerita menarik mengenai makna ber-qurban. Begini ceritanya:
Suatu ketika, ada seorang bapak tua bertandang ke rumah seorang kiai yang dianggap Alim. Ia datang menemui kiai tersebut hanya dengan satu tujuan: menanyakan makna qurban.
Ia merasa gelisah setelah mendengar ceramah kiai di kampungnya, yang mengatakan bahwa siapapun orang yang telah ber-qurban, dilarang ikut memakan hewan qurbannya, meski hanya secuil dagingnya saja. Sebab hewan tersebut akan menjadi kendaraan yang mengangkut pemiliknya menuju sorga. “Sampean[2] bayangkan”, kata sang kiai, “kalau sampean ikut makan kaki kambing yang sudah sampean qurban-kan. Kambing tersebut akan pincang dan tidak kuat mengangkut sampean menuju sorga.”
Ia gelisah sebab ia sendiri ternyata ikut memakan daging kambing qurban-nya. Ia takut tak diterima qurban-nya oleh Allah dan khawatir kalau benar hewan qurban-nya kelak akan cacat dan tak bisa membawanya menuju sorga.
Di hadapan kiai Alim, ia ceritakan semua kegelisahannya.
“Mohon maaf sebelumnya kalau saya keliru. Saya mendengar ceramah kiai di kampung saya yang mengatakan bahwa kambing-kambing yang di-qurban-kan akan menjadi kendaraan menuju sorga. Apakah orang yang ber-qurban dan turut memakan daging qurban-nya, maka hewan qurban-nya akan mengalami cacat kelak di akhirat? Kalau kambing-kambing tadi memang menjadi kendaraan menuju sorga, saya pikir kok sorga jadi kayak kandang kambing.” Kurang lebih demikian pertanyaannya.
Sang kiai yang Alim menjawab semua kegelisahan pak tua tadi. Yang intinya adalah, yang dimaksud dengan kendaraan tak lain hanyalah metafora bahwa orang yang dengan ikhlas ber-qurban akan mengantarkannya pada keridlaan Allah.
Sang kiai Alim, menyitir sebuah firman Allah, Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. al-Hajj: 37)
Mendengar jawaban sang kiai Alim, pak tua tadi merasa lega dan hilanglah kegelisahannya. Ia sekarang tahu bahwa yang dimaksud sebagai kendaraan adalah keikhlasan seseorang dalam ber-qurban.
Cerita ini menandakan bahwa nilai agama seringkali dimaknai secara harfiah sehingga menimbulkan banyak masalah di kalangan masyarakat. Selanjutnya kita akan diskusikan pengertian dan makna qurban yang berangkat dari cerita ini.
***
Kata qurban berasal dari akar kata qaraba–yaqrabu–qurbaanan/kata: qurb + an. Kata qurb berarti “dekat” dengan imbuhan an (alif dan nun) yang mengandung arti “kesempurnaan”. Sehingga qurban atau kurban dalam bahasa Indonesia berarti “kedekatan yang sempurna”.[3]
Qurban secara terminologis berarti hewan yang di-qurban-kan atau disembelih pada hari raya Idul Adha. Dinamakan Hari Raya Idul Adha, karena prosesi ber-qurban biasanya dilaksanakan pada waktu Dhuha (matahari naik sepenggalahan) selepas sholat Idul Adha yang tujuannya adalah untuk mendekatkan diri pada Allah.[4]
Ritus ber-qurban sebagaimana kita saksikan sekarang, bermula dari kisah Nabi Ibrahim yang mendapat perintah Allah untuk mengorbankan putra kesayangannya. Dikisahkan, dalam pernikahannya dengan Sarah, Ibrahim tak kunjung dikaruniai seorang anak. Setelah lama menunggu, akhirnya Ibrahim memutuskan menikah lagi dengan seorang perempuan budak Mesir bernama Hajar. Dari pernikahannya tersebut, Ibrahim dikaruniai seorang putra yang diberi nama Ismail atau Yesma’el, yang berarti Allah mendengarkan doanya. Sesudah kelahiran Ismail, Sarah, istri pertamanya akhirnya juga mengandung dan melahirkan putra keduanya yang diberi nama Ishaq.
Berbeda dengan Yahudi, dalam versi Islam, yang dikorbankan Ibrahim bukanlah Ishaq, melainkan Ismail.
Dalam peristiwa spiritual yang mencekam dan singular, melalui mimpi, Allah memerintahkan Ibrahim untuk mengorbankan putra kesayangannya sebagai bukti kesetiaannya pada Allah. Ismail, putra yang telah lama dinanti-nanti kelahirannya—konon Ibrahim mempunyai anak Ismail di usia senja— tidak bisa tidak, akhirnya harus di-qurban-kan.
Ibrahim menceritakan perintah Allah tersebut pada putranya, sekaligus meminta pendapatnya. Dengan mantap Ismail menjawab: Ya Abatif’al maa tu’mar satajidunii insya Allah min al-shabirin,[5] Wahai ayahku sayang, kerjakan apa yang diperintahkan Allah kepadamu, insya Allah engkau mendapatiku termasuk orang yang sabar. Kisah qurban Ibrahim ini digambarkan dengan nada melankolik oleh Ali Shariati dalam satu bab berjudul “Kurban”dalam karyanya “Haji” yang berisi pemaknaan ibadah haji serta hal-ihwal yang terkait dengannya.[6]
Perintah ber-qurban yang sekarang kita laksanakan berdasarkan firman Allah, Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan ber-qurban-lah. (QS. al-Kautsar: 1-2).
Meski demikian, qurban sebenarnya sudah dikenalkan Allah pertama kali pada dua putra Adam, Qabil dan Habil. Keduanya diperintahkan Allah untuk ber-qurban sebagai solusi dari perselisihan di antara mereka perihal perjodohan. Dikisahkan Nabi Adam berencana menjodohkan Qabil dengan saudara kembar Habil, sedangkan Habil dijodohkan dengan saudara kembar Qabil. Rencana tersebut ditolak oleh Qabil yang ingin menikahi saudara kembarnya sendiri, yang dianggap memiliki paras lebih cantik.
Peristiwa qurban Qabil dan Habil dikisahkan Allah dalam QS. Al-Maidah, ayat 27.[7] Siapa yang diterima qurban-nya oleh Allah, ia lah yang berhak menikahi saudara kembar Qabil. Singkatnya, di ayat tersebut dikatakan bahwa qurban Habil lah yang diterima Allah swt, karena dilaksanakan dengan keikhlasan. Seperti telah diketahui, ujung dari perselisihan keduanya adalah kematian Habil yang dibunuh oleh Qabil karena dendam dan cemburu.
Sekarang mari kita kaitkan tiap-tiap kisah tadi, mulai kisah pak tua yang telah ber-qurban namun turut memakan daging qurban-nya, drama Ibrahim meng-qurbankan putranya, dan kisah paling purba umat manusia, perselisihan Qabil dan Habil. Apa makna dari semuanya. Mengapa Allah meminta hambanya ber-qurban? Jika Allah maha sempurna, maha kaya, dan maha segalanya, mengapa ia masih meminta dari manusia? Apakah sesungguhnya yang Allah minta dari qurban? Apakah yang tengah dikorbankan dari peristiwa qurban? Siapakah yang diuntungkan dari peristiwa ber-qurban, Allah atau manusia?
Kata qurban yang berarti mendekatkan diri pada Allah, sesungguhnya sangat dekat dengan kata korban yang merujuk pada pengorbanan dalam bahasa Indonesia. Maka sengaja sejak semula, saya tetap memakai bentuk bahasa arab “qurban” untuk merujuk peristiwa penyembelihan hewan qurban untuk membedakannya dengan kata “korban” yang merujuk pada pengorbanan.
Maka kalau dicermati dengan baik, prasyarat qurban adalah adanya sesuatu yang dianggap berharga untuk dikorbankan. Kalau tak ada sesuatu berharga yang dikorban, maka tak bisa dikatakan sebagai qurban.
Qurban yang kita kerjakan dan semua ritus keberagamaan lainnya, tak hanya dalam Islam, sesungguhnya adalah simbolisasi perjuangan manusia menggapai kebajikan hidup. Tak ada hidup yang baik tanpa sebuah pengorbanan. Sebagai contohnya, ketika baru saja dibebaskan dari Siberia pada Februari 1900, bisa saja sebenarnya Lenin tidak kembali dalam perjuangan yang telah ditinggalkannya setahun sebelumnya, sejak 1895. Ia bisa memilih mengasingkan diri bersama kekasihnya Nadezhda Krupskaya, menghabiskan hidup dengan bersenang-senang, atau masuk partai borjuis seperti banyak mantan aktivis kiri di Indonesia yang demor dan gemar berdebat di twitter. Tapi Lenin memilih mengorbankan kesenangannya. Ia kembali berjuang mengumpulkan kawan-kawannya, dan menerbitkan Iskra (Percikan Api), pada Desember 1900. Bahkan dalam masa paling sulit perjuangannya pasca terjadinya perpecahan partai di kongres yang diselenggarakan pada Juli dan Agustus 1903, ia memimpin Bolsheviek yang independen, dan menyusun ulang langkah perjuangannya. Setelah kekalahan revolusi 1905, ia hidup semi-ilegal dan dikejar-kejar, sampai akhirnya meninggalkan Rusia 1907. Dan ketika hidup di Inggris, ia tetap menjadi editor Iskra dan menghabiskan banyak waktunya untuk membaca di British Museum, sebagaimana pernah Marx lakukan empat puluh tahun sebelumnya, duduk berhari-hari mencari bahan untuk menulis Das Kapital-nya.[8] Pendeknya, Lenin telah mengorbankan kesenangan personalnya untuk suatu hal yang jauh lebih besar.
Demikian juga di Indonesia. Bisa saja para pejuang kemerdekaan seperti Tan Makala, Semaun, atau Sukarno, memilih hidup sebagai ambtenaar, menjadi priyayi yang hidup dengan menempel pada kolonial Belanda. Namun mereka memilih berjuang bersama rakyat lainnya. Resiko besar mengintainya. Menjadi buronan yang dikejar-kejar pemerintah kolonial, dipenjara, melarat, bahkan hidup dalam pembuangan atau dibunuh. Mereka mengorbankan kesenangan dirinya untuk sesuatu yang jauh lebih besar, yakni kemerdekaan bangsanya.
Karena itu Allah mengatakan dalam Al-Qur’an, Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (Q.S. Ali Imran: 92). Apa artinya? Seseorang akan mendapatkan kebajikan hidup jika ia berani mengorbankan apa yang paling dicintai dari hidupnya.
Dalam drama qurban Ibrahim, Allah meminta Ismail, karena itu yang paling dicintainya, meski kemudian Allah menggantinya dengan domba. Mengapa? Sebab domba merupakan perlambang dari kekayaan masyarakat nomaden di Jazirah Arab. Sedemikian, siapapun yang berani mengorbankan dari apa yang paling dicintainya untuk hidup yang lebih baik bagi banyak orang, khususnya kaum papa, maka sesungguhnya ia tengah ber-qurban.
***
Problem utama keberagamaan kita sekarang sekurang-kurangya ada dua, yakni gagalnya menggali nilai sebuah ritus dan mengaktualisasikannya dalam konteks kontemporer. Seperti qurban hanya menjadi ritus yang dikerjakan berulang-ulang yang kehilangan relevansinya di abad yang makin menggila ini. Seperti cerita pak tua dan kiai di kampung yang gagal menangkap makna qurban di awal tulisan ini.
Dengan mengatakan bahwa ritus beragama sebagai simbol, bukan berarti hendak menanggalkan ritus tersebut ketika telah digali nilai dibaliknyanya. Tidak demikian. Sebab agama tanpa ritus tak lagi bisa dikatakan sebagai agama. Propaganda meninggalkan ritus agama sama dengan seruan untuk mencongkel agama itu sendiri. Sebagai sebuah nilai hidup di antara nilai-nilai lainnya di dunia, agama selalu relevan, kalau mampu mengaktulisasikannya dalam kondisi yang paling mutakhir.
Semua ritus ibadah dalam Islam selalu berdimensi sosial, atau bisa dikatakan semua ritus dalam Islam adalah simbolisasi perjuangan sosial yang material, imanen dan historis. Namun dari semua ritus Islam, qurban menjadi salah sebuah ritus yang paling mudah ditangkap maksudnya. Sehingga wajar, di dalam Islam ibadah muta’addiyah atau ibadah sosial lebih diprioritaskan, ketimbang ibadah qashirah atau ibadah individual.
Sayangnya di Indonesia, yang terjadi justru sebaliknya, ibadah individual lebih diutamakan ketimbang ibadah sosial. Orang yang dianggap saleh adalah orang yang selalu pakai pakaian yang disebut busana muslim (yang sebenarnya dikonstruksi dan direproduksi kapitalisme), banyak mengikuti majelis zikir dan shalawat, atau yaling paling banyak ber-umrah ke tanah suci.
Seharusnya spirit qurban bisa mengantisipasi persoalan sosial di negeri ini, seperti ketimpangan sosial yang kian melebar. Tahun ini, Oxfam merilis laporan yang menyatakan bahwa harta empat orang terkaya di Indonesia mencapai US$ 25 miliar atau setara Rp 333,8 triliun. Sedangkan total kekayaan 100 juta penduduk miskin di Indonesia sebesar US$ 24 miliar atau sekitar Rp 320,3 triliun. Itu artinya, kekayaan empat orang terkaya di Indonesia adalah sama dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin.
Rilis Oxfam dan IFID tersebut berdasar pada laporan Credit Suisse yang menyebutkan bahwa 40 persen atau 100 juta penduduk miskin Indonesia memiliki kekayaan 1,36 persen dari total kekayaan penduduk nasional. Dari data tersebut disimpulkan bahwa kekayaan 40 persen penduduk termiskin Indonesia sebesar US$ 24 miliar atau setara Rp 320 triliun.[9]
Ketimpangan sosial yang terjadi sesungguhnya tak hanya tantangan nasional, tapi juga global. Satu persen manusia menguasai sembilan puluh sembilan persen hajat hidup manusia lainnya. Salah sebuah upaya mengaktualisasi qurban adalah membacanya sebagai visi sosialistik Islam. Visi sosialistik Islam secara eksplisit tercermin dalam pengorbanan atas apa yang paling dicintai untuk kehidupan yang lebih baik sebagai satu-satunya jalan meraih kebajikan hidup seorang muslim.
Sebagaimana telah disebutkan, bahwa ritus qurban adalah simbol dari latihan menuju pengorbanan yang lebih besar, maka kelak puncak dari pengorbanan manusia adalah menanggalkan klaim hak milik pribadinya dan mengembalikannya pada Allah sebagai pemilik sesungguhnya. Dari sini diteguhkan kembali posisi manusia sebagai mandataris yang hanya bertugas mengelola bumi untuk kemaslahatan bersama, bukan mengkapling-kaplingnya dan mengeruknya demi keuntungan pribadi.
Penanggalan klaim kepemilikan pribadi atas alat produksi merupakan pengorbanan tertinggi manusia beriman pada Allah, sebab klaim kepemilikan inilah yang paling dicintai dari apapun di dunia ini, yang telah menyebabkan ketimpangan dan malapetaka. Dengan demikian, qurban tidak boleh dibaca secara naif dan minimalis dalam semangat kapitalisme sosial, seperti CSR perusahaan yang seringkali dipropagandakan banyak dai. “Tidak apa-apa mengisap kelas pekerja dengan sekadar memberinya upah minimum, asal menyalurkan CSR-nya melalui lembaga-lembaga amil zakat Islam” yang justru melanggengkan penghisapan dan ketimpangan.
CSR dan segala donor konglomerat, tak bisa dikatakan sebagai pengorbanan sebab tidaklah sebanding dengan apa yang telah dihisapnya dari keringat kelas pekerja dan apa yang telah dikeruknya dari bumi yang seharusnya dikelola secara bersama. Naudzubillah mindzalik***
Jombang, 30 Agustus 2017
—————–
[1] Yang dimaksud sebagai hari tasyriq adalah tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.
[2] Bahasa jawa berarti “Anda”.
[3] Kata qurban berulang tiga kali dalam al-Qur’an, yaitu pada QS. Ali Imran: 183; QS. al-Ma’idah: 27; dan QS. al-Ahqaf: 28.
[4] Muhammad Quraish Shihab, Lentera Hati, (Bandung: Mizan, 1995), hal. 413. Dan lih. Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hal. 275.
[5] Kisah ini selengkapnya ada ada dalam al-Qur’an, Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang yang sabar. (QS. al-Shaffat: 102).
[6] Lih. Ali Shariati, Haji, (Bandung: Pustaka, 1983), hal. 103.
[7] Ceritakanlah kepada mereka (manusia) kisah kedua putra Adam menurut yang sebenarnya. Ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil), ‘Aku pasti membunuhmu’. Berkata Habil, ‘sesungguhnya Allah (hanya) akan menerima (qurban) dari orang-orang yang bertakwa’. (QS. Al-Maidah: 27).
[8] Lih. Christopher Hill, Lenin Teori dan Praktek Revolusioner, (Yogyakarta: Resist Book, 2009).
[9] Lih. http://oxfamblogs.org/indonesia/ketimpangan-ekstrem-dapat-dihindari/, http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39060857 dan https://www.businessimmo.com/system/datas/92488/original/global-wealth-databook-2016.pdf