Hutan Adat dan Narasinya Yang Tak Pernah Selesai

Print Friendly, PDF & Email

Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)

 

SEJAK kemerdekaan Indonesia, tahun-tahun kebahagian yang dinantikan masyarakat hukum adat untuk dapat menikmati hak terhadap tanah dan hutan adatnya sendiri belum mengalami titik terang. Tantangan demi tantangan justru hadir semakin berat dan terus menggoyahkan posisi mereka selaku penyandang hak (subjek hak) yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar.
Meskipun harus berhadapan dengan berbagai macam kasus, keyakinan akan diri sendiri dalam hidup dan menghidupi justru tidak melemahkan semangat untuk mempertahankan hak mereka agar tidak dirampas begitu saja oleh siapapun dan dengan alasan apapun. Perampasan tanah, pengalihan hutan adat sebagai kawasan produksi, logging, konservasi, mega proyek pangan, dan berbagai macam lagi adalah contoh nyata bagaimana masyarakat hukum adat kehilangan haknya. Dan Negara, sebagai pengambil kebijakan, justru tampil sebagai aktor perampasannya yang berkongsi dengan korporasi.

Jauh sebelum kemerdakan Republik Indonesia, masyarakat hukum adat sudah lebih dulu ada dengan cara hidup yang beragam dengan memanfaatkan hutan secara lebih baik serta unsur pemanfaatan secara bersama. Masyarakat hukum adat, menurut Hazairin, adalah kesatuan-kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya[1]. Konteks sejarah yang panjang telah mengikat mereka dengan apa yang disebut sebagai hak, sebagai harta yang berharga.

Selain itu, bukan saja sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan subsitensinya, hutan juga dianggap sebagai wilayah sakral yang kadang digunakan sebagai ritus-ritus persembahan untuk memenuhi kebutuhan religius mereka. Sebuah bentuk terima kasih terhadap sang pemilik semesta yang mereka yakini.

Bahkan jauh sebelum itu, hak yang dimiliki oleh masyarakat ini merupakan sesuatu hal yang sudah mengakar dan menjelma menjadi sebentuk identitas dan karakter dari ciri masyarakat adat itu sendiri. Identitas yang digunakan sebagai pertahanan diri. Karakter atau identitas adalah mental yang dikonstruksi bertahun lamanya sesuai kondisi sosial-ekologis (lingkungan), dan hal ini tidak bisa diubah dengan cepat. Apalagi atas nama pembangunan, dengan sengaja mengganti karakter dan identitas mereka adalah alasan yang sungguh keliru.

Orang atau masyarakat yang lahir dengan karakter atau mentalnya yang agraris, sudah tentu akan mengalami masalah jika karakter atau mental tersebut diubah (dipaksa) menjadi yang bukan agraris. Kebijakan negara untuk memindahkan masyarakat dalam program pemukiman kembali (resettlement) adalah salah satu contoh bagaimana kebijakan tersebut malah tidak di dukung oleh penerima program (masyarakat). Sebab biasanya pemindahan kembali ini justru malah akan menjauhkan masyarakat dari sumber hidupnya, dari cara mereka mengelola hidup. Bahkan tak jarang menimbulkan masalah yang lebih besar. Contoh paling awal dalam pemukiman kembali yang menimbulkan masalah adalah tahun 1912-1915, ketika ratusan penduduk pegunungan di barat Palu menemui ajal setelah dipaksa pindah ke lembah[2].

Kemudian pada masa Orde Baru (1965-1998), intervensi untuk menata kehidupan dan penghidupan di wilayah pegunungan dimulai lagi. Ajaibnya, ternyata banyak proyek Orde Baru meniru teknik-teknik pemerintah kolonial, seperti pemindahan penduduk, penutupan hutan dari kegiatan masyarakat, serta intensifikasi pangan[3].

Pembangunan digunakan sebagai dalih untuk menyasar hutan-hutan masyarakat. Penyebutan “masyarakat terasing” adalah label yang disematkan oleh negara kepada mereka. Ini dimungkinkah agar proyek-proyek pembangunan atas nama kemajuan bisa diterima dengan alasan bahwa mereka memang terasing dan butuh penanganan. Alasan ini tentu saja tidak tepat, sebab label yang disematkan oleh negara hanyalah omong kosong agar tanah dan hutan yang dimiliki masyarakat secara luas ini bisa dikuasai dengan gampang tanpa perlawanan yang dapat merugikan. Selain itu, Kebijakan Negara juga dimulai dengan cara mengeluarkan regulasi-regulasi baru yang lebih fleksibel agar kebutuhan untuk mendapatkan hutan-hutan ini menjadi lebih cepat dan mudah.

 

Tanah Untuk Korporasi : Orde Baru Memulai

Tahun 1960 di masa Presiden Soekarno, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dikeluarkan sebagai bentuk untuk pengelolaan tanah yang bersifat komunal dan dikelola secara kolektif oleh masyarakat-masyarakat yang memilikinya, tidak terkecuali masyarakat hukum adat. Prinsipnya adalah agar tanah-tanah Indonesia dapat digunakan oleh siapa saja yang mau mengerjakannya, bukan untuk penguasa atau untuk modal sekalipun. Istilahnya tanah untuk rakyat (land for the People) atau tanah untuk petani penggarap (land for the Tillers). Sistem redisitribusi tanah secara merata ini disebut land Reform. Hal ini dilakukan Soekarno agar pemenuhan sumber kebutuhan sebagian besar masyarakat Indonesia ini dapat dinikmati secara adil dan merata.

Hanya saja setelah tahun 1965, akibat pergolakan politik yang memanas dan susah di kontrol pada masa kekuasaannya, dimana Soekarno dipaksa mundur dan menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto melalui Surat Perintah Sebelas Maret (supersemar), proyek land reform ikut berhenti. Rezim baru dimulai, dengan kekuasaan penuh dan lapar tanah. Terbukti setelah dua tahun memerintah, pemerintahan Soeharto telah menciptakan regulasi-regulasi baru untuk membuka keran ekonomi melalui investasi untuk korporasi-korporasi besar.

Melalui Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan dan Undang-undang No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, korporasi-korporasi di Indonesia mulai melebarkan sayapnya. Kemunculan ketiga undang-undang ini semakin melemahkan sistem pendsitribusian tanah yang sudah di jalankan sejak tahun 1960 dengan semangat agraria atau Land Reform yang terkandung dalam UUPA 1965. Di tahun-tahun inilah, perusahaan yang kini ramai dibincangkan karena kasus ‘papa minta saham’, Freeport Indonesia, mengeruk tanah-tanah suku Amungme dan mencerabut orang-orang suku Amungme dari lanskap dan ruang hidupnya. Gunung-gunung di Timika itu telah menjadi lubang galian tailing yang sampai kapanpun takkan bisa kembali menjadi seperti keadaan sebelum rusak dihantam logika ekstraktif perusahaan tambang raksasa.[4]

Pada rezim inilah semangat politik yang diusung oleh pemerintahan sebelumnya seperti tanah–tanah yang dikelola oleh setiap orang dengan merata tanpa kecuali mulai mengerut dan hampir tidak muncul sebagai isu nasional.

Reforma Agraria (Land Reform)perlahan-lahan lenyap dari agenda politik pertanahan nasional. Semangat pemerintahan sebelumnya untuk membagikan tanah untuk rakyat (land for the people) atau tanah untuk petani penggarap (land for the tillers) semakin redup. Disaat bersamaan pemerintahan Soeharto semakin menunjukkan keberpihakannya kepada modal, kepada korporasi.

Menurut Vandergeest dan Peluso (1995), Proses penguasaan negara terhadap hutan berlangsung melalui sedikitnya tiga tahapan teritorialisasi. Pertama-tama, negara mengklaim semua tanah yang dianggap “bukan tanah milik siapa-siapa” sebagai milik negara. Pada tahap ini, negara bermaksud mendapatkan pendapatan dari ekstraksi sumberdaya alam. Tahap berikutnya adalah menetapkan batas-batas tanah yang dinyatakan sebagai milik negara untuk menekankan kontrol wilayah oleh negara terhadap hutan. Setelah batas-batas sebuah wilayah ditetapkan, wilayah itu akan menjadi tertutup dan negara melarang siapa pun untuk mengakses wilayah tersebut berikut sumberdaya hutan di dalamnya, kecuali jika negara mengizinkan atau memberikan konsesi.[5] Tahap terakhir adalah negara meluncurkan program yang membagi-bagi hutan ke dalam berbagai macam fungsi berdasarkan kriteria ilmiah seperti lereng, curah hujan, dan tipe tanah. Hasil utama program ini adalah zonasi terhadap sebuah wilayah untuk mengatur tipe-tipe aktivitas yang diizinkan pada setiap zona (Vandergeest 1996).[6]

Tahapan awal teritorialisasi di kepulauan Nusantara terjadi ketika negara menetapkan wilayah-wilayah tertentu menjadi “kawasan hutan”. Wilayah-wilayah yang dinyatakan negara sebagai kawasan hutan itu disebut Peluso dan Vandergeest (2001) sebagai “hutan politik” (political forest). Disebut sebagai “hutan politik” karena pertama, penetapan wilayah-wilayah tersebut sebagai kawasan hutan memiliki latar belakang politik (termasuk ekonomi politik). Kedua, penetapan tersebut berlangsung melalui proses politik tersendiri (dan bukan tidak mungkin melalui pertarungan politik tersendiri). Ketiga, dipengaruhi kepentingan politik dan ditetapkan melalui proses politik, wilayah-wilayah yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan bisa jadi tidak ditutupi oleh hutan atau tanaman berkayu lainnya. Dengan kata lain, sebuah lahan yang ditutupi alang-alang, lahan pertanian, ladang, atau kampung dapat ditetapkan sebagai bagian dari kawasan hutan.[7]

Rezim Orde Baru Soeharto memang mengedepankan hutan sebagai sarana utama untuk menaikkan tingkat ekonomi. Konsep hutan berskala industri untuk mengendalikan tanah dan sumber daya hutan. Agar dapat mengamankan proses ini, melalui Undang-undang No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, pemerintah melanjutkan tren negatif sistem kolonial dimana semua lahan hutan diklaim menjadi milik negara dan harus dikelola dengan sistem yang di kontrol oleh pemerintah.

Meskipun Orde Baru sudah bangkrut, bukan berarti reformasi menjamin kehidupan lebih baik terhadap masyarakat hukum adat. Apalagi atas hak-hak dan tanah mereka yang menjadi sasaran empuk Negara dan korporasi. Setahun setelah reformasi, pemerintah kembali mengeluarkan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Alasannya, undang-undang sebelumnya yang mengatur tentang kehutanan sudah tidak berlaku lagi sehingga perlu diganti.[8] Dalam undang-undang tersebut, Negara bahkan kembali menegaskan kekuasaannya terhadap hutan melalui pasal 5 ayat (1) “Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari a. Hutan negara, dan b. Hutan hak”. Selanjutnya pada ayat (2) “Hutan Negara sebagaimana dimaksud padaa ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat”. Frasa negara yang ditambahkan melalui undang-undang ini pun kemudian menjadi salah satu masalah yang kian melilit masyarakat hukum adat yang mendiami hutan-hutan tersebut dalam beberapa tahun belakangan

 

Hukum: Instrumen Yang Belum Selesai

Karenanya, hasil dari putusan ini belum begitu kuat dan signifikan untuk menguatkan status terhadap hak masyarakat hukum adat. Mereka yang hidup di dalam wilayah hutan apalagi, adalah bagian dari masyarakat yang sangat rentan terhadap intimidasi dan diskriminasi atas nama negara dan pembangunan.

Dalam beberapa perkembangannya, putusan MK tersebut juga belum bisa dijadikan sebagai putusan tetap untuk dapat menguatkan masyarakat adat terhadap wilayah hutan. Sebab setelah putusan MK tersebut dilahirkan, bentuk tafsiran lain kembali diterbitkan oleh Menteri Kehutanan melalui Surat Edaran. Isi surat edaran tersebut sangatlah jauh bertentangan dengan isi dari UU No 41 Tahun 1999, yang dalam putusan MK melakukan uji materi terhadap pasal-pasal yang bertentangan.

Dalam Surat Edaran yang bernomor SE.1/Menhut-II/2013 Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi, tafsiran lebih lanjut tentang status hutan terhadap putusan MK ini pada pasal 5 ayat (1) dimana berdasarkan statusnya hutan terdiri dari, “a. Hutan Negara; b. Hutan Adat; dan c. Hutan Hak”. Dan yang kedua adalah pada Peraturan Menteri Kehutanan No P62/Permenhut-II/2013 pada pasal 24a ayat (3) “Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah masyarakat hukum adat berada dalam kawasan hutan, dikeluarkan dari kawasan hutan”. Tentu saja jika dalam kedua aturan ini, tafsiran yang diberikan terhadap putusan MK jelas sangat berbahaya dan menyalahi secara filosofi dan yuridis.

Dalam semangat tafsiran yang diberikan oleh MK adalah demi menjaga kelancaran berbangsa dan bernegara, serta menjamin terciptanya rasa aman untuk seluruh warga negara, maka masyarakat hukum adat dianggap sebagai satu subjek hukum penyandang hak yang harus diberlakukan dengan adil dan setara adalah salah satu alasan filosofisnya. Sementara untuk alasan yuridisnya, dengan tegas bahwa kedua putusan di atas untuk surat edaran menteri, dalam putusan MK hutan sendiri hanya dibagi menjadi dua, yaitu hutan negara dan hutan hak. Dimana hutan adat adalah bagian dari hutan hak. Tafsiran dari surat edaran tersebut yang turut membagi hutan adat menjadi satu status hutan sendiri jelas sangat bertentangan dengan putusan MK. Dan kedua, yang paling khusus, adalah Peraturan Menteri Kehutanan No P62/Permenhut-II/2013 yang jelas sangat bertentangan dengan UU Kehutanan setelah hadirnya putusan MK tersebut.

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya telah menetapkan bahwa hutan adat sendiri bukanlah lagi hutan negara. Dengan menghilangkan frasa negara, MK telah memberikan tanggung jawab utuh kepada masyarakat hukum adat agar dapat mengelola hutan adatnya sendiri dengan mandiri serta status hutan adat tersebut hanya dimasukkan dalam hutan hak. Memutuskan untuk mengeluarkan hutan adat dari kawasan hutan jelas memiliki implikasi yang sangat berbahaya secara hukum karena selain bertentangan dengan putusan MK, pemberian norma baru pada level peraturan menteri kehutanan jelas sangat bertentangan dengan UU No 12 Tahun 2011, dimana dalam keputusan yang dikeluarkan oleh MK harus diatur dengan lebih lanjut dalam undang – undang.

Padahal, jauh sebelum hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi ini, keberadaan masyarakat hukum adat sebenarnya sudah terakomodir dalam UUD Tahun 1945 Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Maka dengan begitu, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat adalah hak konstitusional yang tidak bisa dibatalkan oleh undang-undang di bawahnya, sekalipun memang ada pertentangan, maka level penyelesaiannya menjadi tanggung jawab Mahkamah Konstitusi.

Demikan pula, pengakuan terhadap masyarakat adat juga sudah diakui sendiri dalam UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria Pasal 3 yang menyebutkan “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak-ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.” Dengan demikian, hak masyarakat hukum adat seharusnya lebih diperhatikan di samping bukan hanya tertuang dalam UUD 1945, tetapi juga tertuang dalam UUPA 1960.

Pada tahun 2014, Komnas HAM melakukan penyelidikan nasional (Inquiri) untuk menjembatani konflik-konflik yang terjadi antara masyarakat hukum adat dengan pihak-pihak yang bersengketa, termasuk negara maupun swasta. Meskipun dalam perjuangan memperbaiki hidup dan kehidupan paling fundamental dari masyarakat hukum adat dirasa masih sangat jauh dari harapan, tetapi dengan hadirnya penyelidikan secara nasional terhadap kepentingan masyarakat hukum adat, dapat dianggap sebagai upaya yang baik sebagai kehendak untuk menyelamatkan hak-hak masyarakat hukum adat yang dirampas secara paksa oleh pihak-pihak yang terkait. Hasil-hasil dari penyelidikan tersebut kemudian menjadi rekomendasi kepada Pemerintah, dalam hal ini Negara, untuk lebih memerhatikan masyarakat hukum adat sebagai penyandang hak wilayah hutan dalam kebijakan – kebijakan pembangunan ke depan. Jika masyarakat hukum adat dapat berpartisipasi dalam pembangunan, maka kecenderungan untuk melanggar hak adat bisa dapat diatasi secara komunal dan teratur.***

 

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon, Angkatan 2010


Kepustakaan:

Gunawan Wiradi, Seluk Beluk Masalah Agraria: Reforma Agraria dan Penelitiann Agraria, STPN Press, Yogyakarta, 2009

Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2012

Tania Murray Li, The Will To Improve, Marjin Kiri, Tangerang, 2012

Myrna A. Safitri dan Grahat Nagara, Policy Paper Epistema, Vol 1, 2015

Mia Siscawati, Jurnal Wacana No. 33, Tahun XVI, 2014

Yance Arizona, Jurnal Wacana No. 33, Tahun XVI, 2014

Yesua YDK Pellokila, MK 35/2012: Hak Tenurial Masyarakat Hukum Adat Adalah Hak Konstitusional, Jakarta, 2012

http://indoprogress.com/2016/02/bagaimana-rakyat-terlepas-dari-tanahnya/

 

————–

[1] Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2012 hal 93

[2] Henley, Fertility, Food, and Fever, Kematian ini disebabkan oleh bencana kelaparan dan wabah disentri. (Dalam Tania Muray Li – The Will Ti Improve, Marjin Kiri, 2012, hal 140).

[3] Ibid., hal. 147.

[4] Lihat, http://indoprogress.com/2016/02/bagaimana-rakyat-terlepas-dari-tanahnya/

[5] Dikutip dari Mia Siscawati dalam Jurnal Wacana No. 33, Tahun XVI, 2014, Hal 7

[6] Ibid., Hal 7

[7] Ibid., Hal 7-8

[8] Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.