BERITA Kompas, 11 Januari 2005, “Peradilan Tak Pernah Jera”, memancing kita untuk berpikir ulang dalam kerangka strategi pemberantasan korupsi. Dengan menyitir peribahasa Inggris, “It takes two to tango” (perlu dua orang untuk berdansa) kita diingatkan bahwa korupsi bukanlah semata-mata permasalahan dalam birokrasi.
Akan tetapi, sebagian besar definisi tentang korupsi lebih merujuk pada aparat pemerintah, sehingga seakan-akan aktor dalam korupsi adalah melulu pada birokrasi. Ambil contoh definisi dari Transparency International yang mengatakan bahwa korupsi adalah “the misuse of entrusted power for private benefit.” (penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan [oleh publik] untuk kepentingan pribadi). Pemakaian istilah “entrusted power” dalam konteks tersebut mengacu pada kekuasaan publik yang dipilih. Dengan demikian sektor swasta seakan-akan dilepaskan dari ‘tanggung jawab’ dalam permasalahan korupsi.
Perspektif kaca mata kuda (unidirectional) dalam memandang kasus korupsi memberikan pendekatan yang berbeda dalam penangan masalah pemberantasan korupsi. Dengan perspektif satu arah itu, korupsi seakan-akan hanyalah permasalahan ‘individual moral hazard’ yang ditangani dengan pendekatan penegakan hukum.
Penegakan hukum, kendati penting, tidak lah cukup. Perspektif ekonomi-politik dalam kasus korupsi memberikan pemahaman baru bahwa korupsi dapat terjadi bukan hanya karena ‘individual moral hazard’ melainkan juga karena permasalahan struktur hubungan politik dan pemodal.
Perspektif ekonomi-politik dalam memandang permasalah korupsi menjelaskan mengapa dalam suatu negara dengan institusi yang cukup ketat dan rapih pun masih terjadi korupsi, sebagaimana terjadi di negara-negara maju. Bahkan, korupsi pun terjadi di luar birokrasi pemerintahan, yaitu ‘korupsi pasar’ sebagaimana ditunjukkan oleh kasus-kasus Enron, Tyco, Xerox, Adelphia, Qwest, Global Crossing, WorldCom, ImClone System, Halliburton, and Vivendi (B. Herry Priyono, “Korupsi Pasar”, Kompas 25 Juni 2003).
Sebuah riset yang dilakukan Daniel Kaufmann (2003) menunjukkan bahwa korupsi memiliki kecenderungan untuk terjadi pada negara-negara dimana birokrasi berada pada posisi tawar yang lebih lemah daripada sektor swasta. Pada situasi seperti itu, terdapat tendensi terjadinya kerjasama terselubung (illicit) antara sektor swasta dan sektor publik dalam penyusunan peraturan-peraturan dan kebijakan publik.
Hal itu menyebabkan tumpulnya cara-cara ortodoks pemberantasan korupsi yang dilakukan melalui reformasi yudisial. Hal itu disebabkan perangkat pelaksana hukumnya tetap sama dan –yang lebih penting—tidak ada upaya memutus hubungan keuangan antara pemegang kekuasaan publik (eksekutif dan legislatif) dengan swasta (pengusaha).
Dengan demikian, terobosan politik menjadi penting dalam rangka memutus hubungan pemodal-penguasa. Kondisi saat ini yang menunjukkan hadirnya para pemodal secara langsung dalam pemerintahan membuat mata rantai hubungan pemegang kekuasaan publik dan pengusaha seperti disebutkan oleh Kaufmann menjadi tidak lagi terselubung (illicit), melainkan telah diintegrasikan ke dalam sistem pemerintahan. Hal itu yang membuat kerap terjadinya sejumlah kebijakan pemerintah yang dinilai oleh sebagian kalangan terpaut kepentingan bisnis dari para pengambil keputusan itu sendiri (Analisis Ekonomi Faisal Basri, Kompas, 26 September 2005). Kasus-kasus seperti itu, seringkali justru jauh lebih sulit diungkap daripada kasus-kasus korupsi jenis lain seperti kasus KPU, penyelewengan tender, dan lain-lain.
Martin Manurung