BELAKANGAN ini, kita banyak disuguhkan pemberitaan tentang kemunculan generasi baru ‘pemimpin berprestasi’ di banyak daerah di Indonesia. Dari nama-nama yang sudah ada dan cukup populer, seperti Ahok, Ridwan Kamil, Risma sampai dengan beberapa nama yang relatif baru, seperti Dedi Mulyadi (Purwakarta), Yoyok Riyo Sudibyo (Batang), dan Nurdin Abdullah (Bantaeng) berseliweran di banyak kanal media yang ada sekarang ini. Keberadaan generasi ini seakan menghadirkan optimisme karena keberhasilan mereka dalam mengelola pemerintahan daerah masing-masing. Ketika politik seringkali didominasi pemahaman tentang praktik kekuasaan yang busuk, maka kemunculan para ‘pemimpin berprestasi’ seakan menjadi angin segar bagi politik itu sendiri.
Walau terkesan logis, namun cara pandang optimistis ini pada dasarnya berangkat dari posisi yang ‘miskin’ tentang politik itu sendiri. Politik seakan hanya menjadi urusan ‘para pemimpin’, person-person minoritas yang dianggap terampil mengelola organisasi pemerintahan. Dalam posisi ini, entitas politik seperti publik/warganegara/rakyat berada di latar, dingin berdiri di belakang, yang hanya akan menjadi relevan sejauh ia memiliki kebergunaan tertentu terhadap keberadaan sang person tersebut. Entah dipergunakan sebagai konstituen atau massa yang dapat dimobilisasi untuk mendukung agenda politik sang pemimpin itu sendiri.
Diperlukan pemeriksaan yang jujur untuk dapat keluar dari keterbatasan cara pandang ini. Alih-alih melihatnya sebagai sesuatu yang terberi, ada logika depolitisasi yang terbangun dibalik gagasan ini. Masalah terbesar dari depolitisasi bukan sekedar secara teori tapi juga praktik. Karena ia membuat proses politik terisolir dari proses sosial yang lebih luas, yang dengannya memiskinkan proses politik itu sendiri.
Apa yang dapat kita lihat dari fenomena ini adalah bagaimana politik didefinisikan sedemikian rupa menjadi sebatas masalah ‘kepemimpinan’. Dan ‘kepemimpinan’ yang dimaksud pun bersifat individual dimana ia ditempatkan sebagai entitas otonom, yang perilakunya berada dalam organisasi politik yang ada. Dengan kata lain, perhatian utama politik adalah melulu terhadap perilaku individual sang pemimpin itu sendiri.
Pengerdilan politik Indonesia pada sebatas ‘pemimpin’ ini pada dasarnya bisa ditelusuri genealoginya dari proses politik pasca 65. Ketika politik elektoral berbasis massa diberangus oleh Orde Baru, politik Indonesia mengalami peralihan paradigmatik dimana posisi pemimpin individual dalam pengelolaan pemerintahan menjadi yang utama. Otoritarianisme individual dalam figur Soeharto, ditambah dengan penyebaran gagasan teknokratisme yang berkembang untuk mendukung agenda developmentalisme Orde Baru, membuat proses politik sepenuhnya dilihat sebagai seperangkat organisasi yang dikelola oleh individu-individu.
Individulisasi atas politik semakin mengalami pendalaman pasca hancurnya Orde Baru. Ketika gerakan rakyat tidak kunjung mengalami revitalisasi karena fragmentasi yang akut, liberalisasi politik yang ditandai dengan pemilu yang bebas menciptakan proses yang lain dimana pemimpin harus bisa dipasarkan. Disinilah kemudian kita menemukan maraknya pemasaran politik, dimana siapapun individu yang hendak mengklaim dirinya sebagai pemimpin harus terlebih dahulu dikompetisikan kepopulerannya. Di sini pengemasan secara kosmetik atas figur menjadi penting. Implikasi pemilu sendiri akhirnya menjadi ajang yang lebih serupa dengan kompetisi idola, dimana penilaian politik yang seringkali kompleks dan rumit bisa diabaikan. Ketertarikan dan kompetensi didefinisikan dalam kriteria yang dangkal yang seringkali dipinjam dari budaya bisnis kontemporer (seperti inovatif, entrepreneurs, dll).
Problem mendasar dari posisi ini adalah ia mengisolasi proses politik dari situasi sosial yang melingkupinya. Dengan melihat sebatas pada keberadaa perilaku si individu, ‘pemimpin’ bisa ditempatkan terisolasi dari relasi kuasa serta kepentingan yang melingkupinya. Dalam arti, si individu ini seakan bisa terbebas dari pengaruh kekuasaan dan kepentingan, baik ia membawa kepentingannya sendiri atau dipengaruhi oleh kepentingan lain yang berasal dari kekuatan sosial yang berada di masyarakat.
Disinilah kita kemudian menemukan sesuatu yang cukup naif sekaligus absurd, dimana politik mengalami depolitisasi. Dalam gagasan politik yang sebatas ‘kepemimpinan’, konflik kuasa yang laten maupun yang manifes yang merupakan keberadaan inheren kepentingan-kepentingan kekuatan sosial yang ada di masyarakat dapat diabaikan, jika kita tidak ingin mengatakan ia sebenarnya dipinggirkan. Politik kemudian dipahami secara melulu dangkal sebagai suatu proses pengaturan serta pengelolaan ala manajemen, yang mana berhasil tidaknya suatu politik dikerangkakan pada sejauh mana proses alokasi dan sumber daya secara rasional.
Problematika seperti ini penting untuk diungkap karena kita perlu mengakui secara eksplisit bahwa selalu ada kesenjangan kepentingan antara pemimpin dengan masyarakat. Bahkan dalam tubuh politik masyarakat itu sendiri juga, banyak kepentingan yang berbeda antara satu dengan yang lain. Kelompok-kelompok sosial seperti pekerja, investor, pemilik rumah, perempuan, kalangan profesional, konsumen, spekulator pasar saham, dsb tidak dapat dikatakan tidak memiliki kepentingan dalam masyarakat. Selalu dimungkinkan bagi kelompok-kelompok sosial yang ada untuk memengaruhi proses politik (baca: pemeritahan) dimana individu pemimpin berada. Besar kecilnya pengaruh kelompok-kelompok ini tentu saja sangat ditentukan pada seberapa besar atau rapih keterorganisiran mereka dalam memengaruhi proses politik yang ada.
Dalam hal ini, ‘pemimpin berprestasi’ akhirnya bukanlah konsep yang netral. Prestasi seorang peimpin sangat ditentukan oleh konteks kepentingan yang beroperasi di sekitar pemimpin tersebut. Semakin laku sang pemimpin mengikuti kehendak kepentingan kelompok sosial yang mendominasi masyarakat, semakin besar peluang si individu pemimpin tersebut untuk disematkan kategori berprestasi.
Contoh paling gamblang mungkin dapat kita lihat dari bagaimana kepemimpinan yang dianggap banyak kalangan berprestasi seperti Ahok. Harus diakui Ahok berhasil untuk mengubah sistem pelayanan publik yang telah lama berlaku di Jakarta. Banyak warga terbantu dengan perubahan pelayanan birokrasi yang dianggap efisien dan efektif ini. Namun diranah pemerintahan yang lain, efisien dan efektif ini berarti adalah kemampuan pemerintah untuk melakukan pemaksaan agenda pembangunannya tanpa harus khawatir akan mengalami hambatan yang mengancam agenda pembangunan itu sendiri. Bukan rahasia lagi bahwa Ahok akan menggunakan segala sumberdaya yang ada, termasuk tindakan kekerasan, untuk memastikan bahwa pembangunan di Jakarta terwujud sesuai dengan keinginannya.
Apa yang berlaku bukanlah semacam kebijakan publik yang inkonsisten, dimana Ahok pada tataran implementasi kebijakan pelayanan publik berlaku sangat bijak dan baik, sementara untuk agenda pembangunan kota Jakarta dianggap sebaliknya. Namun justru yang dilakukan adalah orientasi kebijakan publik yang sepenuhnya konsisten dari sudut pandang melayani kepentingan kelompok sosial tertentu, khususnya kalangan pengembang atau pemodal besar di Jakarta: agenda pemerintahan yang bersih (good governance) yang dilakukan Ahok adalah agenda pemerintahan bersih untuk mendukung kelancaran aktivitas akumulasi modal. Jikapun ada golongan rakyat kecil yang diuntungkan dengan adanya kemudahan pelayanann publik, ia perlu dilihat sebagai luberan bukan sebagai orientasi utamanya.
Mungkin ada bias subjektif di sini. Namun apa yang hendak dikemukakan adalah keberadaan kepentingan dalam melihat fenomena politik adalah penting. Oleh karenanya, untuk mengantisipasi manipulasi politik yang secara potensial muncul dari setiap keberadaan pemimpin politik, adalah penting bagi publik/warga/rakyat untuk secara gamblang mengungkap kepentingannya. Di sini cara kita melihat keberadaan para ‘pemimpin berprestasi’ harus direkatkan dalam kerangka pikir kepentingan itu sendiri: kepentingan (si)apa yang sebenarnya secara khusus hendak didorong oleh si pemimpin? Bagaimana ia melakukannya? Apa hubungannya dengan kepentinganku sebagai bagian dari masyarakat? Apakah aku diuntungkan atau dirugikan jika aku mendukungnya?***
Penulis adalah Sekretaris Wilayah KPRI DKI Jakarta