‘Hindang makhendangda kharinde yarinde | Rindang
makhendangda kharinde awarinde | Yabu alu bura khafonde yafonde | Yabu alu bura khafonde
yafonde’—Hindang Makhendang,
Mambesak Group
(Berdayung dengan perahu di danau Sentani pada waktu senja, dan
air teduh memberi kesan khusus yang mendalam. Mengenang masa
silam yang penuh ceritera)
BELAKANGAN ini bepergian ke Papua semakin mudah, kalau tidak jadi tren—asal ada uang, akses, plus keberanian dan sedikit petualangan. Saya terseret tren itu bukan karena punya uang, tetapi mencari peruntungan. Jakarta sudah makin sempit, orang-orangnya sudah kelewat ribut, terlalu ‘bikin ko pu diri’ (baca: sombong atau lebay) sampai lupa diri.
Pesawat-pesawat yang terbang ke kota-kota di Papua, memuat lebih banyak orang bertampang melayu. Banyak di antara mereka pegawai pemerintahan, keluarga aparat negara, dan pekerja lembaga non-pemerintah dan bisnis. Saya ada di antara mereka, yang coba-coba tampil beda dengan noken menyilang di dada.
Di kota-kota dan kampung-kampung pesisir seputar Wasior, Manokwari, Sorong dan Waisai, juga didominasi tampang-tampang sejenis saya. Apalagi di pasar, pertokoan dan instansi-instansi (catat: tukang ojek juga). Wajah-wajah Papua masih mendominasi di kampung-kampung pedalaman. Beberapa wajah melayu-Papua tampak, tetapi hidup dan bersikap sangat berbeda dengan melayu-melayu di kota. ‘Saya mesti tinggal, mereka sudah kasi saya makan’, demikian kata seorang Mama perawat honorer dari Pangkep yang sudah 7 tahun tinggal di Kampung Ambumi, Kuriwamesa, Kabupaten Teluk Wondama.
Kalau sebelumnya pemerintah Orde Baru memobilisasi orang-orang, aparat keamanan, dan investasi ke Papua, kini orang-orang, aparat keamanan, dan investasi tersebut mencari jalannya sendiri. Mungkin ini yang disebut Presiden Jokowi dengan ‘membuka Papua’.
***
Papua memang magis. Saya termasuk yang terpesona dengan kemagisannya.
Dahulu waktu masih bernama Irian Jaya terdengar kurang magis. Apalagi berita-berita terkait Papua masih sedikit dan melulu soal kematian dan ketidakamanan. Walau sekarang beritanya lebih banyak, tetapi nadanya masih sama: ketidakamanan yang sebabnya dialamatkan ke gerakan separatis.
Tanpa tahu lanskap sejarah, wilayah dan budayanya, satu peristiwa penyerangan polsek dan penembakan pesawat di Sinak, Puncak Jaya, akan langsung dianggap sebagai teror di seluruh Papua. Mungkin serupa dengan drama tembak menembak ‘ISIS’ di Sarinah, yang segera dinyatakan sebagai Teror Jakarta dan Indonesia oleh media cetak dan elektronik populer. Betapa media-media di Indonesia ini terlalu banyak bikin gerakan tambahan dan bikin de pu diri, sampe.
Selain teror ketidakamanan, Papua juga mengandung ‘kengerian’ yang bikin ciut. ‘Jangan pergi ke Papua, nanti kau dimakan hidup-hidup’, demikian kata Ayah seorang mahasiswi unyu pengurus Senat di kampus Institut Ilmu Sosial Politik (IISIP) yang melarangnya berangkat liburan ke Papua setelah menonton film ‘Lost in Papua’. Oh iya, sepertinya saya harus titip pesan untuk Bapak Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan yang baru, agar pelajaran wawasan nusantara ditambah dengan pelajaran wawasan Kepapuaan.
Wawasan Kepapuan ini perlu, agar tidak lost (tipe lain) in Papua dalam eksotisme Raja Ampat, dan petualangan Puncak Cartenz.
‘Mbak, titip ikat pinggang kulit buaya ya, di Jakarta mahal, saya pernah beli online malah ketipu engga asli’, demikian SMS tetangga saya, yang akhirnya bisa masuk setelah HP bertemu sinyal dan listrik bisa menyala oleh satu liter bensin, Rp. 20.000 untuk dua jam. ‘Wah di Raja Ampat ya, mana fotomu di pulau-pulau batu itu?’, demikian pesan Whatsapp masuk saat sedang ngopi dan makan pisang goreng di sebuah rumah kecil yang dijadikan galeri kerajinan tangan dari limbah, di Waisai, Raja Ampat.
Raja Ampat yang dimaksud mungkin Wayag dan Pianemo. Hampir semua masyarakat asli yang tinggal tersebar di pulau-pulau Raja Ampat belum pernah mengunjunginya—apalagi saya. Untuk sampai ke sana, katanya, perlu 8-15 juta rupiah. Teman-teman yang saya kenal saja belum pernah bisa sampai sana.
Mungkin teman-teman saya ini terlampau cupu untuk kategori para traveler Jakarta, karena melulu sibuk urus advokasi konservasi Raja Ampat dan membangun sanggar-sanggar budaya masyarakat asli. Mereka ‘lebih suka’ ditangkap ketimbang foto-foto di Wayag dan Pianemo. Mereka memang keras, bersama masyarakat beberapa kampung, rencana penambangan nikel dan batubara Raja Ampat ditolak. Karena itu juga Raja Ampat kini bisa menjadi sorotan wisata utama.
Kalau bisa punya perahu boat yang layak, dan uang solar yang cukup, mungkin mereka bisa ke Wayag dan Pianemo. Sayangnya katinting pun hanya beberapa yang punya.
***
Papua dalam pikiran orang-orang di Jawa dan Sumatera, bisa jadi seluruh bagian Indonesia lainnya, hanya bermakna pulau misterius dan kaya, serta orang-orang yang terbelakang.
Pulau misterius nan kaya itu jadi tempat yang gampang menghasilkan uang jika bermental pekerja keras, berani berusaha dan/atau sedikit culas. Cukup bermain di selisih harga, bermodal sepeda motor, penjual mainan dari Toraja, Jawa atau Buton, atau Anda pun sudah bisa hidup lebih terencana dari kebanyakan orang pedalaman Papua. Dengan bekal kemampuan tradisi dan jaringan usaha, nelayan-nelayan Buton dan orang-orang perantaranya, sudah bisa menguasai pasar perikanan di Teluk Wondama. Mereka bisa menjual ikan jauh lebih murah dibanding penjaring-penjaring ikan tradisional Papua.
Kalau sudah punya lebih banyak modal, lebih berani culas, pandai menipu, punya kuasa senjata, ditambah banyak dosis kekejaman dan tega, maka orang-orang bisa gampang lebih kaya lagi. Orang-orang Papua tidak punya sertifikat hak milik pada tanah-tanah dan hutan yang mereka manfaatkan turun temurun dari nenek moyang secara kolektif. PT. Freeport pelopor perampasan tanah moyang tersebut, segera menyusul ratusan kontrak sawit dan pertambangan. Masih ingat rekening gendut Labora Sitorus? Tentu saja masih kalah gendut dengan rekening para raksasa sawit yang sedang incar Papua, dan raja raksasa Freeport McMoran.
Kedatangan orang-orang bertampang melayu ke Papua mungkin hanya demi mata pencaharian—dimobilisasi maupun tidak dimobilisasi dalam transmigrasi. Namun kedatangan itu berdampak langsung pada menyempitnya wilayah ‘pencarian’ orang-orang Papua. Pendatang semakin dominan, penduduk asli semakin menyusut, pemerintah lokal tak punya langkah perlindungan yang efektif. Lapangan kerja yang ada bukan untuk orang-orang Papua—kecuali jadi PNS, tentara, polisi, dan sekuriti.
‘Sekarang orang-orang Jawa dan toraja tu su bisa pasang jerat lebih banyak dari kitorang. Mereka pasang enampuluh sampe, kitong lima saja’ seorang pemuda di kampung Simiey, Distrik Naikere, Teluk Wondama protes. Memasang jerat rusa sejumlah puluhan itu boleh jadi prestasi dari segi kemampuan, tetapi kejahatan dari segi kelestarian.
Jerat-jerat itu harus dicek maksimal tiga hari untuk melihat rusa atau babi yang mungkin terjerat. Bila jerat hanya lima, dan rusa yang didapat dua ekor, maka mereka masih bisa memangulnya pulang. Semakin banyak jerat, semakin peluang tangkapan besar, semakin banyak pula rusa yang dibiarkan membusuk karena tak bisa dipanggul pulang. Tak seperti babi yang bisa bertahan, rusa lebih cepat mati sia-sia.
Papua memang magis.
Setelah kembali hanya dari satu bulan perjalanan, saya menjadi makin sedih dalam pesona kemagisannya. Bila kita ‘mati di lumbung padi sendiri’, maka orang-orang Papua mati menyaksikan tanah-tanahnya menjadi ‘lumbung padi, emas dan minyak’. Mereka tidak pernah hanya ‘menonton drama lumbung’ ini, ratusan ribu nyawa melayang karena sudah melawannya. Dan dengan gampang negara hadir melabelinya sebagai gerakan separatis.
Selesai perkara.
‘Selamat mengalami Papua,’ demikian seorang kawan menyapa. Ya sista, sekarang ‘mengalami’ mesti dilanjutkan dengan ‘mendalami’. Mendalami alam, ingatan penderitaan, dan kekuatan orang-orang Papua yang sedang bertahan dan melawan.***