Foto oleh Andre Barahamin
“KEMBALI ke belakang!”
Aku mendengar sebuah seruan keras diucapkan dalam bahasa Inggris dari arah belakang, disertai tarikan cukup kasar di sweater. Saat membalikkan kepala, aku mendapati Rodha Gueta, seorang aktifis Kilusang Magbubukid ng Pilipinas (KMP) tampak kesal menatapku.
Terpaksa menurut. Beranjak pelan ke belakang dengan seluruh pakaian yang basah karena siraman air dari polisi.
Tiga bentrokan baru awal baru saja lewat. Ada jeda yang secara alamiah diambil kedua belah pihak dari setiap fase bentrokan. Masing-masing mengumpulkan kembali tenaga. Bentrokan keempat tidak terlalu keras. Aparat keamanan tampak kelelahan. Tidak lagi ada ayunan pentungan, tapi blokade tidak mengendur sedikitpun. Hanya saling dorong antara demonstran dan polisi. Sudah tidak ada lagi siraman air. Water Canon kehabisan air. Para pelajar bersorak gembira. Bendera berbagai organisasi berkibar-kibar. Senyuman tampak di wajah mereka di garis depan. Berbaur dengan rasa sakit di beberapa bagian tubuh akibat hantaman pentungan.
Sejak awal, ketika melihat bahwa massa akan segera melakukan upaya menembus blokade polisi, kami juga perlahan bergerak. Saya dan kedua kawan dari aktivis Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) merasa bahwa kami secara fisikal tidak terlalu nampak sebagai orang asing. Dari mulai kedatangan di bandara, banyak orang salah mengira jika kami adalah orang Filipina. Itu mengapa, kami tidak segan untuk ikut berbaur dengan barisan pelajar yang berada paling depan untuk menghancurkan barikade aparat keamanan. Bertiga, kami membulatkan tekad untuk tidak sekedar menonton namun memilih terlibat langsung dalam pertempuran di garis terdepan.
“Sepanjang tidak bicara, polisi tidak curiga bahwa kita adalah orang asing. Tapi ingat, ada fotografer polisi di garis depan. Selalu menunduk. Jangan sampai tertangkap kamera. Bisa-bisa ketika pulang ke Indonesia nanti, kita akan dicegat. Lalu passport ditandai dan kita tidak bisa kembali lagi datang ke Filipina.” Penjelasan cukup panjang namun cepat.
Rahmat Ajiguna, Ketua Umum AGRA cukup paham kondisi Filipina. Ajiguna juga menjabat sebagai Sekretaris Jendral Asian Peasant Coalition (APC). Ajiguna menceritakan pengalaman salah seorang aktivis APC asal India yang pernah dideportasi dari Filipina beberapa tahun lalu. Juga cerita tentang mekanisme penghadangan di bandara keberangkatan terhadap mereka yang sudah ditandai.
“Mana Sandy?”
Rodha masih tampak kesal meski aku sudah mundur beberapa langkah. Ia terus mencari Sandy Ame, aktifis AGRA yang juga merupakan Sekretaris Cabang International League of People’s Struggle (ILPS) Indonesia.
“Aku tidak tahu.” Aku menjawab sekenanya lalu berupaya mengalihkan perhatian agar bisa kembali ke garis depan.
Ini belum selesai. Blokade polisi masih bisa diganggu.
Rodha terus memberikan tanda dengan tangannya agar aku jangan memaksakan diri.
“Balik ke belakang. Kumpul dengan kawan-kawan yang lain.”
Kali ini nada suara Rodha cukup keras namun gerak tubuhnya menandakan bahwa ia sedang kebingungan.
Aku mengalah. Seluruh tubuh juga sudah bayah kuyup. Segera mundur jauh ke belakang. Menuju titik kumpul para aktivis asing yang ikut berpartisipasi di protes anti APEC Summit.
Semua aktivis non-Filipina yang terlibat di aksi anti-APEC sejak awal telah diberitahu. Kami diharapkan untuk tidak terlibat langsung dengan bentrok dengan pihak kepolisian. Kawan-kawan Filipina khawatir akan ada yang ditangkap dan kemudian dideportasi. Jika benar dideportasi, maka itu akan jadi kerugian bagi jaringan solidaritas internasional yang telah dan sedang kami bangun. Seseorang yang sudah pernah dideportasi akan dilarang untuk memasuki negara yang bersangkutan. Di Filipina, jika passport sudah ditandai, jangan harap bisa kembali melenggang di bandara kedatangan. Anda akan diusir.
ILPS dan Proyek “Battle of Manila”
International League of Peoples’ Struggle (ILPS) seharusnya melaksanakan Kongres mereka tahun lalu. Tapi Venezuela yang seharusnya jadi tuan rumah menyatakan menarik diri beberapa waktu setelah Hugo Chavez meninggal. Sebabnya adalah kondisi politik dalam negeri mereka yang sedang berantakan karena upaya intervensi Amerika Serikat (AS) demi menjungkalkan Nicolas Maduro.
Langkah penting segera diambil oleh International Coordinating Committee (ICC) ILPS. Dengan waktu persiapan yang kurang dari setahun, ICC-ILPS kemudian memilih untuk menunda perhelatan Kongres ke 5 mereka dari jadwal awal. Filipina kemudian mengajukan diri sebagai tuan rumah. Alasannya sederhana: secara organisasional ILPS Filipina adalah salah satu chapter yang solid, dan momen pertemuan puncak para pemimpin ekonomi di kawasan Asia-Pasifik yang tergabung dalam Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) akan dilakukan November 2015.
Dalam pidato pembukaan Kongres, Malcom Guy, Sekretaris Jenderal ILPS periode sebelumnya mengatakan dengan jelas bahwa “agenda-agenda kelompok imperialis seperti APEC mesti digagalkan. Itu mengapa waktu pelaksanaan Kongres disengajakan bersamaan dengan APEC Summit.”
ILPS, yang dibentuk 21 Mei 2001, merupakan salah satu aliansi strategis organisasi progresif dari berbagai belahan dunia. Keanggotaannya tersebar di lebih dari 40 negara. Saat pertama kali dibentuk, ILPS sudah mencakup 218 organisasi. Pada Kongres ke 5, yang berlangsung sejak 14-16 November 2015, ada lebih dari 400 delegasi yang hadir dari 39 negara. Untuk cabang Indonesia, keanggotaan ILPS dibentuk oleh komposisi; Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI), Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP), dan Gerakan Rakyat Indonesia (GRI).
Organisasi di mana saya ikut terlibat, Yayasan PUSAKA baru saja bergabung dan diresmikan sebagai anggota pada Kongres kali ini. Inilah alasan kedatangan saya.
Sebagai aliansi kelompok revolusioner, ILPS secara terbuka menyatakan mendukung upaya-upaya perjuangan pembebasan nasional berbagai bangsa di belahan dunia. Dukungan itu, misalnya, tampak jelas ketika setiap mereka yang sedang berjuang membebaskan dirinya dari kolonialisme dikenali dan dianggap sebagai bagian dari delegasi terpisah dari negara penjajahnya. Misalnya sebagai contoh, delegasi dari Papua Barat dianggap sebagai delegasi yang setara dengan delegasi dari Indonesia. Delegasi dari Manipur atau Nagaland, tidak akan disebut sebagai bagian dari delegasi India. Kurdistan tidak akan disamakan dengan Turki atau Syiria.
Dalam setiap Kongres pula, ILPS mengundang perwakilan dari beberapa organisasi yang dianggap potensial untuk menjadi anggota. Mereka diperkenalkan dengan sistem dan pola interaksi organisasi di dalam ILPS, sebelum kemudian memutuskan menolak atau sepakat bergabung sebagai anggota. Tahun ini, cukup banyak perwakilan baru dari Amerika Latin dan Amerika Utara yang datang. Juga dari benua Afrika. Beberapa cabang baru akhirnya diresmikan dalam Kongres.
Pertemuan inilah yang secara terbuka merumuskan “Battle of Manila” sebagai upaya untuk menggagalkan pertemuan para pemimpin negara anggota APEC.
Dengan ILPS Cabang Filipina sebagai pelopor, pertemuan APEC akan disambut dengan protes besar. Konfederasi petani Filipina, KMP telah jauh-jauh hari mengerahkan massa pendukung mereka yang kebanyakan berasal dari daerah Mindanao, Cebu dan Luzon utara. Di sektor buruh, gerakan protes diorganisir oleh Kilusang Mayo Uno (KMU) yang berdiri sejak 1 Mei 1980. KMU dan KMP dikenal sebagai sayap kelompok militan di kancah politik Filipina. Untuk kelompok pelajar, League of Filipino Students (LFS) memaksimalkan pengorganisiran mereka. Tidak hanya pelajar yang duduk di perguruan tinggi, para pelajar sekolah tinggi (setara SMA) juga dilibatkan. Dari kelompok nelayan, PAMALAKAYA menjadi yang paling siap.
Targetnya tidak tanggung-tanggung. Sepuluh ribu orang mengepung pertemuan APEC.
Merespon hal tersebut, pemerintah Filipina segera ambil tindakan. Tiga puluh ribu polisi disiapkan sebagai tenaga pengamanan. Tiga kali lipat dari kemungkinan jumlah demonstran.
Daerah khusus ibukota, Metro Manila juga diliburkan selama berlangsungnya rapat para petinggi negara APEC. Warga dihimbau untuk tinggal dalam rumah dan tidak melakukan aktivitas ekonomi. Blokade di batas luar wilayah Metro Manila dibangun. Iringan massa dari luar daerah yang ingin mengakses ibukota dilarang masuk. Daerah pantai juga dijaga ketat. Di dalam kota, pos-pos pengamanan polisi berlapis melingkari titik pertemuan APEC. Polisi sering sekali memberhentikan jipney yang terlihat mencurigakan.
Penerbangan internasional juga ditunda selama dua hari. Keputusan yang memaksa banyak orang harus berangkat lebih awal atau tinggal lebih lama karena semua pesawat komersil dilarang terbang.
Intinya, demi APEC, Manila disegel.
Gelombang anggota-anggota KMP yang datang dari bagian utara Luzon, Mindanao dan Cebu banyak yang tertahan di luar Metro Manila. Upaya PAMALAKAYA untuk mendekati daerah pertemuan melalui laut juga dipukul mundur oleh blokade polisi di daerah pantai. Kepala Polisi Nasional Filipina, secara terbuka mengumumkan akan menindak tegas mereka yang berniat menggagalkan APEC Summit. Secara khusus ancaman tersebut dialamatkan kepada aktivis asing yang datang ke Manila. Bergabung dalam demonstrasi, berarti Anda siap dideportasi.
Taktik isolasi kota ini dapat dikatakan berhasil.
Menurut beberapa media lokal, hampir enam ribu demonstran tertahan di perbatasan Metro Manila, sehari sebelum pertemuan puncak APEC dihelat. Mereka dilarang polisi untuk memasuki kota. Alhasil, mereka mendirikan panggung politik di titik-titik tersebut.
Penyegelan Manila mau tak mau membuat KMU, sebagai serikat buruh menjadi tulang punggung pengorganisiran. Bersama PISTON Partylist, partai para supir jeepney, memaksimalkan upaya mobilisasi massa.
Para Penentang APEC-Aquino
Berbagai organisasi yang tergabung dalam ILPS Cabang Filipina yang tergabung di dalam front nasional bernama BAYAN memang merupakan salah satu dari sedikit kelompok oposisi menentang Noynoy Aquino yang didukung oleh AKBAYAN.
Dukungan penuh AKBAYAN terhadap pemerintahan Aquino dapat membantu untuk menjawab mengapa mereka tampak tidak sepenuh hati terlibat dalam demo anti-APEC. Terhadap APEC, secara umum AKBAYAN ikut menolak dengan beberapa catatan, seperti yang diumumkan saat melakukan konferensi pers di Universitas Filipina (UP Diliman) pada 17 November, sebelum diikuti aksi di jalanan pada keeskokan harinya. AKBAYAN hanyalah satu faksi saja dari fragmentasi gerakan di Filipina yang pecah. Kelompok AKBAYAN yang dimotori oleh Walden Bello dan kawan-kawannya –selain tentu saja dipengaruhi oleh Joel Rocamora dan Olle Tornquist– meski mengkritisi APEC, namun tetap menganggap penting bagi gerakan rakyat untuk “menduduki” pemerintahan. Pengambil-alihan struktur kekuasaan ini dianggap sebagai cara mencegah demokrasi dibajak oleh para elit.
Langkah di atas mendapatkan penentangan paling kencang dari kelompok-kelompok demokratik lain yang tergabung dalam BAYAN (yang juga merupakan cabang ILSP Filipina). Bagi BAYAN, langkah tersebut –semisal pilihan mendukung Noynoy Aquino– adalah bentuk kompromi yang tidak bisa dibenarkan. Ketika mendiskusikan mengenai sikap AKBAYAN ini, argumentasi sinis namun solid dilontarkan Charisse Banez, Presiden League of Filipino Students (LFS). Dengan jeli ia meretas bahwa ada persamaan antara karakter aktivis pro-Aquino dan mereka yang juga mengambil sikap serupa di Indonesia. Para pendukung Joko Widodo, yang sebagian merupakan aktivis gerakan, kemudian tidak mampu memberikan sikap kritis dan justru pasif atau merespon malu-malu tentang kebijakan represif dan koersif yang dilancarkan oleh rezim neoliberalis hasil pemilihan umum 2019.
Di antara kedua kubu tersebut, ada kelompok lain seperti Partido Lakas Ng Masa (PLM) atau Partai Rakyat Pekerja dengan sayap serikat buruh-nya bernama Bukluran ng Manggagawang Pilipino (BMP). Meskipun secara garis besar ikut menolak APEC, namun PLM-BMP memiliki perbedaan mendasar dengan garis politik yang diambil oleh kelompok AKBAYAN ataupun kelompok BAYAN. PLM-BMP, misalnya, menolak politik kompromisme yang diusung oleh AKBAYAN, namun juga menolak untuk memberi dukungan terhadap taktik bersenjata yang diusung oleh kelompok BAYAN melalui New People Army (NPA). Itu mengapa pada tanggal 18 dan 19 November, PLM-BMP melakukan rally protes terhadap pertemuan APEC di titik aksi yang berbeda. Di tengah barisan mereka, ikut hadir juga representasi dari Parti Sosialis Malaysia (PSM).
Ada kelompok lain seperti Partido Kalikasan (Partai Hijau Filipina), yang juga merespon negatif penyelenggaraan APEC. Pertemuan elite negara-negara di Asia Pasifik ini hanya berlangsung selama dua hari, namun menelan biaya sebesar 10 milyar Peso (hampir 3 trilyun rupiah), melibatkan 30.000 aparat keamanan dan sampai meliburkan aktivitas publik yang berakibat pada pelemahan sektor ekonomi informal. Partido Kalikasan menuduh Aquino mengalami phobia sehingga merespon rencana protes APEC Summit dengan berlebihan. Aquino dianggap sengaja menggunakan dana publik untuk pertemuan bisnis elite para pemimpin negara yang praktik di lapangannya adalah penghancuran lingkungan dan meningkatnya krisis iklim.
Berbagai kelompok anarkis dan anti-otoritarian yang tergabung dalam Local Autonomus Networks (LAN), juga menyelenggarakan aksi protes anti-APEC dengan menggelar Food Not Bombs, aksi teatrikal sebelum kemudian menggabungkan diri dengan kelompok masyarakat adat Lumad yang sedang menggelar tenda protes di Gereja Baclaran. Bagi LAN, APEC adalah satu dari dasamuka kapitalisme yang jelas hanya akan menguntungkan satu persen golongan dan menyingkirkan sebagai besar lainnya ke dalam keranjang sampah kemiskinan.
Pelajaran-pelajaran Yang Dapat Diambil
Ada hal yang saya kagumi dari kawan-kawan di Filipina. Mereka disiplin. Tidak telat dalam soal waktu dan selalu penuh komitmen. Kerja-kerja politik mereka tidak dikompromikan dengan macet, urusan A, B, C, dan lain sebagainya. Toleransi terhadap ketidakdisiplinan dipandang sebagai kompromisme.
Banyak dari kita di Indonesia mesti belajar dari mereka.
Sebagai contoh. Sore 18 Oktober, saat mengantar kami kembali ke hotel, Rodha telah mengingatkan semua bahwa mereka akan datang pukul 6.30 pagi untuk menjemput kami. Dan benar. Lima menit sebelum waktu yang ditetapkan, sebuah van telah berada di parkiran depan hotel dan Rodha mulai mengecek siapa yang belum bangun serta siapa yang belum sarapan. Sebuah kebetulan bahwa hampir semua dari kami yang ada dalam daftar sedang sarapan, mereka memberikan waktu 10 menit ekstra sebelum benar-benar berangkat.
“Kita tidak bisa terlambat.”
Rodha tampak sibuk dengan telepon genggamnya dan mengecek siapa saja yang masih di kamar. Total ada 22 orang delegasi asing yang menginap di Brentwood Suites Hotel. Termasuk Laela Khalid, aktivis pejuang pembebasan Palestina, juga Bonnie Setiawan dan Fahmi Panimbang, dua kru IndoPROGRESS yang lain.
Kami akan dibagi ke dalam beberapa rombongan berjumlah antara 5-6 orang. Setiap rombongan akan ditangani secara khusus oleh tim yang sudah disiapkan oleh kawan-kawan Filipina. Di tiap rombongan disiapkan satu orang pengacara publik untuk mendampingi.
Saat dalam perjalanan menuju lokasi pertama, di Liwusang Bonefasio, kami segera diberi penjelasan tentang apa yang bisa dan tidak bisa kami lakukan. Bagaimana menghindari orang yang tidak dikenal, dan beberapa detil lain.
Poin utama adalah: jangan terlibat dalam konflik fisik langsung dengan aparat keamanan. Jika terjadi sesuatu, kami harus segera menghubungi nomor pengacara yang telah disiapkan.
Bagi mereka yang mengorganisir “Battle in Manila”, bentrokan fisik dalam parade massa dianggap tidak terlalu penting. Mereka paham benar bahwa kerugian justru akan menimpa massa yang tidak bersenjata, miskin pengetahuan dalam bertahan dan menyerang serta akan mengalihkan isu dari tuntutan yang akan disampaikan. Dalam kacamata strategi, kampanye urban seperti demonstrasi dengan berbagai variannya untuk mereposn iven-iven politik spesifik seperti APEC adalah cara menekan pemerintah secara popular, dan di saat yang bersamaan meluaskan jangkauan kepada publik.
Bukan lagi rahasia publik bahwa selain kelompok anarkis, organisasi-organisasi yang tergabung di dalam ILPS Cabang Filipina adalah para pendukung gerakan gerilya bersenjata. Bagi mereka yang sedikit mengenal sejarah negeri yang pernah ditindas oleh diktatoris Marcos, New People Army (NPA) adalah formula bersenjata yang tidak pernah surut bahkan di era ketika Trans Pacific Partnership (TPP) dan Asian Invensment Infrastructure Bank (AIIB) sedang ramai mengepung negara-negara di Asia Tenggara.
Di Indonesia, praktis setelah gerakan menumbangkan Soeharto (yang terlalu sering diklaim sebagai gerakan pelajar semata), tidak ada lagi gerakan bersenjata. Fenomena paling mutakhir adalah perang urban yang dilancarkan sebagian kecil anarkis dengan membombardir Anjungan Tunai Mandiri (ATM) di beberapa wilayah dan fasilitas milik tentara dan polisi. Di luar itu, tak ada yang berarti selain diskursus heroik penuh nafas pasifisme.
Di Indonesia, misal, gerakan pelajar hanya akan mendorong barikade polisi jika ada kamera-kamera televisi yang menyorot. Jangan harap bahwa aksi non-kekerasan didasari pada pertimbangan filosofis yang radikal.
Gerakan politik di Filipina juga bukan gerakan yang malu-malu. Di sini, seseorang yang sedang membuka mata terhadap opsi-opsi politik diperhadapkan jelas dengan beragam pilihan tendensi dengan argumentasi (yang solid atau tidaknya merupakan poin perdebatan di level berikutnya). Banyak dari kita yang tahu, di Indonesia banyak gerakan anti kapitalisme adalah mereka yang pemalu. Bingung dan enggan untuk menentukan titik pijak terhadap satu tendensi karena takut akan resiko-resiko politik yang menyertai setiap keputusan.
Demonstrasi anti World Trade Organization (WTO) di Bali sebagai contoh.
Kawan-kawan Filipina yang sempat datang ke pulau Dewata, dengan jelas telah memposisikan diri sebagai musuh, baik dalam kapasitas secara individual dan organisasi terhadap lembaga perdagangan global tersebut. Analisa masing-masing (terlepas dari persoalan benar-salah) dijangkarkan pada analisa yang serius dan mendalam akan keberpihakan yang tidak malu-malu. Di Indonesia, keterbukaan posisi ideologi macam ini sering disembunyikan. Pengaruh buruk dari politik moralisme yang marak dalam gerakan anti-Soeharto di penghujung dekade 1990-an.
Dinamika politik mereka (dengan segala konflik dan perpecahan yang mengurat akar) setidak-tidaknya merupakan pertanggungjawaban ideologi. Bukan hasil intrik yang didasarkan pada gosip atau isu yang sulit atau bahkan muskil diverifikasi, atau semisal dilandaskan pada kecemburuan personal semata. Di Indonesia, cermin oto-kritik yang keras macam ini tampak belum jadi kebiasaan. Kita masih belum bisa saling tunjuk hidung atau bahkan saling pukul secara terbuka dalam debat-debat secara ideologi, politik dan organisasional. Ambil contoh adalah kebingungan ideologi yang merambah gerakan pelajar sejak satu dekade lalu. Hingga kini mereka bahkan masih kesulitan mengartikulasikan narasi politiknya yang bebas dari mutilasi sejarah romantik macam label konyol “gerakan mahasiswa 1998”.
Seandainya, dua tahun lagi pertemuan APEC dilangsungkan di Indonesia, kita tentu akan sulit menemukan spirit perlawanan yang sama. Alasannya sederhana. Sepanjang kejelasan posisi ideologis dan keberpihakan kelas bukan lagi jadi tabu.
Saya misal. Mendukung Papua untuk menentukan nasib sendiri. Merdeka atau tidak, itu urusan belakangan. Yang utama adalah mengakui bahwa ada ekspansi Indonesia, penjajahan yang berlangsung melalui konsesi semisal Freeport, yang bahkan disahkan sebelum Papua jatuh ke tangan semangat kolonialisme 1961. Kenyataan di Manila mengajarkan bahwa saya masih menemukan mereka yang mengaku aktivis (atau lebih umum mendaku diri anti penindasan) ternyata bahkan gamang di persoalan macam ini.
Di dunia yang keterbelahan identitas adalah prasyarat menjadi manusia modern (meminjam istilah para Situasionis), maka langkah paling pertama yang perlu dilakukan sebelum berbusa bicara soal revolusi adalah menjawab pertanyaan: Kamu di sisi mana?***
Penulis adalah Peneliti di Yayasan PUSAKA: Pusat Studi, Advokasi dan Dokumentasi Hak-hak Masyarakat Adat